• Tidak ada hasil yang ditemukan

Faktor yang Melatarbelakangi Tradisi Pemilihan Saksi

BAB III HASIL PENELITIAN

D. Faktor yang Melatarbelakangi Tradisi Pernikahan Jam’iyah Rifa’iyah 47

2. Faktor yang Melatarbelakangi Tradisi Pemilihan Saksi

Terjadinya kualifikasi saksi pernikahan adalah faktor yang melatarbelakangi tradisi pemilihan dan penunjukan saksi pernikahan.

Jam’iyah Rifa’iyah Desa Jetis Kecamatan Bandungan Kabupaten

Semarang

melakukan pemilihan dan seleksi tersendiri. Masyarakat mengusulkan beberapa nama warga yang dianggap memenuhi kualifikasi saksi pernikahan. Kemudian para tokoh Jam’iyah Rifa’iyahlah yang berhak menyeleksi dan menentukan seseorang menjadi saksi pernikahan yang kemudian dinobatkan. Jumlah saksi pernikahan bervariatif, sampai sekarang jumlah rata-rata saksi pernikahan adalah 6 orang, jadi hanya 6 orang inilah yang bisa menjadi saksi dimana mereka tinggal, akan tetapi terkadang mereka juga diundang untuk menjadi saksi pernikahan di

Jam’iyah Rifa’iyah desa lain biasanya dikarenakan adanya hubungan

kekeluargaan antara mempelai pernikahan dengan para saksi tersebut. Dalam Kitab Tabyin al-Islah karangan KH. Ahmad Rifa’i

halaman 48-50 dijelaskan mengenai kualifikasi saksi pernikahan yaitu: a. Islam.

b. Akil (berakal). c. Baligh.

d. Laki-laki. e. Merdeka. f. Dua orang.

g. Bisa melihat (tidak buta). h. Bisa mendengar (tidak tuli). i. Bisa berbicara (tidak bisu). j. Bukan anaknya.

k. Bukan bapaknya. l. Bukan musuhnya. m. Bukan orang yang fasiq. n. Terjaga kehormatanya.

o. Terjaga keselamatan i‟tiqad (keyakinan) nya, yakni bukan orang Qadariyyah dan Jabariyyah.

p. Terjaga pemikirannya (bisa mengendalikan diri atau orang yang tidak pemarah, dan orang yang lemah).

Syarat syah saksi tentang bukan orang fasiq biasanya sulit dipenuhi oleh saksi pernikahan di kalangan Jam’iyah Rifa’iyah. Khadzaroh berpendapat:

“Bukan orang yang fasiq merupakan syarat syah yang sulit

dipenuhi oleh saksi pernikahan di kalangan Jam’iyah Rifa’iyah

dikarenakan orang yang tidak fasiq diharuskan untuk tidak melakukan klasifikasi dosa yang difatwakan oleh KH. Ahmad

Rifa’i”.

KH. Ahmad Rifa’i mengklasifikasikan dosa menjadi tiga yaitu: a. Dosa besar yang mengakibatkan pelakunya menjadi kafir.

Dosa besar yang mengakibatkan pelakunya menjadi kafir ada 10 macam yaitu:

1) Berkeyakinan dalam hati bahwa Allah SWT tidak ada. 2) Berkeyakinan dalam hati bahwa para Nabi tidak ada. 3) Menghina sebagian syariat Islam.

4) Bersujud kepada berhala, matahari dan lain-lain. 5) Meragukan ajaran-ajaran yang dibawa oleh para Nabi.

6) Berkeyakinan bahwa adat atau tradisi bisa memberikan efek atau dampak tersendiri (menafikan pertolongan Allah SWT). 7) Meragukan hari kiamat.

8) Menghalalkan sesuatun yang diharamkan oleh Nabi dan sebaliknya.

9) Membenci sebagian syariat agama Islam.

10) Menjatuhkan al-Qur’an dengan sengaja di tempat yang hina. b. Dosa besar yang tidak mengakibatkan pelakunya menjadi kafir.

Dosa besar yang tidak menyebabkan pelakunya menjadi kafir ada 44 macam yaitu:

1) Membunuh atau melukai sesama umat Islam tanpa alasan yang syariat.

2) Berzina dan liwat.

3) Minum arak (kullu musykirin).

4) Memakan harta anak yatim tanpa alasan. 5) Memakan harta riba‟.

