• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

2.5 Epidemiologi Hipertensi

2.5.2 Faktor Risiko Hipertensi

a. Faktor Risiko Hipertensi Yang Tidak Dapat Diubah 1. Genetika

Faktor genetik berperan penting dalam tekanan darah tinggi. Karena susunan saraf seseorang menentukan seberapa besar kecenderungannya untuk menderita tekanan darah tinggi (Mervin, 1995).Pada kasus hipertensi essensial, didapat sekitar 70-80% kasus hipertensi essensial, yang memiliki riwayat hipertensi didalam keluarga. Apabila riwayat hipertensi didapatkan pada kedua orang tua, maka dugaan hipertensi esensial lebih besar. Hipertensi juga banyak dijumpai pada penderita kembar monozigot (satu telur) apabila salah satunya menderita hipertensi. Dugaan inilah yang

menyokong bahwa faktor genetik mempunyai peran didalam terjadinya hipertensi (Hayens et al, 1998).

Dalam laporan WHO, sekitar 20-40% variasi tekanan darah di antara individu disebabkan oleh faktor genetik. Penelitian menunjukkan bahwa tekanan darah seorang anak akan lebih mendekati tekanan darah orangtuanya bila mereka memiliki hubungan darah dibanding dengan anak adopsi. Hal ini menunjukkan bahwa gen yang diturunkan, dan bukan hanya faktor lingkungan (seperti makanan dan status sosial), berperan besar dalam menentukan tekanan darah (Laporan Komisi Pakar WHO, 2001).

Kemungkinan seseorang menderita tekanan darah tinggi lebih kurang satu berbanding tiga, jika salah satu orang tua menderita tekanan darah tinggi atau pernah mendapat stroke sebelum usia 70 tahun. Risiko ini meningkat menjadi tiga berbanding lima jika kedua orang tua mengalaminya (Semple, 1992).

2. Umur

Usia adalah faktor risiko nomor satu. Lebih dari 60% orang Amerika yang berusia 65 hingga 74 tahun mengidap tekanan darah tinggi (Hoffman dkk, 1996).Jumlah individu yang mengalami hipertensi meningkat sejalan dengan meningkatnya usia (Tierney dkk, 2002).

Tekanan darah cenderung rendah pada bayi dan mulai meningkat pada masa kanak-kanak. Kemudian akan meningkat lebih nyata selama masa pertumbuhan dan pematangan fisik di usia remaja (Semple, 1992). Menurut Pusat Pendidikan Tenaga Kesehatan Departemen Kesehatan, kejadian

hipertensi paling tinggi pada usia 30-40 tahun (Pusat Pendidikan Tenaga Kesehatan Departemen Kesehatan, 1993).

3. Jenis Kelamin

Pada usia dini tidak terdapat bukti nyata tentang adanya perbedaan tekanan darah antara laki-laki dan wanita. Akan tetapi, mulai pada masa remaja, pria cenderung menunjukkan aras rata-rata yang lebih tinggi. Perbedaan ini lebih jelas pada orang dewasa muda dan orang setengah baya (Laporan Komisi Pakar WHO, 2001).

Perubahan normal dan pematangan fisik cenderung lebih nyata pada laki-laki dari pada wanita terlebih sebelum wanita mengalami masa menopause (Semple, 1992). Menurut Pusat Pendidikan Tenaga Kesehatan Departemen Kesehatan, komplikasi hipertensi meningkat pada laki-laki (Pusat Pendidikan Tenaga Kesehatan Departemen Kesehatan, 1993).

4. Ras atau Suku Bangsa

Kajian populasi selalu menunjukkan bahwa aras tekanan darah pada masyarakat kulit hitam lebih tinggi ketimbang aras pada golongan suku lain. Suku mungkin berpengaruh pada hubungan antara umur dan tekanan darah, seperti yang ditunjukkan oleh kecenderungan tekanan darah yang meninggi bersamaan dengan bertambahnya umur secara progresif pada orang Amerika berkulit hitam keturunan Afrika ketimbang orang Amerika berkulit putih (Laporan Komisi Pakar WHO, 2001).

