• Tidak ada hasil yang ditemukan

SKRIPSI Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat guna Memperoleh Gelar Sarjana dalam Hukum Islam

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "SKRIPSI Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat guna Memperoleh Gelar Sarjana dalam Hukum Islam"

Copied!
102
0
0

Teks penuh

(1)

SKRIPSI

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat

guna Memperoleh Gelar Sarjana dalam Hukum Islam

Oleh:

HANIF AHMAD SAIFUDDIN

NIM : 21110005

JURUSAN AHWAL AL-SYAKHSYIYYAH

FAKULTAS

SYARI’AH

INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN)

SALATIGA

(2)
(3)
(4)
(5)
(6)

Sesuatu yang belum dikerjakan, sering kali mustahil. Kita baru yakin

kalau kita telah berhasil melakukannya dengan baik.

PERSEMBAHAN

Untuk kedua orang tuaku yang selalu mendo’akanku Untuk Kakek dan Nenekku yang saya hormati

Untuk Adekku yang aku sayang

Untuk saudara-saudaraku tercinta

Untuk teman terbaikku yang memberikan semangat dan do’a

Untuk dosen-dosen IAIN Salatiga yang telah membagi ilmunya

(7)

Asslamualaikum wr. wb.

Alhamdulillahirabbil’alamin. Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah

memberikan rahmat serta hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan

penelitian dan penulisan skripsi ini. Shalawat serta salam semoga tercurah kepada

junjungan kita baginda Rasulullah SAW yang selalu kami harapkan syafa’atnya. Penulis menyadari keterbatasan pengetahuan yang dimiliki, sehingga bimbingan,

pengarahan dan bantuan telah banyak penulis peroleh dari berbagai pihak. Oleh

karena itu, penulis mengucapkan terima kasih sebesar-besarnya kepada yang

terhormat:

1. Dr. Rahmat Hariyadi, M.Pd. selaku Rektor IAIN Salatiga.

2. Siti Zumrotun, M.Ag. selaku Dekan Fakultas Syari’ah IAIN Salatiga. 3. Sukron Ma’mun, S.HI., M.Si. selaku Ketua Jurusan Ahwal

al-Syakhshiyyah.

4. Ilyya Muhsin, S.HI., M.Si. selaku Pembimbing Akademik yang telah

membimbing penulis dalam perkuliahan.

5. Benny Ridwan, M.Hum. selaku pembimbing skripsi yang telah

meluangkan waktu, tenaga, dan pikiranya guna membimbing penulis

hingga terselesaikannya skripsi ini.

6. Seluruh dosen dan staff IAIN Salatiga, terimakasih atas ilmu yang

(8)

8. Kakek dan nenekku yang memberikan do’a dan dukungan.

9. Saudara-saudaraku, Arif, Rois dan lain-lain yang telah memberikan

semangat.

10. Teman terbaikku Lilis Handayani yang telah mendo’akan, membantu dan selalu meluangkan waktunya untukku disaat sedih maupun senang.

11. Teman-teman Jurusan Ahwal al-Syakhsiyah angkatan 2010, Danang, Choe, Zainul dan lain-lain yang telah memberikan semangat.

12. Semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu yang telah

berperan dan membantu hingga skripsi ini dapat terselesaikan.

Akhirnya penulis menyadari atas keterbatasan yang dimiliki dalam

menyelesaikan penulisan skripsi ini, sehingga masih banyak ditemui kekurangan

dan ketidak sempurnaan. Oleh karena itu kritik dan saran dari pembaca sangat

penulis harapkan. Namun demikian sekecil apapun karya ini, penulis berharap

skripsi ini dapat bermanfaat bagi pembaca dan menjadi ilmu yang berkah.

Teriring do’a dan harapan semoga amal baik dan jasa semua pihak

tersebut di atas akan mendapat balasan yang melimpah dari Allah SWT. Amin.

(9)

Salatiga. Pebimbing: Benny Ridwan, M.Hum.

Kata Kunci: Tradisi, Pernikahan, Jam’iyah Rifa’iyah

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui tradisi pernikahan Jam’iyah Rifa’iyah dan faktor yang melatarbelakangi tradisi pernikahan tersebut. Pertanyaan yang ingin dijawab adalah (1) Bagaimana tradisi pernikahan Jam’iyah

Rifa’iyah di Desa Jetis Kecamatan Bandungan (2) Apa faktor yang melatarbelakangi tradisi pernikahan Jam’iyah Rifa’iyah di Desa Jetis Kecamatan Bandungan.

Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif diskriptif analisis dengan mengambil lokasi penelitian di Desa Jetis Kecamatan Bandungan Kabupaten Semarang. Pengumpulan data dilakukan dengan metode wawancara, dokumentasi dan observasi. Data yang berhasil dihimpun dianalisis secara kualitatif.

Hasil yang diperoleh dari penelitian ini adalah tradisi pernikahan Jam’iyah

Rifa’iyah meliputi: tradisi mempelajari kitab Tabyin al-Islah sebelum pernikahan, tradisi Shihhah dan tradisi pemilihan saksi pernikahan. Faktor yang melatarbelakangi tradisi pernikahan di Jam’iyah Rifa’iyah adalah: (1) faktor yang melatarbelakangi tradisi mempelajari kitab Tabyin al-Islah sebelum pernikahan adalah Jam’iyah Rifa’iyah yang akan menikah diharuskan mempelajari kitab

Tabyin al-Islah supaya ibadah pernikahannya tidak sia-sia begitu saja, perkawinannya dianggap shahih dan pernikahannya kekal dan bahagia, (2) faktor yang melatarbelakangi tradisi pemilihan saksi adalah terjadinya kualifikasi saksi pernikahan di kitab Tabyin al-Islah yang terkesan berhati-hati dan sulit dipenuhi oleh seorang saksi pernikahan biasa dan (3) faktor yang melatarbelakangi tradisi

shihah adalah pada masa KH. Ahmad Rifa’i mayoritas wali hakim atau penghulu

belum bisa adil mursyid, berada dalam perintah pemerintah kafir dan hanya memikirkan kepentingan pribadi dengan mengatas namakan agama. Setelah Indonesia merdeka pengulangan pernikahan atau tradisi shihah di Jam’iyah

Rifa’iyah sudah mengalami pergeseran dikarenakan para penghulu sudah diperintah oleh penguasa bukan kafir, para penghulu dinilai sudah memiliki sifat yang alim dan sebagian besar penghulu memiliki latar belakang pendidikan agama yang cukup mumpuni.

Dengan demikian hasil penelitian ini diharapkan bisa bermanfaat dan berguna bagi masyarakat yang ingin mengetahui tradisi pernikahan di Jam’iyah

(10)

PERSETUJUAN PEMBIMBING... ii

PENGESAHAN KELULUSAN ... iii

PERNYATAAN KEASLIAN TULISAN ... iv

MOTTO DAN PERSEMBAHAN ... v

KATA PENGANTAR ... vi

ABSTRAK ... viii

DAFTAR ISI ... xi

DAFTAR TABEL... xii

DAFTAR LAMPIRAN ... xiii

BAB I PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Rumusan Masalah ... 5

C. Tujuan Penelitian ... 6

D. Kegunaan Penelitian ... 6

E. Kegunaan Istilah ... 7

F. Telaah Pustaka ... 8

G. Metode Penelitian ... 10

(11)

2. Hukum Pernikahan ... 20

3. Rukun Pernikahan ... 22

4. Syarat Pernikahan ... 24

5. Hikmah Pernikahan ... 27

B. Tradisi Pernikahan ... 28

1. Tradisi dalam Islam ... 28

2. Aspek-Aspek Sosiologis Tradisi Pernikahan dalam Islam ... 34

BAB III HASIL PENELITIAN ... 38

A. Gambaran Umum Desa Jetis Kecamatan Bandungan ... 38

1. Letak Geografis Desa Jetis Kecamatan Bandungan ... 38

2. Kondisi Sosial Keagamaan ... 38

3. Tingkat Pendidikan ... 40

B. Gambaran Umum Jam’iyah Rifa’iyah ... 41

1. Profil Pendiri Jam’iyah Rifa’iyah ... 41

2. Profil Jam’iyah Rifa’iyah ... 43

C. Tradisi Pernikahan Jam’iyah Rifa’iyah ... 45

D. Faktor yang Melatarbelakangi Tradisi Pernikahan Jam’iyah Rifa’iyah . 47 46 1. Faktor yang Melatarbelakangi Tradisi Mempelajari Pernikahan Kitab Tabyin al-Islah Sebelum Pernikahan ... 47

(12)

B. Analisis Faktor yang Melatarbelakangi Tradisi Pernikahan Jam’iyah

Rifa’iyah ... 60

1. Faktor yang Melatarbelakangi Tradisi Mempelajari Pernikahan

Kitab Tabyin al-Islah Sebelum Pernikahan ... 60 2. Faktor yang Melatarbelakangi Tradisi Pemilihan Saksi ... 61

3. Faktor yang Melatarbelakangi Tradisi Shihah ... 67

C. Analisis Tradisi Pernikahan Jam’iyah Rifa’iyah Berdasarkan Ilmu

Ushul Fiqih ... 70 67

BAB V PENUTUP

A. Kesimpulan... 72

(13)
(14)

Lampiran 2 Daftar Nilai SKK

Lampiran 3 Lembar Konsultasi

(15)

A. Latar Belakang Masalah

Perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan

seorang wanita sebagai istri dengan tujuan membentuk keluarga yang bahagia

dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Ikatan lahir adalah

hubungan formal yang dapat dilihat karena dibentuk menurut undang-undang

yang mengikat kedua pihak dan pihak lain dalam masyarakat. Sedangkan

Ikatan batin adalah hubungan tidak formal yang dibentuk dengan kemauan

bersama yang sungguh-sungguh mengikat kedua pihak.

