SKRIPSI
Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat
guna Memperoleh Gelar Sarjana dalam Hukum Islam
Oleh:
HANIF AHMAD SAIFUDDIN
NIM : 21110005
JURUSAN AHWAL AL-SYAKHSYIYYAH
FAKULTAS
SYARI’AH
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN)
SALATIGA
Sesuatu yang belum dikerjakan, sering kali mustahil. Kita baru yakin
kalau kita telah berhasil melakukannya dengan baik.
PERSEMBAHAN
Untuk kedua orang tuaku yang selalu mendo’akanku Untuk Kakek dan Nenekku yang saya hormati
Untuk Adekku yang aku sayang
Untuk saudara-saudaraku tercinta
Untuk teman terbaikku yang memberikan semangat dan do’a
Untuk dosen-dosen IAIN Salatiga yang telah membagi ilmunya
Asslamualaikum wr. wb.
Alhamdulillahirabbil’alamin. Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah
memberikan rahmat serta hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan
penelitian dan penulisan skripsi ini. Shalawat serta salam semoga tercurah kepada
junjungan kita baginda Rasulullah SAW yang selalu kami harapkan syafa’atnya. Penulis menyadari keterbatasan pengetahuan yang dimiliki, sehingga bimbingan,
pengarahan dan bantuan telah banyak penulis peroleh dari berbagai pihak. Oleh
karena itu, penulis mengucapkan terima kasih sebesar-besarnya kepada yang
terhormat:
1. Dr. Rahmat Hariyadi, M.Pd. selaku Rektor IAIN Salatiga.
2. Siti Zumrotun, M.Ag. selaku Dekan Fakultas Syari’ah IAIN Salatiga. 3. Sukron Ma’mun, S.HI., M.Si. selaku Ketua Jurusan Ahwal
al-Syakhshiyyah.
4. Ilyya Muhsin, S.HI., M.Si. selaku Pembimbing Akademik yang telah
membimbing penulis dalam perkuliahan.
5. Benny Ridwan, M.Hum. selaku pembimbing skripsi yang telah
meluangkan waktu, tenaga, dan pikiranya guna membimbing penulis
hingga terselesaikannya skripsi ini.
6. Seluruh dosen dan staff IAIN Salatiga, terimakasih atas ilmu yang
8. Kakek dan nenekku yang memberikan do’a dan dukungan.
9. Saudara-saudaraku, Arif, Rois dan lain-lain yang telah memberikan
semangat.
10. Teman terbaikku Lilis Handayani yang telah mendo’akan, membantu dan selalu meluangkan waktunya untukku disaat sedih maupun senang.
11. Teman-teman Jurusan Ahwal al-Syakhsiyah angkatan 2010, Danang, Choe, Zainul dan lain-lain yang telah memberikan semangat.
12. Semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu yang telah
berperan dan membantu hingga skripsi ini dapat terselesaikan.
Akhirnya penulis menyadari atas keterbatasan yang dimiliki dalam
menyelesaikan penulisan skripsi ini, sehingga masih banyak ditemui kekurangan
dan ketidak sempurnaan. Oleh karena itu kritik dan saran dari pembaca sangat
penulis harapkan. Namun demikian sekecil apapun karya ini, penulis berharap
skripsi ini dapat bermanfaat bagi pembaca dan menjadi ilmu yang berkah.
Teriring do’a dan harapan semoga amal baik dan jasa semua pihak
tersebut di atas akan mendapat balasan yang melimpah dari Allah SWT. Amin.
Salatiga. Pebimbing: Benny Ridwan, M.Hum.
Kata Kunci: Tradisi, Pernikahan, Jam’iyah Rifa’iyah
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui tradisi pernikahan Jam’iyah Rifa’iyah dan faktor yang melatarbelakangi tradisi pernikahan tersebut. Pertanyaan yang ingin dijawab adalah (1) Bagaimana tradisi pernikahan Jam’iyah
Rifa’iyah di Desa Jetis Kecamatan Bandungan (2) Apa faktor yang melatarbelakangi tradisi pernikahan Jam’iyah Rifa’iyah di Desa Jetis Kecamatan Bandungan.
Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif diskriptif analisis dengan mengambil lokasi penelitian di Desa Jetis Kecamatan Bandungan Kabupaten Semarang. Pengumpulan data dilakukan dengan metode wawancara, dokumentasi dan observasi. Data yang berhasil dihimpun dianalisis secara kualitatif.
Hasil yang diperoleh dari penelitian ini adalah tradisi pernikahan Jam’iyah
Rifa’iyah meliputi: tradisi mempelajari kitab Tabyin al-Islah sebelum pernikahan, tradisi Shihhah dan tradisi pemilihan saksi pernikahan. Faktor yang melatarbelakangi tradisi pernikahan di Jam’iyah Rifa’iyah adalah: (1) faktor yang melatarbelakangi tradisi mempelajari kitab Tabyin al-Islah sebelum pernikahan adalah Jam’iyah Rifa’iyah yang akan menikah diharuskan mempelajari kitab
Tabyin al-Islah supaya ibadah pernikahannya tidak sia-sia begitu saja, perkawinannya dianggap shahih dan pernikahannya kekal dan bahagia, (2) faktor yang melatarbelakangi tradisi pemilihan saksi adalah terjadinya kualifikasi saksi pernikahan di kitab Tabyin al-Islah yang terkesan berhati-hati dan sulit dipenuhi oleh seorang saksi pernikahan biasa dan (3) faktor yang melatarbelakangi tradisi
shihah adalah pada masa KH. Ahmad Rifa’i mayoritas wali hakim atau penghulu
belum bisa adil mursyid, berada dalam perintah pemerintah kafir dan hanya memikirkan kepentingan pribadi dengan mengatas namakan agama. Setelah Indonesia merdeka pengulangan pernikahan atau tradisi shihah di Jam’iyah
Rifa’iyah sudah mengalami pergeseran dikarenakan para penghulu sudah diperintah oleh penguasa bukan kafir, para penghulu dinilai sudah memiliki sifat yang alim dan sebagian besar penghulu memiliki latar belakang pendidikan agama yang cukup mumpuni.
Dengan demikian hasil penelitian ini diharapkan bisa bermanfaat dan berguna bagi masyarakat yang ingin mengetahui tradisi pernikahan di Jam’iyah
PERSETUJUAN PEMBIMBING... ii
PENGESAHAN KELULUSAN ... iii
PERNYATAAN KEASLIAN TULISAN ... iv
MOTTO DAN PERSEMBAHAN ... v
KATA PENGANTAR ... vi
ABSTRAK ... viii
DAFTAR ISI ... xi
DAFTAR TABEL... xii
DAFTAR LAMPIRAN ... xiii
BAB I PENDAHULUAN ... 1
A. Latar Belakang Masalah ... 1
B. Rumusan Masalah ... 5
C. Tujuan Penelitian ... 6
D. Kegunaan Penelitian ... 6
E. Kegunaan Istilah ... 7
F. Telaah Pustaka ... 8
G. Metode Penelitian ... 10
2. Hukum Pernikahan ... 20
3. Rukun Pernikahan ... 22
4. Syarat Pernikahan ... 24
5. Hikmah Pernikahan ... 27
B. Tradisi Pernikahan ... 28
1. Tradisi dalam Islam ... 28
2. Aspek-Aspek Sosiologis Tradisi Pernikahan dalam Islam ... 34
BAB III HASIL PENELITIAN ... 38
A. Gambaran Umum Desa Jetis Kecamatan Bandungan ... 38
1. Letak Geografis Desa Jetis Kecamatan Bandungan ... 38
2. Kondisi Sosial Keagamaan ... 38
3. Tingkat Pendidikan ... 40
B. Gambaran Umum Jam’iyah Rifa’iyah ... 41
1. Profil Pendiri Jam’iyah Rifa’iyah ... 41
2. Profil Jam’iyah Rifa’iyah ... 43
C. Tradisi Pernikahan Jam’iyah Rifa’iyah ... 45
D. Faktor yang Melatarbelakangi Tradisi Pernikahan Jam’iyah Rifa’iyah . 47 46 1. Faktor yang Melatarbelakangi Tradisi Mempelajari Pernikahan Kitab Tabyin al-Islah Sebelum Pernikahan ... 47
B. Analisis Faktor yang Melatarbelakangi Tradisi Pernikahan Jam’iyah
Rifa’iyah ... 60
1. Faktor yang Melatarbelakangi Tradisi Mempelajari Pernikahan
Kitab Tabyin al-Islah Sebelum Pernikahan ... 60 2. Faktor yang Melatarbelakangi Tradisi Pemilihan Saksi ... 61
3. Faktor yang Melatarbelakangi Tradisi Shihah ... 67
C. Analisis Tradisi Pernikahan Jam’iyah Rifa’iyah Berdasarkan Ilmu
Ushul Fiqih ... 70 67
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan... 72
Lampiran 2 Daftar Nilai SKK
Lampiran 3 Lembar Konsultasi
A. Latar Belakang Masalah
Perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan
seorang wanita sebagai istri dengan tujuan membentuk keluarga yang bahagia
dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Ikatan lahir adalah
hubungan formal yang dapat dilihat karena dibentuk menurut undang-undang
yang mengikat kedua pihak dan pihak lain dalam masyarakat. Sedangkan
Ikatan batin adalah hubungan tidak formal yang dibentuk dengan kemauan
bersama yang sungguh-sungguh mengikat kedua pihak.
