• Tidak ada hasil yang ditemukan

KAJIAN PUSTAKA

2.1 Dermatitis Atopik

2.1.4 Faktor risiko

Dermatitis atopik merupakan suatu sindrom multifaktorial dimana berbagai faktor berkaitan dengan fenotip penyakit sehingga perlu dicermati berbagai faktor risiko, yaitu :

1. Genetik

Observasi klinis mendorong para peneliti untuk menyelidiki gen-gen spesifik yang terlibat dalam atopi dan dermatitis atopik. Terdapat dua kromosom yang berkaitan erat dengan dermatitis atopik yaitu kromosom 1q21 dan kromosom 17q25, meski paradoksal karena psoriasis juga terkait dengan kromosom yang sama walaupun sajian klinis keduanya berbeda dan kedua kromosom tersebut tidak terkait dengan penyakit atopi lainnya (Leung dkk, 2004; Soebaryo, 2009).

Pada suatu penelitian diketahui bahwa kecenderungan mendapat penyakit atopi diturunkan secara autosomal dominan dimana 75% anak akan mengalami alergi bila kedua orangtuanya mempunyai riwayat alergi, sedangkan 50% anak akan mengalami alergi bila 1 orangtuanya mempunyai riwayat alergi. Meskipun demikian, faktor lain (lingkungan) sangat pula berpengaruh atas perkembangan penyakit (Soebaryo, 2004).

11

2. Cara persalinan

Bayi yang lahir melalui seksio sesaria, tidak akan mengalami kontak dengan vagina dan perineum ibunya dimana pada persalinan per vagina, kedua daerah tersebut merupakan sumber utama bakteri-bakteri yang kemudian masuk dan membentuk koloni di dalam saluran pencernaan bayi. Hasil serangkaian penelitian menunjukkan bahwa bakteri yang masuk dan membentuk koloni di dalam saluran pencernaan bayi dapat berupa bakteri komensal, bakteri oportunis (bakteri yang dalam jumlah cukup tidak berbahaya namun jika jumlahnya meningkat akan menimbulkan penyakit), dan bakteri patogen. Bakteri komensal seperti Lactobacilli dan Bifidobacterium berperan penting stimulasi daya tahan tubuh, membantu pematangan imunitas, serta melindungi tubuh dari infeksi. Sedangkan keberadaan bakteri patogen seperti Staphylaococcus merupakan mekanisme yang dibutuhkan bayi untuk mengenali “serangan” dan menstimulasi kekebalan tubuh agar bisa memberi respons yang tepat (Morelli, 2008). Pada bayi yang dilahirkan secara seksio cesaria mengalami pajanan antigen mikroba yang kurang dibandingkan bayi yang lahir per vaginam sehingga respon imun Th1 tidak dapat menyeimbangkan kecendrungan produksi Th2 pada neonatus. Jika hal ini terus berlangsung maka akan menyebabkan penyakit alergi (Gondokaryono, 2009).

3. Laktasi

Bayi yang mendapat ASI mempunyai perbedaan dengan yang tidak mendapatkan ASI terhadap kejadian dermatitis atopik. Makin panjang waktu mendapat ASI makin kecil kemungkinan untuk mendapat dermatitis atopik

(Soebaryo, 2004). Hal tersebut perlu dicermati karena dalam ASI terdapat bakteri komensal yang berfungsi untuk menstimulasi daya tahan tubuh, membantu pematangan imunitas, serta melindungi tubuh dari infeksi. Lactobacillus dan beberapa tipe Bifidobacterium adalah contoh bakteri komensal yang ditemukan pada ASI (Lara, 2007).

Sebuah penelitian menyimpulkan adanya perbedaan pada jumlah bakteri probiotik jenis Bifidobacteria antara bayi yang diberi ASI dan bayi yang diberi susu formula. Pada bayi yang diberi ASI, jumlah Bifidobacteria mendominasi hingga 70% dari total mikroflora saluran cerna saat bayi berusia 20 hari, sementara bayi yang diberi asupan susu formula hanya punya porsi Bifidobacteria sebanyak 30%. Jadi, saluran cerna bayi yang diberi ASI akan di dominasi oleh bakteri komensal (Harmsen dkk., 2000). Peningkatan jumlah Bifodobacteria pada kelompok ASI eksklusif disebabkan karena adanya faktor pertumbuhan khusus untuk Bifodobacteria (bifidogenic growth factor) di dalam ASI. ASI mengandung kappa casein yang terglikosilasi dalam jumlah besar di dalam protein ASI. Proses proteolisis dari komponen terminal C dari kappa casein merepresentasikan sebuah faktor pertumbuhan yang spesifik untuk Bifodobacteria. Senyawa bifidogenik lainnya yang juga ditemukan di dalam ASI adalah mono oligosakarida, fruktosa dan karbohidrat lainnya disamping laktosa. Namun, faktor pertumbuhan yang lebih spesifik yang dapat mempengaruhi pertumbuhan Bifidobacteria pada usus bayi yang diberi ASI adalah kadar protein dan fosfor yang rendah serta konsentrasi laktosa yang tinggi dalam ASI. Faktor-faktor ini bertanggungjawab terhadap penurunan kapasitas buffer ASI ini sehingga mampu meningkatkan

13

pertumbuhan Bifidobacteria, yang nantinya, dapat menjaga keasaman relatif dari lumen usus dengan produksi asam asetat dan asam laktat (Arimbawa dkk., 2007).

