• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA TEORI

C. Dampak Sindrom Pramenstrasi (PMS)

6. Faktor Sosio-Demografi

Faktor sosio-demografi yang berhubungan dengan kejadian PMS adalah umur (Saryono dan Sejati, 2009, Amjad dkk., 2014), status perkawinan (Saryono dan Sejati, 2009, Amjad dkk., 2014), pernah atau tidak melahirkan (Saryono dan Sejati, 2009), pendidikan (Amjad dkk., 2014), pendapatan (Amjad dkk., 2014), usia menarche

(Amjad dkk., 2014), dan tempat tinggal (Amjad dkk., 2014). Berikut penjelasan masing-masing faktor:

a. Umur

Umur menjadi salah satu faktor yang berkaitan dengan kejadian PMS. Dimana PMS akan terjadi pada saat wanita berada pada usia subur hingga saat wanita mengalami menoupause.

Karena pada saat menopause, ovarium akan berhenti memproduksi hormon estrogen dan progesteron, sehingga siklus menstruasi berhenti (North American Menopause Society, 2010). Menurut Saryono dan Sejati (2009), seiring bertambahnya usia tingkat risiko kejadian PMS akan semakin bertambah, terutama antara usia 35-40 tahun. Pernyataan tersebut juga didukung oleh pernyataan yang dikemukakan oleh UMM (2013), yang menyatakan bahwa kejadian PMS akan cenderung terjadi lebih parah pada wanita yang berada di akhir 20-an dan di awal 40-an.

Hal ini juga diperkuat dengan sebuah penelitian yang meneliti pada dua populasi, yaitu populasi wanita muda dan wanita setengah baya, bahwa gejala PMS lebih sering ditemukan pada wanita setengah baya (Brahmbhatt dkk., 2013). Meskipun hal ini tidak dapat secara jelas dipaparkan penyebabnya, namun hal ini mungkin dapat terjadi karena adanya konsumsi kontrasepsi hormonal dan kurangnya aktifitas fisik pada rentang usia tersebut (Brahmbahtt dkk., 2013).

Tetapi pernyataan di atas tidak sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Amjad, dkk. (2014) yang menemukan terdapat hubungan (P value < 0,05) antara usia wanita dengan PMS. Dari hasil penelitiannya, ditemukan bahwa wanita dengan rentang usia 15-24 tahun lebih banyak (64,67%) menderita PMS dibandingkan dengan wanita yang memiliki rentang usia 25-34 tahun (22,75%)

dan 35-45 tahun (12,57%). Namun terkait hal ini belum dapat dijelaskan secara pasti.

b. Status perkawinan

Saryono dan Sejati (2009) menjelaskan bahwa status perkawinan juga dapat meningkatkan risiko kejadian PMS. Menurutnya, wanita dengan kesulitan untuk menikah akan memiliki risiko yang lebih tinggi terhadap kejadian PMS. Hal ini sangat erat kaitannya dengan masalah psikologis yang dialami pada wanita tersebut.

Sejalan dengan Saryono dan Sejati (2009), hasil penelitian Amjad, dkk. (2014) menemukan bahwa status perkawinan memiliki hubungan (P value < 0,05) dengan kejadian PMS. Dari hasil tersebut diketahui bahwa wanita yang belum menikah lebih banyak yang mengalami PMS (59,88%) dibandingan dengan wanita yang sudah menikah (39,52%) dan wanita yang sudah menjanda (0,6%).

c. Pernah atau tidak melahirkan

Kejadian PMS akan semakin berat setelah melahirkan beberapa anak, terutama bila pernah mengalami kehamilan dengan komplikasi seperti toksima (pre-eklampsia) (Saryono, 2009).

d. Pendidikan

Pendidikan adalah suatu proses pembentukan kecepatan seseorang secara intelektual dan emosional (Notoatmodjo, 2007). Sejatinya pendidikan memiliki keterkaitan yang erat dengan

kejadian PMS. Dengan adanya tingkat pendidikan yang tinggi akan sejalan dengan tingginya pengetahuan terhadap kesehatan, khususnya dalam hal ini kejadian PMS, sehingga kejadian PMS dapat disikapi dengan lebih baik (Dewi, 2010).

Hal tersebut diperkuat dengan penelitian yang menemukan bahwa sebanyak 52,6% responden yang memiliki pengetahuan baik, memberikan sikap positif dalam menghadapi PMS, sedangkan 92,9% responden yang memiliki pengetahuan kurang baik, memberikan sikap negatif dalam menghadapi PMS (Dewi, 2010). Dari hasil penelitian tersebut juga didapatkan bahwa terdapat hubungan (P value < 0,05) antar pengetahuan dengan sikap remaja dalam menghadapi PMS.

