• Tidak ada hasil yang ditemukan

PERKAWINAN LINTAS AGAMA DALAM KAJIAN TAFSIR TEMATIK; SOSIO-HISTORIS

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "PERKAWINAN LINTAS AGAMA DALAM KAJIAN TAFSIR TEMATIK; SOSIO-HISTORIS"

Copied!
258
0
0

Teks penuh

(1)

DALAM KAJIAN TAFSIR TEMATIK;

SOSIO-HISTORIS

TESIS

Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar Magister

dalam Ilmu Agama Islam

oleh:

NIM: 06.2.00.1.14.08.0086

Pembimbing:

Dr. Yusuf Rahman, MA

KONSENTRASI ULÛM

AL-SEKOLAH PASCASARJANA

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI

(2)

ii

SURAT PERNYATAAN

Yang bertanda tangan di bawah ini:

Nama

: M

NIM

: 06.2.00.1.14.08.0086

Tempat/tgl lahir

: Jombang, 02 Juni 1979

Alamat

: Plemahan RT/RW. 017/006, Banyuarang, Ngoro,

Jombang, Jawa Timur.

Menyatakan dengan sebenarnya bahwa tesis yang bejudul

Perkawinan Lintas

Agama Dalam Kajian Tafsir Tematik; Sosio-Historis

ini, adalah benar-benar

karya asli saya dan bukan jiblakan, kecuali kutipan-kutipan yang saya sebutkan

sumbernya. Segala kesalahan dan kekurangan di dalamnya sepenuhnya menjadi

tanggung jawab saya. Dan apabila ternyata di kemudian hari tidak benar, maka

saya bersedia menerima sanksi berupa pencabutan gelar.

Jakarta, 17 Desember 2008

(3)

iii

PERSETUJUAN PEMBIMBING

Tesis yang berjudul

Perkawinan Lintas Agama Dalam Kajian Tafsir

Tematik; Sosio-Historis

yang ditulis oleh

Nomor Induk

06.2.00.1.14.08.0086,

Mahasiswa konsentrasi Ulum al-Qur'an telah diperiksa dan

dinyatakan layak disetujui untuk dimajukan kepada sidang ujian tesis.

Jakarta, 17 Desember 2008

Pembimbing,

(4)

iv

PERSETUJUAN TIM PENGUJI

Tesis saudara

Nomor Induk

06.2.00.1.14.08.0086,

yang berjudul

Perkawinan Lintas Agama Dalam Kajian Tafsir Tematik; Sosio-Historis ,

telah diujikan dalam Sidang Munaqasyah Magister Sekolah

Pascasarjana

Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta pada hari Rabu, 31

Desember 2008, dan telah diperbaiki sesuai saran dan rekomendasi dari Tim

Penguji.

TIM PENGUJI

Ketua Sidang/Penguji

Pembimbing/Penguji

Dr. H. Fuad Jabali, MA.

Dr. Yusuf Rahman, MA.

Tanggal 16 Januari 2009

Tanggal 16 Januari

2009

Penguji

Penguji

Dr. Faizah Ali Syibromalisi, MA.

Dr. Asep Saepuddin Jahar, MA.

(5)

v

Pedoman Transliterasi

A. Konsonan

Huruf

Arab

Huruf Latin

Huruf Arab

Huruf Latin

b

t

t

z

ts

j

gh

h

f

kh

q

d

k

dz

l

r

m

z

n

s

w

sy

h

s

`

d

y

B. Vokal

Vokal Tunggal

: ... = a

...

= i

... = u

Vokal Panjang

: ... = â

...

= î

... = û

Vokal Rangkap

: ... = ai

...

= au

C. Alif Lam (al)

( ) dalam lafaz atau kalimat, baik yang bersambung dengan

huruf

qamariyyah

maupun

syamsiyyah

ditulis dengan huruf kecil (al), dan diikuti

. Namun, jika terletak diawal kalimat, maka ia

(6)

vi

1. al ditulis dengan huruf kecil

- al-

ân =

sebagaimana disebutkan dalam al-

ân

- al-Baihaqî =

menurut

al-2. Al ditulis dengan huruf besar

- Al-

-Baihaqî

- Al-Bukhârî =

-Bukhârî

D. Singkatan

SWT =

Subhânahu

âlâ

H

= Hijriyah

as

=

al-salâm

ra

=

Radiya Allâ

M

= Masehi

w

= Wafat

Q.S

= al-

ân; surat

h

= Halaman

saw

=

Salla Allâ

wa sallam

E. Lain-lain

- Transliterasi syaddah ( ) dilakukan dengan menggandakan huruf yang sama.

- Transliterasi

tah

- Untuk terjemahan ayat al-

ân, penulis mengutip Mushaf al-

ân

(7)

vii

ABSTRAK

Perkawinan Lintas Agama dalam kajian Tafsir Tematik;

Sosio-Historis

Tesis ini membuktikan bahwa, perdebatan para mufassir perihal

perkawinan lintas agama disebabkan oleh perbedaan di dalam menetapkan kriteria

tentang musyrik dan

ahl al-kitâb

. Dan tidak dapat dipungkiri bahwa, Perbedaan

pendapat tersebut banyak dipengaruhi oleh faktor internal maupun eksternal

mufassir.

Dalam hal ini, terdapat dua kelompok pendapat yang berseberangan:

1.

Semua bentuk perkawinan lintas agama antara umat Islam dan non muslim

tidak diperbolehkan, karena semua non muslim adalah musyrik, tak terkecuali

ahl al-kitâb

oleh beberapa ulama setelahnya; termasuk al-Râzî dan Sayyid Qut

ub.

Sedangkan beberapa tokoh kontemporer yang masuk dalam kelompok ini

adalah para ulama yang tergabung dalam Majelis Ulama Indonesia (MUI),

2.

Perkawinan lintas agama antara umat Islam dan non muslim tidaklah dilarang,

karena semua non muslim (sekarang ini) adalah

ahl al-kitâb

. Pendapat ini

dilontarkan oleh Sayyid M. Rasyîd Ridâ, dan diikuti oleh banyak kalangan

pemikir kontemporer; termasuk di Indonesia, seperti Kautsar Azhari Nur, M.

Zainun Kamal dan Siti Musdah Mulia. Sebenarnya, embrio pendapat ini telah

ada sejak masa tafsir formatif, dan klasik; yakni dengan dikeluarkannya

statement oleh

juga diikuti oleh al-Tabarî bahwa,

orang-orang kafir yang dimaksud dalam Q.S. 60: 10, adalah para wanita

musyrik Arab.

Hasil penelitian penulis dalam tesis ini, tidak berpihak pada salah satu

pendapat di atas, namun menempatkan

ahl al-kitâb

pada sebuah klasifikasi yang

membedakannya dari musyrik; dengan batasan-batasan tertentu. Sehingga tidak

menganggap semua non muslim sebagai

ahl al-kitâb

, ataupun

ahl al-kitâb

sebagai

musyrik.

Jenis Penelitian kualitatif ini masuk dalam kategori

library research,

yang

menggunakan pendekatan tematik atau

maud

; yakni salah satu bentuk

pendekatan dalam tafsir al-

tafsîr

maud

". Dalam hal ini, ayat-ayat al-

ân dijadikan sebagai sumber data

primer. Di dalam penelitian ini, penulis juga memberikan porsi yang cukup pada

unsur sosio-historis, sebagai salah satu pendekatan, untuk mengetahui lebih jelas

latar belakang historis turunnya ayat-ayat al-

ân. Hal ini diperlukan untuk

melacak akar kemunculan perdebatan tentang perkawinan lintas agama.

(8)

viii

ABSTRACT

Interfaith Marriage, Study of Thematic Exegesis;

Historical-Sociological

.

interpreters, about interfaith

marriage is caused by some differences in specifying criteria of musyrik and

ahl

al-kitâb

. It is undeniable that, different interpretations are influenced by many

internal and external factors.

In this matter, there are two groups:

1.

All forms of interfaith marriage, among Muslims and non Muslims, are

prohibited, because all non Muslims; including

ahl al-kitâb

, are musyriks

(polytheists). This opinion firstly told by Abdullâh ibn 'Umar ra, and followed

by some Muslim scholars after him; including al-Râzî and Sayyid Qutub.

Whereas some contemporary figures that enter in this group are Council of Indonesian Muslim Scholars (MUI),

2.

Interfaith marriage between Muslim and non Muslim is not prohibited in this

period, because all non Moslems ( this time) are

ahl al-kitâb

. This opinion is

stated by Sayyid M. Rasyîd Ridâ, and followed by many religious circles.

Whereas some contemporary figures that enter in this group are Indonesian

men of thought, like Kautsar Azhari Nur and M. Zainun Kamal and also Siti

Musdah Mulia. Actually, the embryo of this opinion had existed since

formative exegesis period; when Abdull

al-kawâfir

is mentioned in Q:S. 60: 10 were Arabic polytheists (

al-Musyrikât

). This

opinion was also followed by al-Tabarî; one of classical interpreter.

