• Tidak ada hasil yang ditemukan

PERKAWINAN BEDA AGAMA PERSPEKTIF TAFSIR AL-MISBAH DAN BUKU FIQH LINTAS AGAMA SKRIPSI Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Guna Memperoleh Gelar Sarjana Hukum

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "PERKAWINAN BEDA AGAMA PERSPEKTIF TAFSIR AL-MISBAH DAN BUKU FIQH LINTAS AGAMA SKRIPSI Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Guna Memperoleh Gelar Sarjana Hukum"

Copied!
106
0
0

Teks penuh

(1)

PERKAWINAN BEDA AGAMA PERSPEKTIF TAFSIR

AL-MISBAH DAN BUKU FIQH LINTAS AGAMA

SKRIPSI

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat

Guna Memperoleh Gelar Sarjana Hukum

Oleh:

Suripto Bero

21214003

PROGRAM STUDI HUKUM KELUARGA ISLAM

FAKULTAS SYARIAH

INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI

SALATIGA

(2)
(3)

PERKAWINAN BEDA AGAMA PERSPEKTIF TAFSIR

AL-MISBAH DAN BUKU FIQH LINTAS AGAMA

SKRIPSI

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat

Guna Memperoleh Gelar Sarjana Hukum

Oleh:

Suripto Bero

21214003

PROGRAM STUDI HUKUM KELUARGA ISLAM

FAKULTAS SYARIAH

INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI

SALATIGA

(4)

Tri Wahyu Hidayati, M. Ag. Dosen IAIN Salatiga

PENGESAHAN PEMBIMBING

Lamp : 4 (empat) eksemplar

Hal : Pengajuan Naskah Skripsi

KepadaYth.

Dekan FakultasSyari’ah IAIN Salatiga Di Salatiga.

Assalamu’alaikumWarahmatullahiWabarakatuh

Denganhormat, setelah di laksanakan bimbingan, arahan dan koreksi, maka naskah skripsi mahasiswa :

Nama : Suripto Bero NIM : 212-14-003

Judul : Perkawinan Beda Agama Perspektif Tafsir al-Misbah dan Buku Fiqh Lintas Agama.

Dapat diajukan kepada Fakultas Syariah IAIN Salatiga untuk diujikan dalam sidang munaqosyah.

Demikian nota pembimbing ini dibuat, untuk menjadi perhatian dan digunakan sebagaimana mestinya.

Wassalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh

Salatiga, 26 September 2018 Pembimbing,

(5)

PENGESAHAN

SkripsiBerjudul:

PERKAWINAN BEDA AGAMA PERSPEKTIF TAFSIR AL-MISBAH DAN BUKU FIQH LINTAS AGAMA

Oleh: Suripto Bero NIM 212-14-003

Telah di pertahankan di depan Panitia Dewan Penguji Skripsi Jurusan Hukum Keluarga Islam, Fakultas Syariah, Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Salatiga, pada tanggal 28September 20186dan telah dinyatakan memenuhi syarat guna memperoleh gelar Sarjana Hukum (SH).

Dewan Sidang Munaqosyah:

KetuaPenguji : Muh. Hafidz, M. Ag.

SekretarisPenguji : Tri Wahyu Hidayati, M. Ag.

Penguji I : Dr. Ilyya Muhsin, M. SI.

Penguji II : Luthfiana Zahriani, S. H., M. H.

Salatiga, 1 Oktober 2018 DekanFakultasSyariah IAIN

Dr. SitiZumrotun, M.Ag NIP. 19670115 199803 2002 KEMENTERIAN AGAMA RI

INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN) SALATIGA

FAKULTAS SYRI’AH

(6)

PERNYATAAN KEASLIAN TULISAN

Saya yang bertandatangan di bawahini : Nama : Suripto Bero

NIM : 212-14-003

Jurusan : HukumKeluarga Islam Fakultas : Syariah

Judul : PERKAWINAN BEDA AGAMA PERSPEKTIF TAFSIR AL-MISBAH DAN BUKU FIQH LINTAS AGAMA

Menyatakan bahwa skripsi yang saya tulis ini benar-bena rmerupakan hasil karya saya sendiri, buka njiplakan dari karya tulis orang lain. Pendapat atau temuan orang lain yang terdapat dalam skripsi ini dikutip atau dirujuk berdasarkan kode etik ilmiah.

Salatiga, 1 Oktober 2018 Yang menyatakan,

(7)

MOTTO DAN PERSEMBAHAN

Motto

“Khoirunnas anfa’uhum linnas”

Persembahan

(8)

KATA PENGANTAR

Alhamdulillahirobbil’alamin, segala puji bagi Allah SWT, Tuhan semesta

alam yang berkuasa atas segala sesuatu. Berkat tuntutan, hidayah serta karuniaNya lah penulis mampu menyelesaikan skripsi ini.

Sholawat serta salam semoga senantiasa tercurah kepada baginda Nabi Muhamad SAW. Nabi akhir zaman yang akan selalu menjadi suritauladan bagi umat islam sampai yaumulqiyamah. Amin.

Manusia tida kada yang sempurna. Begitupun dengan penulis, penulis hanyalah makhluk yang tiada mungkin tidak ada kekurangan. Penulis hanyalah manusia biasa yang semangatnya terkadang hidup dan padam , sehingga merupakan anugerah yang luar biasa dengan bekal niat dan dukungan dari banyak pihak yang pada akhirnya penulis mampu menyelesaikan penulisan skripsi yang berjudul: Perkawinan Beda Agama Perspektif Tafsir al-Misbah dan Buku Fiqh Lintas Agama. Atas terselesaikannya skripsi ini, penulis menghaturkan terima kaasih kepada:

1. Bapak Dr. H. Rahmat Hariyadi, M.Pd, selaku Rektor IAIN Salatiga. 2. Ibu Dr. Sit iZumrotunM.Ag, Selaku Dekan Fakults Syariah IAIN Salatiga. 3. Bapak Sukron Ma’mun, M.Si,selaku Kepala Jurusan Hukum Keluarga Islam. 4. Ibu Tri Wahyu Hidayati, M. Ag, selaku Pembimbing Skripsi

5. Ibu Luthfiana Zahriani, S. H., M. H,selaku dosenPembimbing Akademik. 6. Segenap Bapak Ibu petugas Perspustakaan IAIN Salatiga yang selalu setulus

(9)

7. Orang tua dan istri tercinta atas segala doa, bimbingan, arahan dan juga kesabarannya.

8. Teman-teman Jurusan Hukum Keluarga Islam angkatan 2014.

9. Pihak-pihak yang mendukungku dan memberikan banyak ilmu serta pengalaman.

Penulis tidak mampu membalas dukungan, bimbingan serta motivasi yang telah diberikan selamaini, semoga semua itu menjadi amal shalih dan semoga Allah membalas amal shalih tersebut dengan balasan yang lebih baik. Penulis menyadari dalam penulisan skripsi ini masih banyak kekurangan dan kelalaian, oleh karenanya penulis berlapang dada untuk menerima kritik dan saran yang membangun demi perbaikan.

Penulis berharap skripsi ini dapat menjadi salah satu sumber ilmu yang bermanfaat dunia dan akhirat.Trima kasih.

Salatiga, 1 Oktober 2018

(10)

ABSTRAK

Bero, Suripto. 2018. “Perkawinan Beda Agama Perspektif Tafsir al-Misbah dan Buku Fiqh Lintas Agama”.Skripsi.FakultasSyari’ah. Jurusan Hukum Keluarga Islam .Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Salatiga. PembimbingTri Wahyu Hidayati, M.Ag.

Kata kunci: Perkawinan, Beda Agama.

Tidak dipungkiri lagi bahwa perkawinan beda agama semakin marak terjadi di tengah kehidupan masyarakat, problematika ini menjadi akar permasalahan yang kemudian akan dibahas dalam Kitab Tafsir al-Misbah dan Buku Fiqh Lintas Agama. Penelitian ini bertujuan untuk (1) mengetahuibagaimana hukum perkawinan beda agama menurut Tafsir al- Misbah, (2) mengetahui bagaimanahukum perkawinan beda agama menurut Buku Fiqih Lintas Agama, (3) mengetahui apa persamaan dan perbedaan pemikiran kitab Tafsir al-Misbah dan Buku FiqihLintas Agama tentang perkawinan beda agama serta bagaimana relevansinya terhadap Peraturan Perundang -undangan di Negara Indonesia.

Penelitian ini bersifat literatur atau kepustakaan yang menggunakan kajian terhadap buku-buku yang berkaitan dengan judul skripsi ini. Dalam penelitian ini menggunakan metode deskriptif-analitis yang penulis gunakan untuk mengungkap permasalahan yang berkaitan dengan penelitian ini.

