• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA

2.2. Faktor Risiko PJK dan Karakteristik Penderita PJK

Faktor risiko adalah semua faktor penyebab ditambah dengan faktor epidemiologis yang berhubungan dengan penyakit. Faktor risiko merupakan faktor-faktor yang ada sebelum terjadinya penyakit (Bustan, 1997).

Kejadian PJK bisa diprediksi, karena faktor risikonya dapat diukur. Jika seseorang mempunyai beberapa faktor risiko, kemungkinan mengalami kejadian PJK lebih tinggi daripada orang dengan satu faktor risiko (Waspadji, 2002). Jika seseorang memiliki 3 faktor risiko, kemungkinan menderita PJK 6 kali lebih besar dari 70 orang yang hanya memiliki satu macam faktor risiko (Anwar, 1997).

PJK merupakan penyakit multi faktor, karena banyak faktor risiko yang dapat menjadi sebab timbulnya PJK, antara lain:

1. Obesitas

Obesitas adalah keadaan yang menunjukkan adanya kelebihan lemak tubuh. Obesitas disebabkan oleh banyak faktor seperti faktor genetik, gangguan metabolik, konsumsi makanan yang berlebihan yang tidak diimbangi dengan olahraga yang teratur. Obesitas dapat meningkatkan risiko timbulnya berbagai gangguan kesehatan seperti hipertensi, hiperlipidemia, DM, dan lain sebagainya (Waspadji dan Sukardji, 2003).

Obesitas juga merupakan faktor predisposisi terjadinya hipertensi, dislipidemia, DM, dan penyakit lainnya. Obesitas merupakan masalah kesehatan yang memerlukan perhatian khusus karena berkaitan dengan faktor risiko penyakit lainnya (Hendromartono, 2002).

Sejumlah faktor mempengaruhi jumlah lemak tubuh, yang mencakup umur, jenis kelamin, dan aktifitas fisik/olahraga. Saat lahir, tubuh manusia mengandung sekitar 12% lemak. Diperkirakan 1-3 orang dewasa dan lebih dari 1 anak-anak dan remaja di Amerika menderita obesitas. Obesitas atau kelebihan berat badan dapat

dinyatakan dalam bentuk Indeks Massa Tubuh (IMT) atau Index Body Mass (IBM). Obesitas dapat diketahui dengan membagi berat badan dengan jumlah kuadrat dari tinggi badan. Kelebihan berat badan didefinisikan bila IBM di antara 24-30 bagi wanita dan 25-30 bagi pria. Obesitas berhubungan erat dengan kadar kolesterol serum, tekanan darah, dan toleransi glukosa (Mann, 1993).

Beberapa data menunjukkan bahwa orang obesitas mempunyai aktifitas kurang dibandingkan orang-orang yang ramping. Akan tetapi hubungan tersebut tidak bisa menggambarkan adanya hubungan sebab-akibat dan sulit untuk menentukan apakah orang obesitas mempunyai aktifitas fisik/olahraga kurang oleh karena obesitasnya atau aktifitas fisik/olahraga yang kurang menjadikan 70 orang obesitas. Namun demikian, beberapa hasil studi dengan rancangan penelitian lain menunjukkan bahwa rendahnya dan menurunnya aktifitas fisik/olahraga merupakan faktor yang paling bertanggung jawab terjadinya obesitas. Sebagai contoh, obesitas tidak terjadi pada para atlit yang aktif sedangkan para atlit yang berhenti melakukan latihan olahraga lebih sering mengalami kenaikan berat badan dan kegemukan. Kecenderungan sekuler (secular trend) dalam kenaikan prevalensi obesitas paralel dengan penurunan aktifitas fisik/olahraga dan peningkatan perilaku hidup kurang gerak yang selanjutnya disebut sedentarian (sedentary) (Rissanen et al., 1991).

Meningkatnya faktor risiko PJK sejalan dengan terjadinya penambahan badan seseorang. Pengaruh obesitas pada PJK tidak selalu berdiri sendiri, tetapi umumnya diperburuk oleh faktor risiko lain seperti hipertensi, diabetes, dan hiperlipidemia.

enemuan ini tidaklah mengherankan karena tekanan darah, lemak darah, dan nilai glukosa akan naik ketika seseorang bertambah berat badannya (Wirakusumah, 2001).