Sementara itu ditemukan variasi antar suku di Indonesia. Di lembah Baliem Jaya, Papua kejadian hipertensi terendah yaitu 0,6%, sedangkan

yang tertinggi terdapat di Jawa Barat pada suku Suku Sunda yaitu 28,6% (Bustan, 2007).

5. Status sosioekonomi

Di negara-negara yang berada pada tahap pasca-peralihan perubahan ekonomi dan epidemiologi selalu dapat ditunjukkan bahwa aras tekanan darah dan prevalensi hipertensi yang lebih tinggi terdapat pada golongan sosioekonomi rendah. Hubungan yang terbalik itu ternyata berkaitan dengan tingkat pendidikan, penghasilan, dan pekerjaan. Akan tetapi, dalam masyarakat yang berada dalam masa peralihan atau pra-peralihan, aras tinggi tekanan darah dan prevalensi hipertensi lebih tinggi terdapat pada golongan sosioekonomi yang lebih tinggi (Laporan Komisi Pakar WHO, 2001).

Determinan sosial kesehatan, misalnya pendapatan, pendidikan dan kondisi di rumah (status pernikahan) berdampak pada faktor-faktor risiko perilaku sehingga mempengaruhi perkembangan hipertensi. Misalnya, pengangguran atau takut pengangguran mungkin memiliki dampak pada tingkat stres yang pada akhirnya akan membuat tekanan darah menjadi tinggi. Kondisi di rumah dan kondisi di tempat kerja juga dapat mempengaruhi tekanan darah misalnya pekerjaan yang berat akan menguras pikiran lebih berat, pertengkaran yang terjadi di rumah atau kebutuhan ekonomi dalam keluarga yang harus terpenuhi membuat individu harus berpikir keras juga sehingga kemungkinan meningkatkan tekanan darah. Sibuk bekerja dan kondisi / suasana yang tidak baik juga dapat

menunda deteksi tepat waktu dan pengobatan karena kurangnya akses ke diagnosa dan pengobatan. Ditambah lagi dengan urbanisasi yang cenderung mendorong konsumsi cepat makanan, penggunaan tembakau dan penggunaan alkohol akhirnya, meningkatkan risiko hipertensi (WHO, 2013).

b. Faktor Risiko Hipertensi Yang Dapat Diubah 1. Obesitas

Anak dan dewasa yang kegemukan menderita lebih banyak hipertensi dan penambahan berat badan biasanya diikuti oleh kenaikan tekanan darah. Walaupun kalori tambahan yang bertanggung jawab bagi kenaikan berat badan, namun dapat menginduksi hipertensi karena ia membawa natrium tambahan (Kaplan dan Stamler, 1991).

Berdasarkan laporan Komisi Pakar WHO pada kebanyakan kajian, kelebihan berat badan berkaitan dengan 2-6 kali kenaikan risiko mendapat hipertensi. Pada populasi Barat, jumlah kasus hipertensi yang disebabkan oleh kelebihan berat badan diperkirakan 30-65%. Dari data pengamatan WHO tahun 1996, regresi multivariat tekanan darah menunjukkan kenaikan TDS 2-3 mmHg dan TDD 1-3 mmHg utuk setiap kenaikan 10 kg bobot tubuh (Laporan Komisi Pakar WHO, 2001). Indeks massa tubuh digunakan untuk mengukur kadar kegemukan kombinasi atau perbandingan antara berat badan dan tinggi badan. Perhitungannya adalah sebagai berikut :

Dimana dikatakan BB kurang bila IMT < 18,5 kg/m2, BB normal bila IMT 18,5-24,9 kg/m2, BB berlebih bila IMT 25-29,9 kg/m2, Obes Derajat I bila 30,0-34,9 IMT kg/m2, Obes Derajat II bila 35,0-39,9 kg/m2, dan Obes Derajat III bila IMT > 40,0 kg/m2 ( MB, 2011).

2. Stres

Penelitian tentang faktor psikososial dan faktor sosiokultural hingga saat ini telah mendapatkan hubungan yang lebih nyata bahwa perubahan hemodinamik, peningkatan tekanan darah berhubungan dengan faktor psikososial lain, seperti white coat hypertention. Penelitian di Amerika Serikat pada orang Negro didapatkan angka hipertensi tinggi, yang berhubungan dengan adanya rasa permusuhan (hostilitas), rasa tertekan sebagai akibat diskriminasi dan kemiskinan serta masalah psikososial lain, yang merupakan model psikosomatik agresi yang tertekan (Sudoyo dkk, 2010).

