• Tidak ada hasil yang ditemukan

TINJAUAN PUSTAKA

IV. Diabetes Gestasional

2.2. Penyakit Ginjal Kronik

2.2.1. Definisi dan Klasifikasi Penyakit Ginjal Kronik

Berdasarkan panduan dari KDOQI (Kidney Disease Outcomes Quality Initiative) tahun 2002, penyakit ginjal kronik didefinisikan sebagai kerusakan ginjal atau penurunan Glomerulal Filtration Rate (GFR) kurang dari 60 mL/min/1.73 m² selama lebih dari 3 bulan. Gagal ginjal merupakan kelainan patologis pada ginjal, yang ditandai dengan abnormalitas pada darah dan urin pada hasil lab. Hal serupa juga dikemukakan oleh lee pada 2015 lalu, yaitu dengan tambahan albuminuria lebih dari 30 mg/24 jam.

Penyakit ginjal diklasifikasikan menjadi akut atau kronik tergantung dari cepat atau lambatnya onset terjadinya penyakit berikut onset munculnya azotemia. Penelitian mengenai onset akut atau kronik penyakit ginjal penting untuk dilakukan, agar memudahkan memahami adaptasi fisiologi tubuh, mekanisme penyakit, dan bagaimana penatalaksanaannya. Tetapi pada kenyataannya cukup sulit menentukan durasi penyakit pada penderita karena progresivitas penyakit sering tidak terdiagnosa, dan gejala baru muncul jika kerusakan sudah mencapai

75%. Riwayat pasien seperti hypertensi, diabetes, tampilan ginjal yang mengecil pada foto polos mungkin dapat membantu mengindikasikan penyakit. Penyakit ginjal dapat mengarah pada kerusakan yang irreversibel (william, 2008).

Tabel 2.4. Derajat keparahan penyakit ginjal berdasarkan GFR (KDOQI, 2002)

Klasifikasi penyakit telah dibuat berdasarkan derajat penurunan laju filtrasi glomerulus, yang akan disajikan pada tabel di atas.

2.2.2. Epidemiologi Gagal Ginjal

Di Amerika jumlah penderita penyakit gagal ginjal yang telah diobati dengan dialisis dan transplantasi meningkat dari 340.000 orang pada 1999, menjadi 651.000 orang pada tahun 2010 (Andrew et al, 2013).

Berdasarkan penelitian lain disebutkan bahwa angka insidensi gagal ginjal sekitar 330 kasus per 1 juta penduduk. 128.000 diantaranya diberi penatalaksanaan transplantasi ginjal, sisanya masih dengan dialisis. Kasus kejadian ini berkaitan dengan diabetes melitus (William, 2008).

Di indonesia sendiri menurut Habibie (2004) penderita gagal ginjal mencapai 4500 orang. Sedangkan menurut Iritanti (2004) dalam 1.000.000. penduduk, 20 orang mengalami gagal ginjal pertahunnya (Erwin dalam Dewi, 2010). stadium kelainan GFR (ML/min/1.73 m²) 1 Kerusakan ginjal kronis dengan GFR normal atau meningkat >90 2 Kehilangan GFR ringan 60-89 3 Kehilangan GFR sedang 30-59 4 Kehilangan GFR berat 15-29

2.2.3. Etiologi Gagal Ginjal Kronik

Berbagai jenis kelainan dapat memiliki hubungan dengan kejadian gagal ginjal. Bisa secara langsung menyebabkan kelainan atau primary renal process (glumerulonefritis, pyelonefritis, congenital hypoplasia), atau secara tidak langsung (secondary, misalnya berkaitan dengan sistemik sperti diabetes melitus, lupus erythematosus) dapat bertanggung jawab. Ketika muncul suatu injury atau kerusakan, sisa nefron yang masih normal bekerja lebih keras untuk mengatasi beban ginjal. Progresi dari penyakit akan terus berkembang hingga ke stadium selanjutnya. Ditambah lagi dengan jika penderita mengalami dehidrasi, infeksi suatu agen, hypertensi maupun diabetes, maka dapat dipastikan gagal ginjal akan semakin parah (William, 2008).