The conclusion of this thesis does not strengthen one of the above ideas,

but positions

ahl al-kitâb

to another clasification. So that, not all non muslims are

ahl al-kit

â

b

, and not all

ahl al-kitâb

are musyrik.

This type of qualitative research is categorized as library research, that approach;

interpretation, and usually is called " " or thematic exegesis. In this case, verses of al- ân are made as the primary source of data. In this research, writer also gives enough portion to historical-sociological approach, to know clearly historical background of verses al- ân. This matter is needed to know clearly

such debate at first time,

about interfaith marriage.

(9)

ix

.

,

1

,

.

2

,

,

,

,

.

(10)

x

KATA PENGANTAR

Segala puji dan syukur tersanjung hanya bagi Allâh SWT, yang dengan

pertolongan-

Perkawinan Lintas Agama dalam

Kajian TafsirTematik; Sosio-Historis

yang ditentukan. Demikian juga, salawat serta salam semoga selalu tercurahkan

untuk Rasulullah saw.

Sebagai karya tulis hamba yang

d

, tentunya di dalam tesis ini masih

terdapat banyak kekurangan dan kesalahan, yang kelak ditemukan oleh mereka

yang mau menelaahnya dengan teliti. Segala kesalahan tersebut tak lain adalah

bukti keterbatasan penulis di dalam melakukan penelitian tesis ini.

Penulisan tesis ini merupakan tugas akhir dari studi S-2 penulis; dalam

spesifikasi ulûm

al-DEPAG RI . Dan penulis sadari bahwa, penyelesaian tesis ini tak luput dari jasa

lembaga dan orang-orang tertentu yang telah membantu penulis, baik secara moril

maupun materiil. Atas segala bantuan tersebut penulis sampaikan banyak terima

kasih; khususnya kepada:

1.

Lembaga pemberi beasiswa S-2 program Ulûm al-

ân, DEPAG RI.

2.

Prof. Dr. Komarudin Hidayat, selaku Rektor Universitas Islam Negeri (UIN)

Jakarta, beserta para staffnya.

3.

Prof. Dr. Azyumardi Azra, MA., selaku Direktur Sekolah Pascasarjana

Universitas Islam Negeri (UIN) Jakarta, beserta para dosen dan staff lainnya.

4.

Dr. Yusuf Rahman, MA., selaku pembimbing penulisan tesis ini, demikian

juga Prof. Dr. Suwito, MA., dan Dr. Fuad Jabali, MA., yang mana beliau

bertiga telah bersabar di dalam memberi tanggapan dan masukan selama

work

in proggress

demi perbaikan tesis ini.

5.

Kedua orang tua; yang selalu memberi semangat dan mendoakan penulis

untuk mencapai kesuksesan di masa depan. Semoga penulis selalu

mendapatkan ridâ mereka, dan dapat berbakti kepada keduanya.

Âmîn!

6.

Kedua kakak penulis yang telah membantu penulis, baik secara moril maupun

materiil

7.

Pengasuh Pondok pesantren Tebuireng; H. Ir. Solahudin Wahid, yang telah

mengizinkan penulis untuk mengikuti program beasiswa ini, juga

teman-teman yang masih setia mengabdi di Pesantren Tebuireng Jombang.

8.

Teman-teman Program Beasiswa Ulûm al-

ân; khususnya yang

menempuh studi bersama penulis, di Universitas Islam Negeri (UIN) Jakarta.

Juga siapapun yang telah membantu penulis, di dalam menyelesaikan studi;

khususnya penulisan Tesis, yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu dalam

ungkapan yang singkat ini. Atas semua kebaikan tersebut, tidak ada sesuatu yang

dapat penulis sampaikan, kecuali ucapan terima kasih yang tak terhingga, serta

doa; semoga amal kebaikan kita semua diterima oleh Allâh SWT.

Âmîn

...

!

Jakarta, 20 Desember 2008

Ttd,

(11)

xi

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ... i

SURAT PERNYATAAN ... ii

PERSETUJUAN PEMBIMBING ... iii

PERSETUJUAN TIM PENGUJI ... iv

PEDOMAN TRANSLITERASI... v

ABSTRAK TESIS ... vii

KATA PENGANTAR ... x

DAFTAR ISI ... xi

BAB I: PENDAHULUAN

A.

Latar Belakang Masalah... 1

B.

Permasalahan ... 7

C.

Tinjauan Pustaka... 9

D.

Tujuan Penelitian ... 17

E.

Manfaat/signifikansi Penelitian ... 17

F.

Metode Penelitian ... 18

G.

Sistematika Penulisan ... 21

BAB II: PERKAWINAN LINTAS AGAMA DALAM PERKEMBANGAN

WACANA TAFSIR

A.

Perkawinan Lintas Agama dalam Potret Tafsir Formatif ... 24

1.

Respon Rasulullah saw terhadap Kasus Perkawinan

Lintas Agama ... 24

2.

Perkawinan Lintas Agama dalam Perdebatan Sahabat ... 32

3.

i perihal Perkawinan Lintas Agama ... 46

B.

Perkawinan Lintas Agama dalam Survey Literatur

Tafsir Klasik ... 57

C.

Reinterpretasi Wacana Perkawinan Lintas Agama,

dalam kajian Tafsir Modern/Kontemporer... 74

(12)

xii

BAB

III:

PERKAWINAN LINTAS

AGAMA

DALAM

UPAYA

PENGKAJIAN TAFSIR TEMATIK

A.

Orientasi Makna Perkawinan dalam Kajian al-

... 94

B.

Non Muslim dan klasifikasinya, serta Perdebatan tentang

Kriteria

ahl al-kitâb ...

101

C.

Antara Orang Islam dan Non Muslim dalam Hubungan

Perkawinan ... 127

1.

Analisis Ayat-ayat tentang Perkawinan Lintas Agama ... 128

2.

Perkawinan Lintas Agama bagi Seorang Muslim... 137

3.

Perkawinan Lintas Agama bagi Seorang Muslimah ... 145

4.

Pengaruh Perkawinan Lintas Agama terhadap

Kehidupan Rumah Tangga ... 153

BAB IV: KONTEKS SOSIO-HISTORIS SEBAGAI PERANGKAT

ANALISIS TAFSIR TEMATIK

A.

Potret Sosio-Historis Masa Rasul dan Sahabat dalam

Hubungannya dengan Perkawinan Lintas Agama ... 167

1.

Status Sosial Umat Islam dalam Perkawinan Lintas

Agama Sebelum dan Setelah Hijrah; ... 168

2.

Penaklukan Kota Mekah sebagai Wujud Peningkatan

Status Sosial Umat Islam ... 183

B.

Perkembangan Situasi Sosial-politik umat Islam pada

Masa Pemerintahan

al-Khulafâ al-Râsyidûn...

191

BAB V: PENUTUP

A.

Kesimpulan... 200

B.

Rekomendasi ... 203

BIBLIOGRAFI ... 204

(13)

A. Latar Belakang Masalah

Perkawinan lintas agama, merupakan kasus klasik yang selalu muncul

dengan berbagai wacana dan perdebatan di dalamnya, khususnya bagi umat Islam,

bahkan sampai saat ini.

Sebagai agama yang memperhatikan fitrah-fitrah kemanusiaan, Islam

sangat menghargai segala aktifitas manusia, selama tidak bertentangan dengan

ajaran Islam itu sendiri. Bahkan aktifitas tersebut seringkali dimasukkan dan

diatur sedemikian rupa di dalam ajarannya.

Dalam hal ini, perkawinan merupakan salah satu bentuk perbuatan

manusia yang juga menjadi bagian dari ajaran agama Islam. Terbukti, dengan

banyaknya ayat al-Qur’ân dan hadîts nabi Muhammad saw yang menjelaskan

tentang perkawinan. Bahkan beliau saw memberi tuntunan dan contoh konkrit

perihal tersebut, yang tentunya (semua itu) untuk menunjukkan tata cara dan

aturan-aturan yang seharusnya diikuti oleh umat Islam. Oleh karenanya para

ulama sepakat bahwa perkawinan merupakan salah satu bentuk aktifitas horisontal

yang bernilai vertikal (ibadah). Karena dengan melakukannya berarti telah

mengikuti jejak (

sunnah

) Rasulullah saw.

