BAB II: PERKAWINAN LINTAS AGAMA DALAM PERKEMBANGAN
C. Reinterpretasi Wacana Perkawinan Lintas Agama,
Modern/Kontemporer
1421. Muhammad Abduh dan Rasyîd Ridâ: Tafsîr al-Qur’ân al-Hakîm
“al-Manâr”.
M. Abduh dan Rasyîd Ridâ tidaklah asing di dunia akademis, baik Barat
maupun Timur. Keduanya sangat serius memerangi taqlid sekaligus menggiatkan
ijtihad umat Islam, di era modern Barat. Oleh karenanya, beberapa tokoh
menyebut Abduh sebagai “arsitek modernisme Islam”, kendati beberapa
pemikirannya tidak serta merta dapat diterima oleh kalangan tertentu. Usaha yang
dilakukannya tersebut berangkat dari keprihatinan yang sangat mendalam akan
fakta, bahwa umat Islam, dalam beberapa hal tertentu, sangat tertinggal dari non
muslim. Dan menurutnya, untuk mengejar ketertinggalan tersebut mereka harus
kembali pada al-Qur’ân-Hadîts; tentunya dengan jalan ijtihad atas berbagai
masalah kontemporer yang terus bermunculan.
143142
Tafsir modern dalam hal ini, diartikan sebagai tafsir yang lahir pada masa modernisasi di Barat, yang kemudian disusul dengan kesadaran dunia Islam (Timur) akan ketertinggalan mereka. Periode ini diawali dengan lahirnya tafsir al-Manâr; karya Muhammad Abduh dan M. Rasyîd Ridâ, berlanjut sampai sekarang. Oleh karenanya, dalam kelompok ini penulis menyambung kata “modern” dengan “kontemporer”, karena sangat dekatnya kedua sama tersebut. Dalam kelompok ini, penulis hanya mengambil tiga karya tafsir yang menurut penulis, merupakan representasi, serta mewakili perdebatan-perdebatan pada masa sebelumnya. Tiga tafsir tersebut ialah, (1) al-Manar; karya M. Abduh dan M. Rasyîd Ridâ, (2) Fî Zilâl al-Qur’ân; karya Sayyid Qutub, (3) Tafsir al-Misbah; pesan, kesan dan keserasian al-Qur’ân; karya M. Quraish Syihab.
143
Di mata Abduh, lapangan ijtihad sebenarnya ditujukan pada masalah-masalah mu’amalah yang ayat-ayatnya bersifat umum. Hukum-hukum kemasyarakatan inilah yang perlu disesuaikan dengan perkembangan zaman. Adapun soal ibadah, ia tak menghendaki penyesuaian dengan perkembangan zaman. Karena itu menurutnya, ibadah bukanlah lapangan ijtihad untuk zaman modern ini. Di sisi lain, ia berpendapat bahwa taqlid kepada ulama lama tak perlu dipertahankan, bahkan harus diperangi. Karena taqlid inilah yang menyebabkan umat Islam berada dalam kemunduran. Selengkapnya lihat: Didin Saefuddin, Pemikiran Modern dan Postmodern
Islam, Biografi Intelektual tujuh belas tokoh, (Jakarta: Grasindo, 2003), h. 19, 24. Lihat juga:
‘Abdullâh Mahmûd Sahh âtah,Manhaj al-Imâm Muhammad Abduh, (Kairo: Universitas Kairo, tt), h. 53, 133. Bandingkan dengan: Rif’at Syauki Nawawi, Rasionalitas Tafsir Muhammad Abduh
Usaha tersebut diwujudkannya dengan berbagai cara, termasuk melalui
mass media, dan dari sinilah tafsir al-Manâr lahir.
144Sebagai materi mass media,
yang kemudian menjadi tafsir al-Qur’ân secara utuh, al-Manâr membutuhkan
waktu yang relatif panjang, bahkan sampai dua generasi guru-murid (yakni
penulisannya dimulai sejak Muhammad Abduh, yang kemudian diteruskan dan
disempurnakan muridnya, Rasyîd Ridâ).
145Dengan demikian, tidak heran jika
gaya bahasa dalam tafsir al-Manâr mudah dimengerti, di samping juga memuat
berbagai informasi penting.