Meskipun memiliki banyak penyebab, gagal ginjal mirip satu dengan yang lain, dan jika didefinisikan secara sederhana adalah defisiensi jumlah total nefron yang berfungsi dan kombinasi gangguan yang tidak dapat ditelakkan lagi (Wilson, 2002).

Berikut disajikan tabel berupa etiologi PGK,

Tabel 2.5. Etiologi Penyakit Ginjal Kronik (Wilson, 2002). Klasifikasi Penyakit Penyakit

Penyakit Infeksi Tubulointersitial

Pielonefritis kronik atau refluks nefropati

Penyakit Peradangan Glomerulonefritis

Penyakit Vaskular Hipertensif

Nefrosklerosis benigna Nefrosklerosis maligna Stenosis arteri renalis Gangguan Jaringan Ikat Lupus eritematous sistematik

Gangguan Kongenital dan Herediter

Penyakit ginjal polikistik Asidosis tubulus ginjal

Penyakit Metabolik Diabetes melitus Gout

Hiperparatiroidisme Amiloidosis

Nefrotopati Toksik Penyalahgunaan analgesik nefropati timah

Nefropati Obstruktif Traktus urinarius bagian atas : batu, neoplasma, fibrosis,

retroparitoneal.

Traktus urinarius bagian bawah : hipertropi prostat, striktur uretra, anomali kongenital leher vesika

urinaria dan uretra.

2.2.4. Patogenesis Gagal Ginjal Kronik

Mekanisme tepat yang mengakibatkan kemunduran fungsi ginjal secara progresif masih belum jelas, tetapi faktor-faktor yang memainkan peran penting sudah diketahui, yang mencakup cidera immunologi yang berlangsung terus menerus sehingga menimbulkan radang glomerulus yang akhirnya menimbulkan jaringan parut (Bergstein, 2012).

Secara umum, perjalanan klinis gagal ginjal dibagi menjadi 3 stadium. Stadium pertama adalah penurunan cadangan ginjal, dengan kadar kreatinin serum dan urea masih normal, di sini penderita belum mengeluhkan apa-apa (asimptomatik). Tetapi jika diberikan beban kerja berat pada ginjal atau dengan penelitian GFR secara teliti, maka gangguan / kelainan mungkin dapat ditemukan (Wilson, 2002).

Stadium 2 di tandai dengan BUN dan kreatinin serum mulai meningkat di atas nilai normal. Jaringan ginjal yang mengalami kerusakan telah melebihi 75%

(nilai GFR 25% dari nilai normal). Azotemia biasanya masih ringan ( dengan pengecualian terhadap kondisi infeksi, dehidrasi, dan gagal jantung ). Insufisiensi ginjal pada stadium ini menyebabkan poliuria dan nokturia yang diakibatkan oleh gangguan pemekatan, namun penderita mungkin belum memperhatikan gejala ini. Nokturia didefinisikan sebagai pengeluaran urin pada malam hari sebanyak 700 ml, atau pasien terbangun sebanyak beberapa kali untuk buang air kecil pada malam hari. Poliuria adalah peningkatan urine yang terjadi secara terus menerus dan lebih dari 1500 ml per hari. Insufisiensi ginjal biasanya lebih besar pada penderita kelainan tubulus, sehingga pada gagal ginjal pada stadium ini tidak lebih dari 3 liter perhari (Wilson, 2002).

Stadium ketiga adalah stadium terakhir gagal ginjal (ESRD) dengan kerusakan nefron ginjal lebih dari 90%, atau kira-kira 200.000 nefron yang masih tersisa. GFR bernilai 10% dari normal dan bersihan kreatinin sekitar 5-10 ml per menit aau kurang. Nilai BUN dan kreatinin serum meningkat dengan sangat mencolok sebagai respon terhadap GFR yang sangat rendah. Gejala mungkin cukup parah karena ginjal tidak mampu lagi mempertahankan homeostasis cairan dan elektrolit dalam tubuh (asidosis metabolik, anuria, edema, hipertensi, retinopati, dsipnea, anemia hemolisis, mual muntah, dan lain-lain). Urin menjadi isoosmotis dengan plasma sehingga berat jenis tetap pada 1,010. Pasien menjadi oliguria (urin output kurang dari 500 ml per hari ) bahkan bisa menjadi anuria, dikarenakan kegagalan glomerulus memproduksi urin, meskipun penyakit mula-mula menyerang tubulus (Wilson, 2002).