1

Di sisi lain, Islam mengajarkan tentang adanya tanggung jawab atas semua

aktifitas dunia, kelak diakhirat. Oleh karenanya, Islam mengingatkan umatnya

1

Sebagaimana hadîts yang diriwayatkan oleh Ibn Mâjah dari ‘Âisyah ra, Rasulullah saw bersabda: “Nikah itu termasuk perilaku (sunnah)ku, maka barang siapa yang tidak berbuat dengan sunnahku, ia bukanlah golonganku. Dan menikahlah kalian! Karena sesungguhnya aku akan membanggakan banyaknya jumlah kalian dari umat-umat yang lain. Barang siapa yang mempunyai kemampuan, hendaknya ia menikah, dan barang siapa yang belum mampu (untuk melakukannya), hendaklah ia berpuasa, karena sesungguhnya puasa baginya adalah pelindung”. Lihat: Muhammad ibn Yazîd ibn Mâjah, Abû ‘Abdillâh al-Qazwînî, Sunan Ibn Mâjah, Juz. I, (Beirut: Dâr al-Fikr, tt), h. 592. Bahkan menurut Rasulullah saw, tekun beribadah ( tabattul) dengan sengaja meninggalkan nikah, bukanlah perbuatan terpuji. Oleh karenanya, beliau melarang perbuatan tersebut, sembari memerintah-kan umat Islam agar menikahi wanita yang berpotensi akan mempunyai banyak anak, sekaligus yang penuh kasih sayang. Lihat: Abdullâh ibn Ah mad ibn Hanbal al-Syaibânî, al-Sunnah, Juz. V, Cet. I, (al-Dimâm: Dâr Ibn al-Qayyim, tt), h. 261. Di antara beberapa alasan dalam perkawinan secara tegas disebutkan oleh Rasûl, yaitu untuk menjaga mata dan farji. Lihat: Muslim ibn Hajjâj, Abu al-H usain al-Qusyairî al-Naisabûrî, tt, Sahîh Muslim,

Juz. II, (Beirut: Dâr Ihyâ’ al-Turâts al-‘Arabî, tt), h. 1019.

(14)

(khususnya para kepala keluarga) untuk menjaga diri dan anggota keluarganya

dari siksaan api neraka.

2

Setidaknya atas dasar inilah, sejak awal penyebarannya, Islam tampak

begitu selektif di dalam menentukan orang-orang yang berhak menjadi pasangan

hidup para pemeluknya. Hal ini dimaksudkan untuk menjaga kelestarian

"kehidupan beragama" umat Islam, khususnya dalam jangka panjang (akhirat).

3

Dalam permasalahan akidah (ketuhanan), Islam seakan-akan tidak mentolelir

perkawinan beda keyakinan, karena akan terdapat beberapa efek negatif di

dalamnya, sebagaimana disebutkan dalam surah 2: 221.

4

Ayat tersebut menafikan adanya perkawinan antara pemeluk agama Islam

dengan orang-orang musyrik, yakni mereka yang menyekutukan Allâh SWT.

Kendati demikian, tidak semua non muslim, menjadi tidak berhak membina

keluarga dengan orang Islam. Terbukti dengan diperbolehkannya seorang muslim

menikahi non muslimah dari kelompok

ahl al-kitâb

; dalam kategori "

al-2

Lihat: Q.S. al-Tahrîm/66: 6, “Hai orang-orang yang beriman, periharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka…”. Terdapat banyak penjelasan perihal bentuk penjagaan diri dan keluarga dari api neraka. Menurut 'Alî ra, Mujâhid, dan Qatâdah, maksudnya adalah "Melakukan penjagaan diri dengan amal perbuatan masing-masing, sedangkan penjagaan terhadap keluarga adalah dengan wasiyat (agar taat kepada Allâh SWT dan menjauhi larangannya)". Selengkapnya, lihat: Abû ‘Abdillâh Muhammad ibn Ahmad ibn Abû Bakr ibn Faraj al-Qurtûbî, al-Jâmi’ Li Talhah ibn ‘Ubaidillâh ra ibn ‘Utsmân ibn ‘Amr al-Taimî, dengan menceraikan istri-istri mereka yang tidak memeluk agama Islam, setelah turun Q.S. 60: 10-11. Lihat: Muh ammad ibn Jarîr ibn Yazîd ibn Khâlid Abû Ja’far al-T abarî, Jâmi’ al-Bayân ‘An Ta’wîl Âyi al-Qur’ân, Juz. XII, (Beirût: Dâr al Fikr, 1405), hal. 68, 70. Lihat juga: Lihat juga: Sulaimân ibn Ah mad ibn Ayyûb, Abû al-Qâsim al-Tabrânî, al-Mu’jam al-Kabîr, Juz. XX, Cet. II, (Mûsal: Maktabah al-‘Ulûm wa al-Hikam, 1983), h. 9. Demikian juga, ‘Umar ibn al-Khatt âb ra, memisahkan beberapa pasangan suami-istri beda agama. Selengkapnya lihat: Abû Abdillâh Muh ammad ibn al-H asan al-Syaibânî,

al-Hujjah ‘alâ Ahl al-Madînah, Cet. III, Juz. IV, (Beirût: ‘Alam al-Kutub, 1403 H), hal. 7. Lihat juga: ‘Alî ibn Ahmad ibn Hazm, Abû Muhammad al-Zâhirî, al-Muhallâ, Juz. VII, (Beirût: Dâr al-Âfâq al-Jadîdah, tt), hal. 313.

4

Ayat tersebut khitâb-nya dalam bentuk nahî (larangan), sebagaimana redaksinya ( tankihû al-musyrikât hattâ yu’minna) dan (lâ tunkihû al-musyrikîn hattâ yu’minû). Dan sesuatu yang disebut-sebut sebagai efek negatif di sini adalah firman Allâh SWT; (ulâika yad’ûna ilâ al-nâr). Untuk melihat lebih dalam tentang beberapa penjelasan dalam hal ini, lihat: Muh ammad ibn ‘Alî al-Syaukânî, Fath Qadîr Jâmi’ baina Fannay Riwâyah wa Dirâyah min ‘Ilm al-Tafsîr, Juz. V/301. Lihat juga: Muh ammad ibn Jarîr ibn Yazîd ibn Khâlid Abû Ja’far al-T abarî,

(15)

muhsanât

". Pendapat yang berkembang selama ini, pada umumnya membatasi

term

ahl al-kitâb

hanya pada penganut agama Yahudi dan Nasrani. Kedua

golongan ini disinyalir mempunyai kedekatan akidah dengan umat Islam, karena

ketiganya; yakni Islam Yahudi dan Nasrani, bermuara dari satu sumber keyakinan

yang sama, yaitu keyakinan akan keesaan Allâh SWT. Tentunya sebelum adanya

rekayasa-rekayasa penyelewengan oleh para pemuka kedua agama dimaksud.

5

Kebolehan ini secara tegas dijelaskan dalam Q.S. 5: 5, yang menjelaskan

tentang kebolehan bagi orang Islam untuk menikahi wanita

ahl al-kitâb,

dalam

kriteria “

al-muhsanât

”.

6

Hal inilah yang kemudian menjadi perdebatan di

5

Kedekatan akidah antara umat Islam dan ahl al-kitâb dapat dilihat pada beberapa ayat al-Qur’ân. Di antaranya: Q.S. Âlu ‘Imrân/3: 64 “Katakanlah: Hai ahl al-kitâb, marilah (berpegang) pada suatu kitab (ketetapan) dan tidak ada perselisihan antara kami dan kamu, bahwa tidak kita sembah kecuali Allâh dan tidak kita persekutukan Dia…”. Para mufassir menjelaskan bahwa, Allâh memerintahkan kepada Nabi untuk mengajak ahl al-kitâb agar kembali berpegang teguh pada kalimat (tauhîd) yang menyatukan mereka dengan umat Islam. Dan supaya mereka tidak mematuhi perintah siapapun yang terdapat unsur maksiyat kepada Allâh. Dalam hal ini terdapat beberapa riwayat berhubungan dengan sabab al-nuzûl, dan kepada siapa khitâb ayat tersebut ditujukan. Di samping itu, Ayat tersebut juga pernah dicantumkan Nabi dalam suratnya kepada Hiraql, penguasa Romawi. Selengkapnya, lihat: Muh ammad ibn Jarîr ibn Yazîd ibn Khâlid Abû Ja’far al-Tabarî,Jâmi’ al-Bayân ‘An Ta’wîl Âyi al-Qur’ân, Juz. III/299. Lihat juga: Abû ‘Abdillâh Muhammad ibn Ahmad ibn Abû Bakr ibn Faraj al-Qurt ubî, al-Jâmi’ Li Ahkâm al-Qur’ân, Juz. IV/105. Dan lihat juga: Muh ammad ibn ‘Alî al-Syaukânî, Fath al-Qadîr al-Jâmi’ baina Fannay al-Riwâyah wa al-Dirâyah min ‘Ilm al-Tafsîr, Juz. I/525. Sedangkan beberapa penjelasan perihal penyelewengan mereka dapat dilihat pada keterangan M. Rasyid Rid â dalam tafsirnya. Lihat: M. Rasyid Ridâ, Tafsîr al-Qur’ân al-Hakîm (tafsîr al-Manâr), Juz. II, (Beirut: Dâr Kutub al-‘Ilmiah, tt), h. 283-284. Lihat juga: Wael B. Hallaq, The Origins and Evolution of Islamic Law,

Cet. I, (Cambrigde: University Press, 2005), h. 19. Adapun ayat-ayat yang membuktikan perihal penyelewengan Yahudi dan Nasrani, di antaranya adalah Q.S. al-Taubah/9: 30, “Orang-orang Yahudi berkata: “Uzair itu putra Allâh”. Dan orang-orang Nasrani berkata: “al-Masîh itu putra Allâh”. Demikian itulah ucapan mereka dengan mulut mereka, mereka meniru ucapan orang-orang kafiryang terdahulu. Allâh melaknati mereka; bagaimana mereka sampai berpaling?”. Ucapan orang-orang kafir dalam hal ini adalah pernyataan mereka bahwa, para malaikat adalah anak-anak perempuan Allâh. Lihat: Abû ‘Abdillâh Muh ammad ibn Ahmad ibn Abû Bakr ibn Faraj al-Qurtubî, al-Jâmi’ Li Ahkâm al-Qur’ân, Juz. II/82. Lihat juga: Muh ammad ibn ‘Alî al-Syaukânî,

Fath al-Qadîr al-Jâmi’ baina Fannay al-Riwâyah wa al-Dirâyah min ‘Ilm al-Tafsîr, Juz. II/37.