(11)

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ... i

LEMBAR BERLOGO ... ii

HALAMAN JUDUL ... iii

PERSETUJUAN PEMBIMBING ... iv

PENGESAHAN ... v

PERNYATAAN KEASLIAN TULISAN ... vi

MOTTO DAN PERSEMBAHAN ... vii

KATA PENGANTAR ... viii

ABSTRAK ... x

DAFTAR ISI ... xi

DAFTAR TABEL ... xiv

DAFTAR GAMBAR ... xv

BAB I PENDAHULUAN ... 1

A. Latar BelakangPenelitian ... 1

B. RumusanMasalah ... 4

C. TujuanPenelitian ... 4

D. KegunaanPenelitian ... 5

E. TelaahPustaka ... 5

F. Metode Penelitian ... 7

1. PendekatanPenelitian ... 7

2. Sumber Data ... 8

(12)

G. Penegasan Istilah . ... 10

H. SistematikaPenulisan ... 11

BAB IIKAJIAN PUSTAKA ... 13

A. Perkawinan dalam Hukum Islam ... 13

B. Syarat dan Rukun Perkawinan dalam Hukum Islam ... 15

C. Larangan Perkawinan dalam Hukum Islam ... 19

D. Syarat dan Rukun Nikah dalam Peraturan Perundang-undangan dan Kompilasi Hukum Islam ... 21

BAB III HUKUM NIKAH BEDA AGAMA PERSPEKTIF TAFSIR AL-MISBAH DAN BUKU FIQH LINTAS AGAMA...31

A. Biografi M. Quraish Shihab ... 31

B. Metode Tafsir al-Misbah ... 36

C. Pemikiran Beda Agama menurut M. Quraish Shihab ... 37

D. Pemikiran Beda Agama menurut Buku Fiqh Lintas Agama .... 52

E. Makna Kata Musyrik dan Ahl al-Kitab dalam Pandangan M. Quraish Shihab dan Nur Cholis Madjid ... 75

F. Perkawinan Beda Agama dalam UU. No. 1 Tahun 1974 dan Kompilasi Hukum Islam ... 76

BAB IV ANALISA ... 79

A. Analisa tentang Hukum Beda Agamamenurut M. Quraish Shihab ... 79

(13)

C. Analisa Persamaan dan Perbedaan Pemikiran Kitab Tafsir al-Misbah dan Buku Fiqih Lintas Agama serta Relevansinya terhadap

Peraturan Perundang-undangan di Negara Indonesia ... 84

BAB V PENUTUP ... 88

A. Kesimpulan ... 88

B. Saran ... 91

(14)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Rasulullah di utus oleh Allah SWT kemuka bumi ini sebagai rasul penutup dan penyempurna akhlak mansuia, begitu pula al-Quran sebagai sumber hukum yang pertama risalah yang dibawa Rasulullah juga merupakan kitab penyempurna dari kitab sebelumnya ( Zabur, Taurat dan Injil ). Rasul diutus mewujudkan ummat yang rahmatal lil alamin . “Rasa cinta dan kasih sayanglah yang menjadikan bumi tercipta, ber-putar

menunjukkan setiap peradabannya.” Demikian Jalaluddin Rumi berujar.

Menurutnya cintalah yang menjadi sebab semuanya. Rasa yang keberadaan-nya jauh di luar kuasa manusia, sejauh khayal yang terbang, manusia hanya dapat mewakilkannya dengan kata. Ia adalah fitrah pemberian Allah. Allah yang menganugerahkan rasa cinta dan kasih sayang kepada makhluk-Nya, karena memang Dia adalah Dzat yang selalu dipenuhi ribuan cinta. Ia ciptakan semburat rasa itu agar antara makhluk saling berkasih sayang, bertemu se-bagai makhluk Allah atas nama cinta, untuk suatu saat nanti kembali kepada-Nya karena cinta.

Indonesia merupakan salah satu negara dengan masyarakat yang pluralistik dengan beragam suku dan agama. Ini tercermin dari semboyan

bangsa Indonesia “ BHINEKA TUNGGAL IKA “. Dalam kondisi

(15)

kelompok kelompok masyarakat yang berbeda kemudian berlanjut ke perkawinan.

Agama sebagai aturan atau ketentuan dari langit yang mengatur hubungan antara makhluk dan Tuhannya atau sebagai sistem sosial merupakan sebuah kebutuhan pokok bagi manusia. Agama akan lebih dibutuhkan lagi bila kita pahami sebagai nilai nilai ruhaniah dan spiritual. Tak terkecuali agama Islam memiliki pandangan luhur dan syariat (aturan) berkaitan dengan pernikahan . Adanya pandangan suci terhadap pernikahan ini melahirkan paradigma dan apresiasi tinggi dan mulia terhadap pernikahan. Karena hanya dengan pernikahan relasi laki-laki dan perempuan dapat dibedakan dari kehidupan binatang. Hanya dengan pernikahan seseorang dianggap telah menempuh cara terbaik untuk menyalurkan kebutuhan biologis dan memperoleh keturunan.

اَي

اَمُهْ نِم َّثَبَو اَهَجْوَز اَهْ نِم َقَلَخَو ٍةَدِحاَو ٍسْفَ ن ْنِم ْمُكَقَلَخ يِذَّلا ُمُكَّبَر اوُقَّ تا ُساَّنلا اَهُّ يَأ

اًبيِقَر ْمُكْيَلَع َناَك َوَّللا َّنِإ َماَحْرلأاَو ِوِب َنوُلَءاَسَت يِذَّلا َوَّللا اوُقَّ تاَو ًءاَسِنَو اًيرِثَك لااَجِر

Artinya:

“Wahai Manusia bertakwalah kamu kepada Tuhanmu yang telah menciptakan kamu dari diri yang satu ( Adam ) dan Allah menciptakan pasangannya ( Hawa ) dari (diri) nya , dan dari keduanya Allah memperkembang biakan laki laik dan perempuan yang banyak. Bertakwalah Kepada Allah yang dengan nama-Nya kamu saling meminta dan peliharalah hubungan kekeluargaan” .(Qs An nisa :1)

(16)

yang menjeruskan kelembah hitam ( “Aturan Pernikahan dalam Islam “

Farid Fatcturohman ).

Indonesia mendasarkan Negara dengan Ideologi Pancasila dan legitimasi atas agama di Indonesia mendapatkan perlindungan secara konstitusional, dan secara jelas disebutkan dalam UUD 1945 pasal 29 yang berbunyi sebagai berikut (Rosadi & Rais, 2006:01):

1. Negara berdasarkan ketuhanan Yang Maha Esa.

2. Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu.

Seiring dengan berkembangnya masyarakat, permasalahan yang terjadi kompleks. Berkaitan dengan perkawinan belakangan ini sering tersiar dalam berbagai media terjadinya perkawinan yang dianggap problematis dalam kehidupan bermasyarakat.

(17)

B. Rumusan masalah

Berdasarkan latar belakang masalah yang telah peneliti sampaikan di atas, maka peneliti dapat merumuskan beberapa rumusan masalah: 1. Bagaimana Hukum Perkawinan Beda Agama menurut Tafsir

al-Misbah?

2. Bagaimana Hukum Perkawinan Beda Agama menurut Buku Fiqih Lintas Agama ?

3. Apa Persamaan dan Perbedaan Pemikiran Kitab Tafsir al-Misbah dan Buku Fiqih Lintas Agama tentang Perkawinan Beda Agama serta Bagaimana Relevansinya terhadap Peraturan Perundang -undangan di Negara Indonesia?

C. Tujuan Penelitian

Sebagaimana yang telah kita ketahui bersama bahwa setiap kegiatan atau aktivitas yang dilakukan seseorang pasti mempunyai tujuan yang ingin dicapai. Adapun tujuan penulisan skripsi ini adalah:

1. Bagaimana hukum perkawinan beda agama menurut tafsir al- Misbah

2. Bagaimana hukum perkawinan beda agama menurut Buku Fiqh Lintas Agama

(18)

D. Kegunaan Penelitian

Adapun kegunaan yang diharapkan dalam penulisan skripsi ini diantaranya adalah:

1. Secara Teoritis

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi secara teoritis bagi dunia akademik dan hukum yang ada di Indonesia. 2. Secara Praktis

Adapun manfaat praktis yang diharapkan di antaranya:

a. Memperkaya pemahaman ajaran hukum Islam sebagai hukum yang rohmattan li al-alamin bagi penduduk Indonesia yang dinamis.

b. Diharapkan menjadi bahan pertimbangan konsep hukum di Indonesia yang sesuai dengan ideologi dan nilai-nilai luhur bangsa Indonesia.

E. Telaah Pustaka

(19)

Pertama, di dalam skripsi yang disusun oleh Ahmad Hasan Mafatih tahun 2006 STAIN Surakarta yang berjudul “Perkawinan Antar Agama suatu Analisis Pandangan Muhammad Ali As-Shabuni tentang

perkawinan Al Musyrikah dengan Ahl al-kitab”. Kesimpulan dalam skripsi ini menjelaskan bahwa As Shabuni memperbolehkan laki-laki muslim menikah dengan wanita Ahl al-Kitab dan mengharamkan terjadinya pernikahan antara laki-laki muslim dengan wanita musyrik. Sedangkan pernikahan antara wanita uslimah dengan laki-laki non muslim lain baik laki-laki Ahl al-kitab ataupun musyrik adalah haram.

(20)

potensi laki-laki muslim. Sehingga perempuan muslim lebih berhasil mengajak anak-anaknya ke lingkungan agama yang dianut ibunya.

Ketiga, skripsi yang berjudul “Pernikahan Beda Agama Dalam Pemikiran Muslim (Studi Komparasi Antara Mahmud Syaltūt Dan M.

Quraish Shihab)”. Skripsi ini disusun oleh Basoruddin pada tahun 2004

UIN Sunan Kalijaga. Dalam skripsi ini membahas tentang hukum

pernikahan beda agama menururt Mahmud Syaltūt Dan M. Quraish

Shihab. Mahmud Syaltūt Dan M. Quraish Shihab sama-sama

mengharamkan nikah beda agama dengan dasar hukum Q.S al Baqarah (2): 221 dan memperbolehkan laki-laki muslim nikah dengan perempuan Ahl al-Kitab, hanya pemaknaan redaksi ayat “wa al-muḥṣanāh min al-mu‟mināh wa al- muḥṣanāh min al-lażīn ūtu al-kitāb” saja yang dari

masing-masing mempunyai pendapat yang berbeda, dengan metode yang berbeda pula.

F. Metode Penelitian 1. Pendekatan Penelitian

(21)

lainnya yang berkaitan dengan Pernikahan Beda Agama (Nazir, 1998:62).