Ikatan pernikahan merupakan ikatan suci yang berdasarkan nilai-nilai

ketuhanan untuk membentuk keluarga sakinah, mawaddah dan warrahmah. Ikatan pernikahan bukan saja ikatan perdata tetapi ikatan lahir batin antara

seorang suami dengan seorang isteri. Pernikahan tidak lagi hanya sebagai

hubungan jasmani tetapi juga merupakan hubungan batin. Ikatan yang

didasarkan pada hubungan jasmani itu berdampak pada masa yang pendek

sedangkan ikatan lahir batin itu lebih jauh. Dimensi masa dalam ini

dieksplisitkan dengan tujuan sebuah perkawinan yakni untuk membangun

sebuah keluarga bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa

(Nuruddin dan Tarigan, 2006:46).

Dalam agama Islam, mengajarkan pernikahan yang memiliki tujuan

(16)

menimbulkan rasa kasih sayang antara suami istri. Islam mengatur hubungan

ini dengan segala perlindungan-Nya sehingga mencapai tingkatan taat yang

tinggi. Islam juga mengatur hubungan antara suami istri dengan Syari’at

terbatas dan menegakkan peraturan rumah tangga atas kepemimpinan sang

suami. Peraturan inilah yang dapat memelihara dari segala keguncangan yang

dialihkan pada bimbingan kasih sayang dan taqwa kepada Allah SWT.

Pernikahan tidak hanya tentang ikatan lahir batin antara seorang pria

dengan seorang wanita sebagai suami istri untuk membentuk keluarga yang

bahagia dan kekal atau ikatan suci yang berdasarkan nilai-nilai ketuhanan

untuk membentuk keluarga sakinah dan mawaddah. Namun pernikahan juga tentang proses yang dilakukan dalam sebuah pernikahan.

Tradisi merupakan sesuatu kebiasaan yang berkembang di

masyarakat, baik yang menjadi adat kebiasaan, atau yang diasimilasikan

dengan ritual adat atau agama. Atau dalam pengertian yang lain, sesuatu yang

telah dilakukan sejak lama dan menjadi bagian dari kehidupan suatu

kelompok masyarakat, biasanya dari suatu Negara, kebudayaan, waktu, atau

agama yang sama.

Islam merupakan agama yang universal, memiliki sifat yang mampu

untuk adaptasi serta tumbuh disegala tempat dan waktu. Hanya saja pengaruh

lokalitas dan tradisi dalam sekelompok suku bangsa sangat sulit dihindari

dalam masyarakat muslim. Namun demikian, walaupun berhadapan dengan

budaya dunia, keuniversalan Islam tetap tidak akan berkurang. Hal ini

(17)

tujuan Islam, dan Islam tetap menjadi pedoman dalam segala aspek

kehidupan. Hanya saja pergumulan Islam itu berakibat pada adanya

keragaman penerapan prinsip-prinsip umum dan universal suatu agama

berkenaan dengan tata caranya, dengan kata lain masyarakat muslim tidak

dapat lepas dengan istilah tradisi.

Tradisi merupakan adat kebiasaan turun temurun dari nenek moyang

yang masih dijalankan di masyarakat. Sejak dahulu tradisipun telah ada dan

menjadi kebiasaan yang dijalani oleh masyarakat saat ini. Dalam hukum

Islam istilah tradisi lebih dikenal dengan urf. Urf secara etimologi merupakan sesuatu yang dipandang baik dan diterima oleh akal sehat. Sedangkan secara

terminologi, istilah urf berarti sesuatu yang tidak asing lagi bagi masyarakat karena telah menjadi kebiasaan yang menyatu dengan kehidupan mereka baik

berupa perbuatan atau perkataan.

Pada masa sekarang tradisi pernikahan juga masih melekat dan

dijalankan di masyarakat. Jam’iyah Rifa’iyah yang berada di Desa Jetis Kecamatan Bandungan juga menjalakan tradisi pernikahan. Jam’iyah

Rifa’iyah adalah kelompok keagamaan pengikut dan simpatisan KH. Ahmad

Rifa’i yang muncul pada pertengahan abad ke 19 di pesisir utara Jawa Tengah

tepatnya di Desa Kalisalak Kecamatan Limpung Kabupaten Batang, yang

mana pada masa itu masuk dalam Karesidenan Pekalongan. KH. Ahmad

Rifa’i telah memainkan peranan yang amat penting dalam sejarah Islam dan

gerakan keagamaan menentang Pemerintah Belanda di Indonesia maupun

(18)

Kalisalak Kabupaten Batang dan sekitarnya. Hingga kini cukup banyak

pengikut dan simpatisan KH. Ahmad Rifa’i yang tersebar di beberapa daerah

di Jawa Tengah seperti Batang, Pekalongan, Pemalang, Kendal, Kebumen,

Wonosobo, Pati dan bahkan diluar Jawa Tengah seperti Arjowinangun

Cirebon, Indramayu, Yogyakarta dan Jakarta. Nama Rifa’iyah merupakan

suatu penghormatan terhadap pendiri Jama’ah keagamaan dan untuk

mengenang jasa-jasa KH. Ahmad Rifa’i bin Muhammad Marhum, bukan untuk memuja. Selain sebagai pendiri dia juga sebagai tokoh sentral yang

sangat dihormati oleh pengikutnya hingga sekarang.

Dalam masalah pernikahan, Jam’iyah Rifa’iyah berpedoman pada kitab Tabyin al-Islah. Kitab Tabyin al-Islah berisi tentang Ilmu perkawinan dan yang berkaitan dengannya. Ilmu perkawinan yang dijelaskan dalam kitab

Tabyin al-Islah sesunguhnya tidak berbeda dengan kitab-kitab ilmu perkawinan pada umumnya. Namun ada suatu penjelasan dalam kitab Tabyin al-Islah yang membedakan dengan tradisi masyarakat islam pada umumnya,

yaitu Jam’iyah Rifa’iyah tidak dapat mengesahkan akad nikah yang dilakukan

oleh penghulu atau orang di luar Jam’iyah Rifa’iyah sebab pihak-pihak yang

terlibat dalam pernikahan seperti wali dan saksi nikah dianggap tidak

memenuhi syarat syah yang dijelaskan dalam kitab Tabyin al-Islah. Jam’iyah

Rifa’iyah mempunyai tradisi menentukan atau memilih orang yang menjadi

(19)

Jam’iyah Rifa’iyah juga berpendapat bahwa seseorang yang ingin

melakukan pernikahan diharuskan untuk mempelajari kitab Tabyin al-Islah

untuk mencapai syarat syah secara fiqhiyah dan pernikahannya bisa diangap

shahih. Jam’iyah Rifa’iyah mengenal sebuah prinsip, tidak bisa syah secara fiqhiyah seseorang yang akan melakukan sesuatu tanpa mengetahui dulu ilmunya. Seseorang yang tidak mempelajari kitab Tabyin al-Islah sebelum

pernikahan akan mendapatkan sanksi dikucilkan dari Jam’iyah Rifa’iyah.

Sebagaimana latar belakang tersebut, maka penting untuk dilakukan

penelitian terhadap masyarakat terkait. Untuk mengetahui tradisi pernikahan

Jam’iyah Rifa’iyah yang dilakukan sebagian masyarakat Desa jetis

kecamatan Bandungan Kabupaten Semarang. Hal menarik yang ingin penulis

teliti adalah bagaimana tradisi pernikahan Jam’iyah Rifa’iyah dan apa faktor yang melatarbelakangi tradisi pernikahan Jam’iyah Rifa’iyah. Dan peneliti

menentukan judul yang sesuai dari penelitian ini adalah “Tradisi Pernikahan

Jam’iyah Rifa’iyah di Desa Jetis Kecamatan Bandungan Kabupaten

Semarang”.

B. Rumusan Masalah

Dari latar belakang tersebut peneliti merumuskan masalah sebagai

berikut:

(20)

2. Apa faktor yang melatarbelakangi tradisi pernikahan Jam’iyah Rifa’iyah di Desa Jetis Kecamatan Bandungan Kabupaten Semarang?

C. Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian ini adalah:

1. Untuk mengetahui tradisi pernikahan Jam’iyah Rifa’iyah di Desa Jetis Kecamatan Bandungan Kabupaten Semarang.

2. Untuk mengetahui faktor yang melatarbelakangi tradisi pernikahan

Jam’iyah Rifa’iyah di Desa Jetis Kecamatan Bandungan Kabupaten

Semarang.

D. Kegunaan Penelitian

Untuk memberikan hasil yang bermanfaat, serta diharapkan mampu

dijadikan dasar secara keseluruhan untuk dijadikan pedoman bagi

pelaksanaan secara teoritis maupun praktis, maka sekiranya penelitian ini

dapat berguna di antaranya:

1. Kegunaan Teoritis

Sebagai upaya dalam pengembangan ilmu pengetahuan dan

menambah wawasan khususnya mengenai tradisi-tradisi pernikahan.

2. Kegunaan Praktis

a. Bagi Progam Studi Ahwal al-Syakhsiyah

Dapat dipergunakan untuk menambah ilmu pengetahuan di

(21)

b. Bagi Masyarakat

Diharapkan dapat digunakan sebagai pedoman untuk

mengetahui tradisi pernikahan di Jam’iyah Rifa’iyah.