Ikatan pernikahan merupakan ikatan suci yang berdasarkan nilai-nilai
ketuhanan untuk membentuk keluarga sakinah, mawaddah dan warrahmah. Ikatan pernikahan bukan saja ikatan perdata tetapi ikatan lahir batin antara
seorang suami dengan seorang isteri. Pernikahan tidak lagi hanya sebagai
hubungan jasmani tetapi juga merupakan hubungan batin. Ikatan yang
didasarkan pada hubungan jasmani itu berdampak pada masa yang pendek
sedangkan ikatan lahir batin itu lebih jauh. Dimensi masa dalam ini
dieksplisitkan dengan tujuan sebuah perkawinan yakni untuk membangun
sebuah keluarga bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa
(Nuruddin dan Tarigan, 2006:46).
Dalam agama Islam, mengajarkan pernikahan yang memiliki tujuan
menimbulkan rasa kasih sayang antara suami istri. Islam mengatur hubungan
ini dengan segala perlindungan-Nya sehingga mencapai tingkatan taat yang
tinggi. Islam juga mengatur hubungan antara suami istri dengan Syari’at
terbatas dan menegakkan peraturan rumah tangga atas kepemimpinan sang
suami. Peraturan inilah yang dapat memelihara dari segala keguncangan yang
dialihkan pada bimbingan kasih sayang dan taqwa kepada Allah SWT.
Pernikahan tidak hanya tentang ikatan lahir batin antara seorang pria
dengan seorang wanita sebagai suami istri untuk membentuk keluarga yang
bahagia dan kekal atau ikatan suci yang berdasarkan nilai-nilai ketuhanan
untuk membentuk keluarga sakinah dan mawaddah. Namun pernikahan juga tentang proses yang dilakukan dalam sebuah pernikahan.
Tradisi merupakan sesuatu kebiasaan yang berkembang di
masyarakat, baik yang menjadi adat kebiasaan, atau yang diasimilasikan
dengan ritual adat atau agama. Atau dalam pengertian yang lain, sesuatu yang
telah dilakukan sejak lama dan menjadi bagian dari kehidupan suatu
kelompok masyarakat, biasanya dari suatu Negara, kebudayaan, waktu, atau
agama yang sama.
Islam merupakan agama yang universal, memiliki sifat yang mampu
untuk adaptasi serta tumbuh disegala tempat dan waktu. Hanya saja pengaruh
lokalitas dan tradisi dalam sekelompok suku bangsa sangat sulit dihindari
dalam masyarakat muslim. Namun demikian, walaupun berhadapan dengan
budaya dunia, keuniversalan Islam tetap tidak akan berkurang. Hal ini
tujuan Islam, dan Islam tetap menjadi pedoman dalam segala aspek
kehidupan. Hanya saja pergumulan Islam itu berakibat pada adanya
keragaman penerapan prinsip-prinsip umum dan universal suatu agama
berkenaan dengan tata caranya, dengan kata lain masyarakat muslim tidak
dapat lepas dengan istilah tradisi.
Tradisi merupakan adat kebiasaan turun temurun dari nenek moyang
yang masih dijalankan di masyarakat. Sejak dahulu tradisipun telah ada dan
menjadi kebiasaan yang dijalani oleh masyarakat saat ini. Dalam hukum
Islam istilah tradisi lebih dikenal dengan urf. Urf secara etimologi merupakan sesuatu yang dipandang baik dan diterima oleh akal sehat. Sedangkan secara
terminologi, istilah urf berarti sesuatu yang tidak asing lagi bagi masyarakat karena telah menjadi kebiasaan yang menyatu dengan kehidupan mereka baik
berupa perbuatan atau perkataan.
Pada masa sekarang tradisi pernikahan juga masih melekat dan
dijalankan di masyarakat. Jam’iyah Rifa’iyah yang berada di Desa Jetis Kecamatan Bandungan juga menjalakan tradisi pernikahan. Jam’iyah
Rifa’iyah adalah kelompok keagamaan pengikut dan simpatisan KH. Ahmad
Rifa’i yang muncul pada pertengahan abad ke 19 di pesisir utara Jawa Tengah
tepatnya di Desa Kalisalak Kecamatan Limpung Kabupaten Batang, yang
mana pada masa itu masuk dalam Karesidenan Pekalongan. KH. Ahmad
Rifa’i telah memainkan peranan yang amat penting dalam sejarah Islam dan
gerakan keagamaan menentang Pemerintah Belanda di Indonesia maupun
Kalisalak Kabupaten Batang dan sekitarnya. Hingga kini cukup banyak
pengikut dan simpatisan KH. Ahmad Rifa’i yang tersebar di beberapa daerah
di Jawa Tengah seperti Batang, Pekalongan, Pemalang, Kendal, Kebumen,
Wonosobo, Pati dan bahkan diluar Jawa Tengah seperti Arjowinangun
Cirebon, Indramayu, Yogyakarta dan Jakarta. Nama Rifa’iyah merupakan
suatu penghormatan terhadap pendiri Jama’ah keagamaan dan untuk
mengenang jasa-jasa KH. Ahmad Rifa’i bin Muhammad Marhum, bukan untuk memuja. Selain sebagai pendiri dia juga sebagai tokoh sentral yang
sangat dihormati oleh pengikutnya hingga sekarang.
Dalam masalah pernikahan, Jam’iyah Rifa’iyah berpedoman pada kitab Tabyin al-Islah. Kitab Tabyin al-Islah berisi tentang Ilmu perkawinan dan yang berkaitan dengannya. Ilmu perkawinan yang dijelaskan dalam kitab
Tabyin al-Islah sesunguhnya tidak berbeda dengan kitab-kitab ilmu perkawinan pada umumnya. Namun ada suatu penjelasan dalam kitab Tabyin al-Islah yang membedakan dengan tradisi masyarakat islam pada umumnya,
yaitu Jam’iyah Rifa’iyah tidak dapat mengesahkan akad nikah yang dilakukan
oleh penghulu atau orang di luar Jam’iyah Rifa’iyah sebab pihak-pihak yang
terlibat dalam pernikahan seperti wali dan saksi nikah dianggap tidak
memenuhi syarat syah yang dijelaskan dalam kitab Tabyin al-Islah. Jam’iyah
Rifa’iyah mempunyai tradisi menentukan atau memilih orang yang menjadi
Jam’iyah Rifa’iyah juga berpendapat bahwa seseorang yang ingin
melakukan pernikahan diharuskan untuk mempelajari kitab Tabyin al-Islah
untuk mencapai syarat syah secara fiqhiyah dan pernikahannya bisa diangap
shahih. Jam’iyah Rifa’iyah mengenal sebuah prinsip, tidak bisa syah secara fiqhiyah seseorang yang akan melakukan sesuatu tanpa mengetahui dulu ilmunya. Seseorang yang tidak mempelajari kitab Tabyin al-Islah sebelum
pernikahan akan mendapatkan sanksi dikucilkan dari Jam’iyah Rifa’iyah.
Sebagaimana latar belakang tersebut, maka penting untuk dilakukan
penelitian terhadap masyarakat terkait. Untuk mengetahui tradisi pernikahan
Jam’iyah Rifa’iyah yang dilakukan sebagian masyarakat Desa jetis
kecamatan Bandungan Kabupaten Semarang. Hal menarik yang ingin penulis
teliti adalah bagaimana tradisi pernikahan Jam’iyah Rifa’iyah dan apa faktor yang melatarbelakangi tradisi pernikahan Jam’iyah Rifa’iyah. Dan peneliti
menentukan judul yang sesuai dari penelitian ini adalah “Tradisi Pernikahan
Jam’iyah Rifa’iyah di Desa Jetis Kecamatan Bandungan Kabupaten
Semarang”.
B. Rumusan Masalah
Dari latar belakang tersebut peneliti merumuskan masalah sebagai
berikut:
2. Apa faktor yang melatarbelakangi tradisi pernikahan Jam’iyah Rifa’iyah di Desa Jetis Kecamatan Bandungan Kabupaten Semarang?
C. Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian ini adalah:
1. Untuk mengetahui tradisi pernikahan Jam’iyah Rifa’iyah di Desa Jetis Kecamatan Bandungan Kabupaten Semarang.
2. Untuk mengetahui faktor yang melatarbelakangi tradisi pernikahan
Jam’iyah Rifa’iyah di Desa Jetis Kecamatan Bandungan Kabupaten
Semarang.
D. Kegunaan Penelitian
Untuk memberikan hasil yang bermanfaat, serta diharapkan mampu
dijadikan dasar secara keseluruhan untuk dijadikan pedoman bagi
pelaksanaan secara teoritis maupun praktis, maka sekiranya penelitian ini
dapat berguna di antaranya:
1. Kegunaan Teoritis
Sebagai upaya dalam pengembangan ilmu pengetahuan dan
menambah wawasan khususnya mengenai tradisi-tradisi pernikahan.
2. Kegunaan Praktis
a. Bagi Progam Studi Ahwal al-Syakhsiyah
Dapat dipergunakan untuk menambah ilmu pengetahuan di
b. Bagi Masyarakat
Diharapkan dapat digunakan sebagai pedoman untuk
mengetahui tradisi pernikahan di Jam’iyah Rifa’iyah.