146Sebagai karya tafsir yang lahir pada masa kebangkitan Islam modern,
al-Manâr mengangkat isu-isu kontemporer dan mencoba membahasnya dengan cara
merunut pendapat-pendapat terdahulu yang berkaitan dengan berbagai
permasalahan, menjelaskan perbedaan, beberapa kelebihan serta kelemahan di
dalamnya. Lalu disusul dengan upaya pengkajian ulang permasalahan tersebut
dengan memperhatikan isu-isu kontemporer pada saat itu, berdasarkan
pembahasan masing-masing ayat. Beberapa ayat dibedakan dalam beberapa
kelompok dengan mengorelasikan, baik antara ayat-ayat dalam satu kelompok,
144
Majalah al-Manâr terbit perdana pada 17 Maret 1898, dengan 8 halaman pada setiap edisinya. Kendati demikian, ia mampu menembus beberapa kawasan (termasuk Indonesia), bahkan terkenal di Eropa. Lihat: M. Quraish Shihab, Rasionalitas al-Qur’ân, studi kritis atas tafsir al
Manar, Cet. I, (Jakarta: Lentera Hati, 2006), h. 78
145
M. Rasyîd Ridâ lahir di Qalmun, 40 km dari Tripoli, Libanon. Ia terlahir (pada tanggal 27 Jumadil Awwal 1282 H) dan tumbuh dalam lingkungan keluarga agamis. Dan berawal dari majalah al-‘Urwah al-Wutsqâ yang di terbitkan oleh Jamâl al-Dîn al-Afganî dan M. Abduh di Paris, yang menyebar ke penjuru dunia Islam, termasuk daerah tempat tinggalnya, membuat pemuda sufi ini berubah sikapnya menjadi pemuda yang penuh semangat. Pertemuannya dengan Abduh pertama kali ialah pada saat Abduh mengunjungi temannya; Syekh Abdullâh al-Barakah di Tripoli tahun 1885. Disusul pertemuan ke-2, tahun 1894. Dan akhirnya berlanjut pada pertemuan ketiga, yakni saat ia tercatat sebagai mahasiswa al-Azhar (Kairo) sejak 23 Rajab 1315/18 Januari 1898. Lihat: M. Quraish Shihab, Rasionalitas al-Qur’ân, studi kritis atas tafsir al Manâr, h. 73, 77.
146
Abduh menulis tafsir tersebut hanya sampai Q.S. al-Nisâ: 126, karena beliau meninggal. Dan untuk selanjutnya kegiatan tersebut dilanjutkan oleh muridnya M. Rasyîd Rid â. Berdasarkan prinsip yang dipegang bahwa akal mempunyai kebebasan untuk memberi interpretasi kepada wahyu serta melihat kecenderungannya pada pemikiran rasional, dapatlah dikemukakan satu hipotesis bahwa penulis tafsir al-Manâr berpegang pada semangat rasionalitas. Hal ini terbukti, dalam bidang akidah, penafsirannya sarat dengan pemikiran atau wawasan kefilsafatan dan penakwilan yang dinamis, obyektif, ilmiah dan proporsional. Penakwilannya tampak begitu rasional, karena tidak adanya keterikatan akal pada makna-makna hakiki ayat, tetapi bebas memilih makna metamorfosis yang sesuai dengan jiwa ajaran al-Qur’ân dan sunnah Rasulullah saw. Demikian juga, dalam bidang ibadah, ternyata sarat dengan uraian-uraian tentang h ikmah dan pesan-pesan moral yang terkandung dalam syari’at ibadah. Lihat: Didin Saefuddin, Pemikiran
maupun antar kelompok ayat. Dalam hal ini, penjelasannya tentang perkawinan
lintas agama dapat dilihat pada pemaparan Q.S. 2: 221, 5: 5, dan 60: 10.
147Menurutnya, Islam membedakan perlakuan antara musyrikah dan
kitâbiyyah dalam masalah perkawinan, adalah karena beberapa alasan yang sangat
mendasar. Ahl al-kitâb dapat dinikahi seorang muslim, karena dalam beberapa hal
tertentu, terdapat kesamaan dengan orang Islam. Hal ini sangat berbeda dengan
musyrikah yang sama sekali tidak diperbolehkan menjalin hubungan perkawinan
dengan lelaki muslim, karena terdapat jurang pemisah yang terlampau dalam
antara keduanya.