2. Sumber Data

Dalam pengambilan dan pengumpulan data penelitian ini menggunakan metode pencarian data berupa buku, artikel, dokumen dan lain sebagainya. Penelitian ini berisi kutipan-kutipan data untuk memberi gambaran penyajian laporan (Arikunto, 1987:135). Sedangkan data-data tersebut dibagi menjadi dua bagian, yaitu: a. Sumber Data Primer

Sumber data primer adalah sumber data yang paling utama digunakan dan sesuai dengan permasalahan dalam peneliti ini. Adapun sumber data primer dalam penelitian ini adalah Tafsir Al Misbah karangan M . Quraish Shihab dan Fiqh Lintas Agama karangan Mohommad Monib dan Ahmad Nurcholish.

b. Sumber Data Sekunder

Sumber data sekunder dalam penelitian ini adalah buku-buku, artikel, dan sumber terkait lainnya.

3. Analisis Data

Untuk menganalisis data penulis menggunakan beberapa metode, yaitu:

a. Metode Deskriptif

(22)

Dan Mohammad Monib , Ahmad Nurcholish tentang materi yang terkait dengan penelitian.

b. Metode Analisis

Analisis data merupakan cara penanganan terhadap obyek ilmiah dengan jalan memilih-milih antara pengertian yang satu dengan pengertian yang lain untuk mendapatkan pengertian yang baru (Sumargono, 1989:21). Data yang terkumpul selanjutnya peneliti analisa dengan menggunakan teknik analisa data, dengan cara:

1) Kategorisasi

Kategorisasi adalah upaya memilah-milah setiap satuan ke dalam bagian-bagian yang memiliki kesamaan (Moleong, 2011: 288). Peneliti melakukan kategorisasi dengan cara memilah setiap data yang didapatkan, data dari dokumen atau buku-buku terkait penelitian ini. Kategorisasi dilakukan untuk memudahkan peneliti dalam menyatukan data-data tersebut.

2) Sintesisasi

(23)

sama lain dan kemudian disatukan dalam pembahasan yang sama sehingga menjadi sebuah penjelasan yang utuh.

3) Reflektif Thinking

Metode Reflektif thinking yaitu berfikir yang prosesnya mondar-mandir antara yang empiris dengan yang abstrak. Empiris yang khusus dapat saja menstimulasi berkembangnya abstrak yang luas, dan menjadikan mampu melihat relevansi empiris pertama dengan empiris-empiris yang lain yang termuat dalam abstrak baru yang dibangunnya (Muhadjir, 1991: 66-67). Metode ini digunakan untuk melihat relevansi dalam kitab tafsir Al Misbah dan Fiqh Lintas Agama terhadap pernikahan beda agama dalam kehidupan sekarang dan Undang Undang Perkawinanan No 1 tahun 1974.

G. Penegasan Istilah

Untuk menghindari kesalahan dalam memahami judul skripsi, maka penulis memberikan pengertian dan batasan skripsi ini, yaitu: 1. Perkawinan

(24)

bersetubuh (wathi’). Kata nikah sendiri sering dipergunakan untuk arti persetubuhan, juga untuk arti akad nikah (Gozali, 2003: 7).

Abdur Rahman Gazaly mengutip pendapat Muhammad Abu Israh memberikan definisi yang lebih, pernikahan ialah akad yang memberikan faedah hukum kebolehan mengadakan hubungan keluarga (suami-istri) antara pria dan wanita dan mengadaka tolong menolong, dan memberi batas hak bagi pemiliknya serta pemenuhan kewajiban bagi masing-masing (Gozali, 2006: 1).

2. Perkawinan Beda Agama

Perkawinan yang dilakukan oleh sepasang laki - laki dan perempuan yang berbeda agama atau pun kepercayaan.

H. Sistematika Penulisan

Bab I, dalam bab ini berisi tentang pendahuluan. Hal ini mencakup latar belakang, rumusan masalah, tujuan penelitian, kegunaan penelitian, telaah pustaka, metode penelitian, penegasan istilah dan diakhiri dengan sistematika penulisan.

Bab II, dalam bab ini berisikan penjelasan mengenai pernikahan menurut Hukum Islam dan Perundang-undangan.

(25)

Relevansinya terhadap Peraturan Perundang-undangan di Negara Indonesia.

BAB IV, dalam bab ini merupakan bagian inti dari penelitian skripsi yang berisikan Analisa Hukum Perkawinan Beda Agama Menurut Tafsir Al Misbah, Analisa Hukum Perkawinan Beda Agama Menurut Fiqh Lintas Agama, Analisa Persamaan dan Perbedaan Pemikiran Kitab Tafsir al-Misbah dan Fiqih Lintas Agama tentang Perkawinan Beda Agama serta Relevansinya terhadap Peraturan Perundang-undangan di Negara Indonesia.

(26)

BAB II

KAJIAN PUSTAKA

A. Perkawinan dalam Hukum Islam

Perkawinan juga disebut pernikahan yang berasal dari bahasa Arab yaitu nakaha yang pempunyai arti mengumpulkan, saling memasukkan dan digunakan untuk arti bersetubuh (wathi‟). Nikah menurut arti asli adalah hubungan seksual, tetapi menurut arti majazi atau arti hukum adalah akad (perjanjian) yang menjadikan halal hubungan seksual sebagai suami istri antara seorang pria dengan seorang wanita (Idris, 2002: 1). Kata nakaha banyak terdapat dalam Al-Qur’an dengan arti nikah atau kawin, seperti QS. An-Nisa’ ayat 22 di bawah ini:

اًتْقَمَو ًةَشِحاَف َناَك ُوَّنِإ َفَلَس ْدَق اَم لاِإ ِءاَسِّنلا َنِم ْمُكُؤاَبآ َحَكَن اَم اوُحِكْنَ ت لاَو

َءاَسَو

لايِبَس

(

۲۲

)

Artinya:

”Janganlah kamu menikahi perempuan yang telah pernah dinikahi oleh ayahmu kecuali apa yang telah berlalu” (QS. An-Nisa’: 22)

Menurut Abu Yahya Zakariya Al-Anshari mendefinisikan Nikah

menurut istilah syara’ ialah akad yang mengandung ketentuan hukum

kebolehan hubungan seksual dengan lafadz nikah atau dengan kata-kata yang semakna dengannya.

(27)

seorang wanita yang semula dilarang menjadi halal (Rahman, 2003: 9). Dari beberapa pendapat mengenai pengertian perkawinan tersebut banyak beberapa pendapat yang satu sama lain berbeda. Tetapi perbedaan tersebut sebetulnya bukan untuk memperlihatkan pertentangan yang sungguh-sungguh antara pendapat satu dengan pendapat lainnya. Perbedaan tersebut hanya keinginan para perumus untuk memasukkan unsur-unsur yang sebanyak-banyaknya dalam merumuskan pengertian perkawinan di pihak yang lain. Dalam hukum Islam hukum perkawinan ada lima yang semuanya dikembalikan pada calon suami istri, yang adakalanya hukum menjadi (Soedarsono, 1994: 75):

1. Mubah (jaiz), sebagaimana asal hukumnya;

2. Sunnah, bagi orang yang sudah mampu baik secara dhohir maupun secara batin (culup mental dan ekonomi);

3. Wajib, perkawinan hukumnya bisa menjadi wajib bagi mereka yang sudah mampu secara dhohir dan batin serta dikwatirkan terjebak dalam perbuatan zina;

4. Haram, pernikahan bisa menjadi raram hukumnya bagi mereka yang berniat untuk menyakiti perempuan yang akan dinikahkan; 5. Makruh, pernikahan bisa berubah menjadi makruh bagi mereka

(28)

B. Syarat dan Rukun Perkawinan dalam Hukum Islam

Sebelum menginjak lebih jauh tentang syarat dan rukun perkawinan, maka harus dipahami apa makna syarat dan rukun itu sendiri. Adapun syarat adalah sesuatu yang mesti ada yang menentukan sah atau tidaknya suatu pekerjaan yang berkaitan dengan ibadah, tetapi pekerjaan tersebut bukan ternasuk dalam rangkaian itu sendiri, seperti halnya menutup aurat dalam shalat atau dalam perkawinan dalam Islam bahwa calon suami atau istri harus beragama Islam. Sedangkan makna dari rukun itu sendiri adalah sesuatu yang mesti ada yang menentukan sah dan tidaknya suatu pekerjaan yang berkaitan dengan ibadah dan pekerjaan tersebut termasuk dalam rangkaian ibadah itu sendiri, seperti adanya calon pengantin laki-laki dan calon perempuan dalam perkawinan (Rahman, 2003: 46).

Adapun syarat dalam pernikahan adalah merupakan dasar bagi sahnya perkawinan. Apabila syarat-syarat tersebut dipenuhi maka sah perkawinan itu dan menimbulkan adanya segala hak dan kewajiban sebagai suami istri. Dalam hal hukum perkawinan, dalam menentukan mana yang rukun dan mana yang syarat terdapat perbedaan di kalangan ulama, yang mana perbedaan di antara pendapat tersebut disebabkan karena berbeda dalam melihat fokus perkawinan itu. Semua ulama sepakat dalam hal-hal yang terlibat dan harus ada dalam suatu perkawinan yaitu (Amir, 2007: 59):

(29)

2. Mempelai laki-laki dan perempuan,

Dalam kedua pempelai harus termasuk orang yang bukan muhrim,

seperti dalam surat An-Nisa’ ayat: 22-23 yaitu:

َءاَسَو اًتْقَمَو ًةَشِحاَف َناَك ُوَّنِإ َفَلَس ْدَق اَم لاِإ ِءاَسِّنلا َنِم ْمُكُؤاَبآ َحَكَن اَم اوُحِكْنَ ت لاَو

lampau. Sesungguhnya perbuatan itu Amat keji dan dibenci Allah dan seburuk-buruk jalan (yang ditempuh)”.