Kaitan antara obesitas dengan kejadian PJK adalah melalui resistensi insulin terlebih dahulu, kemudian resistensi insulin ini mengakibatkan hipersekresi dari sel Beta pancreas maka timbullah hiperinsulinemi. Akibat dari hiperinsulinemi ini dapat berpengaruh pada gen L yang menyebabkan gangguan metabolisme lema (dislipidemia) yaitu terjadi peningkatan trigliserida, peningkatan LDL-kolesterol dan penurunan HDL-kolesterol. Trigliserida yang menigkat menyebabkan gangguan transport oksigen, juga dapat menambah terjadinya agregasi trombosit dan profilerasi otot polos. Kenaikan LDL-kolesterol akan merusak endotel, memacu proses agregasi trombosit, terbentuknya mikrotrombus dan merupakan kontributor utama timbunan kolesterol di dinding pembuluh darah dan memicu proliferasi sel otot polos (Hendramartono, 2002).

2. Hipertensi

Pada tahun 1960, hasil studi Framingham menunjukkan bahwa hipertensi merupakan salah satu faktor risiko terjadinya PJK, mulai saat itu hipertensi diperhatikan oleh dunia kedokteran. Dilakukan banyak penelitian yang berhubungan dengan hipertensi, dan hampir semuanya menemukan bahwa semakin tinggi tekanan darah seseorang, maka semakin tinggi risiko terkena PJK. Dengan demikian, kriteria tekanan darah normal yang dianut saat ini adalah tekanan sistolik 120 mmHg dan diastolik 80 mmHg. Sedangkan tekanan darah > 140 mmHg, atau tekanan darah diastolik > 90 mmHg dianggap hipertensi (Kabo, 2008).

Tekanan darah berpengaruh terhadap hampir semua bagian tubuh, yang terpenting adalah jantung, pembuluh darah, otak, ginjal, dan mata. Komplikasi yang mungkin timbul tergantung kepada berapa tinggi tekanan darah, berapa lama telah diderita, adanya faktor risiko yang lain dan bagaimana keadaan tersebut dikelola atau ditangani (Soeharto, 2002).

Hipertensi merupakan salah satu faktor risiko PJK dan jika dibiarkan tanpa perawatan yang tepat, maka dapat menimbulkan komplikasi yang berbahaya. Penderita sering tidak menyadari selama bertahun-tahun sampai terjadi komplikasi besar seperti stroke, serangan jantung, atau kegagalan ginjal. Sebab itu hipertensi sering disebut ”si pembunuh diam-diam” (Soeharto, 2001).

Banyak tulisan mengenai hipertensi dimuat di majalah, buku atau diberitakan melalui televisi sehingga saat ini sebagian besar orang awam sudah mengenal hipertensi dan risiko komplikasinya. Akibatnya, alat tensimeter laris karena banyak orang membelinya untuk mengukur tekanan darah. Hal ini sering membuat mereka bukan menjadi lebih tenang, tetapi sebaliknya menjadi stres karena menemukan bahwa tekanan darah mereka abnormal, ada yang tekanan darah tinggi, ada yang rendah, ada yang tekanan darah naik turun, dan sebagainya (Kabo, 2008).

Sampai beberapa tahun yang lalu, kebanyakan orang percaya bahwa kenaikan tekanan darah sejalan dengan pertambahan usia adalah normal. Ini didasarkan pada hasil penelitian bahwa tekanan darah rata-rata di kalangan lanjut usia ternyata tinggi. Sekarang dapat dilihat bahwa tekanan darah tidak harus naik sejalan dengan pertambahan usia. Di bawah usia 45 tahun, pria lebih banyak menderita tekanan

darah tinggi daripada wanita; setelah usia 45 tahun, ada kenaikan yang cukup besar dalam jumlah wanita yang menderita tekanan darah tinggi; sesudah usia 55 tahun, wanita lebih berisiko dibandingkan dengan pria (Patel, 1998).