148Kendati dalam membahas beberapa hal pokok, al-Manâr tidak jauh
berbeda dengan kitab-kitab tafsir pada umumnya, namun tampaknya sang penulis
berusaha melakukan analisis berdasarkan perbedaan situasi, waktu dan tempat
diberlakukannya suatu teks (nass al-Qur’ân). Sehingga, menurutnya,
pendapat-pendapat yang melarang perkawinan lelaki ahl al-kitâb dengan wanita muslimah
atas dasar besarnya kekuasaan lelaki dalam keluarga, perlu dikaji ulang, melihat
147
Untuk lebih jelasnya tentang model pembahasan dalam al-Manâr; khususnya berkenaan dengan masalah perkawinan lintas agama. Lihat: M. Rasyîd Rid â,Tafsir Qur’ân
al-Hakim (tafsir al-Manâr), Juz. II, (Beirut: Dâr al-Kutub al-’Ilmiah , tt), h. 279-288, VI/148-181.
148
Perbedaan tersebut terutama dalam hal i’tikad. Bagi seorang musyrikah, tidak ada agama yang melarangnya untuk menghindari perbuatan khiyânah, dan mewajibkannya bersifat
amânah, memerintakan kebaikan, dan mencegah kejelekan. Karena semua perbuatan mereka,
hanya didasarkan pada tabiat serta lingkungan pergaulannya; yang tidak lain adalah khurafât dan prasangka para penyembah berhala serta kesesatan jalan syetan. Oleh karenanya tidak heran jika mereka kelak mengkhianati suami-suami mereka, bahkan merusak akidah keturunannya. Hal ini berbeda dengan ahl al-kitâb yang antara mereka dengan orang Islam, tidak terdapat perbedaan begitu jauh. Karena mereka juga beriman kepada Allâh dan menyembahnya, beriman pada para nabi, kehidupan akhirat dan segala hal yang terkait dengannya termasuk hari pembalasan. Di samping itu, agama yang dianutnya juga menyeru perbuatan baik dan melarang perbuatan buruk. Hanya saja mereka tidak beriman pada kenabian Muh ammad, di samping juga terdapat rekayasa dalam masalah tauhîd, ta’abbud dan tahdzîb oleh para pemuka mereka. Dan orang yang beriman pada kenabian secara umum, tidak menutup kemungkinan akan beriman juga pada kenabian Muhammad, kecuali bagi mereka yang bodoh dan sengaja menutup mata hati dari kebenaran. Oleh karenanya, jika seorang muslim, yang mampu menjalankan syariat agamanya dengan baik dan benar, kemudian menikahi wanita ahl al-kitâb, akan sangat mungkin menjadikan wanita tersebut semakin sempurna keimanannya, benar ke Islamannya, dan mendapatkan pahala berlipat ganda. Namun kemungkinan ini nyaris tidak akan terjadi pada perkawinan wanita muslimah dengan lelaki
ahl al-kitâb, bahkan akan dapat merusak akidah wanita tersebut, karena kekuasaan dalam keluarga
berada di tangan lelaki. Selengkapnya lihat: M. Rasyîd Rid â,Tafsir alQur’ân alHakîm (tafsir al
fakta kontemporer bahwa wanita lebih banyak berperan dalam keluarga termasuk
perihal arah pendidikan anak-anak mereka.
149Di samping itu, al-Manâr mencoba memperluas cakupan ahl al-kitâb
dengan berusaha memasukkan para penganut agama selain Yahudi dan Nasrani
dalam kategori ahl al-kitâb.
150Karenanya menurutnya, term musyrik sebagaimana
ditunjukkan oleh Q.S. 2: 221 hanya diperuntukkan bagi para musyrik (penyembah
berhala) Arab. Sebagaimana hal ini juga merupakan pendapat yang dipilih oleh
al-Tabarî. Di samping itu, dinyatakan pula bahwa pada dasarnya semua penganut
agama yang ada, sampai detik ini adalah ahl al-kitâb. Karena pada setiap umat
pastilah diturunkan seorang Rasul dengan membawa risâlah dan kitab samawî.