E. Penegasan Istilah
Agar di dalam penelitian ini tidak terjadi penafsiran yang berbeda
dengan maksud penulis, maka penulis akan menjelaskan istilah-istilah
didalam judul ini. Istilah yang perlu penulis jelaskan sebagai berikut:
1. Tradisi adalah adat kebiasaan turun temurun dari nenek moyang yang
masih dijalankan, sejak dahulu telah ada dan menjadi kebiasaan yang
dijalani oleh masyarakat saat ini. Dalam hukum Islam istilah tradisi lebih
dikenal dengan urf.
2. Pernikahan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang
wanita sebagai istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga)
yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.
3. Jam’iyah Rifa’iyah adalah kelompok keagamaan pengikut dan simpatisan KH. Ahmad Rifa’i yang muncul pada pertengahan abad ke19 di pesisir utara Jawa Tengah tepatnya di Desa Kalisalak Kecamatan Limpung
Kabupaten Batang, yang mana pada masa itu masuk dalam Karesidenan
Pekalongan. KH. Ahmad Rifa’i telah memainkan peranan yang amat penting dalam sejarah Islam dan gerakan keagamaan menentang
Pemerintah Belanda di Indonesia maupun birokrat pribumi yang
Kabupaten Batang dan sekitarnya. Hingga kini cukup banyak pengikut
dan simpatisan KH. Ahmad Rifa’i yang tersebar di beberapa daerah di Jawa Tengah seperti Batang, Pekalongan, Pemalang, Kendal, Kebumen,
Wonosobo, Pati dan bahkan diluar Jawa Tengah seperti Arjowinangun
Cirebon, Indramayu, Yogyakarta dan Jakarta. Nama Rifa’iyah merupakan suatu penghormatan terhadap pendiri Jama’ah keagamaan
dan untuk mengenang jasa-jasa KH. Ahmad Rifa’i bin Muhammad Marhum, bukan untuk memuja. Selain sebagai pendiri dia juga sebagai
tokoh sentral yang sangat dihormati oleh pengikutnya hingga sekarang.
F. Telaah Pustaka
Penelitian terdahulu dibutuhkan untuk memperjelas, menegaskan,
melihat kelebihan dan kelemahan berbagai teori yang digunakan penulis lain
dalam penelitian atau pembahasan masalah yang serupa. Selain itu penelitian
terdahulu perlu disebutkan dalam sebuah penelitian untuk memudahkan
pembaca melihat dan membandingkan perbedaan teori yang digunakan dan
perbedaaan hasil kesimpulan oleh penulis dengan peneliti yang lain dalam
melakukan pembahasan tema yang hampir serupa.
Penelitian mengenai Jam’iyah Rifa’iyah telah banyak dilakukan oleh
para peneliti. Ada yang secara total mengkaji dalam skripsi, tesis, disertasi
maupun buku. Berikut ini penelitian yang mempunyai topik atau tema yang
1. Penelitian Abdul Djamil dalam disertasinya yang kemudian dibukukan
dengan judul Perlawanan Kiai Desa: Pemikiran dan Gerakan Islam Kh. Ahmad Rifa‟i Kalisalak. Abdul Djamil lebih memfokuskan pada doktrin
dan pemahaman normatif yang diajarkan KH. Ahmad Rifa’i, ia juga sedikit menyinggung historisitas Jam’iyah Rifa’iyah dan ketokohan KH. Ahmad Rifa'i. Abdul Djamil menyimpulkan bahwa sepeninggal KH.
Ahmad Rifa'i dari Kalisalak, pengikut KH. Ahmad Rifa'i mengalami
diaspora. Mereka tersebar dibeberapa tempat di Nusantara, karena
menghindari kejaran kekuasaan kolonial Belanda. Trauma dari kejaran
kolonial Belanda ini menghasilkan sikap bagi para pengikutnya untuk
anti terhadap kekuasaan dan terjadi apa yang dikatakan Abdul Djamil
sebagai protes diam. Tentang pernikahan dalam buku ini Abdul Djamil
hanya mengulas tentang pemikiran KH. Ahmad Rifa’i dalam Kitab
Tabyin al-Islah.
2. Penelitian Muhlisin Saad dalam buku an-Naz‟ah al-Kharijiyyah fî Afkar wa Harakah Syaikh Ahmad Rifa’i. Buku ini diterjemahkan oleh KH. Ahmad Syadizirin Amin, dengan judul Mengungkap Gerakan dan Pemikiran Syaikh Ahmad Rifa‟i. Buku yang diterbitkan oleh Yayasan
Badan Wakaf Rifa’iyah ini menggambarkan ciri khas pemikiran KH.
Ahmad Rifa’i terutama berkaitan dengan hal-hal yang spesial. Tentang
pernikahan, dalam buku tersebut hanya mengutip pendapat KH. Ahmad
3. Penelitian yang dilakukan oleh M. Nasrudin dalam skripsinya yang
Berjudul Hukum Islam dan Perubahan Sosial: Studi Pergeseran Pemikiran Jam‟iyah Rifa‟iyah Tentang Keabsahan Nikah yang Diadakan
oleh Penghulu atau PPN. Dalam penelitiannya dijelaskan bahwa dahulu
Jam’iyah Rifa’iyah tidak menerima akad nikah yang dilakukan oleh
penghulu, sehingga harus melakukan akad nikah hingga dua kali. Akad
yang pertama dilakukan di PPN dan akad yang kedua dilakukan di
Jam’iyah Rifa’iyah itu sendiri. Akan tetapi setelah diadakan penelitian,
kenyataan di lapangan membuktikan bahwa pemahaman Jam’iyah Rifa’iyah terhadap keabsahan nikah sudah mulai bergeser dengan menerima akad nikah yang dilakukan penghulu walaupun pergeseran itu
tidak terjadi secara keseluruhan di Jam’iyah Rifa’iyah, hal ini disebabkan
oleh beberapa faktor diantaranya perbedaan persepsi antara tokoh tua dan
tokoh muda di Jam’iyah Rifa’iyah.
G. Metode Penelitian
1. Pendekatan dan Jenis Penelitian
Penelitian ini termasuk dalam jenis penelitian lapangan (field research) dalam pelaksanaannya menggunakan metode pendekatan kualitatif diskriptif analisis yang umumnya menggunakan strategi multi
metode yaitu wawancara, pengamatan, serta penelaahan dokumen atau
2. Kehadiran penelitian
Penelitian dan pengumpulan data-data di Desa Jetis Kecamatan
Bandungan Kabupaten Semarang ini dengan cara peneliti terjun langsung
ke lapangan. Penelitian ini dimulai pada tanggal 31 oktober 2014 sampai
dengan selesainya penelitian yang disertai dengan kegiatan akhir berupa
penyusunan skripsi.
3. Lokasi Penelitian
Penelitian ini mengambil lokasi di Desa Jetis Kecamatan
Bandungan Kabupaten Semarang. Adapun alasan pemilihan tempat
adalah Desa Jetis Kecamatan Bandungan Kabupaten Semarang
mempunyai daerah yang dikira tidak mempersulit dalam melakukan
penelitian mengenai tradisi pernikahan Jam’iyah Rifa’iyah. 4. Sumber Data
Sumber data dibedakan menjadi 2 (dua) yaitu:
a. Data Primer
Sumber dan jenis data primer penelitian ini adalah kata-kata
dan tindakan subjek serta gambaran ekspresi, sikap dan pemahaman
dari subjek yang diteliti sebagai dasar utama melakukan interpretasi
data. Data atau informasi tersebut diperoleh secara langsung dari
orang-orang yang dipandang mengetahui masalah yang akan dikaji
dan bersedia memberi data atau informasi yang diperlukan.
Sedangkan untuk pengambilan data dilakukan dengan bantuan
bantuan rekaman suara handphone. Sementara itu observasi
dilakukan dengan melakukan pengamatan secara langsung segala
aktivitas di Desa Jetis Kecamatan Bandungan Kabupaten Semarang.
b. Data Sekunder
Data sekunder adalah data atau informasi yang diperoleh dari
sumber-sumber lain selain data primer. Diantaranya buku-buku
literatur, internet, dan majalah atau jurnal ilmiah yang berhubungan
dengan tradisi pernikahan Jam’iyah Rifa’iyah.
5. Prosedur Pengumpulan Data
Untuk mengumpulkan data yang diperlukan, digunakan
metode-metode sebagai berikut:
a. Metode Wawancara Mendalam
Dalam metode ini penulis menggunakan teknik interview guide yaitu cara pengumpulan data dengan menyampaikan secara langsung daftar pertanyaan yang telah disusun sebelumnya guna
memperoleh jawaban yang langsung pula dari seorang responden
(Koentjaraningrat, 1986:138).
Dalam penelitian ini wawancara dilakukan secara mendalam
yang diarahkan pada masalah tertentu dengan para informan yang
sudah dipilih untuk mendapatkan data yang diperlukan. Teknik
wawancara yang digunakan ini dilakukan secara tidak terstruktur,
ketat kepada informan agar informasi yang diperoleh memiliki
kapasitas yang cukup tentang berbagai aspek dalam penelitian ini.
b. Metode Dokumentasi
Metode dokumentasi adalah metode pengumpulan data
dengan cara membaca dan mengutip dokumen-dokumen yang ada
dan dipandang relevan. Dalam melaksanakan metode dokumentasi,
peneliti menyelidiki benda-benda tertulis seperti buku-buku,
peraturan rapat, catatan harian dan sebagainya (Arikunto, 1989:131).