“Diharamkan atas kamu (mengawini) ibu-ibumu; anak-anakmu yang perempuan, saudara-saudaramu yang perempuan, saudara-saudara bapakmu yang perempuan; saudara-saudara ibumu yang perempuan; anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang laki-laki; anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang perempuan; ibu-ibumu yang menyusui kamu; saudara perempuan sepersusuan; ibu-ibu isterimu (mertua); anak-anak isterimu yang dalam pemeliharaanmu dari isteri yang telah kamu campuri, tetapi jika kamu belum campur dengan isterimu itu (dan sudah kamu ceraikan), Maka tidak berdosa kamu mengawininya; (dan diharamkan bagimu) isteri-isteri anak kandungmu (menantu); dan menghimpunkan (dalam perkawinan) dua perempuan yang bersaudara, kecuali yang telah terjadi pada masa lampau; Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”.

(30)

b) Anak perempuan;

c) Saudara perempuan baik saudara perempuan seibu-sebapak ; d) Saudara perempuan dari bapak termasuk semua anak-anak

perempuan dari kakek atau nenek; e) Saudara perempuan dari ibu;

f) Anak-anak perempuan dari saudara laki-laki atau parempuan g) Ibu sesusuan

h) Saudara sesusuan i) Mertua perempuan j) Anak tiri

k) Istri anak kandung sendiri dan istri anak-anak keturunannya l) Dua saudara menjadi istri juga saudara perempuan bersama

saudara ibu/bapaknya. 3. Wali

Bagi mempelai perempuan harus ada izin atau persetujuan dari wali, sedang bagi mempelai laki-laki izin atau persetujuan di perlukan selama belum dewasa. Sedangkan yang menjadi wali menurut urutan adalah (Samidjo, 1993: 125):

a) Bapak b) Kakak

c) Saudara laki-laki seibu sebapak d) Saudara laki-laki sebapak

(31)

f) Anak saudara sebapak

g) Saudara laki-laki dari bapak, yang seibu sebapak h) Saudara laki-laki dari bapak, yang sebapak

i) Anak laki-laki dari saudara laki-laki dari bapak, yang seibu sebapak

j) Anak laki-laki dari Saudara laki-laki dari bapak, yang sebapak

4. Dua orang saksi

Dalam sahnya perkawinan harus ada sedikitnya dua orang saksi, yang syarat-syaratnya sebagai berikut:

a) Seorang muslim b) Seorang merdeka c) Dewasa

d) Pikiran sehat e) Kelakuan baik. 5. Mahar atau mas kawin.

Dalam Islam “Sadaq” berarti mas kawin dan juga disebut

mahar, dalam perkawinan harus ada mahar atau mas kawin yaitu suatu pemberian dari pihak laiki-laki sesuai dengan permintaan pihak perempuan. Sedangkan besarnya mahar tidak dibatasi,

Islam hanya memberikan prinsip pokok yaitu secara ma’ruf

(32)

C. Larangan Perkawinan dalam Hukum Islam

Meskipun dalam pernikahan telah dipenuhi syarat dan rukun perkawinan belum tentu perkawinan itu sah, karena pernikahan tersebut harus lepas dari segala hal yang menghalanginya dan disebut juga larangan perkawinan. Sedangkan larangan perkawinan dalam pembahasan ini adalah orang-orang yang tidak boleh melakukan perkawinan.

Menurut hukum syara’ larangan pernikahan dalam Islam

antaraseorang laki-laki dan seorang perempuan dibagi menjadi dua yaitu larangan abadi atau selamanya dalam arti sampai kapan pun dan dalam keadaan apapun laki-laki dan perempuan tidak boleh melakukan perkawinan yang disebut juaga Mahram Muabbad.

Berdasarkan QS. an-Nisa ayat 23, wanita-wanita yang haram dinikahi untuk selamanya (mahram muabbad) karena pertalian nasab, yaitu (Tihami, 2009: 65):

1. Ibu, perempuan yang ada hubungan darah dalam garis keturunan garis ke atas, yaitu ibu, nenek (baik dari pihak ayah maupun ibu) 2. Anak perempuan, wanita yang mempunyai hubungan darah

dalam garis lurus ke bawah, yaitu anak perempuan, cucu perempuan, baik dari anak laki-laki maupun dari anak perempuan dan seterusnya ke bawah.

(33)

4. Bibi, saudara perempuan ayah atau ibu, baik saudara sekandung ayah atau seibu dan seterusnya ke atas.

5. Kemenakan (keponakan) perempuan, yaitu anak perempuan saudara laki-laki atau saudara perempuan dan seterusnya ke bawah.

Kemudian larangan yang kedua yaitu, larangan sementara waktu tertentu, jika suatu ketika bila keadaan dan waktu tertentu sudah berubah ia sudah tidak lagi menjadi haram dan pernikahan tersebut mahram muaqqat atau di sebut juga mahram ghairu muabbad.

Mahram ghairu muabbad adalah larangan perkawinan yang berlaku untuk sementara waktu yang di sebabkan oleh hal tertentu. Larangan perkawinan (mahram ghairu muabbab) itu berlaku dalam hal-hal tersebut dibawah ini:

a) Menikahi dua orang saudara dalam satu masa b) Poligami di luar batas

c) Larangan karena ikatan perkawinan d) Larangan karena talak tiga

(34)

D. Syarat dan Rukun Nikah dalam Perundang-undangan dan Kompilasi Hukum Islam

Syarat-syarat perkawinan juga diatur dalam Perundang-undangan Indonesia yaitu dalam Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam. Dalam Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 diatur dalam Pasal 1 sampai dengan 12. Syarat-syarat yang harus dilaksanakan sebelum pihak melangsungkan perkawinan terbagi atas syarat materil dan formil. Syarat materil adalah mengenai diri pribadi calon suami istri, sedangkan syarat formil adalah mengenai formalitas atau prosedur yang harus diikuti oleh calon suami istri sebelum maupun pada saat dilangsungkannya perkawinan (Badan Penelitian dan Pengembangan HAM Kementrerian Hukum dan HAM RI, hal 25). Dalam pasal 2 ayat (1) Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan menyatakan:

“Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum

masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu.” Dalam Pasal 2 ayat (2) menyatakan:

“Tiap-tiap Perkawinan dicatat menurut peraturan

perundang-undangan yang berlaku.”

(35)

dicatat untuk mendapatkan pengakuan dari Negara (Badan Penelitian dan Pengembangan HAM Kementrerian Hukum dan HAM RI, hal. 25).

Syarat materil terbagi menjadi 2 (dua) yaitu syarat materil umum yang berlaku bagi pernikahan pada umumnya dan syarat materil khusus bagi pernikahan tertentu. Syarat materil umum diatur pada pasal 6 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, yaitu:

(1) Perkawinan didasarkan atas persetujuan kedua calon mempelai (2) Untuk melangsungkan perkawinan seorang yang belum mencapai

umur 21 (duapuluh satu) tahun harus mendapat izin kedua orang tua.

(3) Dalam hal seorang dari kedua orang tua meninggal dunia atau dalam keadaan tidak mampu menyatakan kehandaknya, maka izin yang dimaksud ayat (2) pasal ini cukup diperoleh dari orang tua yang masih hidup atau dari orang tua yang mampu menyatakan kehendaknya.

(4) Dalam hal kedua orang tua telah meninggal dunia atau dalam keadaan tidak mampu untuk menyatakan kehendaknya, maka izin diperoleh dari wali orang yang memelihara atau keluarga yang mempunyai hubungan darah dalam garis keturunan lurus keatas selama mereka masih hidup dalam keadaan menyatakan kehendaknya.

(36)

diantara mereka tidak menyatakan pendapatnya, maka Pengadilan dalam daerah tempat tinggal orang yang akan melangsungkan perkawinan atas permintaan orang tersebut dapat memberikan ijin setelah lebih dahulu mendengar orang-orang yang tersebut dalam ayat (2), (3) dan (4) dalam pasal ini.

(6) Ketentuan tersebut ayat (1) sampai (5) pasal ini berlaku sepanjang hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu dari yang bersangkutan tidak menentukan lain.

Yang dimaksud dengan persetujuan kedua calon mempelai dalam ayat 1 adalah adanya persetujuan bebas tanpa adanya paksaan lahir dan bathin dari pihak manapun untuk melaksanakan perkawinan, karena pada hakikatnya perkawinan mempunyai maksud agar suami dan istri dapat membentuk keluarga yang kekal dan bahagia (Badan Penelitian dan Pengembangan HAM Kementrerian Hukum dan HAM RI, hal. 26). Undang-undang ini juga mengatur tentang persyaratan umur minimal bagi calon suami dan calon istri serta beberapa alternatif lain untuk mendapatkan jalan keluar apabila ketentuan umur minimal tersebut belum terpenuhi. Mengenai masalah umur ini masih merupakan syarat materil yaitu tercantum dalam Pasal 7 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan yaitu:

(37)

(2) Dalam hal penyimpangan dalam ayat (1) pasal ini dapat minta dispensasi kepada Pengadilan atau pejabat lain yang diminta oleh kedua orang tua pihak pria atau pihak wanita.

(3) Ketentuan-ketentuan mengenai keadaan salah seorang atau kedua orang tua tersebut Pasal 6 ayat (3) dan (4) Undang-Undang ini, berlaku juga dalam permintaan dispensasi tersebut ayat (2) Pasal ini dengan tidak mengurani yang dimaksud dalam Pasal 6 ayat (6).

Syarat materil khusus yang berisi izin melangsungkan perkawinan dapat dilihat dalam pasal 6 ayat (2) Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan tersebut (Badan Penelitian dan Pengembangan HAM Kementrian Hukum dan HAM RI, hlm. 27).