Dan karena panjangnya waktu, kemudian terjadi beberapa penyelewengan atas
ajaran serta kitab suci tersebut, sebagaimana hal ini juga terjadi pada agama
Yahudi dan Nasrani.
151Di samping itu al-Manâr juga mempertimbangkan penggunaan kaedah
“asal suatu perkawinan adalah boleh”, yang mana kaedah tersebut merupakan
kebalikan dari kaedah yang telah masyhur dikalangan para ulama lain; yakni
bahwa, “asal suatu perkawinan adalah haram”.
152Kendati demikian, al-Manâr
149
Penulisnya banyak menyoroti tentang beberapa kalangan yang dianggap berlebihan dalam menentukan status hukum perkawinan lintas agama, dengan mengharamkan sesuatu yang jelas-jelas telah dihalalkan berdasarkan nass al-Qur’ân. Adapun pernyataan para ulama tentang halalnya makanan orang Islam bagi ahl al-kitâb, namun para wanita muslimah tidak halal bagi mereka, atas dasar bahwa, kesempurnaan Islam serta toleransinya tidak akan tampak dalam perkawinan tersebut, karena besarnya kekuasaan lelaki atas wanita tersebut, dikatakannya sebagai pendapat orang yang tergesa-gesa, dengan hanya memahami zâhir al-nass belaka dan upaya taqlid terhadap madzhab-madzhab yang ada. Lihat: M. Rasyîd Rid â,Tafsîr al-Qur’ân al-Hakîm (tafsîr
al-Manâr), Juz. VI/152.
150
Hal ini juga dikutip oleh M. Quraish Shihab. Lihat: M. Quraish Syihab, Tafsir
al-Misbah, kesan pesan dan keserasian al-Qur’ân, Vol. III, Cet. I, (Jakarta: Lentera Hati, 2000), h.
28
151
Pendapat tentang perluasan cakupan ahl al-kitâb merupakan pernyataan Abû Mans ûr Abd al-Qâhir ibn T âhir al-Baghdâdî dalam kitab: al-Farq baina al-Firâq yang dinukil dalam
al-Manâr. Dalam hal ini dinyatakan bahwa: ”Orang-orang Majusi mengakui kenabian Zarathustra,
dan turunnya wahyu dari Allâh kepadanya. Sedangkan orang-orang Sabian mengakui kenabian Hermes, Ilyâs, Dauritos, Plato, dan beberapa filosof. Demikian juga umat-umat yang lain, masing-masing mengakui turunnya wahyu dari langit kepada orang-orang yang diakui kenabiannya, dan mereka berkata bahwa, wahyu-wahyu tersebut memuat perintah, larangan, berita tentang siksa maut, pahala, serta surga dan neraka, yang merupakan balasan bagi amal perbuatan yang telah dilakukan”. Lihat: M. Rasyîd Ridâ,Tafsîr al-Qur’ân al-Hakîm (tafsîr al-Manâr), Juz. VI/153.
152
Kaedah sebagaimana dimaksud di atas adalah "al-aslu fî kulli syaiin al-ibah ah hattâ
yarudda al-nass bi hazrihi". Pada saat bersamaan Rasyîd juga menyebutkan kaedah yang masyhur
al-tidak sepakat atas perkawinan yang dilakukan oleh sebagian orang-orang Islam
dengan para wanita ahl al-kitâb; khususnya yang banyak terjadi belakangan ini
antara para lelaki muslim dengan wanita-wanita Eropa. Karena dikhawatirkan
para wanita tersebut dengan pengetahuan serta kecantikannya akan dapat
menjerumus-kan orang-orang Islam yang karena kebodohan serta kelemahan
akhlaknya terpikat oleh mereka. Dan hal ini tentunya akan dapat menimbulkan
fitnah, padahal mencegah kerusakan (sadd al-dzarî’ah) adalah wajib hukumnya
dalam Islam.