6) Mencuri. 7) Main judi.

8) Menuduh orang lain berbuat zina, padahal orang yang dituduh tidak melakukannya.

9) Persaksian yang dusta.

10) Merampas milik orang lain (mbegal).

11) Melarikan diri dari medan perang melawan orang kufur. 12) Tidak taat kepada salah satu kedua orang tua.

13) Meninggalkan salah satu shalat wajib lima waktu.

14) Meninggalkan puasa pada bulan ramadlan walaupun hanya satu hari.

15) Menyelewengkan ajaran Nabi Muhammad SAW. 16) Mencela para sahabat Nabi Muhammad SAW. 17) Meninggalkan belajar ilmu yang wajib dipelajari. 18) Tidak mau bersaksi atas apa yang dilihat.

19) Sumpah yang dusta.

20) Memutus tali persaudaraan.

21) Mengurangi timbangan atau takaran dalam transaksi apapun. 22) Perilaku suap-menyuap.

23) Memukul sesama orang Islam.

24) Tidak mau membayar zakat, baik zakat mal maupun zakat fitrah. 25) Memakan bangkai.

27) Meninggalkan amar ma‟ruf dan nahi munkar.

28) Tidak menyampaikan ilmu yang sebenarnya kepada orang lain. 29) Mengumpulkan laki-laki dan wanita dalam satu majelis yang

mengandung terlihatnya aurat.

30) Memfitnah seseorang melalui penguasa atau pemerintah. 31) Melakukan sihir.

32) Menjelek-jelekkan orang alim dan orang yang mengafal Alqur’an.

33) Wanita yang nusyuz pada suaminya. 34) Memakan daging babi.

35) Merasakan dalam hati tidak menggantungkan pada Allah SWT. 36) Ziharnya seorang suami.

37) Membakar rumah.

38) Menghafal al-Qur’an akan tetapi tidak menjaganya. 39) Melakukan dosa kecil secara terus menerus. 40) Membakar hewan hidup-hidup.

41) Ujub (berbangga diri). 42) Riya‟ (pamer).

43) Takabbur (sombong). 44) Hasut.

c. Dosa kecil yang apabila dilakukan terus-menerus akan mengakibatkan pelakunya menjadi fasiq.

Dosa kecil yang apabila dilakukan terus-menerus maka akan mengakibatkan pelakunya menjadi fasiq ada 21 macam, yaitu: 1) Menjelek-jelekkan orang Islam (moyok‟i).

2) Laki-laki memandang perempuan yang bukan mahrom dan sebaliknya.

3) Bicara dusta Membuka aurat. 4) Melihat sesuatu yang haram. 5) Mendengarkan suara yang haram.

6) Mendatangi tempat yang digunakan untuk maksiat. 7) Memakai pakaian haram.

8) Membicarakan kejelekan orang lslam, sekalipun yang dibicarakan adalah kenyataan.

9) Saling berdiam diri dengan sesama muslim. 10) Menjual sesuatu yang mendatangkan dosa. 11) Berniat akan melakukan dosa besar. 12) Memasukkan anak kecil ke dalam masjid. 13) Memakai pakaian yang terkena najis.

14) Berlebih-lebihan dalam menggunakan sutra.

15) Mendengarkan suara musik sekalipun gamelan (termasuk televisi dan radio).

16) Menjual budak muslim kepada orang kufur. 17) Menjual barang yang kejelekannya ditutup-tutupi. 18) Menjual arak.

19) Kencing menghadap Ka’bah dan berak. 20) Membelakangi Ka’bah tanpa pengalang. 21) Menggambar bentuk hewan.

3. Faktor yang Melatarbelakangi Tradisi Shihah

a. Tradisi shihah pada masa KH. Ahmad Rifa’i

Pada masa KH. Ahmad Rifa'i penghulu tidak bisa menjadi wali, hal ini karena penghulu dipandang tidak adil. Para penghulu meskipun alim tetapi tetap saja fasiq lantaran mereka mengabdikan diri pada pemerintah yang kafir. perilaku penghulu yang menyimpang dari aturan syariat menyebabkan akad nikah yang dilangsungkan oleh penghulu dianggap tidak sah sehingga melatar belakangi adanya pengulangan pernikahan. Menurut pandangan bapak Khadzaroh ada beberapa hal yang menjadi dasar penghulu

tidak bisa menjadi wali pada masa KH. Ahmad Rifa’i:

“Pertama, penghulu menghamba kepada raja kafir atau kolonial Belanda. Raja kafir seharusnya dilawan, bukan diikuti, ditaati, dan apalagi mengabdi kepada mereka. Kedua, para penghulu hanya mengejar kekayan duniawi dan pangkat jabatan. Hal ini tampak dalam perilaku mereka yang mengambil kas masjid sebagai gaji demi kepentingan pribadi. Ketiga, para penghulu menerima upah yang telah ditentukan dari akad nikah yang ia catat. Qadhi maupun yang lain tidak layak menerima upah menikahkan atau mencatat pernikah. Menikahkan bukanlah profesi, melainkan aturan syariat yang harus ditunaikan. Sehingga meminta upah atas akad nikah diharamkan. Sedang menerima ujroh tanpa meminta dalam jumlah yang bebas diperkenankan. Tetapi, yang terjadi banyak penghulu menerapkan tarif dalam setiap akad nikah yang dijalankannya. Keempat, para penghulu biasanya selalu berharap akan harta benda dan tidak ikhlas. Kelima, penghulu

itu telah menentang syariat dengan menjalankan hukum kafir atau penjajah Belanda yang bertentangan dengan Islam. Dan celakanya dasar-dasar tersebut dibiasakan dalam kehidupan penghulu. Lengkap sudah seorang penghulu tidak sah menjadi wali dalam sebuah pernikahan. Sebagai solusi, KH. Ahmad Rifa'i mengharuskan diadakannya nikah ulang atau shihah agar pernikahan sepasang pengantin menjadi sah”.

Pendapat bapak Khadzaroh tersebut berdasarkan petikan syair dalam kitab Tabyin al-Islah karangan KH. Ahmad Rifa’i

halaman 180 berikut ini:

Akeh „alim fasiq niru saiki zaman, pada dadi pengulu maha gedhe kedusan. Buru artha haram duniane keluhuran, ikulah kena fitnah dunia pengapusan.

Artinya: “Banyak alim fasiq seperti pada era kini, mereka menjadi penghulu berlumur dosa. Mengejar uang haram dan kemuliaan dunia, mereka tertipu fitnah dunia”.

Dan juga syair dalam kitab Tabyin al-Islah karangan KH.

Ahmad Rifa’i halaman 194 berikut ini:

Kang podo ngawula marang raja kufur, sakeng pangestu ing sabenere syara‟ mungkur. Uga ghalib qadhi ora sah jumat shalat, lan nikahan bebathalan kurang syarat.

Artinya: “Mereka menghambakan diri pada raja kafir, tidak mengikuti aturan syariat. Sehingga penghulu tidak sah menjadi imam shalat jumat, dan mewakili wali dalam akad nikah, batal karena kurang syarat”.

Dari keterangan Bapak Khadzaroh dan petikan syair dalam kitab Tabyin al-Islah dapat disimpulkan bahwa pada masa KH.

Ahmad Rifa’i melakukan tradisi shihah karena tidak percaya pada penghulu pada masa itu. Buktinya, penghulu yang dipergunakan biasanya tidak memenuhi kriteria adil. Mereka mengabdi kepada

kolonial yang kafir. Dan tidak lagi memiliki kesempurnaan dalam sikap adil. Inilah yang melatar belakangi tradisi shihah di kalangan

Jam’iyah Rifa’iyah pada masa itu. b. Tradisi shihah Pada masa kini

Tradisi shihah pada masa kini sudah mengalami pergeseran. Pada masa kini tradisi shihah sudah jarang dilakukan dikalangan

Jam’iyah Rifa’iyah dan sudah menerima pernikahan oleh penghulu

di karenakan para penghulu sudah diperintah oleh penguasa bukan kafir dan para penghulu dinilai sudah memiliki sifat adil. Namun masih ada kecenderungan di kalangan Jam'iyah Rifa'iyah untuk mempertahankan tradisi shihah. Dalam pendapatnya Bapak Khadzaroh mengatakan:

“Tradisi shihah pada masa kini didasarkan pada 3 tujuan, yakni tajamul atau memperindah pernikahan, ikhtiyath atau berhati-hati dalam menjalankan syari’at dan tajdid atau

meperbaharui pernikahan”.