Syarat-syarat formil dalam perkawinan juga terbagi 2 (dua) yaitu: 1. Syarat formil yang dilakukan sebelum perkawinan dilangsungkan

adalah:

a. Perkawinan harus didahului oleh suatu pemberitahuan oleh kedua calon mempelai kepada pegawai pencatat nikah (pegawai Kantor Urusan Agama untuk yang beragama Islam dan pegawai Kantor Catatan Sipil untuk yang beragama selain Islam).

(38)

yang ditentukan oleh Undang-undang untuk pelaksanaan perkawinan.

c. Pelaksanaan perkawinan baru dapat dilaksanakan setelah lampau tenggang waktu 10 (sepuluh) hari terhitung dari tanggal pemberitahuan.

2. Syarat formil yang dilakukan pada saat dilangsungkannya perkawinan adalah:

a. Perkawinan dilangsungkan oleh atau dilakukan di hadapan pegawai pencatat nikah (pegawai Kantor Urusan Agama untuk yang beragama Islam dan pegawai Kantor Catatan Sipil untuk yang beragama selain Islam).

b. Perkawinan harus dihadiri oleh 2 (dua) orang saksi.

Dari uraian tersebut dapat disimpulkan bahwa apabila telah dipenuhi syarat-syaratnya, baik syarat materil maupun syarat formil maka kedua mempelai telah resmi menjadi suami istri. Apabila syarat-syarat tersebut tidak dipenuhi maka dapat menimbulkan ketidakabsahan perkawinan yang bisa saja akan mengakibatkan batalnya suatu perkawinan (Badan Penelitian dan Pengembangan HAM Kementrerian Hukum dan HAM RI, hal. 28). Sebagaimana diatur dalam Pasal 22 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan yang berbunyi:

“Perkawinan dapat dibatalkan, apabila para pihak tidak memenuhi

(39)

Yang dapat mengajukan pembatalan perkawinan diatur dalam Pasal 23 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, yaitu:

a. Para keluarga dalam garis keturunan lurus ke atas dari suami atau isteri

b. Suami atau isteri

c. Pejabat yang berwenang hanya selama perkawinan diputuskan d. Pejabat yang ditunjuk tersebut ayat (2) Pasal 16 Undang-undang

ini dan setiap orang yang mempunyai kepentingan hukum secara langsung terhadap perkawinan tersebut, tetapi hanya setelah perkawinan ini putus.

Kompilasi Hukum Islam juga mengatur tentang Rukun dan Syarat Perkawinan dalam Pasal 14 sampai dengan pasal 38. Berbeda dengan Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, Kompilasi Hukum Islam membahas rukun perkawinan mengikuti sistematika fikih yang mengaitkan rukun dan syarat sahnya perkawinan. Pada bagian kesatu Pasal 14 Kompilasi Hukum Islam menyatakan, untuk melaksanakan perkawinan harus ada:

a. Calon suami b. Calon istri c. Wali nikah

(40)

Kompilasi Hukum Islam menjelaskan lima rukun perkawinan sebagaimana fikih, dalam persyaratannya Kompilasi Hukum Islam mengikuti Undang-undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 yang melihat syarat hanya berkenaan dengan persetujuan kedua calon mempelai dan batasan umur. Pasal-pasal berikutnya juga membahas tentang wali (Pasal 19), saksi (Pasal 24), akad nikah (Pasal 27), namun sistematikanya diletakkan pada bagian yang terpisah dari pembahasan rukun. Kompilasi Hukum Islam tidak mengikuti skema fikih juga tidak mengikuti Undang-undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 yang hanya membahas persyaratan perkawinan menyangkut kedua calon mempelai. Bagian mengenai wali nikah, Pasal-pasal Kompilasi Hukum Islam menyatakan:

“Wali nikah alam perkawinan merupakan rukun yang harus

dipenuhi bagi calon mempelai wanita yang bertindak untuk menikahkannya.

Dalam Pasal 20 dinyatakan:

1. Yang bertindak sebagai wali nikah ialah seorang laki-laki yang memenuhi syarat hukum Islam yakni muslim, akil dan balig. 2. Wali nikah terdiri dari:

a. Wali nasab b. Wali hakim.

(41)

kerabat laki-laki garis keturunan keatas. Kedua, kelompok kerabat saudara laki-laki kandung, seayah dan keturunan laki-laki mereka. Ketiga, kelompok kerabat paman, yakni saudara laki-laki kandung ayah, saudara seayah dan keturunan laki-laki mereka. Keempat, kelompok saudara laki kandung kakek, saudara laki seayah kakek dan keturunan laki-laki mereka.

Menyangkut wali hakim dinyatakan pada Pasal 23 yang berbunyi: 1. Wali hakim baru dapat bertindak sebagai wali nikah apabila wali

nasab tidak ada atau tidak mungkin menghadirinya atau tidak diketahui tempat tinggalnya atau ghaib atau adlal atau enggan. 2. Dalam hal wali adlal atau enggan maka wali hakim baru dapat

bertindak sebagai wali nikah setelah ada putusan Pengadilan Agama tentang wali tersebut.

Mengenai saksi nikah Kompilasi Hukum Islam masih senada dengan apa yang berkembang dalam fikih. Pada bagian keempat Pasal 24 ayat 1 dan 2 dinyatakan bahwa saksi nikah merupakan rukun nikah dan setiap perkawinan harus disaksikan oleh dua orang saksi. Mengenai syarat saksi terdapat pada Pasal 25 yang berbunyi:

“Yang dapat ditunjuk menjadi saksi dalam akad nikah ialah

seorang laki-laki muslim, adil, akil, balig, tidak terganggu ingatan dan tidak runa rungu atau tuli”.

(42)

dan menandatangani akta nikah pada waktu dan tempat akad nikah dilangsungkan (Badan Penelitian dan Pengembangan HAM Kementrian

Hukum dan HAM RI, hlm. 30).

Bagian kelima Pasal 27 Kompilasi Hukum Islam mengatur tentang akad nikah, ijab kabul antara wali dan calon mempelai pria harus jelas, beruntun dan tidak berselang waktu. Pasal 28 mengatur tentang kebolehan wali nikah untuk mewakilkan hak walinya kepada orang lain. Pasal 29 memberi ruang kepada calon mempelai pria dimana dalam keadaan tertentu dapat mewakilkan dirinya kepada orang lain dengan syarat adanya surat kuasa dan pernyataan bahwa orang yang diberi kuasa adalah mewakili dirinya, diatur pula pada ayat (3), jika wali keberatan dengan perwakilan calon mempelai pria maka akad nikah tidak dapat dilangsungkan. Mahar sebagai syarat sah perkawinan juga diatur dalam Kompilasi Hukum Islam yaitu pada Pasal 30 sampai 38, dalam Pasal 30 dinyatakan:

”Calon mempelai pria wajib membayar mahar kepada calon

mempelai wanita yang jumlah, bentuk dan jenisnya disepakati oleh kedua belah pihak”.

Pasal yang juga sangat penting diperhatikan adalah terdapat dalam Pasal 31 yang berbunyi:

“Penentuan Mahar berdasarkan atas asas kesederhanaan dan

(43)

Dengan demikian meskipun mahar itu wajib, namun dalam penentuannya tetaplah harus mempertimbangkan asas kesederhanaan dan kemudahan. Maksudnya, bentuk dan harga mahar tidak boleh memberatkan calon suami dan tidak pula boleh mengesankan asal ada atau apa adanya, sehingga calon istri tidak merasa dilecehkan atau disepelekan. Sejalan dengan Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, dalam Kompilasi Hukum Islam juga dikenal batalnya suatu perkawinan apabila syarat-syarat perkawinan tidak dipenuhi oleh suami isteri yang melangsungkan perkawinan maka perkawinanya tersebut dapat dibatalkan.

Adapun perkawinan beda agama dalam Kompilasi Hukum Islam secara ekspilisit dapat dilihat dari ketentuan empat pasal.

1. Pada pasal 40 KHI, dinyatakan; Dilarang melangsungkan perkawinan antara seorang pria dengan seorang wanita karena keadaan tertentu: a. Karena wanita yang bersangutan masih terikat satu perkawinan

dengan pria lain.

b. Seorang wanita yang masih berada dalam masa iddah dengan pria lain.

c. Seorang wanita yang tidak beragama Islam (Departemen Agama RI, Kompilasi Hukum Islam, 1993: 32).

2. Pasal 44 KHI; ”Seorang wanita Islam dilarang melangsungkan

perkawinan dengan seorang pria yang tidak beragama Islam.”

(44)

3. Pasal 61 KHI; ”Tidaksekufu tidak dapat dijadikan alasan untuk mencegah perkawinan kecuali tidak sekufu karena perbedaan agama atau ikhtilaf al-din (Departemen Agama RI, Kompilasi Hukum Islam, 1993: 39).

4. Pasal 116 KHI; Perceraian dapat terjadi karena alasan atau alasan-alasan:

a. Salah satu pihak berbuat zina, atau menjadi pemabok, pemadat, penjudi dan lain sebaginya yang sukar disembuhkan.

b. Salah satu pihak meninggalkan pihak lain selama dua tahun berturut-turut tanpa alasan yang sah atau karena hal lain di luar kemampuannya.

c. Salah satu pihak mendapat hukuman penjara (lima) tahun, atau hukuman yang lebih berat setelah perkawinan berlangsung. d. Salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit dengan

akibat tidak dapat menjalankannya sebagai suami atau istri. e. Antara suami dan istri terus menerus terjadi perselisihan dan

pertengkaran dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga.

f. Suami melanggar taklik talak.