Metode ini digunakan untuk memperoleh data sejarah Desa Jetis
Kecamatan Bandungan Kabupaten Semarang, dan data-data dan
informasi lain yang menunjang.
c. Metode Observasi atau Pengamatan
Metode observasi adalah teknik pengumpulan data dengan
pengamatan langsung kepada objek penelitian (Surakhmad,
1994:164). Metode ini digunakan untuk mengetahui situasi dan
kondisi lingkungan di Desa Jetis Kecamatan Bandungan Kabupaten
Semarang. Pengamatan disini termasuk juga didalamnya peneliti
mencatat peristiwa dalam situasi yang berkaitan dengan pengetahuan
proporsional maupun langsung diperoleh dari data (Moleong,
2007:174).
Observasi ini dilakukan dengan melakukan serangkaian
pengamatan dengan menggunakan alat indera penglihatan dan
penelitian ini, penulis menggunakan teknik observasi berperan pasif
dimana observasi bisa dilakukan secara langsung maupun tidak
langsung.
6. Analisis Data
Metode analisis adalah suatu cara penanganan terhadap objek
ilmiah tertentu dengan jalan memilah dan memilih antara pengertian
yang satu dengan yang lain untuk mendapatkan pengertian yang baru.
Data yang berhasil dihimpun akan dianalisis secara kualitatif, yaitu
dengan menerapkan metode berfikir induktif, yaitu suatu metode berfikir
yang bertolak dari fenomena yang khusus dan kemudian menarik
kesimpulan yang bersifat umum (Daymon, 2008:369).
7. Pengecekan Keabsahan Data
Dalam hal pengecekan keabsahan data penelitian terhadap
beberapa kriteria keabsahan data yang nantinya akan dirumuskan secara
tepat, teknik pemeriksaanya yaitu dalam penelitian ini harus terdapat
adanya kredibilitas yang dibuktikan dengan perpanjangan keikutsertaan,
ketekunan pengamatan, triangulasi, pengecekan sejawat kecukupan
referensi, adanya kriteria kepastian dengan teknik uraian rinci dan audit
kepastian.
Untuk mengetahui apakah data yang telah dikumpulkan dalam
penelitian memiliki tingkat kebenaran atau tidak, maka dilakukan
pengecekan data yang disebut dengan validitas data. Untuk menjamin
keabsahan data yang memanfaatkan sesuatu yang lain diluar data itu
untuk keperluan pengecekan atau sebagai pembanding terhadap data itu
(Moleong, 2007:330). Validitas data akan membuktikan apakah data
yang diperoleh sesuai dengan apa yang ada di lapangan atau tidak.
Dengan demikian data yang diperoleh dari suatu sumber akan dikontrol
oleh data yang sama dari sumber yang berbeda.
8. Tahap-tahap Penelitian
a. Penelitian pendahuluan
Penulis mengkaji buku-buku yang berkaitan dengan nikah
dan buku lain yang berhubungan dengan tradisi pernikahan Jam’iyah
Rifa’iyah.
b. Pengembangan desain
Setelah penulis mengetahui banyak hal tentang tradisi
pernikahan Jam’iyah Rifa’iyah, kemudian penulis melakukan observasi ke objek penelitian untuk melihat secara langsung tradisi
pernikahan Jam’iyah Rifa’iyah di Desa Jetis Kecamatan Bandungan Kabupaten Semarang.
c. Penelitian sebenarnya
Penulis melakukan penelitian dengan cara terjun langsung ke
lokasi penelitian untuk meneliti secara lebih mendalam tentang
H. Sistematika Penulisan
Dalam menyusun skripsi ini penulis membagi kedalam beberapa bab
dan masing-masing bab mencakup beberapa sub bab yang berisi sebagai
berikut:
Dalam menyusun skripsi ini penulis membagi kedalam beberapa bab
dan masing-masing bab mencakup beberapa sub bab yang berisi sebagai
berikut:
1. BAB I merupakan Pendahuluan yang menjelaskan: latar belakang
masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian,
penegasan istilah, telaah pustaka, metode penelitian dan sistematika
penulisan.
2. BAB II merupakan Kajian Pustaka yang menjelaskan pernikahan yang
meliputi: pengertian pernikahan, hukum perkawinan, rukun pernikahan,
syarat pernikahan dan hikmah pernikahan. Dan selanjutnya menjelaskan
tradisi yang meliputi: tradisi dalam Islam dan aspek-aspek sosiologis
tradisi pernikahan dalam Islam.
3. BAB III merupakan hasil penelitian yang terdiri dari: gambaran umum
Desa Jetis Kecamatan Bandungan Kabupaten Semarang, gambaran
umum Jam’iyah Rifa’iyah, tradisi pernikahan Jam’iyah Rifa’iyah dan
faktor yang melatarbelakagi tradisi pernikahan Jam’iyah Rifa’iyah.
4. BAB IV merupakan Analisis data dari data hasil temuan-temuan yang
yang melatarbelakangi tradisi pernikahan Jam’iyah Rifa’iyah dan analisis
tradisi pernikahan Jam’iyah Rifa’iyah berdasarkan ilmu ushul fiqih.
5. BAB V Bab ini merupakan bab penutup atau bab akhir dari penyusunan
skripsi yang penulis susun. Dalam bab ini penulis mengemukakan
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
A. Pernikahan
1. Pengertian Pernikahan
Pernikahan atau perkawinan dalam literartur fiqih berbahasa Arab
disebut dengan dua kata, yaitu nikah dan zawaj. Kedua kata ini yang terpakai dalam kehidupan sehari-hari orang Arab dan banyak terdapat
dalam Alquran dan Hadist Nabi Muhammad SAW. Kata na-ka-ha
banyak terdapat dalam Alquran dengan arti kawin. Secara arti kata nikah
berarti bergabung, hubungan kelamin, dan juga berarti akad yang berarti
mengadakan perjanjian pernikahan. Dalam pemakaian bahasa sehari-hari
perkataan nikah lebih banyak dipakai dalam arti kiasan daripada arti yang
sebenarnya, bahkan nikah dalam arti yang sebenarnya jarang sekali
dipakai pada saat ini (Muchtar, 1974:11).
Imam Syafi’i mengartikan nikah sebagai suatu akad yang
dengannya menjadi halal hubungan seksual antara pria dengan wanita
sedangkan menurut arti majazi, nikah itu artinya hubungan seksual. Nikah menurut arti asli dapat juga berarti aqad, dengan nikah menjadi
halal hubungan kelamin antara pria dan wanita (Ibrahim, 1971:65).
Adapun dalam Pasal 1 Undang-Undang Perkawinan No.1 tahun 1974,
wanita sebagai istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga)
yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.
Tegasnya pernikahan adalah akad atau perikatan yang
menghalalkan hubungan kelamin antara laki-laki dan perempuan dalam
rangka mewujudkan kebahagiaan hidup berkeluarga yang diliputi rasa
ketentraman serta kasih sayang dengan cara yang didirikan Allah SWT.
(Depag, 1985:49).
Pengertian pernikahan yang telah disebutkan di atas sangatlah
berbeda dengan pengertian menurut Burgelijke Wetboek yang memisahkan hukum perkawinan dengan ketentuan agama. Pasal 26 BW
mengatakan bahwa perkawinan adalah pertalian yang sah antara seorang
lelaki dan seorang perempuan untuk waktu yang lama. Undang-undang
hanya memandang perkawinan hanya dari hubungan keperdataan artinya
pasal ini hendak menyatakan, bahwa suatu perkawinan yang sah
hanyalah perkawinan yang memenuhi syarat-syarat yang ditetapkan
dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata (Burgerlijke Wetboek) dan syarat-syarat serta peraturan agama dikesampingkan (Subekti, 1996:25).
Pada dasarnya pengertian pernikahan disini adalah banyak
memiliki perbedaan. Perbedaan yang terdapat bukan untuk
memperlihatkan pertentangan, tetapi hanya membedakan dimana lebih
menambahkan unsur-unsur pada masing-masing perumus. Tetapi dalam
perbedaan tersebut ditemukan adanya kesamaan unsur mengenai
disini berbeda dengan ikatan akad jual beli maupun akad sewa-menyewa,
tetapi akad disini merupakan akad suci yang disatukan oleh kedua pihak
laki-laki dan perempuan untuk menuju suatu keluarga yang harmonis
sesuai syari’at islam.
2. Hukum Pernikahan
Hukum asal pernikahan mubah, Mubah yaitu sesuatu perbuatan
yang dibolehkan mengerjakannya, tidak diwajibkan dan tidak pula
diharamkan (Muchtar, 1974:23). Sesuai dengan firman Allah SWT dalam
surat an-Nur ayat 32: memampukan dengan kurniaNya karena Tuhan Allah itu adalah Maha Luas pemberianNya, lagi Maha Mengetahui (akan nasib dan kehendak hambaNya) (Depag, 2006:389)”.