E. Penegasan Istilah

Agar di dalam penelitian ini tidak terjadi penafsiran yang berbeda

dengan maksud penulis, maka penulis akan menjelaskan istilah-istilah

didalam judul ini. Istilah yang perlu penulis jelaskan sebagai berikut:

1. Tradisi adalah adat kebiasaan turun temurun dari nenek moyang yang

masih dijalankan, sejak dahulu telah ada dan menjadi kebiasaan yang

dijalani oleh masyarakat saat ini. Dalam hukum Islam istilah tradisi lebih

dikenal dengan urf.

2. Pernikahan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang

wanita sebagai istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga)

yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.

3. Jam’iyah Rifa’iyah adalah kelompok keagamaan pengikut dan simpatisan KH. Ahmad Rifa’i yang muncul pada pertengahan abad ke19 di pesisir utara Jawa Tengah tepatnya di Desa Kalisalak Kecamatan Limpung

Kabupaten Batang, yang mana pada masa itu masuk dalam Karesidenan

Pekalongan. KH. Ahmad Rifa’i telah memainkan peranan yang amat penting dalam sejarah Islam dan gerakan keagamaan menentang

Pemerintah Belanda di Indonesia maupun birokrat pribumi yang

(22)

Kabupaten Batang dan sekitarnya. Hingga kini cukup banyak pengikut

dan simpatisan KH. Ahmad Rifa’i yang tersebar di beberapa daerah di Jawa Tengah seperti Batang, Pekalongan, Pemalang, Kendal, Kebumen,

Wonosobo, Pati dan bahkan diluar Jawa Tengah seperti Arjowinangun

Cirebon, Indramayu, Yogyakarta dan Jakarta. Nama Rifa’iyah merupakan suatu penghormatan terhadap pendiri Jama’ah keagamaan

dan untuk mengenang jasa-jasa KH. Ahmad Rifa’i bin Muhammad Marhum, bukan untuk memuja. Selain sebagai pendiri dia juga sebagai

tokoh sentral yang sangat dihormati oleh pengikutnya hingga sekarang.

F. Telaah Pustaka

Penelitian terdahulu dibutuhkan untuk memperjelas, menegaskan,

melihat kelebihan dan kelemahan berbagai teori yang digunakan penulis lain

dalam penelitian atau pembahasan masalah yang serupa. Selain itu penelitian

terdahulu perlu disebutkan dalam sebuah penelitian untuk memudahkan

pembaca melihat dan membandingkan perbedaan teori yang digunakan dan

perbedaaan hasil kesimpulan oleh penulis dengan peneliti yang lain dalam

melakukan pembahasan tema yang hampir serupa.

Penelitian mengenai Jam’iyah Rifa’iyah telah banyak dilakukan oleh

para peneliti. Ada yang secara total mengkaji dalam skripsi, tesis, disertasi

maupun buku. Berikut ini penelitian yang mempunyai topik atau tema yang

(23)

1. Penelitian Abdul Djamil dalam disertasinya yang kemudian dibukukan

dengan judul Perlawanan Kiai Desa: Pemikiran dan Gerakan Islam Kh. Ahmad Rifa‟i Kalisalak. Abdul Djamil lebih memfokuskan pada doktrin

dan pemahaman normatif yang diajarkan KH. Ahmad Rifa’i, ia juga sedikit menyinggung historisitas Jam’iyah Rifa’iyah dan ketokohan KH. Ahmad Rifa'i. Abdul Djamil menyimpulkan bahwa sepeninggal KH.

Ahmad Rifa'i dari Kalisalak, pengikut KH. Ahmad Rifa'i mengalami

diaspora. Mereka tersebar dibeberapa tempat di Nusantara, karena

menghindari kejaran kekuasaan kolonial Belanda. Trauma dari kejaran

kolonial Belanda ini menghasilkan sikap bagi para pengikutnya untuk

anti terhadap kekuasaan dan terjadi apa yang dikatakan Abdul Djamil

sebagai protes diam. Tentang pernikahan dalam buku ini Abdul Djamil

hanya mengulas tentang pemikiran KH. Ahmad Rifa’i dalam Kitab

Tabyin al-Islah.

2. Penelitian Muhlisin Saad dalam buku an-Naz‟ah al-Kharijiyyah fî Afkar wa Harakah Syaikh Ahmad Rifa’i. Buku ini diterjemahkan oleh KH. Ahmad Syadizirin Amin, dengan judul Mengungkap Gerakan dan Pemikiran Syaikh Ahmad Rifa‟i. Buku yang diterbitkan oleh Yayasan

Badan Wakaf Rifa’iyah ini menggambarkan ciri khas pemikiran KH.

Ahmad Rifa’i terutama berkaitan dengan hal-hal yang spesial. Tentang

pernikahan, dalam buku tersebut hanya mengutip pendapat KH. Ahmad

(24)

3. Penelitian yang dilakukan oleh M. Nasrudin dalam skripsinya yang

Berjudul Hukum Islam dan Perubahan Sosial: Studi Pergeseran Pemikiran Jam‟iyah Rifa‟iyah Tentang Keabsahan Nikah yang Diadakan

oleh Penghulu atau PPN. Dalam penelitiannya dijelaskan bahwa dahulu

Jam’iyah Rifa’iyah tidak menerima akad nikah yang dilakukan oleh

penghulu, sehingga harus melakukan akad nikah hingga dua kali. Akad

yang pertama dilakukan di PPN dan akad yang kedua dilakukan di

Jam’iyah Rifa’iyah itu sendiri. Akan tetapi setelah diadakan penelitian,

kenyataan di lapangan membuktikan bahwa pemahaman Jam’iyah Rifa’iyah terhadap keabsahan nikah sudah mulai bergeser dengan menerima akad nikah yang dilakukan penghulu walaupun pergeseran itu

tidak terjadi secara keseluruhan di Jam’iyah Rifa’iyah, hal ini disebabkan

oleh beberapa faktor diantaranya perbedaan persepsi antara tokoh tua dan

tokoh muda di Jam’iyah Rifa’iyah.

G. Metode Penelitian

1. Pendekatan dan Jenis Penelitian

Penelitian ini termasuk dalam jenis penelitian lapangan (field research) dalam pelaksanaannya menggunakan metode pendekatan kualitatif diskriptif analisis yang umumnya menggunakan strategi multi

metode yaitu wawancara, pengamatan, serta penelaahan dokumen atau

(25)

2. Kehadiran penelitian

Penelitian dan pengumpulan data-data di Desa Jetis Kecamatan

Bandungan Kabupaten Semarang ini dengan cara peneliti terjun langsung

ke lapangan. Penelitian ini dimulai pada tanggal 31 oktober 2014 sampai

dengan selesainya penelitian yang disertai dengan kegiatan akhir berupa

penyusunan skripsi.

3. Lokasi Penelitian

Penelitian ini mengambil lokasi di Desa Jetis Kecamatan

Bandungan Kabupaten Semarang. Adapun alasan pemilihan tempat

adalah Desa Jetis Kecamatan Bandungan Kabupaten Semarang

mempunyai daerah yang dikira tidak mempersulit dalam melakukan

penelitian mengenai tradisi pernikahan Jam’iyah Rifa’iyah. 4. Sumber Data

Sumber data dibedakan menjadi 2 (dua) yaitu:

a. Data Primer

Sumber dan jenis data primer penelitian ini adalah kata-kata

dan tindakan subjek serta gambaran ekspresi, sikap dan pemahaman

dari subjek yang diteliti sebagai dasar utama melakukan interpretasi

data. Data atau informasi tersebut diperoleh secara langsung dari

orang-orang yang dipandang mengetahui masalah yang akan dikaji

dan bersedia memberi data atau informasi yang diperlukan.

Sedangkan untuk pengambilan data dilakukan dengan bantuan

(26)

bantuan rekaman suara handphone. Sementara itu observasi

dilakukan dengan melakukan pengamatan secara langsung segala

aktivitas di Desa Jetis Kecamatan Bandungan Kabupaten Semarang.

b. Data Sekunder

Data sekunder adalah data atau informasi yang diperoleh dari

sumber-sumber lain selain data primer. Diantaranya buku-buku

literatur, internet, dan majalah atau jurnal ilmiah yang berhubungan

dengan tradisi pernikahan Jam’iyah Rifa’iyah.

5. Prosedur Pengumpulan Data

Untuk mengumpulkan data yang diperlukan, digunakan

metode-metode sebagai berikut:

a. Metode Wawancara Mendalam

Dalam metode ini penulis menggunakan teknik interview guide yaitu cara pengumpulan data dengan menyampaikan secara langsung daftar pertanyaan yang telah disusun sebelumnya guna

memperoleh jawaban yang langsung pula dari seorang responden

(Koentjaraningrat, 1986:138).

Dalam penelitian ini wawancara dilakukan secara mendalam

yang diarahkan pada masalah tertentu dengan para informan yang

sudah dipilih untuk mendapatkan data yang diperlukan. Teknik

wawancara yang digunakan ini dilakukan secara tidak terstruktur,

(27)

ketat kepada informan agar informasi yang diperoleh memiliki

kapasitas yang cukup tentang berbagai aspek dalam penelitian ini.

b. Metode Dokumentasi

Metode dokumentasi adalah metode pengumpulan data

dengan cara membaca dan mengutip dokumen-dokumen yang ada

dan dipandang relevan. Dalam melaksanakan metode dokumentasi,

peneliti menyelidiki benda-benda tertulis seperti buku-buku,

peraturan rapat, catatan harian dan sebagainya (Arikunto, 1989:131).

Metode ini digunakan untuk memperoleh data sejarah Desa Jetis

Kecamatan Bandungan Kabupaten Semarang, dan data-data dan

informasi lain yang menunjang.

c. Metode Observasi atau Pengamatan

Metode observasi adalah teknik pengumpulan data dengan

pengamatan langsung kepada objek penelitian (Surakhmad,

1994:164). Metode ini digunakan untuk mengetahui situasi dan

kondisi lingkungan di Desa Jetis Kecamatan Bandungan Kabupaten

Semarang. Pengamatan disini termasuk juga didalamnya peneliti

mencatat peristiwa dalam situasi yang berkaitan dengan pengetahuan

proporsional maupun langsung diperoleh dari data (Moleong,

2007:174).