(45)

BAB III

HUKUM NIKAH BEDA AGAMA PERSPEKTIK TAFSIR AL-MISBAH DAN FIQIH LINTAS AGAMA

A. Biografi M. Quraish Shibab

M. Quraish Shihab atau yang biasa dikenal dengan nama Quraish Shihab lahir tanggal 16 Februari 1944 di Rapang, Sulawesi Selatan (Abuddin, 2005: 362). Beliau telah dilahirkan dan dibesarkan dalam lingkungan keluarga muslim yang taat beragama, yang sebagian orang menyebut sebagai keluarga Habib (Sayyid). Ayahnya bernama Abdurrahman Shihab (1905-1986), seorang ulama yang memiliki keturunan Arab yang terpelajar, guru besar tafsir di IAIN Alauddin, Ujung Pandang, dan termasuk salah satu pendiri Universitas Muslim Indonesia (UMI), Makasar (Junaidi, 2011: 24).

(46)

Soorkati yang berasal dari Sudan, Afrika. M. Quraish Shihab menyelesaikan sekolah dasarnya di kota Ujung pandang. Ia kemudian melanjutkan sekolah menengahnya di kota Malang sambil belajar agama di Pesantren Dar al-Hadits al-Fiqhiyah. Pada tahun 1958, ketika berusia 14 tahun, ia berangkat ke Kairo, Mesir untuk melanjutkan studi, dan diterima di kelas II Tsanawiyah Al-Azhar. Setelah itu ia diterima sebagai mahasiswa di Universitas Al-Azhar dengan mengambil Jurusan Tafsir dan Hadis, Fakultas Ushuluddin hingga menyelesaikan Lc pada tahun 1967. Kemudian ia melanjutkan studinya di jurusan dan universitas yang sama hingga berhasil mempertahankan tesisnya yang berjudul Al-Ijazasyri'i li Alquranal-Karim pada tahun 1969 dengan gelar M.A.

(47)

Hidup Beragama di Timur Indonesia” (1975), dan “Masalah Wakaf di

Sulawesi Selatan” (1978) (Abuddin, 2005: 363). Pada tahun 1980, M.

Quraish Shihab kembali ke Mesir untuk meneruskan studinya di Program Pascasarjana Fakultas Ushuluddin Jurusan Tafsir Hadis, Universitas Al-Azhar. Hanya dalam waktu dua tahun (1982) dia berhasil menyeiesaikan disertasinya yang berjudul “Nazm al-Durar li al- Biqai Tahqiq wa Dirasah”dan berhasil dipertahankan dengan nilai Suma Cum Laude.

Tahun 1984 adalah babak baru tahap kedua bagi M. Quraish Shihab untuk melanjutkan kariernya. Beliau pindah tugas dari IAIN Ujung Pandang ke Fakultas Ushuluddin di IAIN Jakarta. Di sini beliau aktif mengajar bidang Tafsir dan Ulum Alquran di Program SI, S2 dan S3 sampai tahun 1998. Di samping melaksanakan tugas pokoknya sebagai dosen, beliau juga dipercaya menduduki jabatan sebagai Rektor IAIN Jakarta selama dua periode (1992-1996 dan 1997-1998). Setelah itu beliau dipercaya menduduki jabatan sebagai Menteri Agama selama kurang lebih selama dua bulan di awal tahun 1998, hingga kemudian dia diangkat sebagai Duta Besar Luar Biasa dan Berkuasa Penuh Republik Indonesia untuk negara Republik Arab Mesir merangkap Negara Republik Djibauti berkedudukan di Kairo.

(48)

menduduki sejumlah jabatan. Di antaranya adalah sebagai Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Pusat (sejak 1984), anggota Lajnah Pentashhih Alquran Departemen Agama sejak 1989. Dia juga terlibat dalam beberapa organisasi profesional, antara lain Asisten Ketua Umum Ikatan Cendekiawan Muslim se-Indonesia (ICMI), ketika organisasi ini berdiri. Selanjutnya beliau juga tercatat sebagai Pengurus Perhimpunan Ilmu-ilmu Syariah, dan Pengurus Konsorsium Ilmu-ilmu Agama Dapertemen Pendidikan dan Kebudayaan. Aktivitas lainnya yang beliau lakukan adalah sebagai Dewan Studia Islamika Indonesian Journal for Islamic Studies, Ulumul Qur‟an, Mimbar Ulama, dan Refleksi Jurnal Kajian

(49)

Di tengah-tengah berbagai aktivitas sosial, keagamaan tersebut, M. Quraish Shihab juga tercatat sebagai penulis yang sangat prolifik. Buku-buku yang telah beliau tulis antara lain berisi tentang kajian di sekitar

epistemologi al Qur’an hingga menyentuh permasalahan hidup dan

kehidupan dalam konteks masyarakat Indonesia kontemporer. Beberapa karya tulis yang telah dihasilkannya antara lain: disertasinya: Durar li al-Biqa'i (1982), Membumikan Al-Qur'an: Fungsi dan Peran Wahyu dalam Kehidupan Masyarakat (1992), Wawasan Al-Qur'am Tafsir Maudlu'i atas Pelbagai Persoalan Umat (1996), Studi Kritis Tafsir al-Manar (1994), Mu'jizat Alquran Ditinjau dari Aspek Bahasa (1997), Tafsir al-Mishbah (hingga tahun 2004) sudah mencapai 14 jilid (Abuddin, 2005: 365).

Selain itu beliau juga banyak menulis karya ilmiah yang berkaitan dengan masalah kemasyarakatan. Di majalah Amanah beliau mengasuh rubrik Tafsir al-Amanah", di Harian Pelita ia pernah mengasuh rubrik "Pelita Hati", dan di Harian Republika dia mengasuh rubrik atas namanya sendiri, yaitu M. Quraish Shihab Menjawab".

(50)

pemahaman dan penafsiran baru tetapi dengan tetap sangat menjaga kebaikan tradisi lama. Dengan kata lain, beliau tetap berpegang pada adagium ulama al-muhafadzah bi al-qadim shalih wa akhdz hi al-jadid al-ashlah (memilihara tradisi lama yang masih relevan dan mengambil tradisi baru yang lebih baik) (Abuddin, 2005: 366).

B. Metode Tafsir al-Misbah

Adapun metode penyusunan Tafsir Al-Mishbah adalah menggunakan metode tahlily. Dalam menggunakan metode tahlily, M. Quraish Shihab terkesan menutupi kelemahan-kelemahan metode tahlily dengan menggunakan metode maudhu‟I di dalamnya, yang kemudian

menjadi kelebihan tersendiri bagi ” Tafsir Al-Mishbah”. Hal ini terlihat

(51)

C. Pemikiran tentang Pernikahan Beda Agama menurut M. Quraish

“Dan janganlah kamu menikahi wanita-wanita musyrik, sebelum mereka beriman. Sesungguhnya wanita budak yang mukmin lebih baik dari wanita musyrik, walaupun Dia menarik hatimu. dan janganlah kamu menikahkan orang-orang musyrik (dengan wanita-wanita mukmin) sebelum mereka beriman. Sesungguhnya budak yang mukmin lebih baik dari orang musyrik, walaupun Dia menarik hatimu. mereka mengajak ke neraka, sedang Allah mengajak ke surga dan ampunan dengan izin-Nya. dan Allah menerangkan ayat-ayat-Nya (perintah-perintah-Nya) kepada manusia supaya mereka mengambil pelajaran”. (QS. Al Baqarah: 221)

(52)

sementara, bahkan dapat lenyap seketika. Pondasi yang kokoh yang dimaksud adalah yang bersandar pada iman kepada Yang Maha Esa (Shihab, 2002: 472).

Untuk itu, setiap pemilihan pasangan haruslah yang berdasarkan agama, keimanan yang kuat serta berlandaskan al qur’an supaya dalam mengarungi bahtera rumah tangga bisa berjalan lurus sesuai ajaran islam. Karena itu wajar jika dalam Tafsir Al-Mishbah pesan pertama kepada mereka yang bermaksud membina rumah tangga adalah: Dan janganlah kamu, wahai pria-pria muslim, menikahi, yakni menjalin ikatan perkawinan, dengan wanita musyrik, walaupun dia, yakni wanita-wanita musyrik itu, menarik hati kamu, karena ia cantik, bangsawan, kaya, dan lain-lain. Dan janganlah kamu, wahai para wali, menikahkan orang-orang musyrik para penyembah berhala, dengan wanita-wanita mukmin sebelum mereka beriman dengan iman yang benar. Sesungguhnya budak yang mukmin lebih baik daripada orang musyrik walaupun dia menarik hati kamu karena ia gagah, bangsawan atau kaya dan lain-lain (Shihab, 2002: 473).

(53)

dalam pengertian setiap wanita musyrik kitabiyah dan wasaniyah. hal yang sama juga dikatakan oleh Mujahid, Ikrimah, Sa'id ibnu Jubair Mak-hul, Al Hasan, Ad Dahhak, Zaid ibnu Aslam, Ar Rabi' ibnu Anas, dan lain-lainnya. Menurut pendapat yang lain, bahkan yang dimaksud oleh ayat ini adalah orang-orang musyrik dari kalangan penyembah berhala, bukan Ahli Kitab secara keseluruhan.

(54)

dengan istilah keagamaan di atas. Walaupun penganut agama Kristen percaya kepada Tuhan Bapa dan Tuhan Anak, namun al Qur'an tidak menamai mereka orang-orang musyrik, tetapi menamai mereka Ahl al-Kitab. Perhatikan antara lain firman-firman Allah berikut:

ْمُكْيَلَع َلَّزَ نُ ي ْنَأ َيِْكِرْشُمْلا لاَو ِباَتِكْلا ِلْىَأ ْنِم اوُرَفَك َنيِذَّلا ُّدَوَ ي اَم

musyrik tiadamenginginkan diturunkannya sesuatu kebaikan kepadamu dari Tuhanmu”(QS. al-Baqarah [2]: 105).