Pengaruh hipertensi sebagai faktor risiko dalam berkembangnya PJK dapat diperparah dengan merokok dan kenaikan kadar kolesterol darah. Jika dibanding pada bukan perokok risiko yang harus ditanggung para perokok dua kali lebih besar, risiko itu menjadi empat kali lebih besar pada perokok yang juga bertekanan darah tinggi, dan risiko itu naik lagi bersamaan dengan naiknya kadar kolesterol darah. Apabila kita aktif, senang atau sedang stres, tekanan darah kita naik dengan sendirinya. Kenaikan ini perlu karena olah tubuh dan emosi menuntut energi dan oksigen lebih banyak, yang disediakan melalui pasokan darah tambahan. Begitu aktifitas mengendur dan santai, tekanan darah normal kembali. Kenaikan tekanan darah merupakan tekanan darah normal, tetapi jika tekanan darah naik dan tetap tinggi, bahkan meskipun pada saat santai, berarti menderita hipertensi (Patel, 1998).

Tekanan darah menyebabkan PJK, karena kenaikan tekanan darah menyebabkan meningkatnya tekanan terhadap dinding arteri, dan mengakibatkan kerusakan endotel, yang memicu aterosklerosis. Juga kemungkinan perubahan aterosklerotik pada dinding pembuluh darah menyebabkan kenaikan pembuluh darah. Sehingga terdapat sinergi antara tekanan darah dengan aterosklerosis (Lipoeto, 2006).

3. Aktifitas Fisik / Olahraga

Aktifitas fisik/olahraga (exercise) dapat meningkatkan kadar High Density Lipid (HDL) kolesterol, memperbaiki kolateral koroner sehingga faktor risiko PJK

dapat dikurangi, memperbaiki fungsi paru dan pemberian O2 ke miocard, menurunkan kolesterol, trigliserid, dan Kadar Gula Darah (KGD) pada penderita DM, menurunkan tekanan darah.Taylor, dkk melaporkan insiden PJK pada juru tulis yang banyak duduk sebesar 0,2 kali lebih besar dibandingkan dengan tukang lansir yang aktif. Hasil penelitian di Harvard selama 10 tahun (1962-1972) terhadap 16.936 alumni Universitas Harvard, USA menyimpulkan bahwa orang dengan aktifitas fisik/olahraga yang adekuat kemungkinan mengalami serangan PJK lebih kecil dibandingkan dengan yang kurang melakukan aktifitas (Anwar, 1997).

Sudah menjadi pengetahuan umum bahwa olahraga menyehatkan badan, sebaliknya kurang aktifitas fisik (physical inactivity) menimbulkan berbagai macam penyakit, termasuk PJK. Dalam hubungannya dengan PJK, orang yang tidak aktif memiliki risiko 1,9 kali lebih besar untuk menderita PJK dibandingkan 70 orang yang aktif berolahraga (Kabo, 2008).

Dalam upaya untuk mencegah proses atherosclerosis dan PJK akibat tingginya hiperlipidemia, perlu dilakukan pengontrolan dan mengusahakan agar kadar tersebut dalam batas aman. Salah satunya adalah dengan latihan fisik/olahraga yang teratur dan terencana dengan baik. Latihan fisik yang baik dan teratur juga dapat memperbaiki prgonosis penderita infark miokardial (Wibowo, 1998).

Beberapa penelitian menunjukkan bahwa orang yang melakukan aktifitas fisik/olahraga secara teratur, lebih jarang mendapat PJK. Kebiasaan aktifitas yang dimulai sejak usia muda mempunyai dampak yang menguntungkan, sedangkan aktifitas fisik/olahraga yang dilakukan secara tiba-tiba dan tidak teratur pada usia

pertengahan pada orang obesitas dan merokok dapat menimbulkan kejadian fatal (Petch, 1995).