6

(16)

kalangan umat Islam. Terutama tentang kriteria, cakupan dan batasan

ahl al-kitâb,

serta penilaian tentang aktifitas ritual keagamaan Yahudi dan Nasrani yang jauh

dari ajaran tauhîd.

7

Perbedaan pendapat tersebut, banyak dipicu oleh beragamnya pemahaman

tentang cakupan ayat-ayat di atas, serta tidak adanya penjelasan tentang konsep

"

ahl al-kitâb

" dan "

al-muhsanât

" (khususnya dalam hal ini), secara tegas baik dari

ayat-ayat al-Qur’ân maupun hadîts-hadîts Rasul saw.

8

Di samping itu, bentuk aplikasi terhadap beberapa konsep ayat-ayat

al-Qur’ân tentang perkawinan lintas agama, masih diperdebatkan. Hal ini sangat

mungkin dipicu oleh keberagaman metode pendekatan para mufassir di dalam

menjelaskan maksud al-Qur’ân, kendati dalam ayat-ayat yang sama. Misalkan

tentang penggunaan kaedah-kaedah penafsiran, termasuk kaedah

al-'ibrah bi

'umûm al-lafz au bi khusûs al-sabab

, yang sangat rentan akan menimbulkan

perbedaan pendapat. Belum lagi, jika dihubungkan dengan perbedaan situasi

sosial politik antara zaman nabi (masa turunnya wahyu) dengan masa para

mufassir, dan lain sebagainya.

Oleh karenanya, banyak bermunculan pemahaman, yang bertentangan satu

sama lain. Belum lagi orang-orang yang berusaha memahami al-Qur’ân dengan

pendekatan sosio-kultural, atau yang mengaku melakukan pemahaman

terhadapnya dengan hanya mengambil essensi dari ajaran Islam tanpa harus

terlalu terikat dengan redaksi teks-teks tertentu. Mereka menyatakan bahwa

turunnya al-Qur’ân tidak akan luput dari konteks budaya masyarakat pada saat itu.

7

Pendapat ini banyak mengacu pada pernyataan ‘Abdullâh Ibn ‘Umar ra bahwa, tidak ada syirik yang lebih besar dari pada perempuan yang meyakini bahwa ‘Îsâ ibn Maryam adalah tuhannya. Selengkapnya, lihat: Abu al-Fidâ Ismâ’îl ibn Katsîr al-Quraisy al-Dimasyqî, Tafsîr al-Qur’ân al-‘Azîm, Cet. II, Juz. II, (Beirut: Dâr ‘Alam al-Kutub, 1418 H/ 1997 M) hal. 27. Lihat juga: Muhammad Fakhr al-Dîn al-Râzî ibn Diyâ al-Dîn ‘Umar, Mafâtih al-Ghaib, Jld. VI, (Beirut: Dâr al-Fikr, 1414 H/1994 M), hal. 150

8

Lihat: Abd al-Rahmân ibn ‘Alî ibn Muh ammad al-Jauzî, Zâd al-Masîr fi ‘ilm al-Tafsîr,

(17)

Sehingga sangat mungkin pelarangan menikahi sebagian non muslim dan

membolehkan sebagian lainnya, karena adanya sebab-sebab tertentu (seperti

permusuhan antara umat Islam dengan orang musyrik, maupun sebab-sebab lain)

yang melatar belakanginya. Dan jika sebab-sebab tersebut tidak ada lagi, tentunya

hukumnya akan dapat berubah, bahkan mungkin sama sekali tidak ada pelarangan

untuk menikah dengan non muslim secara mutlak.

9

Di sisi lain terdapat golongan yang dengan tegas menyatakan bahwa,

perkawinan antara umat Islam dengan non muslim baik dari golongan

ahl al-kitâb

maupun bukan, adalah haram/tidak sah.

10

Pendapat ini berangkat dari

pemahaman, bahwa semua non muslim sekarang ini tergolong musyrik. Kendati

secara tegas disebutkan dalam al-Qur’ân, adanya pengecualian bagi

ahl al-kitâb

yang

muhsanât

. Namun, bagi mereka, pada saat ini tidak satupun

ahl al-kitâb

yang benar dalam hal akidah. Sehingga, walaupun termasuk dalam kategori

muhsanât

,

ahl al-kitâb

(Yahudi dan Nasrani) tetaplah tidak berhak menikah

dengan orang Islam.

11

Dengan demikian, terdapat dua kelompok pendapat yang

berseberangan:

9

Perdebatan seputar perkawinan lintas agama antara umat Islam dengan non muslim, sebenarnya telah terjadi sejak lama, yakni pada masa sahabat. Namun perdebatan tersebut terus bergulir dan semakin berkembang, terutama pada sisi-sisi yang kurang mendapat perhatian pada diskusi-diskusi sebelumnya. Perdebatan pada masa tafsir formatif dan klasik, tidak lebih dari sekedar pengamalan nass, dan tidak merambah pada hal-hal yang tidak disebutkan secara tegas oleh nass al-Qur’ân. Kendati demikian, mereka sepakat bahwa lelaki muslim boleh menikahi wanita non muslimah dari kalangan ahl al-kitâb (Yahudi-Nasrani). Lihat: Abû ‘Abdillâh Muhammad ibn Ahmad ibn Abû Bakr ibn Faraj al-Qurt ubî, al-Jâmi’ Li Ahkâm al-Qur’ân, Juz. III/64. Lihat juga: Muhammad ibn Jarîr ibn Yazîd ibn Khâlid Abû Ja’far al-T abarî, Jâmi’ al-Bayân ‘an Ta’wîl Âyi al-Qur’ân, Juz. II/388. Perdebatan selanjutnya lebih dipertajam dalam tafsir modern, tentang boleh-tidaknya seorang wanita muslimah menikah dengan non muslim ( ahl al-kitâb), bahkan terdapat upaya untuk memperluas cakupan ahl al-kitâb, yang dapat berakibat pada kebolehan melakukan perkawinan lintas agama bagi setiap penganut agama yang berbeda, tanpa dibatasi oleh nama atau simbol-simbol agama tertentu. Lihat: M. Rasyîd Rid â,Tafsîr Qur’ân al-Hakîm (tafsîr al-Manâr), Juz. VI/152, 153.

10

Majelis Ulama Indonesia, Himpunan Keputusan dan Fatwa Majelis Ulama Indonesia,

(Jakarta: Sekretariat Majelis Ulama Indonesia Masjid Istiqlal, 1995), hal. 91. Secara khusus, yang sesuai dengan permasalahan ini, adalah Fatwa MUI yang dikeluarkan pada tanggal 1 Juni 1980, selengkapnya adalah: (1) Pernikahan muslimah dengan laki-laki non muslim adalah haram hukumnya, (2) Seorang laki-laki muslim diharamkan mengawini wanita bukan muslim, (3) Tentang pernikahan antara laki-laki muslim dan wanita ahl al-kitab terdapat perbedaan pendapat. Setelah mempertimbang-kan bahwa mafsadat-nya lebih besar dari pada maslahah-nya, Majelis Ulama Indonesia menfatwakan pernikahan tersebut hukumnya haram.

11

(18)

1. Semua bentuk perkawinan lintas agama antara umat Islam dan non muslim

tidak diperbolehkan, karena semua non muslim adalah musyrik, tak terkecuali

ahl al-kitâb

. Pendapat ini diprakarsai oleh Abdullâh ibn ‘Umar ra, dan diikuti

oleh beberapa ulama setelahnya; termasuk al-Râzî dan Sayyid Qut

ub.