Dan biasanya dalam prosesi pernikahan di Desa Jetis Kecamatan Bandungan, seorang penghulu hanya datang lalu mencatat pernikahan. Penghulu hanya bertugas sebagai PPN tidak mengakadkan. Sedang yang biasa mengakadkan adalah wali sendiri atau tahkim kepada tokoh masyarakat desa ini.

Jadi, pada masa kini yang melatarbelakangi tradisi shihah di

kalangan Jam’iyah Rifa’iyah dikarenakan mereka ingin

hati dengan syari’at KH. Ahmad Rifa’i tentang tidak syahnya

BAB IV ANALISIS DATA

A. Analisis Tradisi Pernikahan di Jam’iyah Rifa’iyah

Sebagaimana para pemuka aliran, KH. Ahmad Rifa’i tidak pernah memproklamasikan berdirinya Jam’iyah Rifa’iyah sebagai nama bagi sebuah organisasi. Para pengikutnyalah yang mengidentifikan diri sebagai pengikut

KH. Ahmad Rifa’i. Mereka biasa menyebut diri sebagai santri Tarjumah atau santri Rifa’iyah. Semenjak abad ke 19 hingga pertengahan abad ke 20, santri Tarjumah masih tersebar dalam berbagai organisasi dan lembaga. Kemudian Tepat pada tanggal 18 Desember 1991 (18 Jumadil Akhir 1412 H),

dideklarasikanlah Jama’ah Jam'iyah Rifa'iyah di Cirebon, Jawa Barat. Berdirinya Jam'iyah Rifa'iyah ini merupakan puncak kesadaran santri Tarjumah akan pentingnya sebuah organisasi dalam menghadapi berbagai tantangan bangsa, negara, umat, dan agama. Di satu sisi Jam’iyah Rifa’iyah juga harus melestarikan tradisi pemikiran KH. Ahmad Rifa'i yang masih relevan dan dinamis.

Jam’iyah Rifa’iyah dalam menetapkan landasan hukum masih menggunakan tradisi pemikiran KH. Ahmad Rifa’i. Tradisi pemikiran KH. Ahmad Rifa’i juga digunakan dalam masalah pernikahan, sehinga di kalangan Jam’iyah Rifa’iyah terdapat tradisi pernikahan yang berbeda dengan umat

1. Tradisi mempelajari kitab Tabyin al-Islah sebelum pernikahan

Tradisi mempelajari kitab Tabyin al-Islah sebelum pernikahan adalah calon mempelai laki-laki dan perempuan di Jam’iyah Rifa’iyah diharuskan mempelajari kitab Tabyin al-Islah sebelum pernikahan dilakukan.

2. Tradisi pemilihan saksi pernikahan

Tradisi pemilihan saksi pernikahan adalah pemilihan saksi pernikahan yang sesuai dengan kualifikasi pernikahan di kitab Tabyin al- Islah.

3. Tradisi shihah.

Tradisi shihah adalah tradisi pengulangan akad nikah yang sebelumnya telah dilakukan.

B. Analisis Faktor yang Melatar Belakangi Tradisi Pernikahan Jam’iyah Rifa’iyah

1. Faktor yang Melatarbelakangi Tradisi Mempelajari Kitab Tabyin al- Islah Sebelum Pernikahan

Menurut pandangan ulama Jam’iyah Rifai’yah, seseorang yang akan menikah atau melakukan suatu hubungan muamalah dengan sesama manusia maka harus mempelajari dan memahami maksud dan tujuan yang akan dicapai supaya ibadah yang dilakukan tidak sia-sia begitu saja. Serta dengan cara ini kita akan tahu bagaimana tata cara beribadah dan semua hal mengenai ibadah itu sendiri. Ada prinsip dalam ajaran

Jam’iyah Rifai’yah yaitu barang siapa yang beramal tanpa ilmu, maka

segala amalnya akan sia-sia di tolak. Prinsip Jam’iyah Rifa’iyah ini tidak hanya berlaku bagi perkawinan saja, tetapi juga haji, jual beli, toharoh, yang juga ada kitab tersendiri.