Hasil penelitian Harvard Alumny Study dengan jelas menunjukkan bahwa aktifitas fisik/olahraga (bahkan pada waktu singkat) dapat mengurangi risiko PJK. Aktifitas fisik/olahraga meningkatkan konsentrasi HDL-kolesterol dan mengurangi risiko PJK. Risiko mengalami PJK dua kali lipat pada wanita yang kurang aktifitas fisiknya. Diantara para penderita DM, peningkatan aktifitas fisik, termasuk berjalan kaki teratur dapat mengurangi kejadian PKV (Lipoeto, 2006).

Dengan industrialisasi, otomatisasi, dan mekanisasi transportasi, kegiatan fisik dalam beberapa puluh tahun terakhir ini telah berkurang banyak sekali. Tidak banyak lagi orang yang bekerja berat secara manual. Di negara berteknologi maju kebanyakan pekerjaan sudah menjadi ringan. Sehingga masih banyak waktu tersisa untuk bersantai (Patel, 1998).

Olahraga menyebabkan sel-sel otot dan organ hati menjadi lebih sensitif terhadap insulin. Sebagai hasilnya organ itu dapat menggunakan atau menyimpan glukosa dengan lebih efektif, sehingga dapat membantu menurunkan kadar glukosa. Keadaan ini dapat berlangsung untuk beberapa jam setelah melakukan olahraga. Namun demikian, perlu diingat bahwa meningkatnya kepekaan insulin akan hilang setelah beberapa hari tidak melakukan olahraga. Manfaat olahraga di atas akan hilang bila berhenti selama 3-4 hari. Keadaan ini menekankan pentingnya olahraga secara teratur dan berkesinambungan. Agar benar-benar berfaedah, olahraga harus dilakukan 3-4 hari dalam seminggu dan berkesinambungan dalam jangka panjang. Contoh

olahraga yang menguras tenaga adalah berenang, senam kebugaran, jogging, berlari, berjalan cepat, bersepeda, naik turun tangga berulang-ulang, dan menjalani kerja keras di kebun, di rumah, atau di garasi (Soeharto, 2004).

4. Merokok

Merokok adalah salah satu faktor risiko utama PJK. Beberapa laporan secara konsisten menunjukkan bahwa risiko PJK 2-4 kali lebih tinggi pada laki-laki dan perempuan perokok berat (> 20 batang per hari) dibandingkan yang tidak merokok. Mekanisme bagaimana rokok mempengaruhi PJK masih belum jelas. Perokok cenderung mempunyai kadar HDL kolesterol yang lebih rendah. Satu mekanisme yang mungkin berhubungan adalah injury hypothesis oleh Ross. Pada hipotesa ini diterangkan bahwa bahan kimia terutama radikal bebas yang ada pada asap rokok menyebabkan kerusakan endotel. Adanya konsentrasi kolesterol yang tinggi menimbulkan dan memperluas luka. Merokok mungkin juga meningkatkan risiko trombosis menjadi aterosklerosis (Kromhout et al., 2000).

Menuru WHO, konsumsi rokok di Indonesia mencapai 199 miliar batang/tahun. Jumlah ini merupakan urutan ke-5 setelah RRC, AS, Jepang, dan Rusia. Seorang ahli polusi udara dari London bernama Ivan Vince mengatakan bahwa rokok mengeluarkan lebih banyak partikel dibandingkan dengan mesin diesel. Apabila seseorang merokok, iritan yang ada dalam asap rokok selain berpengaruh langsung pada paru-paru yang menyebabkan batuk-batuk, sesak, dan kanker paru, juga masuk ke dalam darah yang mengakibatkan antara lain: denyut jantung lebih cepat, pembuluh darah cepat dan kaku dan mudah spasme, sel-sel darah lebih gampang

menggumpal, ditambah lagi oksigen di dalam darah berkurang karena tempatnya diambil alih oleh karbon monoksida. Dengan demikian dapat dimengerti bahwa perokok memiliki risiko 2 kali lebih mudah mendapat serangan jantung dibandingkan orang yang tidak merokok (Kabo, 2008).