ُةَنِّ يَ بْلا ُمُهَ يِتْأَت َّتََّح َيِّْكَفْ نُم َيِْكِرْشُمْلاَو ِباَتِكْلا ِلْىَأ ْنِم اوُرَفَك َنيِذَّلا ِنُكَي َْلَ

(

۱

)

Artinya:

Orang-orang kafir, yakni Ahl al-Kitab dan orang-orang musyrik (mengatakan bahwa mereka) tidak akan meninggalkan (agamanya) sebelum datang kepada mereka buktiyang nyata”. (QS. al-Bayyinah [98]: 1).

(55)

Perbedaan kata ini menjadi sangat perlu karena diayat lain dalam al Qur'an ditemukan izin bagi pria muslim untuk mengawini wanita-wanita Ahl al Kitab (QS. al-Ma'idah [5]: 5). Mereka yang memahami kata musyrik, mencakup Ahl al Kitab, menilai bahwa ayat al Ma'idah itu telah dihapus hukumnya oleh ayat al Baqarah di atas. Tetapi pendapat itu sangat sulit diterima, karena ayat al-Baqarah lebih dahulu turun dari ayat al Ma'idah, dan tentu saja tidak logis jika sesuatu yang datang terlebih dahulu menghapus hukum sesuatu yang belum datang atau yang datang sesudahnya. Ini akan lebih sulit lagi bagi yang berpendapat bahwa tidak ada ayat-ayat yang batal hukumnya. Belum lagi dengan riwayat-riwayat yang mengatakan bahwa sekian banyak sahabat Nabi saw. dan tabi'in yang menikah dengan Ahl al-Kitab. Khalifah Utsman Ibn 'Affan misalnya kawin dengan wanita Kristen, walau kemudian istrinya memeluk Islam; Thalhah dan Zubair, dua orang sahabat Nabi saw. terkemuka juga kawin dengan wanita Yahudi (Shihab, 2002: 474).

(56)

menghasilkan aneka pendapat. Ada yang berpendapat sangat ketat, sampai mensyaratkan persetujuan dan izin yang bersifat pasti dari para wali dalam penentuan calon suami putrinya. Tidak sah perkawinan dalam pandangan ini tanpa persetujuan itu. Tetapi ada juga yang hanya memberi sekadar hak untuk mengajukan tuntutan pembatalan jika perkawinan berlangsung tanpa restunya. Menurut penganut pandangan ini, tuntunan tersebut pun tidak serta merta dapat dibenarkan, kecuali setelah memenuhi sejumlah syarat. Bukan di sini tempatnya diuraikan (Shihab, 2002: 475).

Meskipun demikian, perlu diingat, bahwa perkawinan yang dikehendaki Islam, adalah perkawinan yang menjalin hubungan yang harmonis antar suami istri, sekaligus antar keluaraga, bukan saja keluarga masing- masing, tetapi juga antar keluarga kedua mempelai. Dari sini, perananan orang tua dalam perkawinan menjadi sangat penting, baik dengan member wewenang besar kepada orang tua, maupun hanya sekadar restu. Karena itu, walau Rasul saw. memerintahkan orang tua untuk meminta persetujuan anak gadisnya, namun karena tolok ukur anak tidak jarang berbeda dengan tolok ukur orang tua, maka tolok ukur anak, ibu dan bapak, harus dapat menyatu dalam mengambil keputusan perkawinan.

(57)

muslimah. Larangan tersebut, menurut ayat di atas, berlanjut hingga mereka beriman, sedang Ahl al Kitab, tidak dinilai beriman, dengan iman yang dibenarkan Islam. Bukankah mereka walau tidak dinamai musyrik tetapi dimasukkan dalam kelompok kafir? Apalagi dari ayat lain dipahami bahwa wanita-wanita muslimah tidak diperkenankan juga mengawini atau dikawinkan dengan pria Ahl al-Kitab, sebagaimana yang secara tegas dinyatakan oleh QS. al Mumtahanah [60]: 10, “ Mereka, wanita-wanita muslimah, tiada halal bagi orang-orang kafir, dan orang-orang kafir itu

tiada halal pula bagi mereka."

(58)
(59)

orang tua yang tidak memiliki nilai-nilai ketuhanan, jika ibu atau bapaknya musyrik? Kalau pun sang anak kemudian beriman, dapat diduga bahwa imannya memiliki kekeruhan akibat pendidikan orang tuanya di masa kecil. Karena itu, Islam melarang perkawinan tersebut (Shihab, 2002: 476).

Setelah menjelaskan larangan di atas, ayat ini melanjutkan uraian dengan menjelaskan lebih jauh sebab larangan itu, yakni karena Mereka mangajak kamu, dan anak-anak kamu yang lahir dari buah perkawinan, ke neraka dengan ucapan atau perbuatan dan keteladanan mereka, sedang Allah mengajak kamu dan siapa pun menuju amalan-amalan yang dapat mengantar ke surga dan ampunan dengan izin-Nya.

(60)

Tuhan, mempunyai nilai yang sangat penting dalam mengarahkan seseorang menuju nilai-nilai moral. Ini tidak ditemukan pada penyembah berhala, apalagi di kalangan atheis. Namun demikian, kecenderungan melarang perkawinan seorang muslim dengan wanita Ahl al Kitab atas dasar kemaslahatan, bukan atas dasar teks al Qur'an, adalah pada tempatnya, sehingga paling tidak perkawinan tersebut dalam sudut pandangan hukum Islam adalah makruh. Sekali lagi digaris bawahi, ini adalah antar pria muslin dengan wanita Ahl al Kitab, bukan wanita muslimah dengan pria Ahl al Kitab, yang secara tegas dan pasti telah terlarang dan haram hukumnya. Ayat ini ditutup dengan firman-Nya: Allah menerangkan ayat-ayat-Nya, yakni tuntunan-tuntunan-Nya kepada manusia. Itu dijelaskan- Nya supaya kamu dapat mengingat, yakni mengambil pelajaran. Memang sungguh banyak pelajaran dari tuntunan di atas (Shihab, 2002: 477).

(61)

kawin mereka dengan maksud menikahinya, tidak dengan maksud berzina dan tidak (pula) menjadikannya gundik-gundik. Barangsiapa yang kafir sesudah beriman (tidak menerima hukum-hukum Islam) Maka hapuslah amalannya dan ia di hari kiamat Termasuk orang-orang merugi”. (Q.S. Al Maidah: 5)

Ayat diatas, sekali Iagi Allah mengulangi pernyataan ayat lalu dan menambahkan bahwa penggalan arti dari ayat Pada hari ini dihalalkan bagi kamu, maksudnya bahwa kaum muslimin diperbolehkan memakan binatang sembelihan orang-orang non muslim yang telah diberi kitab. Sebagaimana penjelasan M. Quraish Shihab dalam tafsirnya, halal sembelihan orang-orang yang diberi al Kitab itu halal bagi kamu memakannya dan makanan kamu halal pula bagi mereka, sehingga kamu tidak berdosa bila memberinya kepada mereka. Dan dihalalkan juga bagi kamu menikahi wanita-wanita yang menjaga kebormatan di antara wanita- wanita yang

beriman dan wanita-wanita yang menjaga kehormatan di antara

(62)

kekafiran tersebut dibawa mati dan ia di hari akhirat termasuk orang-orang merugi (Shihab, 2002: 29).

Dalam Tafsir Al-Mishbah kata tha'am atau makanan yang dimaksud oleh ayat di atas adalah sembelihan, karena sebelum ini telah ditegaskan hal-hal yang diharamkan, sehingga selainnya otomatis halal, baik sebelum maupun setelah dimiliki Ahl al Kitab. Juga karena, sebelum ini terdapat uraian tentang penyembelihan dan perburuan, sehingga kedua hal inilah yang menjadi pokok masalah. Ada juga yang memahami kata makanan dalam arti buah- buahan, biji-bijian, dan semacamnya. Namun pendapat ini sangat lemah.

(63)

selama belum terbukti bahwa makanan tersebut telah bercampur dengan najis (Shihab, 2002: 29).

(64)

wanita Ahl al Kitab, tetapi pria Ahl al Kitab tidak dibenarkan menikah dengan wanita Muslimah (Shihab, 2002: 30).

Secara gamblang membolehkan pernikahan antar pria Muslim dengan wanita Ahl al Kitab, tetapi izin ini adalah sebagai jalan keluar kebutuhan mendesak ketika itu, di mana kaum muslimin sering bepergian jauh melaksanakan jihad tanpa mampu kembali ke keluarga mereka, sekaligus juga untuk tujuan dakwah. Bahwa wanita Muslimah tidak diperkenankan nikah dengan pria non-Muslim, baik Ahl al Kitab lebih-lebih kaum musyrikin, karena mereka tidak mengakui kenabian Muhammad saw. Pria Muslim mengakui kenabian Isa, serta menggarisbawahi prinsip toleransi beragama, lakum dinukum wa liya din,Pria yang biasanya, bahkan seharusnya, menjadi pemimpin rumah tangga dapat mempengaruhi istrinya, sehingga bila suami tidak mengakui ajaran agama yang dianut sang istri maka dikhawatirkan akan terjadi pemaksaan beragama baik secara terang-terangan maupun terselubung (Shihab, 2002: 31).

(65)

sudah nikah. Selanjutnya didahulukannya penyebutan wanita-wanita mukminah memberi isyarat bahwa mereka yang seharusnya didahulukan, karena betapapun, persamaan agama dan pandangan hidup sangat membantu melahirkan ketenangan, bahkan sangat menentukan kelanggengan rumah tangga. Ditutupnya ayat di atas yang menghalalkan sembelihan Ahl al Kitab serta pernikahan pria Muslim dengan wanita Yahudi dan Nasrani, dengan ancaman barang siapa yang kafir sesudah beriman maka hapuslah amalannya dan seterusnya, merupakan peringatan kepada setiap yang makan, dan atau merencanakan pernikahan dengan mereka, agar berhati-hati jangan sampai hal tersebut mengantar mereka kepada kekufuran, karena akibatnya adalah siksa akhirat nanti.