Penelitian lainnya yang dilakukan oleh Amjad, dkk. (2014) menemukan bahwa terdapat hubungan (P value < 0,05) antara pendidikan dengan PMS. Dimana hasil tersebut menunjukan bahwa wanita dengan tingkat pendidikan yang tinggi, lebih banyak mengalami PMS dibandingan wanita dengan tingkat pendidikan yang rendah. Hal ini mungkin berhubungan dengan tingkat stres yang dialami dari tuntutan urusan di bidang pendidikan (Amjad dkk., 2014).

e. Pendapatan

Pendapatan memiliki hubungan yang tidak langsung dengan kejadian PMS. Dimana besar kecilnya pendapatan dapat mempengaruhi kepuasaan seseorang terhadap hidup (Lustyk dan

Gerrish, 2010). Sehingga, apabila seseorang memiliki pendapatan yang cukup, tentunya risiko seseorang mengalami stres akan menurun. Hal ini juga diperkuat dengan penelitian yang dilakukan oleh Amjad, dkk. (2014) yang menemukan bahwa terdapat hubungan antara kejadian PMS dengan pendapatan seseorang.

f. Usia menarche

Menarche adalah kata lain dari menstruasi pertama, yang biasanya di Indonesia terjadi pada usia ±12 tahun (Amaliah dkk., 2012) atau 13 tahun (Kemenkes, 2010). Sedangkan kategori usia

menarche dibagi menjadi 3, yaitu (Bagga dan Kulkarni, 2000): 1) Cepat, jika usia menarche ≤11 tahun.

2) Normal, jika usia menarche 12-13 tahun. 3) Lambat, jika usia menarche >13 tahun

Usia menarche juga merupakan salah satu faktor yang berhubungan dengan PMS. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Aminah, dkk. (2011) diketahui bahwa terdapat hubungan (P

value < 0,05) antara usia menarche siswi dengan PMS. Menurut penelitian tersebut, siswi dengan usia menarche cepat (< 12 tahun) berisiko 2,3 kali lebih besar untuk menderita PMS dibandingkan dengan siswi yang mengalami menarche lebih lambat (Aminah dkk., 2011). Hal ini sejalan dengan penelitian Amjad, dkk. (2014) yang juga menemukan hal yang serupa.

Sebenarnya mekanisme antara usia menarche yang dikaitkan dengan PMS masih belum jelas (Amjad dkk., 2014).

Namun ada kemungkinan bahwa proses pematangan dari sisi fisiologi dan psikologis yang belum sepenuhnya sempurna pada awal fungsi ovariumlah yang mungkin bertanggung jawab atas hubungan tersebut (Aminah dkk., 2011, Amjad dkk., 2014).

Namun terdapat juga penelitian lain yang menemukan bahwa tidak ditemukannya hubungan antara usia menarche dengan gejala pra menstruasi dan gejala PMS (Padmavathi dkk., 2013, Silvia dkk., 2008), meskipun terlihat bahwa tingkat prevalensi gejala dan sindrom pramenstruasi lebih tinggi pada wanita usia yang pada menarche kurang dari 11 tahun (Silvia dkk, 2008).

g. Tempat Tinggal

Tempat tinggal juga merupakan faktor yang berhubungan dengan PMS. Tempat tinggal yang dimaksud adalah daerah rural (pedesaan) dan urban (perkotaan) (Amjad dkk., 2014). Amjad, dkk. (2014) menemukan bahwa terdapat hubungan (P value < 0,05) antara tempat tinggal dan PMS. Dimana menurut hasil peneitian tersebut, wanita yang tinggal di daerah perkotaan lebih banyak (85,62%) yang mengalami PMS, dibandingankan dengan wanita yang tinggal di daerah pedesaan (12,57). Hal ini sejalan dengan penelitian lainnya, yang menemukan bahwa remaja putri yang mengalami PMS lebih banyak ditemukan pada remaja putri yang tinggal di kota (70,3%), dibandingkan dengan remaja putri yang tinggal di desa (56,6%) (Emilia dkk., 2013, Ray dkk., 2010).

Kejadian PMS tersebut disebabkan karena adanya faktor stres pada siswi, dimana siswi yang tinggal di kota lebih banyak mengalami stres (Emilia dkk., 2013). Kehidupan yang penuh stres akan mempengaruhi dan memperparah gejala-gejala fisik maupun psikologis dari PMS (Emilia dkk., 2013).

Dokumen terkait