1532. Sayyid Qutub:Fî Zilâl al-Qur’ân
Di dalam karya tafsirnya, Sayyid Qutub menempuh metode tahlîlî, namun
dalam penyajiannya, ia membuat kelompok-kelompok ayat yang diduga
mempunyai tertalian satu sama lain. Dan mencoba untuk menyatukan pembahasan
ayat-ayat tersebut dalam kelompoknya masing-masing, kendati ia (seringkali)
tidak tegas menyebutkan adanya tema (pokok) pada kelompok-kelompok ayat
yang ada. Namun, setelah dirasa cukup, iapun mulai melakukan analisis pada
masing-masing ayat itu.
Sebelum menjelaskan Q.S. 2: 221, ia memaparkan banyak tentang tipe
tatanan sosial dalam Islam, yang menurutnya adalah merupakan tata aturan tuhan
yang diperuntukkan bagi manusia. Namun bagaimanapun, tatanan tersebut telah
sesuai dan disesuaikan dengan karakter dasar (fitrah), kebutuhan, serta keberadaan
manusia itu sendiri. Sehingga, menurutnya, tatanan keluarga dalam Islam
hurmah), walaupun pada dasarnya asal segala sesuatu adalah boleh (aslu fi sâir asyâ
al-ibâhah). Jika demikian halnya (pendapat mayoritas ulama), maka harus ada nass yang
menghalalkan suatu perkawinan. Selengkapnya lihat: M. Rasyîd Rid â,Tafsîr al-Qur’ân al-Hakîm
(tafsîr al -Manâr), Juz. VI/157-158.
153
Kekhawatiran tersebut secara tegas diungkapkannya, bahwa: “Dalam tafsir ini, kami benar-benar mengkhawatirkan perkawinan dengan wanita ahl al-kitâb, jika ditakutkan bahwa, wanita tersebut, dengan ilmu dan kecantikannya, akan menarik suami (yang muslim) untuk mengikuti agamanya, karena kebodohan dan lemahnya akhlak suami tersebut. Sebagaimana hal ini telah banyak terjadi pada saat sekarang, di mana beberapa lelaki muslim yang lemah, menikahi wanita ahl al-kitâb dari Eropa ataupun yang lain, dan akhirnya hal itu menjadi sebuah fitnah baginya. Padahal menutup pintu kerusakan adalah wajib hukumnya dalam Islam”. Selengkapnya lihat: M. Rasyîd Ridâ,Tafsîr al-Qur’ân al-Hakîm (tafsîr al -Manâr), Juz. VI/159.
merupakan suatu tatanan yang sesuai dengan tabi’at serta fitrah manusia sebagai
subyek di dalamnya
154Ketika mulai masuk dalam pembahasan ayat-ayat secara umum, ia
memasukkan Q.S. 2: 221 dalam kategori ayat hukum. Dalam hal ini ia
menegaskan bahwa, setiap ketentuan hukum dalam Islam pastilah akan berakibat
buruk, jika dilanggar. Demikian juga dalam hal perkawinan, larangan menjalin
hubungan dengan orang musyrik, akan membawa pada efek negatif yang akan
dirasakan kelak, yakni pengaruh mereka yang akan membawa pada kesengsaraan
akhirat dan panasnya api neraka.
155Menurutnya, dalam perkawinan, harus ada sesuatu yang menyatukan
antara dua hati, dan ikatan yang paling membekas dalam kehidupan manusia,
adalah akidah. Oleh karenanya, diharamkan menikah dengan orang musyrik,
karena pernikahan tersebut tidak dapat menyatukan dua hati dalam ikatan akidah,
dan tidak pula dapat mempertemukan keduanya dalam agama Allâh.
156Namun,
ia juga mengakui bahwa, kendati beda akidah, wanita ahl al-kitâb dapat dinikahi
oleh orang Islam. Karena pokok akidah antara umat Islam dan ahl al-kitâb adalah
sama, dan yang berbeda hanyalah perincian masalah-masalah tasyrî’iyah.