Meskipun stadium penyakit dapat dibagi menjadi 3, namun tidak ada batas-batas yang jelas antara stadium tersebut. Bentuk hiperbolik grafik azotemia yang dihasilkan dengan membandingkannya dengan nilai GFR memperlihatkan bahwa penyakit ini berkembang secara perlahan-lahan, dan makin lama makin cepat (Wilson, 2002).

2.2.5. Patofisiologi Umum Gagal Ginjal Kronik.

Urutan peristiwa dalam patofisiologi gagal ginjal secara progresif secara umum dapat diuraikan dari segi hipotesis nefron yang utuh. Meskipun sudah

terjadi kerusakan nefron pada gagal ginjal, namun beban jumlah zat yang harus dikeluarkan untuk mempertahankan homeostasis adalah tidak berubah, sehingga sisa nefron yang ada bekerja dengan keras dan mengalami hipertrofi untuk menyelesaikan pekerjaannya. Terjadi hiperfiltrasi atau peningkatan daya dorong filtrasi sehubungan dengan dilatasi arteriola aferen dan vasokontriksi arteriola eferen akibat angiotensin II. Mekanisme kompensasi ini cukup efektif untuk mempertahankan keseimbangan homestasis cairan dan elektrolit hingga derajat tertentu sekaligus memelihara fungsi ginjal (Bergstein, 2012).

Gambar 2 dibawah memperlihatkan 6 dari 8 buah nefron yang hancur dan 2 sisanya mengalami hipertrofi (Wilson, 2002).

Gambar 2.3. 2 dari 8 nefron yang rusak mengalami hipertrofi (Wilson, 2002).

Mekanisme yang berpotensi merusak glomerulus ginjal adalah peningkatan langsung dari tekanan hidrostatik, hasilnya adalah keluarnya protein melewati dinding kapiler dan pada akhirnya kelainan ini menyebabkan perubahan pada sel mesengium dan epitel dengan perkembangan sklerosis glomerulus. Ketika sklerosis luas telah terjadi nefron sisanya akan menderita peningkatan

beban ekskresi, mengakibatkan lingkaran setan peningkatan aliran darah glomerulus dan hiperfiltrasi (Bergstein, 2012).

Jika kerusakan sudah mencapai sekitar 75% masa nefron maka beban kerja nefron yang demikian tinggi mengakibatkan ketidakseimbangan glomerulus-tubulus (keseimbangan laju filtrasi dan reabsorbsi glomerulus-tubulus) tidak dapat lagi dipertahankan. fleksibilitas baik pada ekresi maupun konservasi zat terlarut dan air menjadi berkurang. Dengan sedikit mengkonsumsi makanan dapat mengubah keseimbangan yang rawan tersebut, karena makin rendah GFR maka semakin besar perubahan kecepatan ekspresi per nefron dan selanjutnya hilangnya kemampuan nefron untuk memekatkan dan mengencerkan urine menyebabkan berat jenis urine tetap pada 1,010 atau 285 mOsm (sama dengan plasma) hal inilah yang kemudian menimbulkan poliuria dan nokturia. Perlu di ingat bahwa orang normal dapat memekatkan urinenya hingga 4 kali nilai plasma, sehingga urine nya menjadi lebih pekat dan secara otomatis air yang dikeluarkan pun lebih sedikit, hal itu juga bergantung dari apa yang dia makan. Sementara pada penderita gagal ginjal maka untuk mengeluarkan zat terlarut 600 mOsm (285 mOsm/L pada orang gagal ginjal) maka dia akan kehilangan air sebanyak 2 liter (Wilson, 2002).

Proteinuria menetap dan hipertensi sistemik karena sebab apapun dapat merusak dinding kapiler glomerulus secara langsung, mengakibatkan sklerosis glomerulus dan permulaan cidera hiperfiltrasi (Bergstein, 2012).