Sedangkan beberapa tokoh kontemporer yang masuk dalam kelompok ini

adalah para ulama yang tergabung dalam Majelis Ulama Indonesia (MUI),

termasuk Ali Mustafa Ya’qub;

2. Perkawinan lintas agama antara umat Islam dan non muslim tidaklah dilarang,

karena semua non muslim (sekarang ini) adalah

ahl al-kitâb

. Pendapat ini

dilontarkan oleh Sayyid M. Rasyîd Ridâ, dan diikuti oleh banyak kalangan

pemikir kontemporer; termasuk di Indonesia, seperti Kautsar Azhari Nur, M.

Zainun Kamal dan Siti Musdah Mulia. Sebenarnya, embrio pendapat ini telah

ada sejak masa tafsir formatif, dan klasik; yakni dengan dikeluarkannya

statement oleh Abdullâh ibn ‘Abbâs ra yang juga diikuti oleh al-T

abarî bahwa,

orang-orang kafir yang dimaksud dalam Q.S. 60: 10, adalah para wanita

musyrik Arab.

Berdasarkan beberapa alasan di atas, penulis berusaha mengkaji kembali

permasalahan ini dengan beberapa pendekatan yang tergabung dalam kajian tafsir

tematik; sosio-historis. Menurut penulis, hal ini sangat penting untuk dilakukan,

karena permasalahan tersebut memerlukan metode-pendekatan yang

komprehen-sif, seperti terdapat dalam kajian yang penulis lakukan.

(19)

Dari kajian ini, penulis berharap pula akan lahirnya pemetaan pendapat

12

dan teori-teori penafsiran tentang ayat-ayat perkawinan lintas agama yang selama

ini masih menjadi perdebatan, sehingga akan memudahkan penulis dan para

peneliti lainnya di dalam melakukan penelitian lanjutan, serta menentukan posisi

penelitiannya masing-masing.

Sedangkan, secara praktis, penulis menganggap bahwa penelitian dalam

hal ini sangatlah penting, karena bagaimanapun, perkawinan merupakan awal dari

hubungan hukum yang berkelanjutan. Dan ia akan memunculkan beberapa obyek

hukum lainnya seperti tentang status anak, hak nafkah, perceraian, pewarisan, dan

lain sebagainya. Jika status suatu perkawinan tidak jelas, lalu bagaimana dengan

status hukum hal-hal yang ditimbulkan oleh perkawinan tersebut.

B. Permasalahan

I. Identifikasi Masalah

Dari latar belakang di atas, dapat diidentifikasi beberapa masalah sebagai

berikut:

1. Bagaimana Islam memandang “perkawinan”, apakah ia merupakan bagian

dari perbuatan sosial belaka, ataukah ada unsur-unsur keagamaan di

dalamnya?

2. Apakah ada campur tangan

syâri’

(Allâh dan Rasul-Nya), dalam masalah

perkawinan, khususnya bagi umat Islam?

3. Di dalam memahami

nass

yang sama (teks-teks al-Qur’ân), khususnya tentang

perkawinan lintas agama, mengapa terjadi banyak perbedaan pendapat?

Faktor-faktor apa saja yang melatar belakangi munculnya perbedaan pendapat

tersebut? Dan apa saja akibat yang akan muncul (khususnya bagi umat Islam)

karenanya?

4. Benarkah telah terjadi kontradiksi di antara ayat-ayat al-Qur’ân tentang

masalah perkawinan lintas agama?

12Maksud “Pemetaan Pendapat” di sini, bukanlah sekedar melakukan klasifikasi atas

(20)

5. Apakah ada ketentuan khusus di dalam mendekati al-Qur’ân, sehingga

perbedaan pendapat (yang membingungkan masyarakat) tidak perlu terjadi,

atau setidaknya dapat meminimalisir potensi tersebut? Di samping itu,

pendekatan apa yang sebaiknya dipakai dalam mendekati al-Qur’ân dan sesuai

dengan karakter permasalahan “perkawinan lintas agama” tersebut?

6. Sebagai salah satu bentuk perbuatan yang berkelanjutan, bagaimana akibatnya

jika perkawinan lintas agama, dinyatakan tidak sah atau batal? Dan bagaimana

sebenarnya status perkawinan lintas agama bagi umat Islam, seperti yang

ditentukan dalam al-Qur’ân?

7. Adakah pengaruh situasi sosial terhadap ketentuan hasil penafsiran al-Qur’ân?

Dan apakah perubahan situasi sosial tersebut juga dapat merubah

ketentuan-ketentuan (hukum) dalam perkawinan lintas agama?

8. Setiap perbuatan manusia pasti menimbulkan konsekuensi dan akibat-akibat

tertentu. Apa saja akibat yang akan muncul dari perkawinan lintas agama, baik

akibat secara indifidu maupun sosial?

II. Batasan dan Rumusan Masalah

Dalam tesis ini, fokus pembahasan akan dibatasi pada pengkajian terhadap

upaya penafsiran yang berkembang selama ini, tentang perkawinan lintas agama;

bagi umat Islam. Dalam hal ini, penulis berusaha melakukan pemetaan pendapat

13

dan teori-teori penafsiran tentang ayat-ayat al-Qur’ân, berkaitan dengan tema tesis

ini, yang selama ini masih menjadi perdebatan. Dan selanjutnya melakukan kajian

ulang terhadap permasalahan tersebut dengan metode serta pendekatan yang telah

penulis tentukan.

Atas dasar pembatasan tersebut, dapat dirumuskan beberapa masalah

sebagai berikut:

1. Di dalam memahami

nass

yang sama (teks-teks al-Qur’ân tentang perkawinan

lintas agama), mengapa terjadi banyak perbedaan pendapat, dan faktor-faktor

apa saja yang melatar belakangi munculnya perbedaan pendapat tersebut?

13

Maksud “Pemetaan Pendapat” di sini, sama seperti pada penjelasan footnote

(21)

2. Adakah korelasi antara situasi sosial dengan ketentuan hukum (perkawinan

lintas agama) dalam Islam, dan bagaimana akibatnya?

3. Apakah “kajian tafsir tematik; sosio historis” ini dapat mempertemukan, atau

setidaknya memetakan perbedaan pendapat tentang perkawinan lintas agama

bagi umat Islam?

C. Tinjauan Pustaka

Sebelum melakukan penelitian lebih lanjut, sebagaimana lazimnya,

seorang peneliti terlebih dahulu harus melakukan tinjauan serta kajian atas

data-data kepustakaan yang sedikit banyak telah membahas materi yang akan

ditelitinya. Dalam hal ini, kami telah melakukan kajian terhadap banyak literatur,

dan kami temukan bahwa, beberapa peneliti telah melakukan pembahasan dan

kajian tentang perkawinan lintas agama. Pembahasan yang mereka lakukan sangat

beragam, baik dari segi pendekatan maupun penyajiannya. Namun, sebagian besar

dari mereka menggunakan kajian literatur.

Di antara beberapa karya yang telah tersebar, literatur tafsir menempati

urutan tertinggi, karena di setiap karya tafsir, baik klasik seperti

Jâmi' al-Bayân

'an Ta'wîl Âyi al-Qur’ân

karya al-Tabarî, maupun kontemporer seperti tafsir

al-Misbâh, pesan kesan dan keserasian al-Qur’ân

karya M. Quraish Shihab, pasti

akan ditemukan penjelasan tentang QS. 2: 221, 5: 5, 60: 10 dan 11, yang

kesemuanya membahas tentang perkawinan lintas agama antara orang Islam

dengan non muslim.

14

Namun, ayat-ayat tersebut dijelaskan sesuai dengan urutannya dalam surat

masing-masing, karena pada umumnya karya-karya tafsir tersebut menggunakan

metode

tahlîlî

, yakni memberi penjelasan ayat demi ayat secara mendalam tanpa

memperhatikan adanya pertautan ayat tersebut dengan ayat-ayat serupa serta

aspek-aspek lainnya, sebagaimana dilakukan dalam kajian tafsir secara

maudû’î.

Oleh karenanya, dalam metode

tahlîlî

, pembahasan ayat-ayat berbeda namun

masih dalam tema yang sama kurang begitu mendapat perhatian.

14

(22)

Hal ini sangat berbeda dengan tafsir

maudû’î

yang mendasarkan kajiannya

atas ayat-ayat al-Qur’ân berdasarkan topik tertentu, sehingga ayat-ayat yang

memuat topik tersebut akan dibahas dalam sebuah pembahasan yang menyatu.

Dengan demikian, tidak akan ada ungkapan bahwa telah terjadi kontradiksi pada

sebagian ayat-ayat al-Qur’ân, karena ayat-ayat tersebut telah dibahas berdasarkan

tema yang menyatukannya.

Di samping karya-karya tafsir

tahlîlî,

pembahasan tentang perkawinan

beda agama juga kami temukan dalam beberapa karya tulis dengan judul, sebagai

berikut:

1.

Kontekstualitas al-Qur’ân

,

kajian tematik atas ayat-ayat hukum dalam

al-Qur’ân,

karya Umar Shihab, Cet: III, Jakarta: Penamadani, 2003, hal.