Observasi ini dilakukan dengan melakukan serangkaian

pengamatan dengan menggunakan alat indera penglihatan dan

(28)

penelitian ini, penulis menggunakan teknik observasi berperan pasif

dimana observasi bisa dilakukan secara langsung maupun tidak

langsung.

6. Analisis Data

Metode analisis adalah suatu cara penanganan terhadap objek

ilmiah tertentu dengan jalan memilah dan memilih antara pengertian

yang satu dengan yang lain untuk mendapatkan pengertian yang baru.

Data yang berhasil dihimpun akan dianalisis secara kualitatif, yaitu

dengan menerapkan metode berfikir induktif, yaitu suatu metode berfikir

yang bertolak dari fenomena yang khusus dan kemudian menarik

kesimpulan yang bersifat umum (Daymon, 2008:369).

7. Pengecekan Keabsahan Data

Dalam hal pengecekan keabsahan data penelitian terhadap

beberapa kriteria keabsahan data yang nantinya akan dirumuskan secara

tepat, teknik pemeriksaanya yaitu dalam penelitian ini harus terdapat

adanya kredibilitas yang dibuktikan dengan perpanjangan keikutsertaan,

ketekunan pengamatan, triangulasi, pengecekan sejawat kecukupan

referensi, adanya kriteria kepastian dengan teknik uraian rinci dan audit

kepastian.

Untuk mengetahui apakah data yang telah dikumpulkan dalam

penelitian memiliki tingkat kebenaran atau tidak, maka dilakukan

pengecekan data yang disebut dengan validitas data. Untuk menjamin

(29)

keabsahan data yang memanfaatkan sesuatu yang lain diluar data itu

untuk keperluan pengecekan atau sebagai pembanding terhadap data itu

(Moleong, 2007:330). Validitas data akan membuktikan apakah data

yang diperoleh sesuai dengan apa yang ada di lapangan atau tidak.

Dengan demikian data yang diperoleh dari suatu sumber akan dikontrol

oleh data yang sama dari sumber yang berbeda.

8. Tahap-tahap Penelitian

a. Penelitian pendahuluan

Penulis mengkaji buku-buku yang berkaitan dengan nikah

dan buku lain yang berhubungan dengan tradisi pernikahan Jam’iyah

Rifa’iyah.

b. Pengembangan desain

Setelah penulis mengetahui banyak hal tentang tradisi

pernikahan Jam’iyah Rifa’iyah, kemudian penulis melakukan observasi ke objek penelitian untuk melihat secara langsung tradisi

pernikahan Jam’iyah Rifa’iyah di Desa Jetis Kecamatan Bandungan Kabupaten Semarang.

c. Penelitian sebenarnya

Penulis melakukan penelitian dengan cara terjun langsung ke

lokasi penelitian untuk meneliti secara lebih mendalam tentang

(30)

H. Sistematika Penulisan

Dalam menyusun skripsi ini penulis membagi kedalam beberapa bab

dan masing-masing bab mencakup beberapa sub bab yang berisi sebagai

berikut:

Dalam menyusun skripsi ini penulis membagi kedalam beberapa bab

dan masing-masing bab mencakup beberapa sub bab yang berisi sebagai

berikut:

1. BAB I merupakan Pendahuluan yang menjelaskan: latar belakang

masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian,

penegasan istilah, telaah pustaka, metode penelitian dan sistematika

penulisan.

2. BAB II merupakan Kajian Pustaka yang menjelaskan pernikahan yang

meliputi: pengertian pernikahan, hukum perkawinan, rukun pernikahan,

syarat pernikahan dan hikmah pernikahan. Dan selanjutnya menjelaskan

tradisi yang meliputi: tradisi dalam Islam dan aspek-aspek sosiologis

tradisi pernikahan dalam Islam.

3. BAB III merupakan hasil penelitian yang terdiri dari: gambaran umum

Desa Jetis Kecamatan Bandungan Kabupaten Semarang, gambaran

umum Jam’iyah Rifa’iyah, tradisi pernikahan Jam’iyah Rifa’iyah dan

faktor yang melatarbelakagi tradisi pernikahan Jam’iyah Rifa’iyah.

4. BAB IV merupakan Analisis data dari data hasil temuan-temuan yang

(31)

yang melatarbelakangi tradisi pernikahan Jam’iyah Rifa’iyah dan analisis

tradisi pernikahan Jam’iyah Rifa’iyah berdasarkan ilmu ushul fiqih.

5. BAB V Bab ini merupakan bab penutup atau bab akhir dari penyusunan

skripsi yang penulis susun. Dalam bab ini penulis mengemukakan

(32)

BAB II

KAJIAN PUSTAKA

A. Pernikahan

1. Pengertian Pernikahan

Pernikahan atau perkawinan dalam literartur fiqih berbahasa Arab

disebut dengan dua kata, yaitu nikah dan zawaj. Kedua kata ini yang terpakai dalam kehidupan sehari-hari orang Arab dan banyak terdapat

dalam Alquran dan Hadist Nabi Muhammad SAW. Kata na-ka-ha

banyak terdapat dalam Alquran dengan arti kawin. Secara arti kata nikah

berarti bergabung, hubungan kelamin, dan juga berarti akad yang berarti

mengadakan perjanjian pernikahan. Dalam pemakaian bahasa sehari-hari

perkataan nikah lebih banyak dipakai dalam arti kiasan daripada arti yang

sebenarnya, bahkan nikah dalam arti yang sebenarnya jarang sekali

dipakai pada saat ini (Muchtar, 1974:11).

Imam Syafi’i mengartikan nikah sebagai suatu akad yang

dengannya menjadi halal hubungan seksual antara pria dengan wanita

sedangkan menurut arti majazi, nikah itu artinya hubungan seksual. Nikah menurut arti asli dapat juga berarti aqad, dengan nikah menjadi

halal hubungan kelamin antara pria dan wanita (Ibrahim, 1971:65).

Adapun dalam Pasal 1 Undang-Undang Perkawinan No.1 tahun 1974,

(33)

wanita sebagai istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga)

yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.

Tegasnya pernikahan adalah akad atau perikatan yang

menghalalkan hubungan kelamin antara laki-laki dan perempuan dalam

rangka mewujudkan kebahagiaan hidup berkeluarga yang diliputi rasa

ketentraman serta kasih sayang dengan cara yang didirikan Allah SWT.

(Depag, 1985:49).

Pengertian pernikahan yang telah disebutkan di atas sangatlah

berbeda dengan pengertian menurut Burgelijke Wetboek yang memisahkan hukum perkawinan dengan ketentuan agama. Pasal 26 BW

mengatakan bahwa perkawinan adalah pertalian yang sah antara seorang

lelaki dan seorang perempuan untuk waktu yang lama. Undang-undang

hanya memandang perkawinan hanya dari hubungan keperdataan artinya

pasal ini hendak menyatakan, bahwa suatu perkawinan yang sah

hanyalah perkawinan yang memenuhi syarat-syarat yang ditetapkan

dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata (Burgerlijke Wetboek) dan syarat-syarat serta peraturan agama dikesampingkan (Subekti, 1996:25).

Pada dasarnya pengertian pernikahan disini adalah banyak

memiliki perbedaan. Perbedaan yang terdapat bukan untuk

memperlihatkan pertentangan, tetapi hanya membedakan dimana lebih

menambahkan unsur-unsur pada masing-masing perumus. Tetapi dalam

perbedaan tersebut ditemukan adanya kesamaan unsur mengenai

(34)

disini berbeda dengan ikatan akad jual beli maupun akad sewa-menyewa,

tetapi akad disini merupakan akad suci yang disatukan oleh kedua pihak

laki-laki dan perempuan untuk menuju suatu keluarga yang harmonis

sesuai syari’at islam.

2. Hukum Pernikahan

Hukum asal pernikahan mubah, Mubah yaitu sesuatu perbuatan

yang dibolehkan mengerjakannya, tidak diwajibkan dan tidak pula

diharamkan (Muchtar, 1974:23). Sesuai dengan firman Allah SWT dalam

surat an-Nur ayat 32: memampukan dengan kurniaNya karena Tuhan Allah itu adalah Maha Luas pemberianNya, lagi Maha Mengetahui (akan nasib dan kehendak hambaNya) (Depag, 2006:389).

Dan firman Allah SWT dalam surat an-Nisa’ ayat 4:

اًئيِرَم اًئيِنَى ُهوُلُكَف اًسْفَػن ُوْنِم ٍءْيَش ْنَع ْمُكَل َْبِْط ْنِإَف ًةَلِْنِ َّنِِتِاَقُدَص َءاَسِّنلا اوُتَآَو

Artinya: “Berikanlah maskawin (mahar) kepada wanita (yang kamu

(35)

Namun hukum pernikahan itu mungkin bisa berubah menjadi

wajib, sunnah, haram dan makruh. Hukum pernikahan bisa berubah

disebabkan oleh faktor berikut ini:

a. Orang yang diwajikan menikah adalah orang yang sanggup untuk menikah, sedang dia khawatir terhadap dirinya akan melakukan

perbuatan yang dilarang Allah SWT. Melaksanakan pernikahan

merupakan satu-satunya jalan baginya untuk menghindarkan diri dari

perbuatan yang dilarang oleh Allah SWT.

b. Orang yang disunatkan menikah adalah orang yang mempunyai kesanggupan untuk menikah dan sanggup memelihara diri dari

kemungkinan melakukan perbuatan terlarang. Sekalipun demikian

melaksanakan pernikahan adalah lebih baik baginya, karena

Rasulullah SAW melarang hidup sendirian dalam nikah.

c. Orang yang dimakruhkan menikah adalah orang yang tidak mempunyai kesangupan menikah. Pada hakekatnya orang yang tidak

mempunyai kesanggupan untuk menikah diperbolehkan untuk

melakukan pernikahan. Tetapi dia dikhawatirkan tidak dapat

mencapai tujuan pernikahannya, karena itu dianjurkan sebaiknya dia

tidak melakukan pernikahan.

d. Orang yang diharamkan menikah adalah orang-orang yang mempunyai kesanggupan untuk menikah, tetapi kalau dia menikah

diduga akan menimbulkan kemudharatan terhadap pihak yang lain,

(36)

sifat-sifat yang dapat membahayakan pihak yang lain dan sebagainya

(Muchtar, 1974:23-25).