Kebiasaan merokok sudah bertahun-tahun merupakan penyebab utama serangan jantung. Di Amerika Serikat, merokok berhubungan erat bagi sekitar 825.000 kematian premature setiap tahunnya. Dari kematian ini lebih dari satu dalam tiga PJK karena merokok. Merokok sigaret tinggi nikotin menyebabkan peningkatan frekuensi denyut jantung saat istirahat serta meningkatkan tekanan darah sistolik dan diastolik sehingga meningkatkan kebutuhan oksigen myocardium (Kaplan, 1991).

Pengaruh merokok sangat berhubungan dengan dosis, artinya makin banyak merokok, maka makin besar kemungkinan mati karena PJK. 70 orang yang mulai merokok sebelum berusia 20 tahun dan 70 orang yang merokok 20 batang atau lebih dalam sehari mempunyai risiko 8 kali lebih besar daripada yang tidak merokok, dan dua kali risiko 70 orang yang merokok kurang dari sepuluh batang sehari. Beberapa laporan secara konsisten menunjukkan bahwa risiko PJK 2-4 kali lebih tinggi pada laki-laki dan perempuan perokok berat (> 20 batang per hari). Merokok > 20 batang sehari dapat mempengaruhi atau memperkuat efek dan faktor risiko lainnya. Penelitian Framingham mendapatkan kematian mendadak akibat PJK pada laki-laki perokok 10 kali lebih besar daripada bukan perokok dan pada perempuan perokok 4,5 kali lebih besar daripada bukan perokok (Anwar, 1997).

Penelitian menunjukkan bahwa faktor risiko merokok bekerja sinergis dengan faktor-faktor lain, seperti hipertensi, kadar lemak atau gula darah yang tinggi,

terhadap tercetusnya PJK. Perlu diketahui bahwa risiko kematian akibat PJK berkurang dengan 50 persen pada tahun pertama sesudah rokok dihentikan. Dari sudut ekonomi kesehatan, dampak penyakit yang timbul akibat merokok jelas akan menambah biaya yang dikeluarkan, baik bagi penderita, keluarga, perusahaan, bahkan negara. Perokok membuka dirinya terhadap risiko serius aterosklerosis dan penyakit jantung. Diperlukan waktu kira-kira setahun bagi bekas perokok untuk mengurangi risiko ini sebanyak-banyaknya. Merokok memberikan risiko yang lebih besar untuk terjadinya PJK dibandingkan dengan obesitas. 70 orang yang tidak mau berhenti merokok karena takut kegemukan sebenarnya salah besar (Adiwiyoto, 2003).

Peranan merokok terhadap PJK dan penyakit kardiovaskular yang lain dapat ditelusuri dari kenyataan-kenyataan sebagai berikut:

a. Asap rokok mengandung nikotin yang memacu pengeluaran zat-zat seperti adrenalin. Zat ini merangsang denyut jantung dan tekanan darah.

b. Asap rokok mengandung karbon mono-oksida (CO) yang memiliki kemampuan jauh lebih kuar dari pada sel darah merah (haemoglobin) dalam hal menarik atau menyerap oksigen, sehingga menurunkan kapasitas darah merah tersebut untuk membawa oksigen ke jaringan-jaringan, termasuk jantung. Hal ini perlu diperhatikan terutama bagi penderita PJK karena darah arteri yang sudah ada plak aliran darahnya sudah berkurang dari seharusnya.

c. Merokok dapat ”menyembunyikan” angina, yaitu sakit di dada yang dapat memberi signal adanya sakit jantung. Tanpa adanya signal tersebut penderita tidak sadar bahwa ada penyakit berbahaya yang sedang meyerangnya, sehingga tidak mengambil tindakan yang diperlukan.

d. Perokok, dua atau tiga kali lebih mungkin terkena stroke dibandingkan 70 orang yang tidak merokok.

e. Terlepas dari berapa banyak rokok yang dihisap per hari, merokok terus menerus dalam jangka panjang berpeluang besar untuk menderita penyumbatan arteri di leher.

f. Perokok memiliki kadar kolesterol darah HDL rendah, hal ini berarti unsur pelindung terhadap PJK menurun.

g. Perokok, mudah mengalami kejang kaki pada waktu olah raga, karena penyumbatan pada pembuluh arteri di kaki (Amstrong, 1995).