321-326. Karya ini merupakan wacana atas tafsir

maudû'î,

karena di dalamnya,

penulis berusaha mengkompromikan beberapa ayat tentang perkawinan beda

agama sebagaimana kami sebutkan sebelumnya. Namun, kami melihat belum

adanya kejelasan metode

maudû’î

yang dipakai, karena didalamnya, penulis

hanya menunjukkan hasil tanpa adanya gambaran proses kerja tafsirnya. Di

samping itu, penulis juga melakukan pemilihan pendapat-pendapat ulama

tanpa menunjukkan proses analisis yang menjadi dasar pemilihan pendapat

tersebut.

15

2.

Tafsir Ulang Perkawinan Lintas Agama Perspektif Perempuan dan

Pluralisme

, ed. Maria Ulfa Anshor dan Martin Lukito Sinaga, Cet. I, Jakarta:

Kapal Perempuan, 2004. Buku ini merupakan kumpulan makalah yang ditulis

oleh beberapa penulis yang giat menyuarakan kesetaraan gender dan

pluralisme, khususnya di Indonesia; termasuk Siti Musdah Mulia dan M.

Zainun Kamal. Di dalamnya berisi banyak pembahasan tentang perkawinan

lintas agama, yang di awali dengan pemaparan beberapa pengalaman dari para

pelaku perkawinan tersebut. Kemudian dilanjutkan dengan pandangan agama

(Islam, Katolik dan Protestan) disusul ketentuan aturan perundang-undangan

yang berlaku di Indonesia, dan diakhiri dengan upaya pengkajian ulang

15

(23)

tentang hal tersebut dari sudut Islam dan Kristen. Dan, oleh karena orientasi

penulisan buku tersebut ditujukan untuk mendukung pluralisme agama, maka

tidak heran jika kebanyakan para penulisnya banyak menggugat pemahaman

dan penafsiran yang berkembang selama ini, dan menyebutnya sebagai

ketidakadilan serta bertentangan dengan HAM. Sehingga pada umumnya

mereka mengambil dan menguatkan pendapat-pendapat yang mendukung misi

tersebut (walaupun lemah), dengan tidak memberi porsi yang cukup pada

pendapat-pendapat sebaliknya. Dengan demikian, penulis memandang bahwa

buku tersebut kurang dapat memberikan informasi yang cukup tentang

perdebatan yang terjadi. Di samping itu, pembahasannya (dari sudut Islam)

tidak menyeluruh sebagaimana dilakukan dalam tafsir tematik.

16

3.

Ahl al-Kitâb

,

makna dan cakupannya,

karya M. Ghalib M., Cet. I, Jakarta:

Paramadina, 1998, hal. 167-176. Karya tulis ini diangkat dari Disertasi

penulisnya di Pascasarjana UIN Syarif Hidayatulah Jakarta. Secara khusus ia

membuat sub pembahasan (perkawinan dengan

ahl al-kitâb

). Pembahasan

yang dilakukannya sangat mendalam.

17

Namun dalam hal perkawinan lintas

agama, ia banyak mengambil pendapat ulama kemudian menganalisanya, dan

bukannya menempuh jalan tafsir

maudû’î.

Sehingga, beragam pendapat ulama

begitu mewarnai tulisannya. Sedangkan keutuhan pembahasan ayat-ayat

al-Qur’ân secara tematik tidak tampak di sana.

18

4.

Himpunan Keputusan dan Fatwa Majelis Ulama Indonesia,

oleh Majelis

Ulama Indonesia, (Jakarta: Sekretariat Majelis Ulama Indonesia Masjid

Istiqlal, 1995). Terutama pada halaman 91, yang secara khusus memuat Fatwa

16

Selengkapnya lihat: Maria Ulfa Anshor dan Martin Lukito Sinaga (ed), Tafsir Ulang Perkawinan Lintas Agama Perspektif Perempuan dan Pluralisme, Cet. I, (Jakarta: Kapal Perempuan, 2004)

17

Ia menampilkan banyak pendapat ulama tentang boleh dan tidaknya melakukan perkawinan lintas agama, sehingga diskusi bergaya klasikpun berjalan. Namun, ia tidak secara tegas melakukan tarjîh atasnya. Hanya saja di akhir pembahasannya ia merekomendasikan bahwa, perkawinan dengan non muslim (ahl al-kitâb) yang terdapat dalam al-Qur’ân hanyalah suatu kebolehan, bukan anjuran, apalagi perintah. Artinya, umat Islam diberi kelonggaran untuk memberikan pilihannya. Dan yang terpenting adalah tujuan utama perkawinan menurut syari'at, yaitu tercapainya keluarga sakînah. Karena itu, ia menyatakan bahwa, sebenarnya perkawinan yang ideal dan lebih aman adalah perkawinan dengan orang seagama.

18

(24)

MUI yang dikeluarkan pada tanggal 1 Juni 1980, tentang haramnya

melakukan perkawinan dengan non muslim dari golongan manapun.

19

Menurut penulis, fatwa tersebut tentunya lahir dari suatu latar belakang, masa,

dan situasi tertentu, yang mungkin akan sangat berbeda jika dikeluarkan pada

latar belakang, masa, dan situasi yang lain. Di samping itu, tidak diketahui

dengan jelas proses lahirnya fatwa dimaksud, dan apakah fatwa tersebut sudah

melalui uji materi atau belum, termasuk kesesuaiannya dengan

nas syar’î

.

5.

Mixing Love and Faith: A Jewish Perspective

, Journal of the Association of

InterChurch

Families,

http://interchurchfamilies.org/searchangine.shtm,

tentang pernyataan Rabbi Dr. Jonathan Romain (seorang pendeta utama gereja

Yahudi, yang terlibat dalam menangani perkawinan Yahudi-Kristen), dalam

sebuah pertemuan (

spring meeting

) pada

Association of InterChurch Families

di kampus Heythrop, London, Maret 1998. Dia banyak berbicara tentang

perkawinan beda keyakinan (dari beberapa kasus yang dijumpainya), ternyata

dapat berjalan dengan baik dan harmonis. Dan menurutnya, sikap sebagian

komunitas (Yahudi) yang melarang bentuk perkawinan tersebut, tidak lain,

karena adanya tendensi tertentu.

20

Bagi penulis, pernyataan di atas hanya

berlandaskan fakta sosial, dan sama sekali tidak melihat aturan-aturan dalam

kitab suci kedua agama tersebut. Sedangkan, dalam setiap ajaran agama

tentunya terdapat aturan-aturan yang seharusnya dipatuhi, termasuk dalam hal

perkawinan. Demikian juga dengan umat Islam, yang selalu terikat dengan

19Selengkapnya adalah: (1) Pernikahan muslimah dengan laki-laki non muslim adalah

haram hukumnya, (2) Seorang laki-laki muslim di haramkan mengawini wanita bukan muslim, (3) Tentang pernikahan antara laki-laki muslim dan wanita ahl al-kitâb terdapat perbedaan pendapat. Setelah mempertimbangkan bahwa mafsadat-nya lebih besar dari pada maslahah-nya, Majelis Ulama Indonesia menfatwakan pernikahan tersebut hukumnya haram.

20

(25)

ajaran agamanya. Sehingga, tidaklah cukup untuk membicarakan perkawinan

lintas agama hanya dari satu sudut (sosial) saja, dengan mengesampingkan

beberapa faktor dominan lainnya, termasuk aturan agama, serta pemahaman

umum para pemeluknya (

al-sawâd al-a’zam

).

6.

Christian-Muslim Marriages

, Journal of the Association of InterChurch

Families (http://interchurchfamilies.org/Journal/98su15.shtm), yang memuat

pernyataan Gé Speelman, juru bicara Universitas Utrech; dalam pertemuan

gereja di Eropa, tahun 1997. Sebagai seorang Kristiani, ia mengaku telah

melakukan dialog dengan orang-orang Islam dalam waktu yang tidak singkat.

Dan ia pun memperhatikan serta memantau para pelaku perkawinan beda

keyakinan, terutama antara orang Islam dengan Kristiani. Dengan mengusung

sebuah pertanyaan besar; “

How can we recognise the other as really other?

”,

ia menyatakan bahwa tidak mudah menjalin hubungan keluarga beda

keyakinan, jika tidak dilandasi kesadaran tentang keberadaan masing-masing

dan sikap saling menghormati di antara mereka, serta harus ada keberanian

untuk memperjuangkannya.

21

Ia juga mencoba merujuk kepada Bible. Namun

dalam kajian (perkawinan lintas agama) ini, kami akan menilainya dari sudut

Islam (tafsir tematik). Sehingga, apa yang disampaikan Gé Speelman, tidak

lebih, akan dijadikan sebagai pembanding dari sudut yang lain.

7.