3. Rukun Pernikahan

Rukun adalah unsur yang melekat pada peristiwa hukum atau

perbuatan hukum, baik dari segi para subjek hukum maupun objek

hukum yang merupakan bagian dari perbuatan hukum ketika hukum

tersebut berlangsung. Rukun menentukan sah atau tidak sahnya suatu

perbuatan atau peristiwa hukum. Jika salah satu rukun dalam peristiwa

atau perbuatan hukum itu tidak terpenuhi berakibat perbuatan hukum

atau peristiwa hukum tersebut tidak syah dan statusnya batal demi hukum

(Djubaedah, 2010:90). Dalam Ensiklopedi Hukum Islam dikemukakan

bahwa rukun adalah suatu unsur yang merupakan bagian yang tidak

terpisahkan dari suatu perbuatan atau lembaga yang menentukan sah atau

tidak sahnya perbuatan tersebut dan ada atau tidak adanya perbuatan

tersebut (Djubaedah, 2010:91). Rukun dapat pula diartikan sesuatu yang

harus ada yang menentukan sah atau tidak sahnya suatu pekerjaan, dan

sesuatu itu termasuk dalam rangkaian pekerjaan itu, seperti membasuh

muka untuk wudhu dan takbiratul ihram untuk shalat (Ghazaly, 2006:46).

Rukun nikah terdiri dari:

(37)

Calon mempelai laki-laki dan perempuan biasanya hadir

dalam upacara pernikahan. Calon mempelai perempuan selalu ada

dalam upacara tersebut, tetapi calon mempelai laki-laki, mungkin

karena sesuatu keadaan, dapat mewakilkan kepada orang lain dalam

ijab kabul. (Saleh, 2008:300).

b. Wali dari calon mempelai perempuan

Wali yang menjadi rukun nikah adalah wali nasab, yaitu wali

yang mempunyai hubungan darah dengan calon mempelai

perempuan. Dalam keadaan luar biasa, wali nasab dapat digantikan

oleh wali hakim, yaitu petugas pencatat nikah jika wali nasab

tersebut tidak ada atau tidak ditemukan. Demikian pula, jika wali

nasab tidak mau tau tidak bersedia menikahkan calon mempelai

perempuan, maka wali hakimlah yang bertindak untuk

menikahkannya.

c. Dua orang saksi

Saksi dalam perkawinan harus terdiri dari dua orang laki-laki

yang memenuhi syarat. Perkawinan yang tidak dihadiri saksi,

walaupun rukun (1), (2), dan (3) sudah dipenuhi, menurut pendapat

umum adalah tidak sah.

d. Ijab dan kabul

Tentang pelaksanaan ijab kabul atau akad, perkawinan harus

dimulai dengan ijab dan dilanjutkan dengan kabul. Menurut

(38)

untuk mengikatkan diri dalam ikatan perkawinan dari pihak

perempuan kepada calon mempelai laki-laki. Kabul adalah

penegasan untuk menerima ikatan perkawinan tersebut, yang

diucapkan oleh mempelai laki-laki. Penegasan penerimaan itu harus

diucapkan oleh mempelai laki-laki langsung sesudah ucapan

penegasan penawaran yang dilakukan oleh wali pihak mempelai

perempuan. Tidak boleh ada tenggang waktu yang mengesankan

adanya keraguan. (Saleh, 2008:300).

Adapun rukun pernikahan dalam Kompilasi Hukum Islam

sebagaimana tertera dalam bab IV tentang rukun dan syarat perkawinan,

bagian kesatu Pasal 14 adalah calon suami, calon isteri, wali Nikah, dua

orang saksi, Ijab dan Kabul.

4. Syarat Pernikahan

Syarat adalah hal-hal yang melekat pada masing-masing unsur

yang menjadi bagian dari suatu perbuatan hukum atau peristiwa hukum.

(Djubaedah, 2010:92). Syarat menurut Tihami (2010:12) adalah sesuatu

yang mesti ada yang menentukan sah dan tidaknya suatu pekerjaan

ibadah, tetapi sesuatu itu tidak termasuk dalam rangkaian pekerjaan itu,

seperti menutup aurat untuk shalat. Rukun dan syarat dalam pernikahan

keduanya wajib dipenuhi, apabila tidak dipenuhi maka perkawinan yang

(39)

Syarat yang merupakan bagian dari masing-masing rukun

perkawinan antara lain:

a. Syarat-syarat calon suami:

1) Beragama Islam.

2) Laki-laki.

3) Jelas orangnya.

4) Dapat memberikan persetujuan, tidak terpaksa dan atas

kemauannya sendiri.

5) Tidak terdapat halangan perkawinan atau bukan merupakan

mahram dari calon istri.

b. Syarat-syarat calon istri:

1) Beragama Islam.

2) Perempuan.

3) Jelas orangnya.

4) Dapat dimintai persetujuannya.

5) Tidak terdapat halangan perkawinan.

c. Syarat-syarat wali:

1) Laki-laki.

2) Islam.

3) Baligh.

4) Mempunyai hak perwalian.

5) Waras akalnya.

(40)

d. Syarat-syarat saksi:

1) Minimal dua orang laki-laki.

2) Islam.

3) Baligh.

4) Hadir dalam ijab qabul.

5) Dapat mengerti maksud akad.

e. Syarat-syarat akad

1) Adanya pernyataan mengawinkan dari wali.

2) Adanya pernyataan penerimaan dari calon mempelai pria.

3) Memakai kata-kata nikah, tazwij atau terjemahan dari kata

nikah, tazwij.

4) Antara ijab dan qabul bersambungan.

5) Antara ijab dan qabul jelas maksudnya.

6) Orang yang berkait dengan ijab qabul tidak sedang dalam ihram

haji atau umrah.

7) Majelis ijab dan qabul itu harus dihadiri minimum empat orang

yaitu calon mempelai pria atau wakilnya, wali dari mempelai

pria atau wakilnya, dan dua orang saksi (Rofiq, 1998:72).

Undang-undang Perkawinan mengatur syarat-syarat perkawinan

dalam Bab II pasal 6:

a. Perkawinan harus didasarkan atas persetujuan kedua calon mempelai,

(41)

maka ijin cukup diperoleh dari orang tua yang masih hidup atau dari orang tua yang mampu menyatakan kehendaknya,

d. Dalam hal kedua orang tua telah meninggal dunia atau dalam keadaan tidak mampu untuk menyatakan kehendaknya, maka izin diperoleh dari wali, orang yang memelihara atau keluarga yang mempunyai hubungan darah dalam garis keturunan lurus ke atas selama mereka masih hidup dan dalam keadaan dapat menyatakan kehendaknya (Rofiq, 1998:73).

5. Hikmah Pernikahan

Dengan pernikahan akan banyak hikmah yang diperoleh

seseorang, diantaranya adalah terdapatnya teman hidup yang dulunya

hanya sendiri. Islam menganjurkan dan menggembirakan kawin

sebagaimana tersebut karena ia mempunyai pengaruh yang baik bagi

pelakunya sendiri, masyarakat dan seluruh umat manusia. Adapun

hikmah dari pernikahan adalah:

a. Sesungguhnya naluri seks merupakan naluri yang paling kuat dan

keras yang selamanya menuntut adanya jalan keluar. Bilamana jalan

keluar tidak dapat memuaskannya, maka banyaklah manusia yang

mengalami goncang dan kacau serta menerobos jalan yang jahat.

Dengan kawin badan jadi segar, jiwa jadi tenang, mata terpelihara

dari melihat yang haram dan perasaan tenang menikmati barang

yang halal.

b. Nikah, jalan terbaik untuk membuat anak-anak menjadi mulia,

memperbanyak keturunan, melestarikan hidup manusia serta

(42)

c. Selanjutnya, naluri kebapakan dan keibuan akan tumbuh saling

melengkapi dalam suasana hidup dengan anak-anak dan akan

tumbuh pula perasaan-perasaan ramah, cinta dan sayang yang

merupakan sifat-sifat baik yang menyempurnakan kemanusiaan

seseorang.

d. Menyadari tanggung jawab beristeri dan menanggung anak-anak

menimbulkan sikap rajin dan sungguh-sungguh dalam memperkuat

bakat dan pembawaan seseorang.

e. Pembagian tugas, dimana yang satu mengurusi dan mengatur rumah

tangga, sedangkan yang lain bekerja di luar, sesuai dengan

batas-batas tanggung jawab antara suami isteri dalam menangani

tugas-tugasnya.

f. Dengan pernikahan diantaranya dapat membuahkan tali

kekeluargaan, memperteguh kelanggengan rasa cinta antara keluarga

dan memperkuat hubungan kemasyarakatan yang memang oleh

Islam direstui, ditopang dan ditunjang. (Sabiq, 1980:18).

