• Tidak ada hasil yang ditemukan

TINJAUAN PUSTAKA

IV. Diabetes Gestasional

2.1.4. Faktor Risiko

Menurut Suyono (2007), DM di Indonesia akan terus meningkat disebabkan beberapa faktor antara lain :

a. Faktor keturunan (genetik)

b. Faktor kegemukan atau obesitas (IMT > 25 kg/m2 )

- Perubahan gaya hidup dari tradisional ke gaya hidup barat - Makan berlebihan - Hidup santai, kurang gerak badan c. Faktor demografi

- Jumlah penduduk meningkat – Urbanisasi - Penduduk berumur di atas 40 tahun meningkat d. Kurang gizi (Mendrofa, 2011).

2.1.5. Patogenesis

Pada DM tipe 1 atau lebih dikenal dengan nama Insulin Dependent Diabetes Mellitus (IDDM), terjadi karena kerusakan sel β pankreas (reaksi

autoimun). Sel β pankreas merupakan satu-satunya sel tubuh yang menghasilkan

insulin yang berfungsi untuk mengatur kadar glukosa dalam tubuh. Autoimun merupakan salah satu penyebab tersering dari DM, dan sebagian kecil disebabkan oleh non autoimun. Proses autoimun biasanya dipicu oleh suatu infeksi atau stimulus lingkungan. Akibat dari proses autoimun tersebut hampir tidak terdapat insulin dalam sirkulasi darah, glukagon plasma plasma meningkat dan sel-sel β pancreas gagal merespons peningkatan glukosa dalam darah. Sering sekali dijumpai kondisi ketoasidosis pada pasien penderita DM tipe 1. Oleh karena itu pemberian insulin penting untuk memperbaiki dalam penatalaksanaan DM tipe 1. Bila telah terjadi kerusakan lebih dari 80% pada sel β pankreas maka gejala DM akan muncul, yang biasanya terjadi lebih cepat pada anak-anak dibandingkan orang dewasa (Kardika et al, 2013).

Pada saat terjadinya diabetes melitus tergantung insulin, sebagian besar sel

β pankreas sudah rusak hampir pasti karena autoimun. Ada beberapa serangkaian

kondisi yang setidaknya dimiliki penderita yang berperan dalam munculnya penyakit ini, yaitu : 1) Harus ada kerentanan genetik terhadap penyakit ini. 2) Keadaan lingkungan biasanya memicu proses ini pada individu yang memiliki kerentanan genetik. Infeksi virus juga diyakini sebagai suatu pemicu, meskipun ada agen noninfeksius yang dapat berperan didalamnya. 3) Peradangan pankreas yang disebut insulitis. Biasanya ditemukan sel monosit/makrofag dan limfosit T teraktivasi yang menginfiltrasi sel-sel pulau langerhans. 4) Perubahan atau

transformasi sel β sehingga dikenali sebagai sel asing oleh sel imun. 5)

Selanjutnya adalah perkembangan respon imun. Karena sel β pankreas dikenali

tubuh oleh sel asing, sehingga terjadi respon imun yang akan menghancurkan sel

β pankreas melalui pembentukan antibodi anti sitotoksik dan bekerja sama dengan

sel imun seluler. Terkadang DM tipe satu dapat berkembang melalui pengaruh lingkungan saja, contohnya pada peminum vacor (racun tikus) atau DM tipe satu juga dapat berkembang tanpa melalui pengaruh lingkungan misalnya pada genetik murni. Namun urutan patogenetiknya biasanya adalah predisposisi genetik – pengaruh lingkungan – insulitis – perubahan sel beta menjadi sel asing – aktivasi sistem imun – pengerusakan sel beta – diabetes melitus (Foster, 2000).