Perempuan perokok sangat berisiko tinggi untuk terkena PJK. Sebab perempuan perokok akan mengalami menopause lebih dini dan kekurangan estrogen. Merokok mempercepat terjadinya PJK dan stroke pada perempuan (Sedyawan, 2003).

5. Pola Perilaku

Walaupun rumit, penelitian-penelitian ilmiah terhadap orang yang cenderung mengalami gangguan koroner telah mengidentifikasi sejenis perilaku yang disebut perilaku Tipe A dan ini telah diakui di Amerika Serikat sebagai salah satu faktor risiko koroner yang penting. Orang yang tergolong tipe A digambarkan sebagai orang yang selalu tergesa-gesa, selalu dikejar batas waktu, dan sangat dirasuk oleh nafsu persaingan, sedangkan lawannya adalah perilaku tipe B yang bercirikan kesantaian dan kepraktisan (Patel, 1998).

Orang yang termasuk tipe A adalah orang yang terlibat dalam suatu pergulatan yang kronis dan seru untuk meraih keberhasilan sebanyak-banyaknya

dalam waktu sesingkat mungkin, tanpa peduli bahwa ia harus menerobos halangan dan mengalami benturan dengan orang lain. Penderita tipe A tidak mengenal putus asa, bahkan terus menggapai, memburu tantangan-tantangan berikutnya. Manusia tipe A berusaha berpikir, bertindak, dan berkomunikasi dalam waktu yang sama dan pada umumnya hidup dengan irama yang lebih cepat ketimbang rekan-rekan sebayanya (Patel, 1998).

Pola perilaku ini tercermin dalam wujud reaksi-reaksi fisiologis tertentu, misalnya naiknya tekanan darah, naiknya produksi adrenalin, dan meningkatnya kelengketan keping-keping darah, yang memperbesar kemungkinan terbentuknya gumpalan darah setiap kali merasa menghadapi tantangan. Manusia tipe A tidak dapat menerima penundaan dan tidak mudah beristirahat, bekerja dengan kapasitas maksimum, bahkan bila pekerjaan itu tidak penting. Penelitian-penelitian telah menunjukkan bahwa orang dengan perilaku tipe A dua kali lebih mungkin meninggal karena serangan jantung ketimbang orang dengan perilaku tipe B (Patel, 1998).

6. Stres

Stres atau ketegangan adalah masalah yang sangat pelik dan bersifat pribadi. Kondisi ini mempengaruhi siapa saja, dalam wujud yang kita rasakan, perilaku kita, kinerja kita, dan menjadi biang keladi sejumlah kecelakaan atau sakit, termasuk PJK. Stres juga merupakan reaksi terhadap situasi-situasi yang tidak kita kenal.

Penyebab terjadinya stres kronis, antara lain: a. Ketidakharmonisan perkawinan yang sudah lama.

c. Perjuangan mempertahankan usaha dalam situasi resesi.

d. Bekerja di bawah atasan yang tidak menyenangkan atau dengan bawahan yang tidak kompeten.

e. Mengalami konflik kesetiaan yang sulit dan berlarut-larut.

f. Dipermalukan di depan umum untuk sesuatu yang bukan akibat kesalahan sendiri. g. Menjadi pengangguran tanpa harapan menemukan pekerjaan dalam waktu dekat. h. Kematian pasangan hidup atau anak (Patel, 1998).

Stres dianggap sebagai salah satu faktor risiko PJK, karena mempunyai pengaruh dalam memicu timbulnya PJK. Stres dapat menyebabkan pengurangan aliran darah melalui mekanisme tertentu dalam diri kita. Tubuh kita selalu merespon situasi yang penuh dengan stres yang dapat membantu agar tetap survive (Soeharto, 2004).