Dan firman Allah SWT dalam surat an-Nisa’ ayat 4:
اًئيِرَم اًئيِنَى ُهوُلُكَف اًسْفَػن ُوْنِم ٍءْيَش ْنَع ْمُكَل َْبِْط ْنِإَف ًةَلِْنِ َّنِِتِاَقُدَص َءاَسِّنلا اوُتَآَو
Artinya: “Berikanlah maskawin (mahar) kepada wanita (yang kamuNamun hukum pernikahan itu mungkin bisa berubah menjadi
wajib, sunnah, haram dan makruh. Hukum pernikahan bisa berubah
disebabkan oleh faktor berikut ini:
a. Orang yang diwajikan menikah adalah orang yang sanggup untuk menikah, sedang dia khawatir terhadap dirinya akan melakukan
perbuatan yang dilarang Allah SWT. Melaksanakan pernikahan
merupakan satu-satunya jalan baginya untuk menghindarkan diri dari
perbuatan yang dilarang oleh Allah SWT.
b. Orang yang disunatkan menikah adalah orang yang mempunyai kesanggupan untuk menikah dan sanggup memelihara diri dari
kemungkinan melakukan perbuatan terlarang. Sekalipun demikian
melaksanakan pernikahan adalah lebih baik baginya, karena
Rasulullah SAW melarang hidup sendirian dalam nikah.
c. Orang yang dimakruhkan menikah adalah orang yang tidak mempunyai kesangupan menikah. Pada hakekatnya orang yang tidak
mempunyai kesanggupan untuk menikah diperbolehkan untuk
melakukan pernikahan. Tetapi dia dikhawatirkan tidak dapat
mencapai tujuan pernikahannya, karena itu dianjurkan sebaiknya dia
tidak melakukan pernikahan.
d. Orang yang diharamkan menikah adalah orang-orang yang mempunyai kesanggupan untuk menikah, tetapi kalau dia menikah
diduga akan menimbulkan kemudharatan terhadap pihak yang lain,
sifat-sifat yang dapat membahayakan pihak yang lain dan sebagainya
(Muchtar, 1974:23-25).
3. Rukun Pernikahan
Rukun adalah unsur yang melekat pada peristiwa hukum atau
perbuatan hukum, baik dari segi para subjek hukum maupun objek
hukum yang merupakan bagian dari perbuatan hukum ketika hukum
tersebut berlangsung. Rukun menentukan sah atau tidak sahnya suatu
perbuatan atau peristiwa hukum. Jika salah satu rukun dalam peristiwa
atau perbuatan hukum itu tidak terpenuhi berakibat perbuatan hukum
atau peristiwa hukum tersebut tidak syah dan statusnya batal demi hukum
(Djubaedah, 2010:90). Dalam Ensiklopedi Hukum Islam dikemukakan
bahwa rukun adalah suatu unsur yang merupakan bagian yang tidak
terpisahkan dari suatu perbuatan atau lembaga yang menentukan sah atau
tidak sahnya perbuatan tersebut dan ada atau tidak adanya perbuatan
tersebut (Djubaedah, 2010:91). Rukun dapat pula diartikan sesuatu yang
harus ada yang menentukan sah atau tidak sahnya suatu pekerjaan, dan
sesuatu itu termasuk dalam rangkaian pekerjaan itu, seperti membasuh
muka untuk wudhu dan takbiratul ihram untuk shalat (Ghazaly, 2006:46).
Rukun nikah terdiri dari:
Calon mempelai laki-laki dan perempuan biasanya hadir
dalam upacara pernikahan. Calon mempelai perempuan selalu ada
dalam upacara tersebut, tetapi calon mempelai laki-laki, mungkin
karena sesuatu keadaan, dapat mewakilkan kepada orang lain dalam
ijab kabul. (Saleh, 2008:300).
b. Wali dari calon mempelai perempuan
Wali yang menjadi rukun nikah adalah wali nasab, yaitu wali
yang mempunyai hubungan darah dengan calon mempelai
perempuan. Dalam keadaan luar biasa, wali nasab dapat digantikan
oleh wali hakim, yaitu petugas pencatat nikah jika wali nasab
tersebut tidak ada atau tidak ditemukan. Demikian pula, jika wali
nasab tidak mau tau tidak bersedia menikahkan calon mempelai
perempuan, maka wali hakimlah yang bertindak untuk
menikahkannya.
c. Dua orang saksi
Saksi dalam perkawinan harus terdiri dari dua orang laki-laki
yang memenuhi syarat. Perkawinan yang tidak dihadiri saksi,
walaupun rukun (1), (2), dan (3) sudah dipenuhi, menurut pendapat
umum adalah tidak sah.
d. Ijab dan kabul
Tentang pelaksanaan ijab kabul atau akad, perkawinan harus
dimulai dengan ijab dan dilanjutkan dengan kabul. Menurut
untuk mengikatkan diri dalam ikatan perkawinan dari pihak
perempuan kepada calon mempelai laki-laki. Kabul adalah
penegasan untuk menerima ikatan perkawinan tersebut, yang
diucapkan oleh mempelai laki-laki. Penegasan penerimaan itu harus
diucapkan oleh mempelai laki-laki langsung sesudah ucapan
penegasan penawaran yang dilakukan oleh wali pihak mempelai
perempuan. Tidak boleh ada tenggang waktu yang mengesankan
adanya keraguan. (Saleh, 2008:300).
Adapun rukun pernikahan dalam Kompilasi Hukum Islam
sebagaimana tertera dalam bab IV tentang rukun dan syarat perkawinan,
bagian kesatu Pasal 14 adalah calon suami, calon isteri, wali Nikah, dua
orang saksi, Ijab dan Kabul.
4. Syarat Pernikahan
Syarat adalah hal-hal yang melekat pada masing-masing unsur
yang menjadi bagian dari suatu perbuatan hukum atau peristiwa hukum.
(Djubaedah, 2010:92). Syarat menurut Tihami (2010:12) adalah sesuatu
yang mesti ada yang menentukan sah dan tidaknya suatu pekerjaan
ibadah, tetapi sesuatu itu tidak termasuk dalam rangkaian pekerjaan itu,
seperti menutup aurat untuk shalat. Rukun dan syarat dalam pernikahan
keduanya wajib dipenuhi, apabila tidak dipenuhi maka perkawinan yang
Syarat yang merupakan bagian dari masing-masing rukun
perkawinan antara lain:
a. Syarat-syarat calon suami:
1) Beragama Islam.
2) Laki-laki.
3) Jelas orangnya.
4) Dapat memberikan persetujuan, tidak terpaksa dan atas
kemauannya sendiri.
5) Tidak terdapat halangan perkawinan atau bukan merupakan
mahram dari calon istri.
b. Syarat-syarat calon istri:
1) Beragama Islam.
2) Perempuan.
3) Jelas orangnya.
4) Dapat dimintai persetujuannya.
5) Tidak terdapat halangan perkawinan.
c. Syarat-syarat wali:
1) Laki-laki.
2) Islam.
3) Baligh.
4) Mempunyai hak perwalian.
5) Waras akalnya.
d. Syarat-syarat saksi:
1) Minimal dua orang laki-laki.
2) Islam.
3) Baligh.
4) Hadir dalam ijab qabul.
5) Dapat mengerti maksud akad.
e. Syarat-syarat akad
1) Adanya pernyataan mengawinkan dari wali.
2) Adanya pernyataan penerimaan dari calon mempelai pria.
3) Memakai kata-kata nikah, tazwij atau terjemahan dari kata
nikah, tazwij.
4) Antara ijab dan qabul bersambungan.
5) Antara ijab dan qabul jelas maksudnya.
6) Orang yang berkait dengan ijab qabul tidak sedang dalam ihram
haji atau umrah.
7) Majelis ijab dan qabul itu harus dihadiri minimum empat orang
yaitu calon mempelai pria atau wakilnya, wali dari mempelai
pria atau wakilnya, dan dua orang saksi (Rofiq, 1998:72).
Undang-undang Perkawinan mengatur syarat-syarat perkawinan
dalam Bab II pasal 6:
a. Perkawinan harus didasarkan atas persetujuan kedua calon mempelai,
maka ijin cukup diperoleh dari orang tua yang masih hidup atau dari orang tua yang mampu menyatakan kehendaknya,
d. Dalam hal kedua orang tua telah meninggal dunia atau dalam keadaan tidak mampu untuk menyatakan kehendaknya, maka izin diperoleh dari wali, orang yang memelihara atau keluarga yang mempunyai hubungan darah dalam garis keturunan lurus ke atas selama mereka masih hidup dan dalam keadaan dapat menyatakan kehendaknya (Rofiq, 1998:73).
5. Hikmah Pernikahan
Dengan pernikahan akan banyak hikmah yang diperoleh
seseorang, diantaranya adalah terdapatnya teman hidup yang dulunya
hanya sendiri. Islam menganjurkan dan menggembirakan kawin
sebagaimana tersebut karena ia mempunyai pengaruh yang baik bagi
pelakunya sendiri, masyarakat dan seluruh umat manusia. Adapun
hikmah dari pernikahan adalah:
a. Sesungguhnya naluri seks merupakan naluri yang paling kuat dan
keras yang selamanya menuntut adanya jalan keluar. Bilamana jalan
keluar tidak dapat memuaskannya, maka banyaklah manusia yang
mengalami goncang dan kacau serta menerobos jalan yang jahat.