DM tipe 2 memiliki ciri-ciri berupa defek pada sekresi dan resistensi dari insulin, yang kemungkinan keduanya turut berperan dalam munculnya manifestasi klinis, karena individu dengan obesitas dan resistensi insulin yang nyata dapat mempunyai toleransi glukosa yang normal. Mungkin individu ini tidak mempunyai lesi sel β. Hal ini menunjukkan bahwa defek utama terletak pada sel penghasil insulin. Massa sel β intak pada DM tipe 2, yang berlawanan dengan DM tipe 1, namun jumlah sel α mengalami peningkatan sehingga rasio glukagon dibanding insulin meningkat. Hal ini juga yang mendukung keadaan hiperglikemik pada DM tipe 2 (Foster, 2000).

Meskipun resistensi insulin pada DM tipe 2 disertai penurunan jumlah reseptor insulin, sebagian besar resistensi insulin adalah tipe pasca reseptor. Sudah lama diketahui bahwa terdapat endapan amiloid ( peptida asam amino 37 yang

disekresi bersama dengan insulin) di pankreas pada DM tipe 2 yang merupakan suatu pertanda bahwa terjadi peningkatan produksi insulin akibat resistensi. Penelitian pada hewan menunjukkan ada pengaruh amilin (bentuk jamak: amiloid) terhadap resistensi insulin, namun kesimpulan amilin dapat menyebabkan resistensi insulin masih belum dapat disimpulkan (Foster, 2000).

Tanpa memandang mekanisme resistensi insulin, konsekuensi fisiologisnya masih belum jelas. Tidak ada kelainan utama baik pada ambilan glukosa oleh sel atau metabolisme oksidatif menjadi CO2, air dan laktat. Blok metabolik utama terjadi pada sintesis glikogen (metabolisme nonoksidatif). Metabolisme nonoksidatif glukosa yang terganggu, seperti pada hiperinsulinemia dan resistensi insulin, dapat terlihat pada individu nonobes, relatif normoglikemik dengan DM tipe 2 (Foster, 2000).

DM tipe 2 mempunyai onset usia diatas 40-an tahun, atau lebih tua, dan biasanya tidak menunjukkan gejala ketoasidosis. Kebanyakan penderita memiliki berat badan berlebih (overwheight). Atas dasar inilah maka penderita dibagi menjadi 2 kelompok yaitu : (1) kelompok obes dan (2) kelompok non-obes. Kemungkinan menderita DM tipe 2 menjadi meningkat berkali-kali lipat jika berat badan bertambah sebanyak 20% dari berat badan ideal dan usia meningkat 10 tahun atau diatas 40 tahun (Mendrofa, 2012).

Gejala muncul secara perlahan dan biasanya ringan (bahkan terkadang membutuhkan waktu bertahun-tahun untuk muncul) serta progresivitas gejala berjalan lambat. Ketoasidosis biasanya tidak muncul, kecuali pada kasus tertentu yang disertai stress atau infeksi. Kadar insulin menurun atau bahkan tinggi, namun tidak bekerja efektif (Arisman dalam Mendrofa, 2012).

2.1.6. Fisiologi dan Patofisiologi 2.1.6.1. Struktur kimia insulin

Insulin merupakan protein kecil dengan berat molekul sebesar 5808 yang di produksi dari organ pankreas pada manusia. Insulin tersusun oleh 51 asam amino yang terdiri dari rantai A dan rantai B serta dihubungkan dengan jembatan disulfida. Proses pembentukan insulin dimulai dari sintesis proinsulin dari

retikulum endoplasma kasar, kemudian diangkut kedalam aparatus golgi dan dikemas dalam granula-granula tempat dimana proinsulin akan dihidrolisis menjadi insulin dan suatu peptida-C dengan menghilangkan empat asam amino penghubung (Nolte, 2007).

Insulin dan peptida-C disekresikan dalam jumlah yang ekuimolar sebagai respon terhadap semua agan perangsang insulin bersama sebagian proinsulin yang tidak terhidrolisis. Proinsulin diduga memiliki efek hipoglikemik, tetapi belum diketahui apakah protein-C memiliki efek fisiologis. Granula di dalam sel B meyimpan insulin dalam bentuk kristal yang mengandung dua atom seng dan enam molekul insulin. Secara keseluruhan manusia menyimpan sebanyak 8 mg insulin, atau sekitar 200 unit biologis (Nolte, 2007).