Stres memang tidak diragukan lagi dapat meningkatkan tekanan darah dalam jangka pendek dengan cara mengaktifkan bagian otak dan sistem saraf yang biasanya mengendalikan tekanan darah secara otomatis. Namun stres sulit untuk diberi batasan atau diukur, karena pristiwa yang menimbulkan stres pada seseorang belum tentu menimbulkan stres pada orang lain (Semple, 1992).

Hubungan antara stres dengan hipertensi diduga melalui aktivitas saraf simpatis, yang dapat meningkatkan tekanan darah secara bertahap. Stres atau ketegangan jiwa (rasa tertekan, murung, bingung, cemas, berdebar-

debar, rasa marah, dendam, rasa takut, rasa bersalah) dapat merangsang kelenjar anak ginjal melepaskan hormon adrenalin dan memacu jantung berdenyut lebih cepat serta lebih kuat, sehingga tekanan darah akan meningkat. Jika stres berlangsung cukup lama, tubuh berusaha mengadakan penyesuaian sehingga timbul kelainan organis atau perubahan patologis. Gejala yang muncul dapat berupa hipertensi atau penyakit maag. Berdasarkan hasil penelitian Hasurungan di Kota Depok (2002) dengan menggunakan desain penelitian case control, menunjukkan bahwa OR hipertensi pada responden yang mengalami stres psikologis jika dibandingkan dengan yang tidak stres psikologis adalah 2,99 (Hasurungan, 2002).

Salah satu cara yang dapat dilakukan dalam mengukur tingkat stress adalah dengan DASS 42. DASS 42 (Depression Anxiety Stress Scale 42) adalah kuesioner yang terdiri dari 42-item pertanyaan yang mencakup tiga laporan diri skala dirancang untuk mengukur keadaan emosional negatif dari depresi, kecemasan dan stres. DASS mempunyai tingkatan discrimant validity dan mempunyai reliabilitas sebesar 0,91 yang diolah berdasarkan penilaian Cronbach’s Alpha. Tingkatan stress pada instrumen DASS 42 (lovibond, 1995) dikategorikan menjadi Normal : 0-14, Stres Ringan : 15- 18, Stres Sedang : 19-25, Stres Berat : 26-33, dan Stres Sangat Berat : ≥ 34 (Lovibond & Lovibond, 2003 dalam S.Yessy, 2012)

3. Asupan Garam

Penelitian menunjukkan adanya kaitan antara asupan natrium yang berlebihan dengan tekanan darah tinggi pada beberapa individu. Asupan natrium yang meningkat menyebabkan tubuh meretensi cairan, yang meningkatkan volume darah. Di samping itu, diet tinggi garam dapat mengecilkan diameter dari arteri. Jantung harus memompa lebih keras untuk mendorong volume darah yang meningkat melalui ruang sempit. Akibatnya adalah hipertensi. Hal ini sebaliknya juga terjadi, ketika asupan natrium berkurang maka begitu pula volume darah dan tekanan darah pada beberapa individu (Hull, 1993).

Pada hasil pengamatan di beberapa kelompok kecil yang tersebar di seluruh dunia yang menjalani cara hidup tradisional, aktif dan suka berburu. Kelompok-kelompok ini mempunyai tekanan darah yang rendah dan sangat sedikit meningkat dengan bertambahnya usia. Mereka tidak menggunakan garam dan makanannya mengandung kadar natrium yang sangat rendah. Satu dari kelompok ini adalah orang Indian Yanomano di pedalaman hutan brasilia (Semple, 1992).

Kebutuhan minimal tubuh manusia akan garam hanyalah 69 miligram per hari. Petunjuk diet rendah garam dari Amerika menyarankan untuk orang normal membatasi jumlah konsumsi garam per hari tidak melebihi 2.300 miligram per hari. Sedangkan untuk usia 51 tahun keatas atau mempunyai penyakit seperti tekanan darah tinggi, penyakit ginjal, atau diabetes, maka dibatasi tidak melebihi 1.500 miligram per hari. Sebagai

gambaran, 1 sendok teh garam dapur setara dengan 2.300 miligram natrium (Irawati, 2013).