Dengan kawin badan jadi segar, jiwa jadi tenang, mata terpelihara
dari melihat yang haram dan perasaan tenang menikmati barang
yang halal.
b. Nikah, jalan terbaik untuk membuat anak-anak menjadi mulia,
memperbanyak keturunan, melestarikan hidup manusia serta
c. Selanjutnya, naluri kebapakan dan keibuan akan tumbuh saling
melengkapi dalam suasana hidup dengan anak-anak dan akan
tumbuh pula perasaan-perasaan ramah, cinta dan sayang yang
merupakan sifat-sifat baik yang menyempurnakan kemanusiaan
seseorang.
d. Menyadari tanggung jawab beristeri dan menanggung anak-anak
menimbulkan sikap rajin dan sungguh-sungguh dalam memperkuat
bakat dan pembawaan seseorang.
e. Pembagian tugas, dimana yang satu mengurusi dan mengatur rumah
tangga, sedangkan yang lain bekerja di luar, sesuai dengan
batas-batas tanggung jawab antara suami isteri dalam menangani
tugas-tugasnya.
f. Dengan pernikahan diantaranya dapat membuahkan tali
kekeluargaan, memperteguh kelanggengan rasa cinta antara keluarga
dan memperkuat hubungan kemasyarakatan yang memang oleh
Islam direstui, ditopang dan ditunjang. (Sabiq, 1980:18).
B. Tradisi Pernikahan
1. Tradisi dalam Islam
Islam merupakan agama yang universal, memiliki sifat yang
mampu untuk adaptasi serta tumbuh disegala tempat dan waktu. Hanya
saja pengaruh lokalitas dan tradisi dalam sekelompok suku bangsa sangat
berhadapan dengan budaya dunia, keuniversalan Islam tetap tidak akan
berkurang. Hal ini menjadi indikasi bahwa perbedaan tidaklah menjadi
kendala untuk mencapai tujuan Islam, dan Islam tetap menjadi pedoman
dalam segala aspek kehidupan. Hanya saja pergumulan Islam itu
berakibat pada adanya keragaman penerapan prinsip-prinsip umum dan
universal suatu agama berkenaan dengan tata caranya, dengan kata lain
masyarakat muslim tidak dapat lepas dengan istilah tradisi.
Tradisi merupakan adat kebiasaan turun temurun dari nenek
moyang yang masih dijalankan di masyarakat. Sejak dahulu tradisi pun
telah ada dan menjadi kebiasaan yang dijalani oleh masyarakat saat ini.
Dalam hukum Islam istilah tradisi lebih dikenal dengan urf.
Urf secara etimologi merupakan sesuatu yang dipandang baik dan diterima oleh akal sehat. Sedangkan secara terminologi, seperti
dikemukakan Abdul-Karim Zaidan dalam kitab al-Wajiz fi Ushul al-fiqih, istilah urf berarti sesuatu yang tidak asing lagi bagi masyarakat karena telah menjadi kebiasaan yang menyatu dengan kehidupan mereka baik
berupa perbuatan atau perkataan. Istilah urf dalam pengertian istilah al-adah (adat istiadat). Contoh urf berupa perbuatan atau kebiasaan, disuatu masyarakat dalam melakukan jual beli kebutuhan ringan sehari-hari
seperti garam, tomat, dan gula. Dengan hanya menerima barang dan
menyerahkan harga tanpa mengucapkan ijab dan qabul. Contoh urf yang berupa perkataan, seperti kebiasaan di suatu masyarakat untuk tidak
Kebiasaan-kebiasaan seperti itu menjadi bahan pertimbangan waktu akan
menetapkan hukum dalam masalah. Masalah yang tidak ada ketegasan
hukumnya dalam Alqur’an dan Sunnah. Secara umum urf atau adat itu diamalkan oleh semua madzhab fiqih terutama dikalangan ulama
madzhab Hanafiyah dan Malikiyah (Effendi, 2005:153-154).
Menurut hasil penelitian al-Tayyib Khudari al-Sayyid, guru besar
Ushul Fiqh di Universitas Al-Azhar Mesir dalam karyanya al-Ijtihad fi ma la Nassa fih, bahwa madzhab yang dikenal banyak menggunakan urf
sebagai landasan hukum adalah kalangan Hanafiyah dan kalangan
Malikiyah, dan selanjutnya oleh kalangan hanabilah dan kalangan
Syafi’iyyah. Menurutnya, pada prinsipnya madzhab-madzhab besar fikih
sepakat menerima adat istiadat sebagai landasan pembentukan hukum,
meskipun dalam jumlah dan rinciannya terdapat perbedaan di antara
madzhab-madzhab tersebut, sehingga urf dimasukkan kedalam kelompok-kelompok dalil-dalil yang diperselisihkan dikalangan ulama
(Effendi, 20005:155).
Dari beberapa penjelasan dapat dikatakan bahwa urf atau adat itu digunakan sebagai landasan dalam menetapkan hukum. Namun
penerimaan ulama atas adat itu bukanlah karena semata-mata ia bernama
Adat yang berlaku di kalangan umat berarti telah diterima sekian
lama secara baik oleh umat. Bila semua ulama telah mengamalkannya,
berarti secara tidak langsung telah terjadi ijma‟, walaupun dalam bentuk
sukuti. Adat itu berlaku dan diterima orang banyak karena mengandung kemashlahatan. Tidak memakai adat seperti ini, hal ini berarti menolak
mashlahat, sedangkan semua pihak telah sepakat untuk mengambil
sesuatu yang bernilai mashlahat, meskipun tidak ada nash yang secara
langsung mendukungnya (Syarifuddin, 2008:378).
Islam datang dengan seperangkat norma syara‟ yang mengatur
kehidupan muamalah yang harus dipatuhi umat Islam sebagai
konsekuensi sebagai keimanannya kepada Allah dan Rasul-Nya.
Sebagian dari adat lama itu ada yang selaras dan ada yang bertentangan
dengan hukum syara‟. Pertemuan antara adat dan syari’at tersebut terjadilah pembenturan, penyerapan, dan pembauran antara keduanya.
Sedangkan mengenai macam-macam urf yang ditulis Nasrun Haroen (1996:139-141) di dalam bukunya, para ulama ushul fiqih membagi urf menjadi tiga macam yaitu:
a. Dari segi objeknya, urf dibagi menjadi 2 yaitu:
1) Al-urf al-lafzhi adalah kebiasaan masyarakat dalam mempergunakan lafal atau ungkapan tertentu dalam
mengungkapkan sesuatu, sehingga makna ungkapan itulah yang
ungkapan daging yang berarti daging sapi padahal kata-kata
daging mencangkup seluruh daging yang ada.
2) Al-urf al-amali adalah kebiasaan masyarakat yang berkaitan dengan perbuatan biasa atau muamalah keperdataan. Yang
dimaksud perbuatan biasa adalah perbuatan masyarakat dalam
masalah kehidupan mereka yang tidak terkait dengan
kepentingan orang lain, seperti kebiasaan libur kerja pada
hari-hari tertentu dalam satu minggu, kebiasaan masyarakat tertentu
memakan makanan khusus atau meminum minuman tertentu
dan kebiasaan masyarakat dalam memakai pakaian tertentu
dalam acara-acara khusus.
b. Dari segi cakupannya, urf dibagi menjadi 2 yaitu:
1) Al-urf al-am adalah kebiasaan tertentu yang berlaku secara luas di seluruh masyarakat dan di seluruh daerah. Misalnya, dalam
jual beli mobil, seluruh alat yang diperlukan untuk memperbaiki
mobil seperti kunci, tang, dongkrak dan ban serep, termasuk
dalam harga jual, tanpa akad sendiri dan biaya tambahan.
2) Al-urf al-khash adalah kebiasaan yang berlaku di daerah dan masyarakat tertentu. Misalnya, di kalangan para pedagang,
apabila terdapat cacat tertentu pada barang yang dibeli dapat
dikembalikan dan untuk cacat lainya dalam barang itu,
konsumen tidak bisa mengembalikan barang tersebut.
1) Al-urf al-shahih adalah kebiasaan yang berlaku di tengah-tengah masyarakat yang tidak bertentangan dengan nash (alqur’an atau
hadits), tidak menghilangkan kemaslahatan mereka, dan dan
tidak pula membawa mudarat kepada mereka. Misalnya, dalam
masa pertunangan pihak laki-laki memberikan hadiah kepada
pihak wanita dan hadiah ini tidak dianggap sebagai mas kawin.
2) Al-urf al-fasid adalah kebiasaan yang bertentangan dengan dalil-dalil syara‟ dan kaidah-kaidah dasar yang ada dalam syara‟.
Misalnya, kebiasaan yang berlaku di kalangan pedagang dalam
menghalalkan riba, kebiasaan yang berlaku di kalangan
pedagang dalam menghalalkan riba.
Berdasarkan macam-macam urf di atas, para ulama ushul fiqih
bersepakat bahwa urf al-shahih yaitu kebiasaan yang berlaku di tengah-tengah masyarakat yang tidak bertentangan dengan nash (alqu’an atau
hadits), tidak menghilangkan kemaslahatan mereka, dan dan tidak pula
membawa mudarat kepada mereka, baik yang menyangkut urf al-am dan
urf al-khas, maupun yang berkaitan dengan urf al-lafzhi dan urf al-amali, dapat dijadikan hujjah dalam menetapkan hukum syara‟ (Haroen, 1996:142).
Pada zaman Rasulullah SAW, di negeri Arab telah terdapat
aturan-aturan dan adat istiadat yang sudah dipatuhi selama ini. Ada
diantaranya yang harus lebih diperbaiki dan disempurnakan sedikit demi
membatalkannya, dan ada pula yang harus dirombak sama sekali karena
bertolak belakang dengan syari’at islam. Seperti halnya, dengan
kebiasaan masyarakat meminum minuman keras, yang bagi mereka
minuman tersebut sudah menyatu pada diri mereka. Hal ini merupakan
suatu kebiasaan atau tradisi yang menimbulkan kemudharatan (Ali,
1998:314).