Sebagian peneliti lain masih berpendapat bahwa keberadaan bakteri di dalam ASI merupakan kontaminasi dari lingkungan sekitar saat ASI berpindah dari tubuh ibu ke tubuh bayi. Terakhir, sebuah penelitian menyimpulkan adanya bakteri alami pada ASI yang berpindah dari usus ibu ke payudara. Proses translokasi bakteri dari saluran cerna ke kelenjar limpa atau ke payudara itu merupakan proses fisiologis unik yang terjadi pada akhir kehamilan dan saat menyusui (Perez dkk., 2007).

4. Pengenalan makanan padat terlalu dini

Pengenalan makanan padat yang terlalu dini (sebelum 4 bulan), akan meningkatkan kejadian dermatitis atopik sebesar 1,6 kali. Sensitisasi umumnya terjadi terhadap alergen makanan, terutama susu sapi, telur, kacang-kacangan dan gandum (Ferguson, 1990; Soebaryo, 2004).

5. Jumlah anggota keluarga

Kejadian dermatitis atopik berbanding terbalik dengan banyaknya jumlah anggota keluarga. Hal tersebut juga dapat diterangkan dengan teori higiene yaitu terjadinya infeksi pada anggota muda keluarga yang ditularkan oleh anggota kelurga yang lebih tua (Soerbaryo, 2004).

6. Sosioekonomi

Pada status sosial yang tinggi akan didapatkan prevalensi dermatitis atopik yang lebih tinggi dibandingkan dengan status sosial yang lebih rendah. Hal tersebut dapat diterangkan semakin tinggi status sosialnya, pajanan terhadap

antigen mikroba akan berkurang sehingga stimulasi sistem imun juga akan berkurang (Flohr, 2005; Gondokaryono, 2009).

7. Polusi lingkungan

Pada daerah industri dengan peningkatan polusi udara, pemakaian pemanas ruangan sehingga terjadi peningkatan suhu dan penurunan kelembaban udara, asap rokok, penggunaan pendingin ruangan yang berpengaruh pula pada kelembaban, penggunaan sampo dan sabun yang berlebihan dan deterjen yang tidak dibilas dengan sempurna (Soebaryo, 2004).

2.1.5 Patogenesis

Berbagai faktor turut berperan dalam patogenesis dermatitis atopik. Luasnya spektrum tampilan klinis dermatitis atopik tidak dapat diterangkan hanya dengan abnormalitas imunologik saja, perlu juga peran faktor lainnya, misalnya disfungsi sawar kulit. Terdapat kaitan antara dua faktor tersebut dalam manifestasi dermatitis atopik (Soebaryo, 2004).

1. Disfungsi sawar kulit

Pada penderita dermatitis atopik terjadi defek permeabilitas sawar kulit dan terjadi peningkatan trans-epidermal water loss sebesar 2-5 kali. Derajat defek tersebut sesuai dengan perjalanan penyakit (akut, subakut, kronik) dan derajat inflamasi di kulit. Adanya defek tersebut mengakibatkan kulit lebih rentan terhadap bahan iritan, karena penetrasi antigen atau hapten akan lebih mudah. Pajanan ulang dengan antigen akan menyebabkan toleransi dan hipersensitivitas sehingga terjadi peningkatan reaksi inflamasi. Selanjutnya terjadi peningkatan

15

proses abnormalitas imunologik yang akan memacu penurunan fungsi sawar kulit. Proses tersebut merupakan suatu lingkaran tanpa putus dan merupakan bagian yang penting pada patogenesis dermatitis atopik (Leung dkk., 2004; Soebaryo, 2004; Baratawidjaja, 2009).

2. Imunopatologi

Faktor imunologik merupakan salah satu faktor yang berperan pada dermatitis atopik. Di dalam kompartemen dermo-epidermal kulit dapat berlangsung respon imun yang melibatkan sel langerhans (SL) epidermis, limfosit, eosinofil dan sel mast. Bila suatu antigen (bisa berupa alergen hirup, alergen makanan, autoantigen ataupun super antigen) terpajan ke kulit individu dengan kecenderungan atopi, maka antigen tersebut akan ditangkap oleh antibodi IgE yang ada pada permukaan sel mast atau Ig E yang ada di membran SL epidermis (Baratawidjaja, 2009).