Garam bukanlah satu-satunya sumber natrium yang masuk ke dalam aliran darah, walaupun kandungan natrium dalam garam dapur cukup tinggi yaitu 40%. Mono Sodium Glutamat (MSG) atau lebih dikenal dengan merk dagang vetsin juga merupakan sumber natrium. Konsumsi MSG yang berlebihan juga berdampak pada penaikan tekanan darah (Widharto, 2009).

Berikut ini adalah daftar makanan yang termasuk memiliki kandungan natrium yang tinggi : (Irawati, 2013 ; Almatsier, 2010)

a. Garam dapur: 1 sendok teh garam dapur mengandung 2300 mg Na b. Kaldu bubuk atau kaldu blok: 5 gram atau 1 blok kaldu

mengandung 1200 mg natrium.

c. 1 Lembar daging burger mengandung 416 mg natrium

d. Mie instan: dalam 1 bungkus mie instan terdapat 1140 mg natrium. e. 1 butir telur ayam terdapat 50,56 mg Natrium dan 1 butir telur

bebek terdapat 95,5 mg natrium

f. 1 sdm kecap asin terdapat 1024 mg natrium, 1 sdm kecap manis terdapat 558 mg natrium dan 1 sdm saos terdapat 690 mg natrium. Dalam memudahkan penggunaan bahan makanan, daftar makanan dinyatakan dengan alat ukur yang lazim terdapat di rumah tangga (disingkat urt). Cara ini terbukti cukup teliti dan praktis dalam penyusumam diet. Dibawah ini dicantumkan persamaan antara ukuran rumah tangga dengan gram : (Almatsier, 2010)

1 ptg sdg ikan asin (6x5 cm) = 12,5 gram

1 sdm gula pasir = 8 gram

1 sdm minyak goreng, margarin = 10 gram 1 sdm = 3 sdt = 10 ml

1 gls = 24 sdm = 240 ml 1 ckr = 1 gls = 240 ml

Ket : sdm = Sendok makan gls = gelas

ptg = Potong ckr = cangkir

4. Aktivitas Fisik

Olahraga banyak dihubungkan dengan pengelolaan hipertensi, karena olahraga isotonik dan teratur dapat menurunkan tahanan perifer yang akan menurunkan tekanan darah. Olahraga juga dikaitkan dengan peran obesitas pada hipertensi. Kurang melakukan olahraga akan meningkatkan kemungkinan timbulnya obesitas dan jika asupan garam juga bertambah akan memudahkan timbulnya hipertensi. Kurangnya aktivitas fisik meningkatkan risiko menderita hipertensi karena meningkatkan risiko kelebihan berat badan. Orang yang tidak aktif juga cenderung mempunyai frekuensi denyut jantung yang lebih tinggi sehingga otot jantungnya harus bekerja lebih keras pada setiap kontraksi. Makin keras dan sering otot jantung harus memompa, makin besar tekanan yang dibebankan pada arteri. (Sheps, 2005)

Aktitivitas fisik yang dilakukan secara teratur dapat mengurangi risiko terhadap penyakit seperti cardiovaskuler disease (CVD), stroke, diabetes

mellitus, dan kanker kolon. Selain itu juga memberikan efek positif terhadap penyakit seperti kanker payudara, hipertensi, osteoporosis, dan risiko jatuh. Makin besar intensitas latihan, makin besar pula efek latihan tersebut. Intensitas latihan jasmani sebaiknya 60-80% dari kapasitas aerobik yang maksimal. Olahraga atau aktivitas fisik yang dilakukan secara teratur setiap hari atau 3 kali seminggu minimal 30 menit setiap berolahraga. (Fatmah dan Ruhayati, 2011)