2. Aspek-aspek Sosiologis Tradisi Pernikahan dalam Islam
Secara terminologi kata tradisi merupakan suatu kaitan antara
masa lalu dengan masa kini. Ia menunjuk kepada masa lalu yang
diwariskan untuk masa kini tetapi masih berfungsi dan berwujud untuk
masa sekarang. Tradisi memperlihatkan bagaimana masyarakat
bertingkah laku, baik dalam kehidupan yang bersifat duniawi maupun
terhadap hal-hal yang bersifat ghaib atau keagamaan. Kata tradisi sangat
melekat pada kehidupan masyarakat saat ini. Masyarakat sangat
mempercayai tradisi, tradisi sudah ada sejak dahulu kala bahkan sejak
zaman jahiliyah. Tradisi khususnya tradisi pernikahan sudah dijalani
sejak zaman jahiliyah. Adapun jenis-jenis pernikahan pada zaman
jahiliyah, yaitu:
a. Nikah al-Khidn, menurut anggapan masyarakat jahiliyah asal tidak ketahuan tidak apa-apa, tetapi kalau ketahuan dianggap tercela.
b. Nikah Badal, seorang laki-laki menawarkan kepada laki-laki lain untuk slaing tukar-menukar isteri mereka. Pernikahan ini seperti jual
beli tukar tambah.
c. Nikah Istibdha‟, praktik pernikahan semacam ini bertujuan mencari
bibit unggul sebagai keturunan. Caranya, suami memerintahkan
istrinya untuk tidur seranjang dengan laki-laki yang gagah perkasa,
kaya dan pandai. Harapannya agar anak yang dilahirkannya nanti
dari hasil hubungan seks menjadi sama dan setidaknya meniru jejak
dan karakter sang ayah. Meskipun, ayahnya itu bukanlah suaminya
yang sah. Suami memerintah istrinya ketika sang isteri suci dari
haid. Setelah itu suami yang pertama tadi tidak akan menyentuhnya
sama sekali sampai jelas bahwa si isteri itu hamil dari laki-laki
tersebut. Jika telah nyata hamil maka si laki-laki yang terakhir ini
dapat memiliki isteri itu, jika ia mau.
d. Perkawinan Keroyokan, sekelompok lelaki kurang dari 10 orang,
semuanya menggauli seorang wanita. Bila telah hamil kemudian
melahirkan, ia memanggil seluruh anggota kelompok tersebut tidak
seorangpun boleh absen. Kemudian ia menunjuk salah seorang yang
dikehendakinya untuk dinisbahkan sebagai bapak dari anak itu, dan
yang bersangkutan tidak boleh mengelak. Dan biasanya penunjukan
ayah dari jabang bayi setelah jabang bayi lahir.
kawinkan dengan anak perempuan calon menantunya atau
perempuan yang ada di bawah kekuasaan orang yang akan
dikawinkan dengn anak perempuannya, keduanya akan kawin tanpa
membayar maskawin (Alhamdani, 1980:14).
Jika dilihat pernikahan pada zaman jahiliyah sangatlah
bertentangan dengan ajaran agama Islam. Dalam hal ini Rasulullah SAW
meluruskan seluruh tradisi yang salah, sehingga tidak bertentangan
dengan hukum Islam. Tradisi pernikahan pada masa Rasulullah tidaklah
jauh berbeda dengan masa sekarang. Tetapi pada masa Rasul untuk
menghormati suatu kaum adalah dengan mengangkat saudara atau
dengan jalan menikahi salah satu kerabat dari kaum tersebut. Pada masa
itu, pria menikahi lebih dari empat wanita ialah hal yang wajar. Bahkan
pada zaman itu para raja dan pemimpin suatu bangsa mempunyai banyak
istri, dan biasanya para istri tersebut diambil sewaktu masih gadis, bukan
janda.
Kini kita berada pada suatu generasi yang hidup jauh dari
kehidupan Rasul, al-Khulafau al-Rasyidun, para imam madzhab, atba‟u
al-Tabi‟in dan fuqaha klasik. Tidak hanya jauh dalam pengertian rentang waktu, melainkan jauh dalam arti corak berikut karakteristik budaya dan
perdabannya. Setiap fenomena-fenomena sosial budaya yang
berkembnag dengan aneka ragamnya, tidak lagi memperoleh petunjuk
atau jawaban secara langsung yang turun dari Allah (wahyu),
Setiap kali menghadapi problem yang krusial, ketika itu pula tiba-tiba
Alqur’an turun sebagai jawabannya. Demikian juga pada setiap fenomena yang dijumpai masyarakat muslim pada era awal selalu saja
Rasul dijadikan sebagai figur otoritatif untuk memberikan
jawaban-jawabannya.
Tradisi pernikahan saat ini sudah mengalami perluasan budaya,
sehingga lebih berfariasi dan inovatif dalam penerapannya. Pada
dasarnya tradisi masyarakat zaman dahulu dengan sekarang tidak jauh
berbeda selama tradisi tersebut tidak keluar dari norma-norma hukum
BAB III
HASIL PENELITIAN
A. Gambaran Umum Desa Jetis Kecamatan Bandungan
1. Letak Geografis Desa Jetis Kecamatan Bandungan
Desa Jetis adalah sebuah desa yang terletak di kaki gunung
Ungaran yang memiliki luas wilayah 278,765 Ha. dengan ketinggian 700
Mdl. di atas permukaan laut. Batas wilayah Desa Jetis di sebelah utara
adalah Desa Mlirir dan Desa Duren, sebelah selatan adalah Desa Pasekan
Kecamatan Ambarawa, sebelah timur adalah Kelurahan Baran
Kecamatan Ambarawa dan sebelah barat adalah Kelurahan Bandungan.
Sedangkan jarak obritasi Desa Jetis Kecamatan Bandungan adalah:
a. Jarak ke ibu kota Kecamatan : 2 KM.
b. Jarak ke ibu kota Kabupaten : 15 KM.
c. Jarak ke ibu kota Provinsi : 40 KM.
d. Jarak ke ibukota Negara : 650 KM.
2. Kondisi Sosial Keagamaan
Desa Jetis Kecamatan Bandungan mempunyai jumlah penduduk
Tabel 3.1 : Jumlah Penduduk Menurut Agama
No. Kelompok agama Laki-laki Perempuan Jumlah
1. Islam 2212 2212 4424
2. Kristen 12 12 24
3. Katolik 5 7 12
Jumlah 2229 2213 4460
Sumber: Data monografi kependudukan Desa Jetis Kecamatan
Bandungan Bulan Januari 2015.
Dilihat dari data monografi di atas penduduk yang beragama
Islam 4.424 jiwa, Kristen 24 jiwa dan Katolik 12 jiwa. Sehingga dapat
disimpulkan, mayoritas penduduk Desa Jetis Kecamatan Bandungan
beragama Islam.
Walaupun terjadi perbedaan keyakinan atau agama, dalam
kehidupan sehari-hari penduduk Desa Jetis Kecamatan Bandungan tidak
menggambarkan adanya perpecahan ataupun konflik akibat perbedaan
keyakinan. Bagi pemeluk agama Islam sebagi pemeluk mayoritas sangat
menghormati pemeluk agama Kristen dan Katolik meskipun pemeluknya
hanya sebagian kecil dari masyarakat Desa Jetis Kecamatan Bandungan
begitu juga sebaliknya. Dengan sikap masyarakat Desa Jetis Kecamatan
Bandungan tersebut menjadikan pemeluk agama terkesan lebih toleran
dan tidak membedakan-bedakan satu dengan yang lain.
Dari 4.424 jiwa penduduk yang beragama Islam, sekitar 990 jiwa
beberapa dusun di Desa Jetis Kecamatan Bandungan Kabupaten
Semarang.
3. Tingkat Pendidikan
Sebuah pendidikan merupakan suatu hak yang didapatkan oleh
setiap manusia, yang mana pendidikan dapat dikategorikan dengan
mencari ilmu yang hukumnya wajib dalam ajaran Islam.
Tabel 3.2 : Jumlah Penduduk Menurut Pendidikan
No. Jenis Pendidikan Laki-laki Perempuan Jumlah
1. Tidak sekolah 0 0 0
2. Belum tamat SD 216 219 435
3. Tidak tamat SD 92 151 243
4. Tamat SD 672 700 1372
5. Tamat SLTP/SMP 264 290 554
6. Tamat SLTA/SMA 317 243 560
7. Tamat akademi 16 25 41
8. Sarjana ke atas 50 48 98
Jumlah 1627 1676 3303
Sumber: Data monografi kependudukan Desa Jetis Kecamatan
Bandungan Bulan Januari 2015.
Dari data monografi di atas rata-rata tingkat pendidikan
masyarakat Desa Jetis Kecamatan Bandungan tergolong sangat baik
Jetis Kecamatan Bandungan masih banyak pula warga yang kurang
mendapatkan pendidikan.