2.1.6.2. Sekresi insulin

Insulin disekresikan dari sel B pankreas dengan laju basal yang rendah dan laju basal yang rendah dan dengan laju yang jauh lebih tinggi bila terstimulasi dengan berbagai rangsangan, khususnya glukosa. Stimulan lain yang juga dikenal seperti gula (misalnya, manosa), asam amino tertentu (misalnya, leusin, arginin), dan aktivitas nervus vagus. Dalam gambar di bawah diperlhatkan bahwa hiperglikemia menyebabkan peningkatan kadar ATP intrasel yang akan menutup kanal kalium sehingga terjadilah suatu depolarisasi. Depolarisasi tersebut akan membuka kanal kalsium. Efluks kalsium intrasel akan mencetuskan eksositasi dari insulin (Nolte, 2007).

2.1.6.3.Insulin dalam sirkulasi

Kadar insulin basal pada manusia adalah 5-15 µU/mL (30-90 pmol/L), dengan kadar puncak sekitar 60-90 µU/mL (360-540 pmol/L) pada waktu makan (Nolte, 2007).

2.1.6.4. Reseptor insulin

Setelah beredar di sirkulasi, insulin kemudian berdifusi dalam jaringan dan berikatan pada reseptor khusus pada membran jaringan, seperti pada hati, otot, dan jaringan adiposa. Reseptor tersebut mengandung dua heterodimer yang terikat secara kovalen, dan masing-masing mengandung subunit α yang merupakan daerah pengenal dan seluruhnya terdapat di luar membran, serta subunit β yang menembus ketebalan membran sel. Subunit β mengandung protein kinase yang akan aktif setelah serangkaian proses mulai dari pengikatan insulin pada subunit α, hingga terjadilah suatu konformasi yang mendekatkan lengkung katalitik

subunit β sitoplasmik yang berhadapan. Hal tersebut kemudian memfasilitasi

fosforlisasi timbal balik residu tirosin pada subunit β dan aktifitas tirosin kinase kemudian diarahkan pada protein sitoplasma (Martha, 2007).

Protein plasma yang difosforilasi oleh reseptor tirosin kinase aktif adalah docking protein, yaitu substrat reseptor insulin-1 sampai -6. Setelah fosforilasi tirosin terjadi di sejumlah tempat kritis , molekul IRS berikatan dan mengaktifkan kinase lain yang terpenting adalah fosfatidilinositol-3 kinase yang menimbulkan fosforilasi lebih lanjut atau berikatan pada suatu protein adaptor seperti protein pengikat reseptor faktor pertumbuhan-2, yang mentranslasikan sinyal insulin menjadi suatu faktor pelepas nukleotida guanin hingga akhirnya mengaktifkan protein ras pengikat GTP, dan sistem protein kinase yang teraktifkan-mitogen (MAPK). Tirosin kinase tertentu yang terfosforilasi IRS memiliki spesifisitas pengikatan dengan molekul hilir berdasarkan motif atau sekuens 4-5 asam amino di sekitar-nya yang mengenali domain src homolog 2 yang spesifik pada protein lain. Jaringan fosforilasi ini dalam sel merupakan perantara kedua insulin dan menimbulkan berbagai efek, termasuk tranlokasi transporter glukosa (terutama GLUT-4) ke membran sel sehingga menyebabkan peningkatan ambilan glukosa, peningkatan aktifitas glikogen sintase dan peningkatan pembentukan glikogen, berbagai efek terhadap sintesis protein, lipolisis, dan lipogenesis, dan aktivasi faktor transkripsi yang memacu sintesis DNA dan pembelahan serta pertumbuhan sel. Jalur IRS-2 berkaitan dengan mitogenesis dan proliferasi sel (Nolte, 2007).