Metode yang sering digunakan untuk mengukur aktivitas fisik seseorang dalam suatu penelitian instrumen adalah recall dan pemberian kuesioner. Metode tersebut sering digunakan karena murah dan lebih cepat. Namun, Keragaman dalam ukuran tubuh, komposisi tubuh dan aktivitas fisik kebiasaan di antara populasi orang dewasa dengan latar belakang geografis, budaya dan ekonomi yang berbeda membuat aktivitas fisik sulit untuk diukur sehingga untuk menjelaskan perbedaan dalam aktivitas fisik, FAO memperkirakan melalui perhitungan faktorial yang dikombinasikan antara waktu yang dialokasikan untuk kegiatan kebiasaan dan besar energi kegiatan-kegiatan. Sekaligus untuk menjelaskan perbedaan ukuran tubuh dan komposisi baik pria maupun wanita, besar energi kegiatan dihitung sebagai kelipatan BMR per menit juga disebut sebagai rasio aktivitas fisik (PAR), dan kebutuhan energi 24 jam adalah dinyatakan sebagai kelipatan dari BMR per 24 jam dengan menggunakan nilai PAL (James dan Schofield dalam FAO, 2001). Berikut ini tabel estimasi standar faktorial dari total pengeluaran energi berdasarkan FAO, 2001 :

Tabel 2.1 Estimasi Standar Faktorial dari Total Pengeluaran Energi No Jenis Kegiatan Waktu/ Durasi (Jam) Physical Activity Ratio/ satuan waktu Total (PAL) Gaya Hidup atau Aktivitas Ringan

1 Tidur 8 1,0 8,0

2 Perawatan Pribadi (Berpakaian, mandi)

1 2,3 2,3

3 Makan 1 1,5 1,5

4 Memasak 1 2,1 2,1

5 Duduk (Pekerjaan kantor, menjual produk, cenderung berbelanja)

8 1,5 12,0

6 Pekerjaan rumah tangga umum 1 2,8 2,8

7. Mengendarai mobil dari/ke kerja 1 2,0 2,0

8. Berjalan tanpa beban 1 3,2 3,2

9. Kegiatan ( menonton tv, mengobrol)

2 1,4 2,8

Total 24 36,7/24= 1,53

Gaya hidup aktif atau cukup aktif

1. Tidur 8 1,0 8,0

2. Perawatan Pribadi (Berpakaian, mandi)

1 2,3 2,3

3. Berdiri, membawa beban ringan (menunggu di meja, mengatur barang dagangan)

8 2,2 17,6

4. Berangkat ke/dari kerja dengan bus

1 1,2 1,2

5. Berjalan tanpa beban 1 3,2 3,2

6. Intensitas rendah latihan aerobik 1 4,2 4,2 7. Kegiatan (menonton tv,

mengobrol)

3 1,4 4,2

Gaya hidup yang berat atau aktif

1. Tidur 8 1,0 8,0

2. Perawatan Pribadi (Berpakaian, mandi)

1 2,3 2,3

3. Makan 1 1,4 1,4

4. Memasak 1 2,1 2,1

5. Kerja pertanian (Menanam, menyiang)

6 4,1 24,6

6. Mengumpulkan air/kayu 1 4,4 4,4

7. Pekerjaan rumah tangga (menyapu, mencuci pakaian, mencuci piring)

1 2,3 2,3

8. Berjalan tanpa beban 1 3,2 3,2

9. Kegiatan (menonton tv, mengobrol)

4 1,4 5,6

Total 24 53,9/24= 2,25

(Sumber : FAO, 2001)

Besarnya aktivitas fisik yang dilakukan oleh seseorang dalam waktu 24 jam dinyatakan dalam PAL (physical activity level) atau tingkat aktivitas fisik. PAL merupakan besarnya energi yang dikeluarkan dalam kkal per kilogram berat badan dalam 24 jam. Rumus yang digunakan untuk menentukan PAL yaitu : (FAO, 2001)

Keterangan :

PAL : Physical Activity Level ( tingkat aktivitas fisik )

PAR : Physical Activity Ratio ( jumlah energi yang dikeluarkan untuk tiap jenis kegiatan per satuan waktu tertentu )

Berikut ini tabel kategori aktivitas fisik standar berdasarkan nilai Physical Activity Level (PAL) : (Laporan Komisi Pakar WHO, 1996; FAO, 2001)

Tabel 2.2 Kategori Aktivitas Fisik Standar Berdasarkan Nilai Physical Activy Level (PAL)