Pada tahun 1910 telah diketahui bahwa orang yang cenderung mengalami gangguan koroner adalah orang yang ambisius. Tahun 1945 diketahui bahwa orang yang cenderung mengalami gangguan koroner adalah orang yang agresif, ambisius, dengan dorongan emosional yang menggebu-gebu, tidak mudah mendelegasikan wewenang atau tanggung jawab, tidak memiliki hobi dan mengonsentrasikan seluruh pikiran dan tenaganya ke dalam bidang karirnya yang sempit. Jenis stres dapat dibagi atas 4 jenis, yaitu: stres sangat ringan, stres ringan, stres sedang, dan stres tinggi. Jenis stres yang dialami dapat diketahui dengan melihat perubahan-perubahan yang terjadi dalam hidup kita selama setahun lampau, kemudian menghitung nilai Life Change Unit (LCU) (Patel, 1998).

7. Diabetes Melitus

DM adalah suatu keadaan dimana terjadi kadar gula darah melebihi kadar normal, yaitu kadar gula darah melebihi kadar normal, yaitu > 200mg/dL. Hal ini dapat diakibatkan oleh gangguan produksi insulin dari pancreas ataupun ketidakmampuan insuslin untuk bekerja secara maksimal. Gejala penting DM adalah banyak kencing (polyuria), banyak minum (polydipsia), banyak makan (polyphagia), namun berat badan menurun (Kabo, 2008).

DM merupakan faktor risiko yang sangat kuat, sehingga seorang penderita DM sering sudah dianggap menderita PJK. Penderita DM mempunyai risiko kejadian PJK yang sama dengan penderita yang pernah menderita infark miokard. Bila terjadi serangan jantung maka perjalanan penyakitnya lebih buruk daripada orang tanpa diabetes (Waspadji, 2002).

8. Kolesterol

Kolesterol merupakan salah satu kata yang sering diucapkan oleh masyarakat umum. Kolesterol yang ada di dalam zat makanan akan meningkatkan kadar kolesterol dalam darah. Sejauh pemasukan itu masih sesuai dengan kebutuhan tubuh, maka akan tetap sehat, tetapi jika lebih maka akan mengendap di dalam pembuluh darah yang menyebabkan penyempitan dan pengerasan yang dikenal sebagai atherisclerosis (Povey, 2002).

9. Alkohol

Alkohol merupakan zat yang bersifat psikoaktif yang dapat mempengaruhi kesehatan khususnya susunan saraf pusat. Alkohol dapat menimbulkan penumpukan

lemak di hati, kerusakan otak, sirosis hati. Pada orang tertentu alkohol dapat mengakibatkan kematian (Jamal, 1999)

Alkohol bila dikonsumsi secara moderat maka kelihatannya tidak menimbulkan masalah, bahkan bermanfaat karena dapat menaikkan kadar kolesterol baik (HDL). Tetapi kalau berlebihan dapat berakibat buruk seperti bagi penderita jantung membesar maka akan terjadi aritmia dan dapat menyebabkan gangguan pada detak jantung (nadi) serta menyebabkan susah tidur (Soeharto, 2001).

Selain faktor risiko yang telah diuraikan di atas, terdapat beberapa karakteristik penderita yang dipandang berhubungan dengan PJK, antara lain:

1. Usia

Usia berpengaruh pada risiko terkena PKV, karena usia menyebabkan perubahan di dalam jantung dan pembuluh darah. Pada usia lansia, biasanya orang menjadi kurang aktif, berat badan meningkat. Pengaruh gaya hidup yang kurang gerak, merokok, dan makanan yang miskin nutrisi mempercepat kerusakan jantung dan sirkulasi darah dan kadar kolesterol. Tekanan darah meningkat sesuai usia, karena arteri secara perlahan-lahan kehilangan keelastisannya. Usia membawa perubahan yang tidak terkendalikan pada tubuh manusia termasuk sistem kardiovaskular, seperti meningkatnya PJK. Perubahan-perubahan yang diakibatkan oleh usia juga dipengaruhi oleh masalah genetik serta diperberat oleh berkurangnya aktifitas fisik, dan berbagai penyakit degeneratif seperti DM, hipertensi yang tidak terkendali, dan kebiasaan merokok (Soeharto, 2004).

Dokumen terkait