B. Tradisi Pernikahan

1. Tradisi dalam Islam

Islam merupakan agama yang universal, memiliki sifat yang

mampu untuk adaptasi serta tumbuh disegala tempat dan waktu. Hanya

saja pengaruh lokalitas dan tradisi dalam sekelompok suku bangsa sangat

(43)

berhadapan dengan budaya dunia, keuniversalan Islam tetap tidak akan

berkurang. Hal ini menjadi indikasi bahwa perbedaan tidaklah menjadi

kendala untuk mencapai tujuan Islam, dan Islam tetap menjadi pedoman

dalam segala aspek kehidupan. Hanya saja pergumulan Islam itu

berakibat pada adanya keragaman penerapan prinsip-prinsip umum dan

universal suatu agama berkenaan dengan tata caranya, dengan kata lain

masyarakat muslim tidak dapat lepas dengan istilah tradisi.

Tradisi merupakan adat kebiasaan turun temurun dari nenek

moyang yang masih dijalankan di masyarakat. Sejak dahulu tradisi pun

telah ada dan menjadi kebiasaan yang dijalani oleh masyarakat saat ini.

Dalam hukum Islam istilah tradisi lebih dikenal dengan urf.

Urf secara etimologi merupakan sesuatu yang dipandang baik dan diterima oleh akal sehat. Sedangkan secara terminologi, seperti

dikemukakan Abdul-Karim Zaidan dalam kitab al-Wajiz fi Ushul al-fiqih, istilah urf berarti sesuatu yang tidak asing lagi bagi masyarakat karena telah menjadi kebiasaan yang menyatu dengan kehidupan mereka baik

berupa perbuatan atau perkataan. Istilah urf dalam pengertian istilah al-adah (adat istiadat). Contoh urf berupa perbuatan atau kebiasaan, disuatu masyarakat dalam melakukan jual beli kebutuhan ringan sehari-hari

seperti garam, tomat, dan gula. Dengan hanya menerima barang dan

menyerahkan harga tanpa mengucapkan ijab dan qabul. Contoh urf yang berupa perkataan, seperti kebiasaan di suatu masyarakat untuk tidak

(44)

Kebiasaan-kebiasaan seperti itu menjadi bahan pertimbangan waktu akan

menetapkan hukum dalam masalah. Masalah yang tidak ada ketegasan

hukumnya dalam Alqur’an dan Sunnah. Secara umum urf atau adat itu diamalkan oleh semua madzhab fiqih terutama dikalangan ulama

madzhab Hanafiyah dan Malikiyah (Effendi, 2005:153-154).

Menurut hasil penelitian al-Tayyib Khudari al-Sayyid, guru besar

Ushul Fiqh di Universitas Al-Azhar Mesir dalam karyanya al-Ijtihad fi ma la Nassa fih, bahwa madzhab yang dikenal banyak menggunakan urf

sebagai landasan hukum adalah kalangan Hanafiyah dan kalangan

Malikiyah, dan selanjutnya oleh kalangan hanabilah dan kalangan

Syafi’iyyah. Menurutnya, pada prinsipnya madzhab-madzhab besar fikih

sepakat menerima adat istiadat sebagai landasan pembentukan hukum,

meskipun dalam jumlah dan rinciannya terdapat perbedaan di antara

madzhab-madzhab tersebut, sehingga urf dimasukkan kedalam kelompok-kelompok dalil-dalil yang diperselisihkan dikalangan ulama

(Effendi, 20005:155).

Dari beberapa penjelasan dapat dikatakan bahwa urf atau adat itu digunakan sebagai landasan dalam menetapkan hukum. Namun

penerimaan ulama atas adat itu bukanlah karena semata-mata ia bernama

(45)

Adat yang berlaku di kalangan umat berarti telah diterima sekian

lama secara baik oleh umat. Bila semua ulama telah mengamalkannya,

berarti secara tidak langsung telah terjadi ijma‟, walaupun dalam bentuk

sukuti. Adat itu berlaku dan diterima orang banyak karena mengandung kemashlahatan. Tidak memakai adat seperti ini, hal ini berarti menolak

mashlahat, sedangkan semua pihak telah sepakat untuk mengambil

sesuatu yang bernilai mashlahat, meskipun tidak ada nash yang secara

langsung mendukungnya (Syarifuddin, 2008:378).

Islam datang dengan seperangkat norma syara‟ yang mengatur

kehidupan muamalah yang harus dipatuhi umat Islam sebagai

konsekuensi sebagai keimanannya kepada Allah dan Rasul-Nya.

Sebagian dari adat lama itu ada yang selaras dan ada yang bertentangan

dengan hukum syara‟. Pertemuan antara adat dan syari’at tersebut terjadilah pembenturan, penyerapan, dan pembauran antara keduanya.

Sedangkan mengenai macam-macam urf yang ditulis Nasrun Haroen (1996:139-141) di dalam bukunya, para ulama ushul fiqih membagi urf menjadi tiga macam yaitu:

a. Dari segi objeknya, urf dibagi menjadi 2 yaitu:

1) Al-urf al-lafzhi adalah kebiasaan masyarakat dalam mempergunakan lafal atau ungkapan tertentu dalam

mengungkapkan sesuatu, sehingga makna ungkapan itulah yang

(46)

ungkapan daging yang berarti daging sapi padahal kata-kata

daging mencangkup seluruh daging yang ada.

2) Al-urf al-amali adalah kebiasaan masyarakat yang berkaitan dengan perbuatan biasa atau muamalah keperdataan. Yang

dimaksud perbuatan biasa adalah perbuatan masyarakat dalam

masalah kehidupan mereka yang tidak terkait dengan

kepentingan orang lain, seperti kebiasaan libur kerja pada

hari-hari tertentu dalam satu minggu, kebiasaan masyarakat tertentu

memakan makanan khusus atau meminum minuman tertentu

dan kebiasaan masyarakat dalam memakai pakaian tertentu

dalam acara-acara khusus.

b. Dari segi cakupannya, urf dibagi menjadi 2 yaitu:

1) Al-urf al-am adalah kebiasaan tertentu yang berlaku secara luas di seluruh masyarakat dan di seluruh daerah. Misalnya, dalam

jual beli mobil, seluruh alat yang diperlukan untuk memperbaiki

mobil seperti kunci, tang, dongkrak dan ban serep, termasuk

dalam harga jual, tanpa akad sendiri dan biaya tambahan.

2) Al-urf al-khash adalah kebiasaan yang berlaku di daerah dan masyarakat tertentu. Misalnya, di kalangan para pedagang,

apabila terdapat cacat tertentu pada barang yang dibeli dapat

dikembalikan dan untuk cacat lainya dalam barang itu,

konsumen tidak bisa mengembalikan barang tersebut.

(47)

1) Al-urf al-shahih adalah kebiasaan yang berlaku di tengah-tengah masyarakat yang tidak bertentangan dengan nash (alqur’an atau

hadits), tidak menghilangkan kemaslahatan mereka, dan dan

tidak pula membawa mudarat kepada mereka. Misalnya, dalam

masa pertunangan pihak laki-laki memberikan hadiah kepada

pihak wanita dan hadiah ini tidak dianggap sebagai mas kawin.

2) Al-urf al-fasid adalah kebiasaan yang bertentangan dengan dalil-dalil syara‟ dan kaidah-kaidah dasar yang ada dalam syara‟.

Misalnya, kebiasaan yang berlaku di kalangan pedagang dalam

menghalalkan riba, kebiasaan yang berlaku di kalangan

pedagang dalam menghalalkan riba.

Berdasarkan macam-macam urf di atas, para ulama ushul fiqih

bersepakat bahwa urf al-shahih yaitu kebiasaan yang berlaku di tengah-tengah masyarakat yang tidak bertentangan dengan nash (alqu’an atau

hadits), tidak menghilangkan kemaslahatan mereka, dan dan tidak pula

membawa mudarat kepada mereka, baik yang menyangkut urf al-am dan

urf al-khas, maupun yang berkaitan dengan urf al-lafzhi dan urf al-amali, dapat dijadikan hujjah dalam menetapkan hukum syara‟ (Haroen, 1996:142).

Pada zaman Rasulullah SAW, di negeri Arab telah terdapat

aturan-aturan dan adat istiadat yang sudah dipatuhi selama ini. Ada

diantaranya yang harus lebih diperbaiki dan disempurnakan sedikit demi

(48)

membatalkannya, dan ada pula yang harus dirombak sama sekali karena

bertolak belakang dengan syari’at islam. Seperti halnya, dengan

kebiasaan masyarakat meminum minuman keras, yang bagi mereka

minuman tersebut sudah menyatu pada diri mereka. Hal ini merupakan

suatu kebiasaan atau tradisi yang menimbulkan kemudharatan (Ali,

1998:314).

2. Aspek-aspek Sosiologis Tradisi Pernikahan dalam Islam

Secara terminologi kata tradisi merupakan suatu kaitan antara

masa lalu dengan masa kini. Ia menunjuk kepada masa lalu yang

diwariskan untuk masa kini tetapi masih berfungsi dan berwujud untuk

masa sekarang. Tradisi memperlihatkan bagaimana masyarakat

bertingkah laku, baik dalam kehidupan yang bersifat duniawi maupun

terhadap hal-hal yang bersifat ghaib atau keagamaan. Kata tradisi sangat

melekat pada kehidupan masyarakat saat ini. Masyarakat sangat

mempercayai tradisi, tradisi sudah ada sejak dahulu kala bahkan sejak

zaman jahiliyah. Tradisi khususnya tradisi pernikahan sudah dijalani

sejak zaman jahiliyah. Adapun jenis-jenis pernikahan pada zaman

jahiliyah, yaitu:

a. Nikah al-Khidn, menurut anggapan masyarakat jahiliyah asal tidak ketahuan tidak apa-apa, tetapi kalau ketahuan dianggap tercela.