B. Gambaran Umum Jam’iyah Rifa’iyah
1. Profil Pendiri Jam’iyah Rifa’iyah
KH. Ahmad Rifa’i dilahirkan di Desa Tempuran Kabupaten
Kendal pada tanggal 10 Muharram 1200 Hijriyah. Ayahnya bernama
RKH. Muhammad bin Abi Sujak, yang menjadi qadli agama di
kabupaten tersebut. Pada usianya mencapai 30 tahun KH. Ahmad Rifa’i
pergi ke Mekah untuk menunaikan ibadah haji. Selama 8 tahun di Mekah
KH. Ahmad Rifa’i mendalami ilmu-ilmu keislaman di bawah guru
Syaikh Ahmad Usman dan Syaikh Al Faqih Muhammad Ibn Abd al-Aziz
al-Jaisyi. Kemudian KH. Ahmad Rifa’i melanjutkan belajarnya ke Mesir selama 12 tahun untuk belajar kitab-kitab dengan petunjuk dan arahan
guru-guru agung seperti Syaikh Ibrahim al-Bajuri dan Syaikh
Abdurrahman al-Mirsyi (Saad, 2004:6-7).
Setelah 20 tahun belajar di Timur Tenggah, kemudian KH.
Ahmad Rifa’i pulang ke Indonesia bersama Syaikh Nawawi Banten dan
Syaikh Muhammad Kholil Bangkalan Madura. Dan pada waktu inggin
kembali ke Indonesia ketiganya duduk berkeliling memusyawarahkan
untuk menyatakan menyebarkan ilmu yang diperolehnya dalam bentuk
mengembangkan ajarannya, pendidikannya dan keagamaannya (Saad,
2004:7).
Setelah pulang dari Timur Tenggah KH. Ahmad Rifa’i tinggal di Kaliwunggu Kabupaten Kendal dan memusatkan perhatiannya
merealisasikan pengajaran ilmu-ilmu keagamaan dan mengarang
kitab-kitab Tarjumah. Di samping kesibukannya dalam urusan pengajaran dan mengarang kitab, KH. Ahmad Rifa’i bekerja keras menanamkan keislaman kepada murid-muridnya dan masyarakat umumnya.
Pada waktu pemerintah Belanda dan sekutunya menjajah
penduduk dan tanah airnya, KH. Ahmad Rifa’i memandang bahwa pemerintah Belanda yang harus bertanggung jawab atas kesengsaraan
yang telah menimpa umat Islam pada waktu itu. Kemudian KH. Ahmad
Rifa’i membuat gerakan Ahmad Rifa’i untuk melawan pemerintah
Belanda dan menyebabkan KH. Ahmad Rifa’i harus berhadapan dengan pemerintah Belanda. Karena takut dengan gerakan Ahmad Rifa’i,
pemerintah Belanda memanggil Ahmad Rifa’i dan Pemerintah Belanda
memenjarakan KH. Ahmad Rifa’i di Kendal dan Semarang. Setelah keluar dari penjara KH. Ahmad Rifa’i pindah ke Desa Kalisalak. Di Desa Kalisalak KH. Ahmad Rifa’i menikah dengan Sujinah, setelah istri pertamanya Ummil Umroh meninggal dunia. Kalisalak adalah desa
terpencil yang terletak di Kecamatan Limpung Kabupaten Batang. Di
banyak dan berdatangan para murid dari berbagai daerah seperti Kendal,
Pekalongan, Wonosobo dan daerah lainya (Saad, 2004:8).
Ketika pemerintah Belanda mengetahui bahwa gerakan KH.
Ahmad Rifa’i lambat laun semakin banyak pengikutnya dari daerah lain,
maka pemerintah Belanda menangkap dan mengasingkan KH. Ahmad
Rifa’i ke Ambon pada tanggal 16 Syawal 1275 (19 Mei 1859). Walaupun
diasingkan dari khayalak ramai KH. Ahmad Rifa’i tidak meninggalkan
mengarang kitab sebagai wahana untuk dakwah islamiyah. Dan
kemudian KH. Ahmad Rifa’i juga pindah ke Kampung Jawa Tondano Kabupaten Minahasa, Manado dan meninggal disana setelah berumur 89
tahun (Saad, 2004:9).
2. Pofil Jam’iyah Rifa’iyah
Sebagaimana para pemuka aliran, KH. Ahmad Rifa'i tidak pernah
memproklamasikan berdirinya Jam’iyah Rifa’iyah sebagai nama bagi sebuah organisasi. Para pengikutnyalah yang mengidentifikan diri
sebagai pengikut KH. Ahmad Rifa'i. Mereka biasa menyebut diri sebagai
santri Tarjumah atau santri Rifa’iyah. Semenjak abad ke 19 hingga pertengahan abad ke 20, santri Tarjumah masih tersebar dalam berbagai
organisasi dan lembaga. Beberapa di antaranya masih menutup diri
dengan dunia luar. Belum lagi ada semacam trauma sejarah, dan
kehilangan panutan kala KH. Ahmad Rifa'i diasingkan ke Kampung
Rifa'iyah di Randudongkal, Pemalang. Yayasan ini menaungi Madrasah
Ibtidaiyah dan pesantren yang melestarikan pengajaran kitab-kitab
Tarjumah (Nasrudin, 2009:90).
Dengan bendera yayasan, para santri Tarjumah mulai
bersinggungan dengan komunitas lain di luar mereka. Karena belum ada
institusi resmi yang menggabungkan mereka, santri Tarjumah masih
terfregmentasi. Sehingga, gerakan keagamaan mereka masih bersifat
sporadis, terpolarisasi, dan tidak fokus. Di beberapa daerah, mereka
masih harus berhadapan dengan organisasi keislaman lain yang sudah
mapan, seperti NU dan Muhammadiyah.
Kegiatan yayasan yang telah didirikan tidak leluasa. Bahkan, di
beberapa daerah, Santri Tarjumah dipersulit mendirikan yayasan. Dalam
kondisi terdesak ini, pemerintah Kabupaten Pekalongan menawarkan
kebebasan berkegiatan. Tapi dengan catatan mau bergabung dengan
Sekber Golkar. Tawaran ini diterima setelah para Kyai Tarjumah
memutuskannya dalam sebuah musyawarah.
Dengan bergabungnya santri Tarjumah kepada Golkar, mereka
mendapat banyak kemudahan dalam beraktifitas dan akses yang cukup
luas terhadap kekuasaan. Pada 24-25 Desember 1990 diadakanlah
Tepat pada 18 Desember 1991 (18 Jumadil Akhir 1412 H),
dideklarasikanlah Jam'iyah Rifa'iyah di Cirebon, Jawa Barat. Berdirinya
Jam'iyah Rifa'iyah ini merupakan puncak kesadaran santri Tarjumah akan
pentingnya sebuah organisasi dalam menghadapi berbagai tantangan
bangsa, negara, umat, dan agamadi satu sisi, serta melestarikan tradisi
pemikiran KH. Ahmad Rifa’i yang masih relevan dan dinamis di sisi lain
(Nasrudin, 2009:92).
Jam'iyah Rifa'iyah berakidah, berasaskan Islam ala ahlu sunah, mengikuti salah satu dari mazhab empat: Hanafi, Maliki, Hanbali, dan
Syafi’i. Dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, Jam’iyah Rifa’iyah
berpedoman kepada Pancasila. Sedang secara keumatan, Jam’iyah Rifa'iyah bersifat sosial keagamaan, memperjuangkan nilai-nilai
kemaslahatan umat, kesejahteraan, dan kemanusiaan.
C. Tradisi Pernikahan Jam’iyah Rifa’iyah
Dari hasil observasi dan wawancara terhadap Jam’iyah Rifa’iyah di Desa Jetis Kecamatan Bandungan diketahui tradisi pernikahan di Jam’iyah
Rifa’iyah sebagi berikut:
1. Tradisi Mempelajari Kitab Tabyin al-Islah Sebelum Pelaksanaan Pernikahan
Calon mempelai yang akan melakukan pernikahan diharuskan
pernikahan menemui kyai atau tokoh ulama Jam’iyah Rifa’iyah kira-kira
2 bulan sebelum dilakukannya pernikahan untuk mempelajari kitab
Tabyin al-Islah sampai paham isi dari kitab tersebut. Apabila calon mempelai yang akan melakukan pernikahan tidak paham isi dari kitab
Tabyin al-Islah, biasanya kyai atau tokoh ulama Jam’iyah Rifa’iyah tidak
membolehkan dulu calon mempelai tersebut untuk melaksanakan
pernikahan sampai calon mempelai tersebut paham isi dari kitab Tabyin al-Islah.
Kitab Tabyin al-Islah sendiri terdiri dari atas 2 bab, yang masing-masing bab mempunyai lapangan pembahasan sendiri-sendiri. Bab 1
membahas tentang rukun perkawinan, wali bagi wanita,susunan wali,
wali hakim, saksi perkawinan, ijab qabul, larangan perkawinan, kafa‟ah,
mas kawin, walimah, menggilir dan nusyuz, serta khulu‟. Sedangkan bab 2 membahas tentang talak.
Kitab Tabyin al-Islah ditulis mengunakan arab pegon (tulisan arab berbahsa jawa). Pengunaan tulisan arab pegon dilakukan dengan tujuan untuk memudahkan orang awam (orang yang tidak bisa membaca tulisan berbahasa arab) yang akan mempelajari kitab Tabyin al-Islah. 2. Tradisi Pemilihan Saksi Pernikahan
Dilakukannya pemilihan atau penujukan saksi pernikahan yang
sesuai dengan kualifikasi saksi pernikahan di kitab Tabyin al-Islah.
Jam’iyah Rifa’iyah di Desa Jetis Kecamatan Bandungan Kabupaten