Beberapa agen hormonal tertentu seperti glukokortikoid dapat menurunkan afinitas insulin terhadap reseptornya. Namun, kelebihan hormon pertumbuhan meningkatkan sedikit afinitas insulin terhadap reseptornya. Penyimpangan pada fosforilasi serin dan treonin dalam subunit β reseptor insulin atau molekul IRS dapat menimbulkan resistensi insulin dan penekanan (down regulation) reseptor fungsionalnya (Nolte, 2007).

2.1.6.5. Efek insulin terhadap targetnya

Insulin berperan penting pada proses biologis tubuh terutama fungsinya dalam meningkatkan simpanan lemak dan glukosa dan mempengaruhi pertumbuhan sel serta fungsi metabolik berbagai jaringan (Sherwood, 2009).

Insulin menimbulkan beberapa efek dalam penanganan glukosa, diantaranya ialah : 1) Insulin mempermudah transpor glukosa dari luar ke dalam sel; 2) Insulin merangsang pembentukan glikogen dari glukosa (glikogenesis) di

otot rangka dan hati; 3) Insulin menghambat penguraian glikogen menjadi glukosa (glikogenolisis), maka insulin cenderung bertindak dalam mempertahankan cadangan karbohidrat; 4) Insulin menurunkan pengeluaran glukosa dari hati dengan menghambat glukoneogenesis, perubahan asam amino menjadi glukosa. Karena itu insulin mengurangi kadar glukosa dari darah dengan mendorong penyerapan glukosa oleh sel (Sherwood, 2009).

Zat-zat lain yang mempengaruhi pengeluaran insulin dari pankreas adalah asam amino, asam lemak bebas, badan keton, glukagon, sekretin, dan obat sulfonilurea tolbutamid dan gliburid yang diresepkan pada penderita DM tipe 2, obat ini bekerja dengan menghambat kanal k+ yang peka terhadap atp (Bender, 2009).

Secara sederhana efek insulin pada lemak bersifat anabolik, yaitu menyerap lemak dari darah dan merangsang pembentukan trigliserida, serta menghambat penguraian lemak (lipolisis). Hal ini juga sama pada protein, insulin juga bersifat anabolik seperti merangsang penyerapan asam amino dari darah ke dalam sel, merangsang pembentukan protein dari asam amino, dan menghambat penguraian protein (Sherwood, 2009).

Dilihat dari lingkup kerjanya, GLUT-4 merupakan satu-satunya jenis pengangkut jenis pengangkut glukosa yang berespons terhadap insulin. GLUT-4 akan dikeluarkan dari membran jika terdapat insulin, berbeda dengan jenis GLUT lainya. Sel-sel yang bergantung dengan insulin akan mempertahankan insulin dalam vesikel-vesikel intrasel dan akan disisipkan ke membran jika dibutuhkan. Sehingga peningkatan sekresi insulin akan meyebabkan penyerapan glukosa 10 sampai 30 kali lipat oleh sel-sel dependen insulin (Sherwood, 2009).

Beberapa jaringan tidak bergantung pada insulin untuk menyerap glukosa, yaitu otak yang membutuhkan glukosa setiap saat sebagai sumber energi dan bersifat permeabel bebas terhadap glukosa dengan molekul 1 dan GLUT-3. Selain otak, otot yang sedang dalam kondisi aktif beraktivitas juga tidak membutuhkan insulin dalam penyerapan glukosa, dikarenakan kontraksi otot secara langsung menyebabkan penyisipan GLUT-4 pada membran (Sherwood, 2009).

Hati atau hepar juga tidak membutuhkan GLUT-4 dalam penyerapan glukosa, namun hepar merupakan suatu organ yang penting dalam pengaturan homeostasis glukosa tubuh. Insulin dalam hal ini dapat meningkatkan metabolisme glukosa. Peninggian kadar glukosa darah puasa, lebih ditentukan oleh peningkatan produksi glukosa endogen yang berasal dari proses glukoneogenesis dan glikogenolisis di jaringan hepar. Dalam hal ini, insulin berperan menginhibisi proses pembentukan glukosa endogen yang berlebihan. Semakin tinggi tingkat resistensi insulin, semakin rendah kemampuan inhibisinya terhadap proses glikogenolisis dan glukoneogenesis, dan semakin tinggi tingkat produksi glukosa dari hepar (Manaf, 2006).