Jam’iyah Rifa’iyah juga beranggapan bahwa orang yang tidak mempelajari lebih dulu kitab Tabyin al-Islah, perkawinannya akan dianggap tidak shahih dan pernikahannya tidak akan kekal dan bahagia. Dan jika ada salah satu Jam’iyah Rifa’iyah yang tidak mempelajari kitab

Tabyin al-Islah sebelum pernikahan maka dia akan mendapatkan sanksi

dari Jama’ah Jam’iyah Rifa’iyah yaitu dia akan setengah dikucilkan dari

Jama’ah Jam’iyah Rifa’iyah. Walaupun tradisi mempelajari kitab Tabyin al-Islah sebelum pernikahan terlihat memberatkan bagi pasangan yang akan melakukan pernikahan, tetapi tradisi mempelajari kitab Tabyin al- Islah di Jam’iyah Rifa’iyah hingga sekarang masih dilakukan oleh

Jam’iyah Rifa’iyah karena Jam’iyah Rifa’iyah sangat memegang teguh

ajaran-ajaran dari KH. Ahmad Rifa’i dan tradisi mempelajari kitab

Tabyin al-Islah sebelum pernikahan dipandang dapat mengajarkan kepada pasangan mempelai bagaimana mencapai perikahan yang bahagia dan kekal.

2. Faktor yang Melatarbelakangi Tradisi Pemilihan Saksi Pernikahan

Terjadinya kualifikasi saksi pernikahan adalah faktor yang melatar belakangi tradisi pemilihan saksi pernikahan. Jam’iyah Rifa’iyah

di Desa Jetis Kecamatan Bandungan Kabupaten Semarang melakukan pemilihan dan seleksi tersendiri saksi pernikahan. Masyarakat mengusulkan beberapa nama warga yang dianggap memenuhi kualifikasi saksi pernikahan. Kemudian para tokoh Jam’iyah Rifa’iyahlah yang berhak menyeleksi dan menentukan seseorang menjadi saksi pernikahan yang kemudian dinobatkan. Jumlah saksi pernikahan bervariatif, sampai sekarang jumlah rata-rata saksi pernikahan adalah 6 orang, jadi hanya 6 orang inilah yang bisa menjadi saksi dimana mereka tinggal, akan tetapi terkadang mereka juga diundang untuk menjadi saksi pernikahan di

Jam’iyah Rifa’iyah lain biasanya dikarenakan adanya hubungan

kekeluargaan antara mempelai pernikahan dengan para saksi tersebut. Mengenai kualifikasi saksi pernikahan KH. Aḥmad Rifa’i memasukkannya ke dalam salah satu rukun nikah, sebagaimana tertulis dalam kitabnya Tabyin al-Iṣlah. Dalam masalah kualifikasi pernikahan

KH. Ahmad Rifa’i mengikuti Imam Syafi’i. Berikut ini bukti KH.

Ahmad Rifa’i mengikuti ajaran Imam Syafi’i:

a. Islam, akil (berakal), baligh, dua laki-laki, dan merdeka.

Kualifikasi Islam, akil, baligh, dua laki-laki, dan merdeka

bagi saksi pernikahan sebagaimana dituliskan KH. Aḥmad Rifa’i

dalam Tabyin al-Islah-nya, ternyata juga terdapat dalam kitab Taqrib

karangan Abu Syuja’ (salah satu ulamamadzhab Syafi’i) halaman 44 tertulis sebagai berikut:

عبارلاو لقعلا ثلاثلاو غولبلا نياثلاو ملاسلاا طءارش ةتس لىا نادىاشلاو ليولا رقتفيو

.ةلادعلا سداسلاو ةروكذلا سمالخاو ةيرلِا

Artinya: “Wali dan dua saksi membutuhkan enam syarat: pertama,

Islam. Kedua, baligh. Ketiga, berakal. Keempat, merdeka. Kelima, Laki-laki. dan keenam, adil”.

b. Bisa melihat (tidak buta) dan bisa mendengar (tidak tuli).

Kualifikasi saksi pernikahan bisa melihat dan mendengar di dalam kitab Tabyin al-Islah juga dijelaskan dalam kitab Hasyiyah I‟anah at-Talibin karangan Jalil Jubali (salah satu ulama madzhab

Syafi’i) halaman 229 dituliskan sebagai berikut:

.... رصبو عسمو ةلادعو ةروكذو ةيرح امهطرشو نيدىاش ةرضبح لاا حصيلا

Artinya: “Tidak sah akad nikah kecuali dengan hadirnya dua saksi,

syarat-syaratnya adalah merdeka, laki-laki, adil, bisa mendengar, dan bisa melihat....”.

c. Bisa berbicara (tidak bisu).