(49)

b. Nikah Badal, seorang laki-laki menawarkan kepada laki-laki lain untuk slaing tukar-menukar isteri mereka. Pernikahan ini seperti jual

beli tukar tambah.

c. Nikah Istibdha‟, praktik pernikahan semacam ini bertujuan mencari

bibit unggul sebagai keturunan. Caranya, suami memerintahkan

istrinya untuk tidur seranjang dengan laki-laki yang gagah perkasa,

kaya dan pandai. Harapannya agar anak yang dilahirkannya nanti

dari hasil hubungan seks menjadi sama dan setidaknya meniru jejak

dan karakter sang ayah. Meskipun, ayahnya itu bukanlah suaminya

yang sah. Suami memerintah istrinya ketika sang isteri suci dari

haid. Setelah itu suami yang pertama tadi tidak akan menyentuhnya

sama sekali sampai jelas bahwa si isteri itu hamil dari laki-laki

tersebut. Jika telah nyata hamil maka si laki-laki yang terakhir ini

dapat memiliki isteri itu, jika ia mau.

d. Perkawinan Keroyokan, sekelompok lelaki kurang dari 10 orang,

semuanya menggauli seorang wanita. Bila telah hamil kemudian

melahirkan, ia memanggil seluruh anggota kelompok tersebut tidak

seorangpun boleh absen. Kemudian ia menunjuk salah seorang yang

dikehendakinya untuk dinisbahkan sebagai bapak dari anak itu, dan

yang bersangkutan tidak boleh mengelak. Dan biasanya penunjukan

ayah dari jabang bayi setelah jabang bayi lahir.

(50)

kawinkan dengan anak perempuan calon menantunya atau

perempuan yang ada di bawah kekuasaan orang yang akan

dikawinkan dengn anak perempuannya, keduanya akan kawin tanpa

membayar maskawin (Alhamdani, 1980:14).

Jika dilihat pernikahan pada zaman jahiliyah sangatlah

bertentangan dengan ajaran agama Islam. Dalam hal ini Rasulullah SAW

meluruskan seluruh tradisi yang salah, sehingga tidak bertentangan

dengan hukum Islam. Tradisi pernikahan pada masa Rasulullah tidaklah

jauh berbeda dengan masa sekarang. Tetapi pada masa Rasul untuk

menghormati suatu kaum adalah dengan mengangkat saudara atau

dengan jalan menikahi salah satu kerabat dari kaum tersebut. Pada masa

itu, pria menikahi lebih dari empat wanita ialah hal yang wajar. Bahkan

pada zaman itu para raja dan pemimpin suatu bangsa mempunyai banyak

istri, dan biasanya para istri tersebut diambil sewaktu masih gadis, bukan

janda.

Kini kita berada pada suatu generasi yang hidup jauh dari

kehidupan Rasul, al-Khulafau al-Rasyidun, para imam madzhab, atba‟u

al-Tabi‟in dan fuqaha klasik. Tidak hanya jauh dalam pengertian rentang waktu, melainkan jauh dalam arti corak berikut karakteristik budaya dan

perdabannya. Setiap fenomena-fenomena sosial budaya yang

berkembnag dengan aneka ragamnya, tidak lagi memperoleh petunjuk

atau jawaban secara langsung yang turun dari Allah (wahyu),

(51)

Setiap kali menghadapi problem yang krusial, ketika itu pula tiba-tiba

Alqur’an turun sebagai jawabannya. Demikian juga pada setiap fenomena yang dijumpai masyarakat muslim pada era awal selalu saja

Rasul dijadikan sebagai figur otoritatif untuk memberikan

jawaban-jawabannya.

Tradisi pernikahan saat ini sudah mengalami perluasan budaya,

sehingga lebih berfariasi dan inovatif dalam penerapannya. Pada

dasarnya tradisi masyarakat zaman dahulu dengan sekarang tidak jauh

berbeda selama tradisi tersebut tidak keluar dari norma-norma hukum

(52)

BAB III

HASIL PENELITIAN

A. Gambaran Umum Desa Jetis Kecamatan Bandungan

1. Letak Geografis Desa Jetis Kecamatan Bandungan

Desa Jetis adalah sebuah desa yang terletak di kaki gunung

Ungaran yang memiliki luas wilayah 278,765 Ha. dengan ketinggian 700

Mdl. di atas permukaan laut. Batas wilayah Desa Jetis di sebelah utara

adalah Desa Mlirir dan Desa Duren, sebelah selatan adalah Desa Pasekan

Kecamatan Ambarawa, sebelah timur adalah Kelurahan Baran

Kecamatan Ambarawa dan sebelah barat adalah Kelurahan Bandungan.

Sedangkan jarak obritasi Desa Jetis Kecamatan Bandungan adalah:

a. Jarak ke ibu kota Kecamatan : 2 KM.

b. Jarak ke ibu kota Kabupaten : 15 KM.

c. Jarak ke ibu kota Provinsi : 40 KM.

d. Jarak ke ibukota Negara : 650 KM.

2. Kondisi Sosial Keagamaan

Desa Jetis Kecamatan Bandungan mempunyai jumlah penduduk

(53)

Tabel 3.1 : Jumlah Penduduk Menurut Agama

No. Kelompok agama Laki-laki Perempuan Jumlah

1. Islam 2212 2212 4424

2. Kristen 12 12 24

3. Katolik 5 7 12

Jumlah 2229 2213 4460

Sumber: Data monografi kependudukan Desa Jetis Kecamatan

Bandungan Bulan Januari 2015.

Dilihat dari data monografi di atas penduduk yang beragama

Islam 4.424 jiwa, Kristen 24 jiwa dan Katolik 12 jiwa. Sehingga dapat

disimpulkan, mayoritas penduduk Desa Jetis Kecamatan Bandungan

beragama Islam.

Walaupun terjadi perbedaan keyakinan atau agama, dalam

kehidupan sehari-hari penduduk Desa Jetis Kecamatan Bandungan tidak

menggambarkan adanya perpecahan ataupun konflik akibat perbedaan

keyakinan. Bagi pemeluk agama Islam sebagi pemeluk mayoritas sangat

menghormati pemeluk agama Kristen dan Katolik meskipun pemeluknya

hanya sebagian kecil dari masyarakat Desa Jetis Kecamatan Bandungan

begitu juga sebaliknya. Dengan sikap masyarakat Desa Jetis Kecamatan

Bandungan tersebut menjadikan pemeluk agama terkesan lebih toleran

dan tidak membedakan-bedakan satu dengan yang lain.

Dari 4.424 jiwa penduduk yang beragama Islam, sekitar 990 jiwa

(54)

beberapa dusun di Desa Jetis Kecamatan Bandungan Kabupaten

Semarang.

3. Tingkat Pendidikan

Sebuah pendidikan merupakan suatu hak yang didapatkan oleh

setiap manusia, yang mana pendidikan dapat dikategorikan dengan

mencari ilmu yang hukumnya wajib dalam ajaran Islam.

Tabel 3.2 : Jumlah Penduduk Menurut Pendidikan

No. Jenis Pendidikan Laki-laki Perempuan Jumlah

1. Tidak sekolah 0 0 0

2. Belum tamat SD 216 219 435

3. Tidak tamat SD 92 151 243

4. Tamat SD 672 700 1372

5. Tamat SLTP/SMP 264 290 554

6. Tamat SLTA/SMA 317 243 560

7. Tamat akademi 16 25 41

8. Sarjana ke atas 50 48 98

Jumlah 1627 1676 3303

Sumber: Data monografi kependudukan Desa Jetis Kecamatan

Bandungan Bulan Januari 2015.

Dari data monografi di atas rata-rata tingkat pendidikan

masyarakat Desa Jetis Kecamatan Bandungan tergolong sangat baik

(55)

Jetis Kecamatan Bandungan masih banyak pula warga yang kurang

mendapatkan pendidikan.

B. Gambaran Umum Jam’iyah Rifa’iyah

1. Profil Pendiri Jam’iyah Rifa’iyah

KH. Ahmad Rifa’i dilahirkan di Desa Tempuran Kabupaten

Kendal pada tanggal 10 Muharram 1200 Hijriyah. Ayahnya bernama

RKH. Muhammad bin Abi Sujak, yang menjadi qadli agama di

kabupaten tersebut. Pada usianya mencapai 30 tahun KH. Ahmad Rifa’i

pergi ke Mekah untuk menunaikan ibadah haji. Selama 8 tahun di Mekah

KH. Ahmad Rifa’i mendalami ilmu-ilmu keislaman di bawah guru

Syaikh Ahmad Usman dan Syaikh Al Faqih Muhammad Ibn Abd al-Aziz

al-Jaisyi. Kemudian KH. Ahmad Rifa’i melanjutkan belajarnya ke Mesir selama 12 tahun untuk belajar kitab-kitab dengan petunjuk dan arahan

guru-guru agung seperti Syaikh Ibrahim al-Bajuri dan Syaikh

Abdurrahman al-Mirsyi (Saad, 2004:6-7).

Setelah 20 tahun belajar di Timur Tenggah, kemudian KH.

Ahmad Rifa’i pulang ke Indonesia bersama Syaikh Nawawi Banten dan

Syaikh Muhammad Kholil Bangkalan Madura. Dan pada waktu inggin

kembali ke Indonesia ketiganya duduk berkeliling memusyawarahkan

untuk menyatakan menyebarkan ilmu yang diperolehnya dalam bentuk

(56)

mengembangkan ajarannya, pendidikannya dan keagamaannya (Saad,

2004:7).