2.2.6. Diagnosa dan Temuan Klinis 2.2.6.1. Pemeriksaan fisik dan inspeksi

Pada penyakit ginjal kronik yang belum masuk stadium lanjut, dapat tanpa gejala (asimptomatik). Gejala yang muncul biasanya adalah pruritus, malaise, lassitude (lesu), confused, nausea, hilangnya nafsu atau libido, dan fatique. Biasanya gejala-gejala ini sering ditemukan dan dikomplain oleh pasien stadium 2 dan 3. Pada remaja dapat ditemukan tumbuh kembang lambat. Hampir semua pasien dapat dijumpai peningkatan tekanan darah akibat volume meningkat dan anemia akibat hemodilusi. Pulsasi nadi dan pernafasan dijumpai meningkat akibat kondisi anemia dan asiodsis metabolik. Temuan klinis lain seperti uremic fetor,

perikarditis, kelainan neurologik seperti astriksis, perubahan status mental, dan neuropati perifer hanya ditemukan pada stadium akhir gagal ginjal (ESRD). Jika ginjal teraba mungkin disebabkan oleh penyakit ginjal polikistik. Gangguan pada mata (retinopati) biasanya berkaitan dengan sindroma metabolik (William, 2008).

2.2.6.2. Anamnesa

Pada 20% kasus riwayat orang tua dan genetik mungkin berpengaruh terhadap timbulnya penyakit. Namun perlu juga ditanyakan riwayat penyakit infeksi ginjal terdahulu pada pasien, serta riwayat konsumsi obat dan kemungkinan riwayat keracunan ( misal timbal) (William, 2008).

2.2.6.3. Pemeriksaan lab dan lanjutan

Penegakan pasti penyakit ginjal kronik memerlukan beberapa pemeriksaan lab, mulai dari pemeriksaan analisa urine dan analisa darah.

Pada analisis urin, terjadi peningkatan volume urin yang tergantung dari derajat keparahan. Jumlah air dan garam yang normal pada urin kemungkinan disebabkan oleh kelainan ginjal polikistik dan penyakit interstitial. Saat nilai GFR sudah mencapai 5% nilai normal, (ESRD) volume pengeluaran urine bisa menurun menjadi oliguria. Akibat terjadinya retensi garam pada pengeluaran urin, maka penderita mengalami edema secara luas. Proteinuria, leukosituria, sedimen urin dapat ditemukan pada urinalisa yang merupakan pertanda penyakit ginjal kronik (William, 2008).

Pada analisa darah, dapat dijumpai penurunan Hb dan trombositopenia, sehingga waktu perdarahan meningkat. Beberapa kelainan dalam serum elektrolit dan plasma dijumpai apabila nilai GFR 30% dari normal atau sekitar 30 ml/menit. Asidosis dapat terjadi karena tubuh tidak mampu mengekskresikan sisa-sisa metabolisme seperti ureum dan badan keton, sehingga menimbulkan pernafasan yang cepat. Hiperkalemia dijumpai jika GFR turun mencapai 5 ml/menit atau penyakit ginjal kronik berkaitan dengan diabetes melitus, penyakit renal intersitial, ataupun gout. Pada penyakit ginjal kronik stadium moderate bisa dijumpai peningkatan serum phospate dan menurunnya serum kalsium. Hiperfosfatemia diakibatkan penurunan fungsi ginjal. Karena ginjal merupakan

tempat konversi vitamin D2 menjadi bentuk aktif yaitu D3, maka jumlah vitamin D aktif yang dibutuhkan tubuh berkurang, hal ini juga akan menyebabkan hiperparatiroidisme, dan kerusakan tulang (osteomalasia, dan ostitis fibrosa sistika). Asam urat terkadang meningkat, tetapi dalam kasus ini jarang menimbulkan batu ginjal atau gout (William, 2008).

Tabel 2.6. Derajat keparahan gagal ginjal berdasarkan GFR (KDOQI, 2002).

Di atas adalah tabel diagnosis gagal ginjal berdasarkan panduan dari KDOQI tahun 2002. Di bawah penjelasan mengenai nilai proteinuria dan albuminuria pada penyakit ginjal kronik yang juga bersumber dari KDOQI (2002).

stadium kelainan GFR (ML/min/1.7 3m²) 1 Kerusakan ginjal kronis dengan GFR normal atau meningkat >90 2 Kehilangan GFR ringan 60-89 3 Kehilangan GFR sedang 30-59

Dokumen terkait