2.1.6.6. Patofisiologi Diabetes Melitus

Pada diabetes mellitus, defisiensi atau resistensi hormon insulin menyebabkan kadar gula darah menjadi tinggi akibat menurunnya ambilan glukosa oleh jaringan otot dan adiposa serta peningkatan pengeluaran glukosa oleh hati. Dikarenakan sifat glukosa yang dapat menarik cairan, maka penderita cenderung untuk lebih banyak buang air kecil (poliuri). Hal ini kemudian mengakibatkan dehidrasi akibat air dibuang dalam jumlah banyak, sehingga menyebabkan rasa haus dan selalu ingin minum (polidipsia). Dikarenakan sel jaringan tidak pernah atau kurang mendapatkan suplai glukosa dari luar, maka volume dan masa sel-sel tubuh menjadi menyusut serta mengirimkan sinyal terus ke otak untuk merangsang pusat lapar, dan menyebabkan penderita cenderung untuk makan terus-menerus (polifagi) ( Arsono, 2005).

Defisiensi insulin dapat terjadi melalui 3 jalan, yaitu : 1) rusaknya sel-sel β pankreas karena pengaruh tertentu dari luar (virus, zat kimia tertentu, dll) ataupun dari dalam (autoimmune); 2) Desensitasi reseptor glukosa pada kelenjar pankreas; 3) Desensitasi atau kerusakan reseptor insulin (down regulation) di jaringan perifer (Arsono, 2005).

Pasien NIDDM (Non Insulin Dependent Diabetes Melitus) atau lebih dikenal dengan DM tipe 2 mempunyai 2 defek fisiologik, sekresi insulin abnormal dan resistensi insulin pada sel target jaringan. Abnormalitas utama tidak diketahui (mungkin keduanya). Secara deskriptif 3 fase utama dapat dikenali pada urutan

klinis yang biasa. Pertama, glukosa plasma tetap normal meskipun terlihat resistensi insulin meskipun kadar insulin meningkat. Pada fase kedua resistensi insulin cenderung memburuk, ditandai dengan intoleransi glukosa dalam bentuk hiperglikemia setelah makan meskipun konsentrasi insulin meningkat setelah makan. Pada fase ketiga, resistensi insulin tidak berubah, tetapi sekresi insulin menurun, menyebabkan hiperglikemia puasa dan diabetes yang nyata. Berdasarkan penemuan Foster (2000) resistensi insulin adalah hal yang pertama muncul yang kemudian diikuti respon tubuh untuk mensekresikan lebih banyak insulin sebagai respon terhadap resistensi sehingga muncul kondisi hiperinsulinemia. Namun hiperinsulinemia (dan kemungkinan amilin) itu sendiri dapat menyebabkan resistensi insulin. Hipotesis yang dijelaskan melibatkan sintesis lemak terstimulasi insulin dalam hati dengan transpor lemak (melalui lipoprotein kepadatan sangat rendah / VLDL) menyebabkan penyimpanan lemak sekunder dalam otot. Peningkatan oksidasi lemak akan mengganggu pengambilan glukosa dan sintesis glikogen. Penurunan pelepasan insulin yang terlambat dapat disebabkan oleh efek toksik glukosa terhadap pulau langerhans atau secara langsung melalui efek genetik yang mendasari. Sebagian besar pasien NIDDM adalah obes, dan diyakini obesitas itu sendiri menyebabkan resistensi insulin. Namun penderita NIDDM yang tidak obese dapat mengalami hipersekresi insulin dan pengurangan kepekaan insulin sehingga dibuktikan bahwa obesitas itu sendiri bukan merupakan satu-satunya penyebab resistensi insulin (Foster, 2000).