Saksi disyaratkan harus orang yang bisa berbicara, tidak bisu. Syarat ini juga dijelaskan kitab al-Iqna‟ karangan Muhammad Syabirin Rasyid (salah satu ulama madzhab Syafi’i) halaman 632 dituliskan sebagai berikut:

وتراشا تمهف ناو سرخلاا ةداهش لبقت لاف اقطان نوكي نا ةنماثلاو

.

Artinya: “Dan syarat saksi yang kedelapan yaitu orang yang bisa berbicara, tidak diterima kesaksian orang bisu walaupun bahasa isyaratnya bisa difahami”.

d. Bukan anak dan bapaknya

Kualifikasi saksi pernikahan ini dapat kita lihat di dalam kitab Hasyiyah al-Allamah asy-Syekh Sulaiman al-Jaml ala Syarh al-Minhaj karangan Sulaiman al-Jamal (salah satu ulama madzhab

Syafi’i) halaman 384 dituliskan sebagai berikut:

ارتو

د

ش

ها

د

ول عرف وأ لصأ نم وضعبل وت

....

Artinya: “Dan ditolak kesaksiannya kepada sebagiannya, yakni dari asal (bapak) atau cabang (anak)nya ...”.

e. Bukan musuhnya.

Tidak diperbolehkan seorang musuh menjadi saksi.

Pernyataan ini dipertegas ulama madzhab Syafi’i bisa dilihat dalam

kitab Fath al-Wahhab karanagan Abi Yahya Zakaria al Anshori halaman 221 dituliskan sebagai berikut:

نم لبقتلاو

دع

صخشو

لع

وي

.

Artinya: “Dan tidak diterima kesaksian seorang musuh terhadapnya” .

f. Bukan orang yang fasiq

Bukan orang yang pernah melakukan dosa besar dan bukan orang yang sering menjalankan dosa kecil atau adil. Syarat ini dituliskan di dalam kitab Tabyin al-Islah dan diperkuat dalam kitab

ulama madzhab Syafi’i yaitu dalam kitab al-Iqna‟ karangan Muhammad Syabirin Rasyid halaman 632 dituliskan sebagai berikut:

لخاو

ا

ش لبقت لاف ةلادعلا ةسم

ها

د

قساف ة

.

Artinya: “dan syarat saksi yang kelima adalah adil, tidak diterima

kesaksian orang fasiq”.

g. Terjaga kehormatannya

Orang yang di komunitasnya terjaga dari kejelekan tempat tersebut, contoh: makan di warung pinggir jalan, tidak memakai penutup kepala ketika hendak ke sawah, tidak memakai baju di luar rumah, dan lain-lain. Syarat ini juga dituliskan dalam kitab Fath al- Wahhab karangan Abi Yahya Zakaria al Anshori halaman 221 tertulis sebagai berikut:

دىاشلا

رح

كم

ل

ف

ذ و

ةءورم

.

Artinya: “Saksi adalah orang yang merdeka, mukallaf, dan

mempunyai harga diri”.

h. Terjaga keselamatan i‟tiqad (keyakinan)nya, yakni bukan orang Qadariyyah dan Jabariyyah.

Keberadaan saksi pernikahan yang diharuskan orang yang terjaga i‟tiqad atau keyakinannya. ini tertulis di kitab-kitab karangan

ulama madzhab Syafi’i dalam kitab Hasyiyah Ibrahim al-Baijuri

karangan Ibrahim al-baijurri halaman 663 tertulis sebagai berikut:

س لدعلا نوكي نأ ثلاثلاو

ل

ةريرسلا مي

ش لبقت لاف ةديقعلا يأ

ها

د

وأ رفكي عدتبم ة

دبب قسفي

ع

وت

.

Artinya: “dan yang ketiga dari syarat adil adalah terjaga

keyakinannya, tidak diterima kesaksian pelaku bid‟ah yang mengakibatkan kufur atau fasiq”.

Dalam hal ini, baik Imam Syafi’i maupun para pengikutnya tidak secara langsung bahwa orang yang berakidah Qadariyyah dan Jabariyyah tidak boleh menjadi saksi. Akan tetapi Imam Syafi’i dan para pengikutnya hanya menyebutkan orang yang selamat i‟tiqadnya yang bisa menjadi saksi. Jadi jelaslah bahwa ini adalah salah satu

sumbangsih pemikiran KH. Aḥmad Rifa’i.

i. Terjaga pemikirannya (bisa mengendalikan diri atau orang yang tidak pemarah, dan orang yang lemah).