Couples

Overcome

Obstacles

Accompanying

Interfaith

marriages

,

(http://www.thealabamabaptist.org/ip_templete.asp?upid=7020g/ip_templete.a

21

Ia juga menyebutkan 4 strategi yang dikatakannya dapat mengatasi masalah dalam perkawinan beda keyakinan, yang disebutnya dengan: annexation, yielding, ignoring, dan

negotiating. Adapun penjelasan selengkapnya adalah sebagai berikut: (1-2) Annexation and yielding are complementary. When one partner hold particularly strong religious convictions, he or she tries to convert the partner to (his/her) faith and way of life. The other may respond by attempting to annexe her/his partner in turn, or by gradually yielding to all the demands. (3)

(26)

sp). Oleh Anthony Wade, yang merupakan sebuah kumpulan pengalaman dari

para pelaku perkawinan lintas agama, serta pendapat para tokoh agama

(Yahudi-Kristen) berkenaan dengan liku-liku kehidupan mereka dalam

menghadapi perbedaan dari masing-masing agama yang dianutnya.

22

Menurut

Rabbi Jonathan Romain, populasi pelaku perkawinan beda agama terus

meningkat. Ia mengindikasikan bahwa, satu dari tiga orang Yahudi yang lahir

tahun 50-an dan 60-an menikah dengan orang di luar Yahudi. Sedangkan

menurut Michael Lawler; seorang direktur

the Center for Marriage and

Family

di Craighton University, Omaha-Nebraska, ia mengindikasikan bahwa

terdapat 60 % pelaku perkawinan beda agama yang mampu mempertahankan

perkawinan. Sedangkan 40 % lainnya lebih memilih untuk bercerai. Dengan

demikian, dapat dikatakan bahwa angka perceraian sangatlah tinggi, kendati

lebih kecil jika dibandingkan dengan pasangan yang mampu mempertahankan

perkawinan mereka.

8.

Interfaith is Difficult for Children

, dari penulis yang sama; Anthony Wade.

(http://www.thealabamabaptist.org/ip_templete.asp?upid=7020g/ip_templete.a

sp). Ia menyebutkan bahwa, “

Children of parents who embrace different faiths

can find enrichment amid the diversity or become so confused that they

eventually drop out of religious life

”. Ia juga mengutip pernyataan Rabbi

Jonathan Romain (berdasarkan penelitiannya pada

the Association of

InterChurch Families

), bahwasannya anak-anak yang hidup dalam keluarga

dengan dua keyakinan yang berbeda, biasanya cenderung mengikuti salah satu

orang tua yang lebih kuat dalam memegang keyakinannya.

23

Beberapa hal ini,

22

Download; kamis, 6 maret 2008. Di antara beberapa pelaku perkawinan beda keyakinan yang disebutkan adalah: Rabbi Eric Tokejar (Yahudi)-Pamela Tokejar (Kristen), dan Rudnich-Karen.

23

(27)

menunjukkan bahwa (pada situasi tertentu), anak merupakan salah satu pihak

yang sangat dirugikan oleh perbedaan keyakinan kedua orang tua mereka.

9.

Perkawinan Beda Agama

,

kesaksian, argumen keagamaan, dan Analisis

Kebijakan,

oleh A. Baso, dan A. Nur Khalis, (ed), 2005, yang merupakan hasil

penelitian atas kerjasama antara komnas HAM dengan ICRP (Indonesian

Conference on Religion and Peace), Cet. I, Jakarta: Komnas HAM. Penelitian

ini mencoba untuk menggali data dari berbagai sumber terutama para subyek

hukumnya; yakni para pelaku perkawinan tersebut, aturan-aturan agama, para

tokoh agama, serta peraturan perundang-undangan yang berlaku, untuk

kemudian menganalisanya dengan beberapa perangkat analisis terutama secara

yuridis-sosiologis.

24

Penelitian ini dipenuhi dengan argumen-argumen hak

asasi manusia (HAM) dalam tinjauan sosial-kemasyarakatan, serta kajian atas

pemberlakuan hukum nasional, dan sama sekali tidak kami temukan

pembahasan (secara tuntas) dari sumber-sumber peraturan agama (khususnya

Islam), selain hanya cuplikan-cuplikan kecil yang dapat mendukung

argumentasi mereka. Sehingga, apa yang diperoleh belum dapat dikatakan

sebagai hasil suatu penelitian yang komprehenship dan mendalam.

10.

Pernikahan Lintas Agama Dalam Perspektif Fiqh dan kompilasi hukum Islam

.

Karya H. A. Basiq Djalil, Jakarta, 2003. karya ini ketika kami temukan masih

dalam bentuk "Tesis" yang diajukan untuk memperoleh gelar Magister di

Pascasarjana UIN syarif Hidayatullah Jakarta. Dalam karya ini, penulis

banyak memaparkan tentang pernikahan lintas agama dari tiga sudut, yakni:

para ahli agama secara umum, para ahli fikih (

fuqahâ

), dan Kompilasi Hukum

Islam (KHI). Dengan demikian, kesimpulan yang didapatkan masih bersifat

debatable

, karena komparasi yang dilakukan berdasarkan beberapa sudut

pandang yang berbeda, walaupun pada akhirnya penulis melakukan tarjîh

tuanya). Kelak mereka jika sudah dewasa juga akan menikah dengan pasangan yang berbeda tradisi pula, sehingga mereka dapat mengembangkan jaringan gereja-gereja.

24

(28)

dengan cara menghadirkan unsur-unsur lain di luar perdebatan tersebut,

seperti tentang akibat-akibat yang akan muncul jika dilakukan perkawinan

beda agama tersebut. Dengan demikian, hasil yang diperoleh dari penelitian

tersebut kiranya belum menjawab permasalahan umum yang sedang

diperdebatkan.

25

11.

Nikah Beda Agama dalam al-Qur’ân dan Hadîts,

karya Ali Mustafa Ya’qub,

Cet. I, Jakarta: Pustaka Firdaus, 2005. Di dalam buku ini, penulis memaparkan

secara singkat tema dimaksud. Kendati secara jelas disebutkan bahwa

pembahasannya diambilkan dari al-Qur’ân dan H

adîts, namun penulis banyak

mengutip pendapat-pendapat yang dikatakannya sebagai ijmak para ulama,

sehingga hasil yang dicapai pun banyak yang merupakan koleksi pendapat

para tokoh klasik. Dengan demikian, tidak dapat diketahui secara jelas, apakah

hasil yang dicapai benar-benar dari al-Qur’ân dan hadîts, ataukah sudah

merupakan hasil ijtihad dari para tokoh tersebut. Di samping itu, penulis tidak

melihat karya tersebut sebagai produk tafsir

maudû’î

.

26

Di samping itu, juga terdapat buku karya Zuhairi Misrawi,

al-Qur’ân

Kitab Toleransi, Inklusivisme, Pluralisme dan Multikulturalisme.

Namun dalam

bukunya tersebut, masalah perkawinan lintas agama tidak banyak disinggung,

selain hanya penjelasan tentang posisi Q.S. 5: 5, yang dapat dianggap sebagai

nâsikh

atau

mukhassis

bagi Q.S. 2: 221 dan 60: 10. Hal ini, menurutnya,

menunjukkan bukti adanya ajaran toleransi di dalam al-Qur’ân.

27

Demikianlah,

beberapa literatur yang dapat penulis temukan berkenaan dengan pembahasan

Tesis ini. Beberapa karya tulis tersebut, menurut penulis, belum dapat melakukan

pemetaan pendapat

28

dan teori-teori penafsiran tentang ayat-ayat perkawinan

25

A. Basiq Djalil, Pernikahan Lintas Agama Dalam Perspektif Fiqh dan kompilasi hukum Islam (Tesis), (Jakarta, 2003).

26

Ali Mustafa Ya’qub, Nikah Beda Agama dalam al-Qur’ân dan Hadîts, Cet. I, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2005).

27

Lihat: Zuhairi Misrawi, al-Qur’ân Kitab Toleransi, Inklusivisme, Pluralisme dan Multikulturalisme, Cet. I, (Jakarta: Penerbit Fitrah, 2007), h. 212-213.

28Maksud “Pemetaan Pendapat” di sini, bukanlah sekedar melakukan klasifikasi atas

(29)

lintas agama, sekaligus menjawab perdebatan berkenaan dengan tema dimaksud,

karena pendekatan yang dipakai belum dapat menyelesaikannya.

Oleh karena itu, untuk melengkapi kekosongan yang ada tersebut, penulis

bermaksud menghadirkan tema yang sama, namun dengan pendekatan yang

berbeda, yakni dengan menggunakan pendekatan tematik/

maudû’î

; sosio-historis.

karena dengan pendekatan ini

,

kita akan dapat mendapatkan penjelasan secara

utuh dari al-Qur’ân, dengan tidak melupakan unsur-unsur historisnya. Di samping

itu, dengan kajian tematik, perselisihan pendapat akan dapat dihindari, atau

setidaknya diminimalisir, karena memang kajiannya komprehenship dan langsung

dari sumber utamanya, al-Qur’ân.