Pada kehamilan terjadi resistensi insulin fisiologis akibat peningkatan hormon-hormon kehamilan (human placental lactogen/HPL, progesterone, kortisol, prolaktin) yang mencapai puncaknya pada trimester ketiga kehamilan. Tidak jauh berbeda dengan patofisiologi DM tipe 2 , pada DMG juga terjadi gangguan sekresi insulin oleh sel β pankreas yaitu berupa : 1) autoimun, 2) kelainan genetik, dan 3) resistensi insulin kronik. Xiang mengungkapkan dalam studinya bahwa para wanita yang memiliki DMG mengalami gangguan

kompensasi produksi oleh sel β pankreas sebesar 67% dibanding wanita dengan

(1,6%-3,8%), dan sekitar 5% dari populasi DMG diketahui memiliki defek sel β seperti mutasi pada glukokinase (Adam, 2009).

Resistensi insulin selama kehamilan merupakan mekanisme adatif tubuh untuk menjaga asupan nutrisi ke janin (fisiologis). Sementara resistensi insulin kronik terjadi pada wanita yang memiliki obesitas. Wanita dengan DMG kebanyakan memiliki kedua jenis resistensi (fisiologis dan kronik) sehingga manifestasi klinisnya lebih berat dibandingkan kehamilan normal. Kondisi ini akan segera membaik segera setelah partus dan akan kembali normal setelah masa nifas, dimana konsentrasi HPL sudah menurun (Adam, 2009).

2.1.7. Diagnosis Diabetes Melitus

Berbagai keluhan dapat ditemukan pada penyandang DM. Kecurigaan adanya DM perlu dipikirkan apabila terdapat keluhan klasik DM, antara lain (PERKENI dalam Purnamasari, 2009).

a. Keluhan klasik DM berupa : poliuria, polifagia, dan penurunan berat badan yang tidak dijelaskan sebabnya.

b. Keluhan lain dapat berupa : lemah badan, kesemutan, gatal, mata kabur dan disfungsi ereksi pada laki-laki serta pruritus vulva pada perempuan.

Selain dengan keluhan, diagnosa DM harus ditegakkan berdasarkan pemeriksaan kadar glukosa darah dengan cara enzimatik dengan bahan darah plasma vena. Penggunaan bahan darah utuh (whole blood), vena ataupun kapiler sesuai kondisi dengan memperhatikan angka-angka kriteria diagnostik yang berbeda sesuai pembakuan WHO. Sedangkan untuk tujuan pemantauan hasil pengobatan dapat dilakukan dengan menggunakan pemeriksaan glukosa darah kapiler (PERKENI dalam Purnamasari, 2009).

Kadar Glukosa Darah Sewaktu dan Puasa Sebagai Patokaan Penyaring dan Diagnosis DM (mg/dl).

Tabel 2.2. Kriteria diagnosis DM (Purnamasari, 2009)

1. Gejala klasik DM + glukosa darah sewaktu ≥200 mg/dl (11,1 mmol/L)

Glukosa darah sewaktu merupakan hasil pemeriksaan sesaat pada suatu hari tanpa memperhatikan waktu makan terakhir

2. Atau, gejala klasik DM + glukosa plasma puasa ≥126 mg/dl (7,0 mmol/L) Puasa diartikan pasien tidak mendapat kalori dalam waktu sedikitnya 8 jam.

3. Glukosa plasma puasa 2 jam pada TTGO ≥ 200 mg/dl (11,1 mmol/L)

TTGO dilakukan dengan standar WHO, menggunakan beban standar yang setara dengan 75 gram glukosa anhidrus (mengandung 1 molekul air hidrat) yang dilarutkan kedalam air.

Tabel 2.3. diagnosis menurut ADA,

Diagnosis DM menurut ADA (2012) dapat ditegakkan melalui salah satu cara berikut,

1. HbA1c ≥6,5%. Tes ini harus dilakukan di laboratorium yang menggunakan metode bersertifikat serta sudah distandarisasi.

2. Glukosa plasma puasa (Fasting Plasma Glucose = FPG) ≥ 126 mg/dl (7,0 mmol/l). Puasa didefinisikan sebagai tidak adanya asupan kalori selama minimal 8 jam.