Sel langerhans epidermis dan sel dendritik dermis sebagai antigen presenting cell (APC) pada dermatitis atopik dapat mengaktifkan sel T alergen spesifik melalui antibodi Ig E alergen spesifik yang terikat pada reseptor FcεRI, FcεRII dan IgE-binding protein. Antigen yang ditangkap IgE pada SL bermigrasi melalui dermis ke saluran limfe dan kelenjar getah bening regional (regio parakortikal). Antigen tersebut diproses bekerjasama dengan major histocompatibility complex (MHC) II akan dipresentasikan untuk mengaktifkan sel Tnaive yang mengakibatkan reaksi berkesinambungan terhadap sel T di kulit dan akan terjadi diferensiasi sel T pada tahap awal aktivasi yang menentukan perkembangan sel T ke arah Th1 atau Th2. Peningkatan jumlah limfosit T terlihat

pada semua individu atopik bila dibandingkan dengan individu non atopik. Dengan adanya glikoprotein permukaan, sel T akan terekspresi secara berbeda pada proses pematangan dan menentukan fenotip sel T. Terdapat dua fenotip yaitu sel T helper/regulatory CD4+ dan sel T cytotoxic/ supressor CD8+. Infiltrat mononuklear pada lesi dermatitis atopik terutama terdiri atas sel T CD4+ dan sedikit sel T CD8+ (Moreno, 2000; Leung, 2004)

Pada saat pajanan alergen, lingkungan sitokin berperan penting pada perubahan Sel T helper menjadi sel Th1 atau Th2. Sel Th 1 dipicu oleh interleukin (IL)-12 yang diproduksi oleh makrofage dan sel dendritik. Perkembangan sel T menjadi sel Th2 dipacu oleh IL-10 dan Prostaglandin (PG) E. Sel Th1 akan mengeluarkan sitokin interferon (IFN)- , Tumor Necrosis Factor (TNF), IL-2 dan IL-17, sedangkan sel Th2 memproduksi IL-3, IL-4, IL-5, IL-6, IL-10 dan IL-13. Interleukin 4, IL-5 dan IL-13 menyebabkan peningkatan level Ig E dan eosinofil serta menginduksi molekul adesi yang terlibat pada migrasi sel inflamasi ke lesi kulit (Moreno, 2000; Endaryanto dkk, 2007).

Pola ekspresi lokal sitokin berperan penting pada terjadinya inflamasi di jaringan setempat. Pada dermatitis atopik pola tersebut bergantung pada usia lesi kulit. Pada kulit non lesi atau lesi akut dermatitis atopik, sel T mengekspresikan peningkatan jumlah IL-4, IL-5, dan IL-13, namun sedikit INF- . Interleukin-4 menghambat produksi INF- dan menekan diferensiasi ke arah sel Th1 sehingga lingkungan tersebut cenderung memicu perkembangan ke arah sel Th2 (Moreno, 2000; Soebaryo, 2009). Pada dermatitis atopik akut ini akan mengeluarkan sitokin Th2 yang akan menginduksi respon lokal Ig E untuk menarik sel-sel inflamasi

17

(limfosit dan eosinofil) sehingga menyebabkan terjadinya peningkatan dan pengeluaran dari molekul adhesi. Pada lesi kronik terjadi perubahan pola sitokin. Pada dermatitis atopik yang kronis akan terjadi peningkatan kadar INF- , IL-12, IL-5, dan granulocyte monocyte colony stimulating factor (GM-CSF). Interferon-yang merupakan sitokin Th1 akan diproduksi lebih banyak sedangkan kadar IL-5 dan IL-13 masih tetap tinggi. Interferon- dan IL-12 akan memicu terjadinya infiltrasi dari limfosit dan makrofag. Lesi kronik berhubungan dengan hiperplasia epidermis. Interferon- dan GM-CSF mampu menginduksi sel basal untuk berproliferasi menghasilkan pertumbuhan keratinosit epidermis (Beiber, 2008).

Kelainan imunologi yang utama pada dermatitis atopik berupa pembentukan Ig E yang berlebihan. Antigen yang terikat dengan Ig E yang terdapat pada permukaan sel mast akan menyebabkan pelepasan beberapa mediator kimia antara lain histamin yang berakibat rasa gatal dan kemerahan kulit. Pelepasan mediator tersebut terjadi 15-60 menit setelah pajanan dan sering disebut reaksi fase cepat (early phase reaction). Tiga sampai empat jam setelah reaksi fase awal akan terjadi reaksi fase lambat (late phase reaction). Reaksi ini terjadi ekspresi adhesi molekul pada dinding pembuluh darah yang diikuti tertariknya eosinofil, limfosit, monosit pada area radang. Mekanisme ini terjadi karena peningkatan aktifitas Th2 untuk memproduksi IL-3, IL-4, IL-5, IL-13, GM-CSF yang menyebabkan eosinofil, merangsang sel limfosit B membentuk IgE dan meningkatkan pertumbuhan dan perkembangan sel mast, tetapi tidak terjadi peningkatan Th1 (Gambar 2.1) (Soebaryo, 2009).

Gambar 2.1 Patogenesis dermatitis atopik (Spergel and Schneider, 1999)

Dokumen terkait