No. Kategori aktivitas fisik berdasarkan nilai Physical Activity Level (PAL)

Nilai PAL 1 2 3 4 Sangat Ringan Ringan Sedang Berat 1.20 – 1.39 1.40 – 1.69 1.70 – 1.99 2.00 – 2.40 (Sumber : FAO, 2001) 5. Kebiasaan Merokok

Rokok menyebabkan peningkatan denyut jantung, tekanan darah, dan juga menyebabkan pengapuran sehingga volume plasma darah berkurang karena pengaruh nikotin dalam peredaran darah (Dekker, 1996). Meningkatnya tekanan darah ini, lebih nyata pada penderita tekanan darah tinggi. Merokok dapat menyebabkan terjadinya ateroma dalam arteri dan dapat mengenai ginjal. Akibat penyempitan arteri ini, terjadi penyakit tekanan darah tinggi yang berat dan keadaan ini cenderung terjadi pada penderita lanjut usia (Semple, 1992).

Merokok dapat meningkatkan tekanan darah secara temporer yaitu tekanan darah sistolik yang naik sekitar 10 mmHg dan tekanan darah diastolik naik sekitar 8 mmHg. Merokok juga dapat menghapuskan efektivitas beberapa obat antihipertensi. Misalnya, pengobatan hipertensi yang menggunakan terapi betablocker dapat menurunkan risiko penyakit jantung dan stroke hanya bila pemakainya tidak merokok karena merokok

merupakan faktor risiko utama untuk munculnya penyakit kardiovaskular (Laporan Komisi Pakar WHO, 2001).

6. Konsumsi Alkohol

Alkohol juga mempengaruhi tekanan darah. Orang-orang yang minum alkohol terlalu sering atau yang terlalu banyak memiliki tekanan darah yang lebih tinggi dari pada individu yang tidak minum atau minum sedikit alkohol (Hull, 1993). Lebih dari dua minuman keras sehari akan menimbulkan peningkatan signifikan. Diperkirakan 5-10% hipertensi pada laki-laki Amerika disebabkan langsung oleh konsumsi alkohol (McGowan, 2001).

Berdasarkan laporan Komisi Pakar WHO mengatakan bahwa pada beberapa populasi, konsumsi minuman keras selalu berkaitan dengan tekanan darah tinggi. Jika minuman keras diminum sedikitnya dua kali per hari, TDS naik kira-kira 1,0 mmHg dan TDD kira-kira 0,5 mmHg per satu kali minum. Peminum harian ternyata mempunyai aras TDS dan TDD lebih tinggi, berturut-turut 6,6 mmHg dan 4,7 mmHg dibandingkan dengan peminum sekali seminggu (Laporan Komisi Pakar WHO, 2001).

Pada umumnya orang dengan tekanan darah tinggi harus menjaga agar konsumsi alkoholnya rendah. Batas yang masih aman mungkin berkisar antara 2 unit sehari (satu unit dapat berupa satu seloki minuman keras atau segelas anggur atau seperempat liter bir), dengan satu unit atau satu gelas berukuran 125 ml dengan besar kandungan alkoholnya tidak lebih dari 5% (Semple, 1992). Menurut peraturan Menteri Kesehatan No 86 tahun 1997,

minuman beralkohol dibedakan menjadi tiga (3) golongan. Golongan A dengan kadar alkohol 1-5 % misalnya bir. Golongan B dengan kadar alkohol 5-20 % misalnya anggur dan Golongan C dengan kadar alkohol 20- 55 % misalnya whisky dan brandy. Berikut ini beberapa pengelompokkan minuman keras : (MuslimDaily, 2014)

Tabel 2.3 Pengelompokkan minuman keras

No Nama Bahan Baku Kadar Alkohol (%)

1 Tuak Fermentasi dari nira, beras, atau bahan minuman/buah yang mengandung gula

4

2 Beer Barley, Gandum 5

3

Anggur Buah anggur atau jenis

lainnya 12

4 Brandy Anggur yang didestilasi 40-45

5 Whisky Barley,jagung dan lainnya 45-55

6 Rum Tetes tebu 45

7 Vodka Kentang 40-50

(Sumber : MuslimDaily, 2014)

2.6 Pencegahan Hipertensi

Dokumen terkait