3. Glukosa plasma 2 jam ≥ 200 mg/dl (11.1mmol/l) selama tes toleransi

glukosa oral (TTGO). Tes harus dilakukan seperti yang dijelaskan oleh WHO yaitu menggunakan glukosa dengan beban 75 g dilarutkan dalam air.

4. Pada pasien dengan gejala klasik hiperglikemia atau krisis hiperglikemia, plasma acak glukosa ≥200 mg/dl (11,1 mmol/l) (ADA, 2014).

2.1.8. Komplikasi Diabetes Melitus 2.1.8.1. Komplikasi Akut

Komplikasi akut yang sering dialami penderita DM adalah kontrol gula darah, yaitu berupa hiperglikemia/ketoasidosis dan hipoglikemia. Apabila kadar insulin sangat menurun pasien mengalami hiperglikemia dan glukosuria berat penurunan lipogenesis, peningkatan lipolisis dan peningkatan oksidasi asam lemak bebas disertai pembentukan badan keton (asetoasetat, hidroksibutirat, dan aseton) yang dapat menurunkan pH darah sehingga terjadilah asidosis. Asidosis merupakan kondisi yang berbahaya, dan bila tidak segera ditolong dapat menyebabkan koma dan kematian. Selain itu glikosuria dan ketonuria yang jelas dapat mengakibatkan diuresis osmotik dengan hasil akhir kehilangan dehidrasi dan kehilangan elektrolit. Hal ini dapat menyebabkan hipotensi dan syok (jarang terjadi), yang juga dapat mneyebabkan penderita koma dan meninggal (Schteingart, 2002).

Hiperglikemia, hiperosmolar, koma nekrotik (HHNK) merupakan komplikasi akut lain yang sering terjadi pada penderita DM tipe 2 usia lanjut. Bukan karena defisiensi absolut, tetapi relatif dan muncul tanpa ketosis. Hiperglikemia ditandai dengan kadar glukosa yang lebih dari 600 mg/dl. Kondisi ini menyebabkan hiperosmolaritas, diuresis osmotik, dan dehidrasi berat. Pasien dapat segera meninggal jika tidak ditolong, dan angka mortalitas sebesar 50%. Biasa dilakukan penanganan berupa terapi cairan pengganti beserta elektrolit dan insulin regular (Schteingart, 2002).

Komplikasi lain yang dapat timbul adalah hipoglikemia. Merupakan komplikasi dari terapi insulin. Biasa terjadi pada penderita DM tipe 1 yang pada suatu kondisi menerima insulin dalam jumlah besar, atau pada pasien yang lupa untuk menyantap makanannya setelah menginjeksikan insulin yang dibutuhkan untuk mempertahankan glukosa normal yang berakibat pada hipoglikemik. Gejala-gejala yang timbul disebabkan pelepasan epinefrin (berkeringat, tremor, sakit kepala, dan takikardi), juga akibat kekurangan glukosa di otak timbul tingkah laku aneh, sensorium yang menurun, dan koma. Kondisi ini juga sangat

berbahaya karena dapat menyebabkan kerusakan otak permanen bahkan kematian (Schteingart, 2002).

2.1.8.2. Komplikasi kronik

Komplikasi kronik diabetes melitus terutama disebabkan gangguan integritas pembuluh darah, yaitu penyakit mikrovaskuler dan makrovaskuler dan biasanya berkaitan dengan perubahan metabolik seperti hiperglikemia. Tiga kelainan patogenesis yang berhubungan dengan komplikasi kronik diabetes melitus adalah : glikosilasi non enzimatik, perubahan glukosa pada jalur poliol, dan aktivasi protein kinase C. Kerusakan vaskuler merupakan gejala yang khas bagi DM, dikenal dengan nama angiopati diabetika. Makroangiopati (kerusakan makrovaskuler) biasanya muncul sebagai gejala klinik berupa penyakit jantung iskemik dan pembuluh darah perifer. Adapun mikroangiopati (kerusakan mikrovaskuler) memberikan manifestasi berupa retinopati, nefropati, dan neuropati (Arsono, 2005).

Dokumen terkait