Syarat ini tertulis di kitab ulama madzhab Syafi’i yaitu kitab al-Iqna‟ karangan Muhammad Syabirin Rasyid halaman 634 tertulis sebagai berikut:

انومأم لدعلا نوكي نأ عبارلاو

ع

بضغلا دن

....

Artinya: “dan bagian yang keempat dari adil adalah seseorang yang

terjaga dari kemarahannya ...”.

Kualifikasi saksi harus orang yang terjaga kehormatannya, orang yang terjaga keselamatan i‟tiqad (keyakinan)nya dan orang yang terjaga pemikirannya (bisa mengendalikan diri atau orang yang tidak pemarah, dan orang yang lemah) ini dalam kitab-kitab ulama madzhab Syafi’i adalah bagian dari adil, akan tetapi KH. Aḥmad Rifa’i merinci satu persatu sebagai syarat saksi nikah, tidak heran ketika syarat saksi yang

disebutkan dalam kitab-kitab Syafi’iyah lebih sedikit daripada di dalam kitab Tabyin al-Iṣlah.

Dalam masalah saksi pernikahan bukan orang yang fasiq Jam’iyah Rifa’iyah berpendapat bahwa bukan orang yang fasiq adalah orang muslim mukallaf yang tidak menjalankan dosa besar, tidak mengesampingkan dosa kecil dan menolak orang yang bukan fasiq berdasarkan cerita orang. Kualifikasi ini di kalangan Jam’iyah Rifa’iyah dianggap paling sulit dipenuhi oleh seorang saksi pernikahan. Sehingga kualifikasi bukan orang fasiq merupakan faktor utama yang melatar

belakangi adanya pemilihan saksi pernikahan di Jam’iyah Rifa’iyah.

3. Tradisi Shihah

Pada masa KH. Ahmad Rifa’i pengulangan pernikahan atau

tradisi shihah dikarenakan wali hakim atau penghulu pada masa KH.

Ahmad Rifa’i melakukan penyelewengan dan para penghulu hanya memikirkan kepentingan pribadi dengan mengatas namakan dan memanfaatkan agama, guna mengeruk keuntungan pribadi. Dalam

kondisi ini, KH. Ahmad Rifa’i memahami bahwa penghulu tidak memenuhi kualifikasi adil. Konsekuensinya, perwalian dan akad nikah tidak sah. Lalu dibuatlah institusi shihah guna menanggulangi ketidak absahan akad nikah. Diharapkan, pernikahan tersebut benar-benar sah.

KH. Ahmad Rifa'i tidak mengeluarkan fatwa bahwa shihah itu sebagai keharusan. Ia juga tidak mengklaim pernikahan yang diakadkan

penghulu tidak sah secara mutlak. Dalam Tabyin al-Islah, ia hanya menyebutkan ghalib qadhi (mayoritas penghulu). Dengan demikian, jika ada qadhi yang masih bertahan dan berpegang teguh kepada syari’ah, maka akad nikah sah. Akan tetapi, orang seperti ini benar-benar langka. Secara politis, posisi qadhi waktu itu teramat lemah. Ia menjadi bawahan, diperintah oleh pejabat pemerintah Belanda atau pemimpin kafir.

Dalam perjalanan waktu, ada pergeseran pemahaman di Jam’iyah

Rifa’iyah dalam mengambil kesimpulan, bahwa pendapat hukum yang

dikeluarkan oleh KH. Ahmad Rifa'i adalah sebuah produk hukum yang tidak selalu mengikat bagi para pengikutnya untuk seterusnya. Walaupun fatwa ketidak absahan nikah yang diakadkan oleh penghulu dianggap sebagai keputusan final. Dan membatu dan membeku dalam logika berfikir di Jam'iyah Rifa'iyah selama beberapa waktu.

Setelah masa kemerdekaan pemahaman Jam’iyah Rifa’iyah sedikit demi sedikit mulai mengalami pergeseran. Pergeseran ini seiring dengan munculnya kesadaran bahwa bangsa ini sudah merdeka dari jajahan pemerintah kafir. Pemerintah Indonesia meski tidak berasaskan Islam bukanlah negara kafir. Di sini umat Islam bebas beribadah, bebas

Dokumen terkait