D. Tujuan Penelitian

Adapun tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui dan

mendeskripsikan beberapa hal sebagai berikut:

1. Berbagai alasan dan faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya banyak

perbedaan pendapat perihal perkawinan lintas agama.

2. Ada-tidaknya korelasi antara situasi sosial dengan ketentuan hukum

(perkawinan lintas agama) dalam Islam, serta akibat-akibat yang akan muncul

darinya.

3. Dapat-tidaknya “kajian tafsir tematik; sosio historis” ini mempertemukan, atau

setidaknya memetakan perbedaan pendapat tentang perkawinan lintas agama

bagi umat Islâm.

E. Manfaat/signifikansi Penelitian

Adapun manfaat serta kegunaan penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Secara Teoritis

Sebagai upaya untuk memperkaya khazanah ilmu pengetahuan, khususnya

dalam bidang tafsir, dan hukum Islam yang secara langsung diambil dari sumber

utamanya (al-Qur’ân). Tidak dapat dipungkiri bahwa, selama ini masih terjadi

perbedaan persepsi, bahkan pertentangan pendapat tentang perkawinan lintas

agama bagi umat Islam, yang salah satu penyebabnya adalah belum adanya upaya

(30)

samping itu juga, penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan penelitian

lanjutan.

2. Secara Praktis

Sebagai salah satu usaha untuk mengetahui status perkawinan lintas

agama, serta beberapa implikasi hukum lainnya. Dengan demikian, hasil

penelitian ini dapat bermanfaat untuk menghilangkan atau paling tidak

meminimalisir perbedaan pendapat seputar perkawinan lintas agama bagi umat

Islam. Sehingga, mereka dapat melaksanakan kehidupan beragama dengan tenang,

karena adanya kejelasan hukum perkara dimaksud.

F. Metode Penelitian

1. Sifat dan Jenis Penelitian

Jenis Penelitian kualitatif ini masuk dalam kategori

library research

. Oleh

karenanya, peneliti berusaha menemukan kesimpulan dari penelitian ini, dengan

melakukan pengkajian secara mendalam terhadap sumber-sumber data penelitian,

baik primer maupun sekender.

2. Pendekatan penelitian

Dalam penelitian ini, penulis menggunakan pendekatan tematik atau

maudû’î,

yakni salah satu bentuk pendekatan dalam tafsir al-Qur’ân dan lazim

disebut dengan istilah "

tafsîr maudû’î

". Pendekatan

tafsîr maudû’î

adalah suatu

pendekatan dengan metode menghimpun ayat-ayat al-Qur’ân yang terkait dengan

satu tema dalam rangka menjelaskan makna, menghubungkan dan menyingkap

tujuan yang dimaksud oleh keseluruhan ayat-ayat tersebut, yang dibahas.

29

Pendekatan ini merupakan kolaborasi dari beberapa pendekatan, termasuk

di dalamnya; pendekatan kebahasaan dan historis. Karena di dalam cara kerjanya,

tafsir

maudû’î

menggunakan beberapa tahapan sebagai berikut:

a. Menentukan topik yang akan dibahas;

b. Menghimpun ayat-ayat yang berkaitan dengan masalah tersebut;

c. Menyusun runtutan ayat sesuai dengan masa turunnya disertai dengan

pengetahuan tentang

asbâb al-nuzûl-

nya;

29

(31)

d. Memahami korelasi ayat-ayat tersebut dalam surahnya masing-masing;

e. Menyusun pembahasan dalam kerangka yang sempurna (

out line

);

f. Melengkapi pembahasan dengan hadîts-hadîts yang relevan dengan pokok

bahasan;

g. Mempelajari ayat-ayat tersebut secara keseluruhan; dengan mengompromikan

antara yang '

âmm

dengan yang

khâs,

antara

mutlaq

dengan

muqayyad

atau

yang pada lahirnya bertentangan, sehingga kesemuanya bertemu dalam satu

muara, tanpa perbedaan ataupun pemaksaan.

30

Dengan demikian dalam tafsir

maudû’î,

ayat-ayat al-Qur’ân diteliti dari

seluruh seginya, dan dikaji secara sistematis, bulat, utuh, holistik, dan terpadu

dalam suatu tema tertentu, serta berusaha memahami, dan menyimpulkannya

secara induktif dalam suatu kesimpulan yang utuh dan komprehensip. Cara ini

memberikan kemungkinan bagi peneliti/penafsir untuk tidak mencampur

adukkannya dengan persoalan-persoalan lain yang bukan temanya.

Dalam kerja tafsir

maudû’î,

pengetahuan tentang sejarah dan perilaku

masyarakatnya, terutama yang berhubungan dengan turunnya suatu ayat tertentu,

sedikit banyak dapat diketahui dari

asbâb al-nuzûl

ayat-ayat tersebut. Namun,

yang menjadi permasalahan adalah; tidak semua ayat mempunyai

sabab al-nuzûl

,

demikian juga sebagian besar riwayat tentang

asbâb al-nuzûl

tidak selalu dapat

menggambarkan (dengan jelas) situasi sosial pada masa turunnya suatu ayat

tertentu. Atas beberapa pertimbangan inilah, penulis ingin memberi porsi yang

lebih besar terhadap pengetahuan tentang sejarah sosial pada saat turunnya

ayat-ayat dimaksud (yakni tentang perkawinan lintas agama)

31

. Hal ini, semata-mata

untuk memberikan gambaran yang lebih jelas tentang situasi sosial; di mana, dan

pada situasi bagaimana ayat-ayat tersebut turun, yang tentunya semua itu

30

Abd al-Hayyi al-Farmawî, al-Bidâyah fi al-Tafsîr al-Maudû’î, Cet. II, (Mesir: al-Hadârah al-'Arabiyah, 1977), h. 62

31

(32)

dimaksudkan untuk memberikan kemudahan di dalam usaha melakukan analisis

dalam tesis ini.

3. Sumber Data Penelitian

Sumber data yang hendak dikaji dalam penelitian ini, terdiri dari:

a. Sumber data primer

Sebagaimana yang telah penulis jelaskan, bahwa penelitian ini

menggunakan pendekatan tematik/

tafsir maudû’î

. Maka, data primer yang

digunakan oleh penulis adalah ayat-ayat al-Qur’ân.

b. Sumber data sekender

Data sekender yang di perlukan dalam penelitian ini, meliputi: (1)

Kitab-kitab tafsir al-Qur’ân, (2) teks-teks hadits, (3) Kitab-kitab-Kitab-kitab pendukung yang secara

langsung berhubungan dengan pemahaman al-Qur’ân, maupun hadits, seperti

‘Ulûm al-Qur’ân, ‘Ulûm al-hadîts

, dan lain-lain; dan juga (4) buku-buku

keislaman dan umum lainnya, yang masih mempunyai relevansi dengan

pembahasan ini.

4. Teknik Pengumpulan Data

Dalam pengumpulan data, peneliti menggunakan cara dokumentasi

(

documentation

). Kata "dokumen" yang berarti barang-barang tertulis,

menunjukkan bahwa, di dalam melaksanakan metode ini, peneliti menyelidiki

benda-benda tertulis, baik primer maupun sekender. Sedangkan, secara terperinci

telah disebutkan pada cara kerja tafsir

maudû’î

.

32

5. Analisa Data

Analisa data merupakan tindak lanjut dari kegiatan sebelumya

(pengumpulan data, dll). Dalam hal ini, "data mentah yang telah dikumpulkan

perlu dipecah-pecah dalam kelompok-kelompok, diadakan kategorisasi, serta

32

Referensi

Dokumen terkait

bahwa dalam rangka pelaksanaan pemungutan Pajak Mineral Bukan Logam Dan Batuan di Kabupaten Buru serta sebagai pelaksanaan ketentuan Pasal 95 ayat (1) Undang-Undang Nomor

Dengan ditetapkannya Undang-undang No. 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah, yang didukung dengan Peraturan Pemerintah No.25 Tahun

Sedangkan yang termasuk dalam produk tidak nyata dalam travel agent adalah : (1) pelayanan dari travel agent yang diberikan kepada konsumen yang membeli tiket pesawat (2)

Efisiensi operasional saluran tataniaga karet melalui pasar lelang di perdesaan lebih tinggi dibandingkan dengan saluran tataniaga karet tradisional (perantara para

da’i, materi dakwah, strategi dakwah, metode dakwah dan media dakwah. Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif daskriptif, dengan mengambil latar Di Kelurahan Kota

bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud pada huruf a dan huruf b, perlu menetapkan Peraturan Bupati tentang Tata Cara Pemberian dan Pemanfaatan

[r]

Struktur Organisasi Dinas Pekerjaan Umum Kabupaten Bulungan KEPALA DINAS JABATAN FUNGSIONAL SEKRETARIAT SUB BAGIAN PROGRAM DAN KEUANGAN SUB BAGIAN UMUM DAN KEPEGAWAIAN