(66)

keterangan di atas, maka sangat pada tempatnya jika dikatakan bahwa tidak dibenarkan menjalin hubungan pernikahan dengan wanita Ahl al Kitab bagi yang tidak mampu menampakkan kesempurnaan ajaran Islam, lebih-lebih yang diduga akan terpengaruh oleh ajaran non Islam, yang dianut oleh calon istri atau keluarga calon istrinya (Shihab, 2002: 32).

D. Hukum Perkawinan Beda Agama Menurut Buku Fiqih Lintas Agama

Mengenai topik perkawinan beda agama ini, para ulama selalu berpegang pada tiga ayat antara lain; QS. Baqarah ayat 221, QS. al-Mumtahanah ayat 10, QS. al-Mâidah ayat 5, termasuk juga Nurcholish dan para pemikir Paramadina dalam buku fikih lintas agama; membangun masyarakat inklusif-pluralis yang menyepakatinya. Namun, disini ada perbedaan mengenai cara pandang Nurcholish dan para pemikir paramadina dalam istinbath hukum (pengambilan hukum) yang membolehkan kawin beda agama justru atas dasar legitimasi QS. al-Mâidah ayat 5 yang selanjutnya akan dikupas lebih mendalam. Ada baiknya peneliti hadirkan kembali tiga ayat fenomenal tersebut.

Pertama, al-Qur an surat al-Baqarah ayat 221:

ْوَلَو ٍةَكِرْشُم ْنِم ٌرْ يَخ ٌةَنِمْؤُم ٌةَملأَو َّنِمْؤُ ي َّتََّح ِتاَكِرْشُمْلا اوُحِكْنَ ت لاَو

ْمُكْتَبَجْعَأ

(67)

ْمُهَّلَعَل

“Janganlah kamu kawini perempuan-perempuan musyrik sebelum mereka beriman. Perempuan budak yang beriman lebih baik daripada perempuan musyrik sekalipun ia menarik hatimu. Dan juga janganlah kamu mengawinkan (perempuanmu) dengan laki-laki musyrik sebelum mereka beriman. Seorang laki-laki budak beriman lebih baik daripada seorang laki-laki musyrik sekalipun ia menarik hatimu. Mereka (kaum musyrik) akan membawa ke dalam api (neraka)”.

Kedua, Al-Qur an surat al-Mumtahanah ayat 10:

َّنِِنِاَيمِإِب ُمَلْعَأ ُوَّللا َّنُىوُنِحَتْماَف ٍتاَرِجاَهُم ُتاَنِمْؤُمْلا ُمُكَءاَج اَذِإ اوُنَمآ َنيِذَّلا اَهُّ يَأ اَي

“Wahai orang-orang yang beriman, apabila perempuan-perempuan mukmin datang berhijrah kepadamu, maka hendaklah kamu uji (keimanan) mereka. Allah sungguh mengetahui keimanan mereka. Bila kamu mengetahui bahwa mereka benar-benar beriman, janganlah kamu mengembalikan mereka kepada orang-orang kafir. Mereka tidak halal bagi laki-laki kafir itu laki-laki kafir itu tak halal bagi mereka (perempuan-perempuan mukmin)”.

Ketiga, al-Qur an surat al-Mâidah ayat 5:

(68)

perempuan yang suci di antara perempuan-perempuan mukmin, serta perempuan-perempuan-perempuan-perempuan yang suci di antara orang-orang yang diberi kitab sebelum kamu jika kamu berikan kepada mereka maskawin, bukan dengan zina dan bukan dengan diam-diam mengambil mereka sebagai gundik”.

Dua ayat yang pertama diatas menurut ar-Razi termasuk kedalam ayat Madaniyah yang pertama kali turun dan membawa pesan khusus agar orang-orang Muslim untuk tidak menikahi wanita musyrik atau sebaliknya. Ayat tersebut sebagai ayat eksplisit yang menjelaskan hal-hal yang halal (mâ yuhallu) dan hal-hal yang dilarang (mâ yu hramu) (Ar-Razi, 1996: 65) dan menikahi orang musyrik merupakan salah satu perintah

Tuhan dalam kategori haram dan dilarang. Jika ayat tersebut dibaca secara literal dapat disimpulkan seketika bahwa menikahi non-muslim baik perempuan atau laki-laki hukumnya adalah haram. Cara pandang demikian dikarenakan sebagian masyarakat muslim masih beranggapan bahwa yang termasuk dalam kategori musyrik adalah non-muslim, yang termasuk di dalamnya adalah Kristen dan Yahudi. Dalam hal ini Nurcholish dan para pemikir Paramadina dalam buku tersebut mempertanyakan mengenai apakah non-muslim (Kristen dan Yahudi) termasuk kedalam kategori musyrik, jika tidak demikian, maka perlu memperjelas maksud musyrik dalam Qur’an (Madjid, 2005: 155).

(69)

ْمِهِىاَوْ فَأِب ْمُُلَْوَ ق َكِلَذ ِوَّللا ُنْبا ُحيِسَمْلا ىَراَصَّنلا ِتَلاَقَو ِوَّللا ُنْبا ٌرْ يَزُع ُدوُهَ يْلا ِتَلاَقَو

Demikian itulah ucapan mereka dengan mulut mereka, meniru perkataan orang-orang kafir terdahulu. Dilaknati Allah-lah mereka, bagaimana mereka sampai berpaling.” (30)

“Mereka menjadikan orang-orang alimnya dan rahib-rahib mereka selain Tuhan selain Allah dan juga (mereka mempertuhankan) Al-Masih putera maryam; padahal mereka hanya disuruh menyembah Tuhan yang Maha Esa, tiada Tuhan yang berhak disembah selain Ia. Maka Suci Allah dari apa yang mereka persekutukan”. (31)

Kategori musyrik terhadap dua agama samawi tersebut dikarenakan orang-orang Yahudi menganggap Uzair sebagai anak Tuhan, sementara Kristen menganggap Isa Al-Masih sebagai anak Tuhan (Ar-Razi, 2005: 61). Tetapi pandangan demikian menurut Nurcholish, tidak serta merta dapat dijadikan peganggan, karena terdapat ayat lain yang memberikan paradigma berbeda tentang musyrik (Madjid, 2005: 155) misalnya dalam Surat al-Baqarah ayat 105 disebutkan:

(70)

siapa yang dikehendaki Nya (untuk diberi) rahmat-Nya (kenabian) dan Allah mempunyai karunia yang besar”.

Kemudian surat al-Bayyinah ayat 1 Allah juga menyebutkan:

ُةَنِّ يَ بْلا ُمُهَ يِتْأَت َّتََّح َيِّْكَفْ نُم َيِْكِرْشُمْلاَو ِباَتِكْلا ِلْىَأ ْنِم اوُرَفَك َنيِذَّلا ِنُكَي َْلَ

(

۱

)

Artinya:

“Orang-orang kafir yakni Ahli Kitab dan orang-orang kafir musyrik (mengatakan bahwa mereka) tidak akan melepaskan (kepercayaan mereka) sebelum datang kepada mereka bukti yang nyata”.

Menurut pandangan dalam buku fikih lintas agama, dua ayat ini dan beberapa ayat-ayat lain, al-Qur an menyebutkan kata penghubung wa (dan) antara kata kafir Ahli Kitab dengan kafir Musyrik. Hal ini berarti bahwa kedua kata tersebut (baik Ahli Kitab dan Musyrik) mempunyai arti dan makna yang berbeda. Syirik sebagai bentuk tindakan dari pelaku (musyrik), hemat peneliti adalah mempersekutukan sesuatu dengan sesuatu. Dalam pandangan seperti demikian, seorang musyrik adalah siapa saja yang percaya bahwa ada Tuhan selain Tuhan. Jika hal demikian dibawa pada hal yang lebih general, maka siapa saja yang mempersekutukan Tuhan adalah musyrik. Orang-orang Kristen yang percaya tentang Trinitas misalnya, maka mereka termasuk kedalam kategori musyrik jika mengacu pada pandangan tersebut.

Referensi

Dokumen terkait

Data Emik Pandangan Habib Terhadap Pernikahan Wanita Syarifah Dengan Laki-laki Non Sayyid pada Komunitas Arab di Kelurahan Bendomungal Kecamatan Bangil ... Data Emik Penerapan

Permasalahan mengenai perkawinan beda agama di Indonesia sudah menjadi polemik yang cukup menarik sejak dahulu, maka dari itu penelitian ini difokuskan untuk meneliti

Berkaitan dengan „illat hukum dilakukannya perkawinan beda agama, terdapat beberapa pendapat: Pertama, bahwa dibolehkannya seorang laki-laki Muslim menikah dengan

Sehingga hipotesis yang diajukan diterima dan dapat ditarik kesimpulan bahwa terdapat perbedaan hasil tes mata pelajaran fiqh materi pokok puasa ramadhan antara siswa

Hukum Islam (KHI) Pasal 53 telah melegitimasi kebolehan mengawinkan wanita hamil karena zina dengan laki-laki yang menzinainya, bahkan juga melegitimasi konsekuensi

Perkawinan beda agama semakin ramai di kalangan masyarakat Indonesia kini. Kompilasi Hukum Islam dan Undang-undang No. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan, yang

Sementara dalam kasus pernikahan beda agama, Wahbah al-Zuh}aili> membolehkan lelaki muslim menikahi wanita non- muslimah ahli kitab meskipun dengan krateria ketat, artinya

Pernikahan beda agama merupakan pernikahan yang menarik perhatian masyarakat di negara ini. Meskipun pernikahan ini dianggap berbeda dengan kebiasaan masyarakat pada