Setelah pulang dari Timur Tenggah KH. Ahmad Rifa’i tinggal di Kaliwunggu Kabupaten Kendal dan memusatkan perhatiannya

merealisasikan pengajaran ilmu-ilmu keagamaan dan mengarang

kitab-kitab Tarjumah. Di samping kesibukannya dalam urusan pengajaran dan mengarang kitab, KH. Ahmad Rifa’i bekerja keras menanamkan keislaman kepada murid-muridnya dan masyarakat umumnya.

Pada waktu pemerintah Belanda dan sekutunya menjajah

penduduk dan tanah airnya, KH. Ahmad Rifa’i memandang bahwa pemerintah Belanda yang harus bertanggung jawab atas kesengsaraan

yang telah menimpa umat Islam pada waktu itu. Kemudian KH. Ahmad

Rifa’i membuat gerakan Ahmad Rifa’i untuk melawan pemerintah

Belanda dan menyebabkan KH. Ahmad Rifa’i harus berhadapan dengan pemerintah Belanda. Karena takut dengan gerakan Ahmad Rifa’i,

pemerintah Belanda memanggil Ahmad Rifa’i dan Pemerintah Belanda

memenjarakan KH. Ahmad Rifa’i di Kendal dan Semarang. Setelah keluar dari penjara KH. Ahmad Rifa’i pindah ke Desa Kalisalak. Di Desa Kalisalak KH. Ahmad Rifa’i menikah dengan Sujinah, setelah istri pertamanya Ummil Umroh meninggal dunia. Kalisalak adalah desa

terpencil yang terletak di Kecamatan Limpung Kabupaten Batang. Di

(57)

banyak dan berdatangan para murid dari berbagai daerah seperti Kendal,

Pekalongan, Wonosobo dan daerah lainya (Saad, 2004:8).

Ketika pemerintah Belanda mengetahui bahwa gerakan KH.

Ahmad Rifa’i lambat laun semakin banyak pengikutnya dari daerah lain,

maka pemerintah Belanda menangkap dan mengasingkan KH. Ahmad

Rifa’i ke Ambon pada tanggal 16 Syawal 1275 (19 Mei 1859). Walaupun

diasingkan dari khayalak ramai KH. Ahmad Rifa’i tidak meninggalkan

mengarang kitab sebagai wahana untuk dakwah islamiyah. Dan

kemudian KH. Ahmad Rifa’i juga pindah ke Kampung Jawa Tondano Kabupaten Minahasa, Manado dan meninggal disana setelah berumur 89

tahun (Saad, 2004:9).

2. Pofil Jam’iyah Rifa’iyah

Sebagaimana para pemuka aliran, KH. Ahmad Rifa'i tidak pernah

memproklamasikan berdirinya Jam’iyah Rifa’iyah sebagai nama bagi sebuah organisasi. Para pengikutnyalah yang mengidentifikan diri

sebagai pengikut KH. Ahmad Rifa'i. Mereka biasa menyebut diri sebagai

santri Tarjumah atau santri Rifa’iyah. Semenjak abad ke 19 hingga pertengahan abad ke 20, santri Tarjumah masih tersebar dalam berbagai

organisasi dan lembaga. Beberapa di antaranya masih menutup diri

dengan dunia luar. Belum lagi ada semacam trauma sejarah, dan

kehilangan panutan kala KH. Ahmad Rifa'i diasingkan ke Kampung

(58)

Rifa'iyah di Randudongkal, Pemalang. Yayasan ini menaungi Madrasah

Ibtidaiyah dan pesantren yang melestarikan pengajaran kitab-kitab

Tarjumah (Nasrudin, 2009:90).

Dengan bendera yayasan, para santri Tarjumah mulai

bersinggungan dengan komunitas lain di luar mereka. Karena belum ada

institusi resmi yang menggabungkan mereka, santri Tarjumah masih

terfregmentasi. Sehingga, gerakan keagamaan mereka masih bersifat

sporadis, terpolarisasi, dan tidak fokus. Di beberapa daerah, mereka

masih harus berhadapan dengan organisasi keislaman lain yang sudah

mapan, seperti NU dan Muhammadiyah.

Kegiatan yayasan yang telah didirikan tidak leluasa. Bahkan, di

beberapa daerah, Santri Tarjumah dipersulit mendirikan yayasan. Dalam

kondisi terdesak ini, pemerintah Kabupaten Pekalongan menawarkan

kebebasan berkegiatan. Tapi dengan catatan mau bergabung dengan

Sekber Golkar. Tawaran ini diterima setelah para Kyai Tarjumah

memutuskannya dalam sebuah musyawarah.

Dengan bergabungnya santri Tarjumah kepada Golkar, mereka

mendapat banyak kemudahan dalam beraktifitas dan akses yang cukup

luas terhadap kekuasaan. Pada 24-25 Desember 1990 diadakanlah

(59)

Tepat pada 18 Desember 1991 (18 Jumadil Akhir 1412 H),

dideklarasikanlah Jam'iyah Rifa'iyah di Cirebon, Jawa Barat. Berdirinya

Jam'iyah Rifa'iyah ini merupakan puncak kesadaran santri Tarjumah akan

pentingnya sebuah organisasi dalam menghadapi berbagai tantangan

bangsa, negara, umat, dan agamadi satu sisi, serta melestarikan tradisi

pemikiran KH. Ahmad Rifa’i yang masih relevan dan dinamis di sisi lain

(Nasrudin, 2009:92).

Jam'iyah Rifa'iyah berakidah, berasaskan Islam ala ahlu sunah, mengikuti salah satu dari mazhab empat: Hanafi, Maliki, Hanbali, dan

Syafi’i. Dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, Jam’iyah Rifa’iyah

berpedoman kepada Pancasila. Sedang secara keumatan, Jam’iyah Rifa'iyah bersifat sosial keagamaan, memperjuangkan nilai-nilai

kemaslahatan umat, kesejahteraan, dan kemanusiaan.

C. Tradisi Pernikahan Jam’iyah Rifa’iyah

Dari hasil observasi dan wawancara terhadap Jam’iyah Rifa’iyah di Desa Jetis Kecamatan Bandungan diketahui tradisi pernikahan di Jam’iyah

Rifa’iyah sebagi berikut:

1. Tradisi Mempelajari Kitab Tabyin al-Islah Sebelum Pelaksanaan Pernikahan

Calon mempelai yang akan melakukan pernikahan diharuskan

(60)

pernikahan menemui kyai atau tokoh ulama Jam’iyah Rifa’iyah kira-kira

2 bulan sebelum dilakukannya pernikahan untuk mempelajari kitab

Tabyin al-Islah sampai paham isi dari kitab tersebut. Apabila calon mempelai yang akan melakukan pernikahan tidak paham isi dari kitab

Tabyin al-Islah, biasanya kyai atau tokoh ulama Jam’iyah Rifa’iyah tidak

membolehkan dulu calon mempelai tersebut untuk melaksanakan

pernikahan sampai calon mempelai tersebut paham isi dari kitab Tabyin al-Islah.

Kitab Tabyin al-Islah sendiri terdiri dari atas 2 bab, yang masing-masing bab mempunyai lapangan pembahasan sendiri-sendiri. Bab 1

membahas tentang rukun perkawinan, wali bagi wanita,susunan wali,

wali hakim, saksi perkawinan, ijab qabul, larangan perkawinan, kafa‟ah,

mas kawin, walimah, menggilir dan nusyuz, serta khulu‟. Sedangkan bab 2 membahas tentang talak.

Kitab Tabyin al-Islah ditulis mengunakan arab pegon (tulisan arab berbahsa jawa). Pengunaan tulisan arab pegon dilakukan dengan tujuan untuk memudahkan orang awam (orang yang tidak bisa membaca tulisan berbahasa arab) yang akan mempelajari kitab Tabyin al-Islah. 2. Tradisi Pemilihan Saksi Pernikahan

Dilakukannya pemilihan atau penujukan saksi pernikahan yang

sesuai dengan kualifikasi saksi pernikahan di kitab Tabyin al-Islah.

Jam’iyah Rifa’iyah di Desa Jetis Kecamatan Bandungan Kabupaten

Gambar

Tabel 3.1 : Jumlah Penduduk Menurut Agama
Tabel 3.2 : Jumlah Penduduk Menurut Pendidikan

Referensi

Dokumen terkait

perataan laba dengan perusahaan yang tidak melakukan bahwa mempunyai. reaksi pasar

Pada penelitian ini telah dilakukan uji coba aplikasi Sistem Pakar untuk mendeteksi Penyakit Kulit Menular kepada 20 orang user , hasil yang diperoleh dari

Pasal 27 ayat (2) Peraturan Pemerintah Nomor 8 Tahun 2008 menyatakan bahwa Rancangan Renja PD disusun dengan mengacu rancangan awal RKPD. Oleh sebab itu sebelum

• PKMT merupakan kreativitas yang inovatif dalam menciptakan suatu karya teknologi yang dapat meningkatkan nilai tambah dan dibutuhkan oleh suatu kelompok masyarakat

Konsentrasi RNA yang diperoleh dengan penambahan sodium asetat dan etanol absolut serta disimpan pada suhu -20 0 C adalah 402 ng/µl untuk RNA bunga kakao, 1.200 ng/µl untuk RNA

UJIAN SEKOLAH/MADRASAH TAHUN PELAJARAN 2014/2015 KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN

Data-data yang telah didapat tersebut digunakan untuk mendapatkan nilai hidrodinamik koefisien yang terdiri atas drag coefficient dan lift coefficient .Dari hasil

Danau Poso Blok G3A No.4 Sawojajar, Telp.. Gatot