157154
Lebih lanjut, ia menjelaskan bahwa sebenarnya, tata kehidupan manusia itu berawal dari tata aturan umum untuk semua makhluk. Untuk mendukung pernyataan tersebut, ia mengutip beberapa ayat yang menjelaskan tentang kehidupan manusia dan alam semesta yang diciptakan dengan pasangannya masing-masing. Lihat: Q.S. 36: 36, Q.S. 35: 11, Q.S. 39: 6, Q.S. 42: 11 dan Q.S. 43: 12. Setelah itu Sayyid Qutub menjelaskan panjang lebar tentang perkawinan. Lihat: Sayyid Qutub, Fî Zilâl al-Qur’ân, Juz. II, (Beirut: Dâr-Ihyâ al-Kutub al-‘Arabiyyah, tt), h. 169. Ia mendefinisikan perkawinan sebagai suatu hubungan yang paling dalam, paling kuat, dan paling langgeng, yang mengikat antara dua orang dengan kesepakatan-kesepakatan yang berimbang. Lihat: Sayyid Qutub, Fî Zilâl al-Qur’ân, Juz. II/176
155
Lihat: Sayyid Qutub, Fî Zilâl al-Qur’ân, Juz. II/ 172 156
Lebih lanjut ia menegaskan bahwa, Allâh SWT yang telah menjadikan manusia sebagai makhluk yang mulya, dan mengangkatnya di atas derajat hewan, menghendaki pertalian tersebut bukan sebagai kecenderungan hewani, dan juga bukan hanya merupakan tuntutan syahwat belaka. Ia juga menghendaki agar manusia dapat menjalani kehidupannya dengan kemulyaan. Oleh karenanya, jika wanita musyrik tersebut telah keluar dari kesesatannya dan menjadi orang beriman, maka tidak ada lagi larangan untuk menjalin hubungan perkawinan tersebut. Lihat: Sayyid Qutub,Fî Zilâl al-Qur’ân, Juz. II/ 177
157
Lihat: Sayyid Qutub, Fî Zilâl al-Qur’ân, Juz. II/ 178. Namun, secara praktis (dengan berbagai alasan), kebolehan mengawini wanita ahl al-kitâb bisa saja berubah makruh. Sebagaimana alasan yang pernah dilontarkan ‘Umar ra ketika melarang perkawinan H udzaifah dengan wanita Yahudi. Dalam hal ini, ia mengkhawatirkan kemaslahatan para wanita muslimah, karena orang-orang Islam lebih suka mengawini ahl al-kitâb daripada mereka. Lihat: Sayyid Qutub, Fî Zilâl al-Qur’ân, Juz. II/ 179
Kendati demikian, penyelewengan-penyelewengan akidah yang mereka
lakukan tidaklah dapat ditolelir, karena telah memasukkan mereka dalam ketegori
musyrik.
158Dalam hal ini, Sayyid cenderung memilih pendapat Ibn ‘Umar ra
sebagaimana diriwayatkan al-Bukhârî bahwa, penyelewengan yang dilakukan
oleh ahl al-kitâb adalah bentuk syirik terbesar. Di samping itu, ia juga melarang
terjadinya perkawinan antara wanita muslimah dengan lelaki ahl al-kitâb, kendati
tidak melakukan penyelewengan akidah. Karena dalam hal ini, permasalahannya
sangat berbeda dengan perkawinan bentuk pertama, yakni antara lelaki muslim
dengan wanita ahl al-kitâb.
159Dan menurutnya, pada saat ini perkawinan lintas
agama tidaklah baik untuk dilakukan. Karena tidak bisa diingkari bahwa,
istri-istri mereka (non muslimah) kelak, akan sangat berpengaruh dalam mewarnai
keluarga dan anak-anak mereka.
160Ketika menjelaskan Q.S. 5:5 ia menegaskan kembali bahwa, izin yang
diberikan al-Qur’ân bagi umat Islam untuk memakan sembelihan ahl al-kitâb,
demikian juga dengan mengawini wanita-wanita mereka, adalah bentuk toleransi
yang ditunjukkan Islam. Bahkan penyebutannya dalam redaksi yang runtut,
158
Ia mengakui bahwa dalam hal ini, terdapat perbedaan pendapat di kalangan ulama dalam menilai perilaku ahl al-kitâb yang sudah terlalu jauh dari ajaran tauhid. Dalam hal ini, ia menyitir beberapa ayat al-Qur’ân yang menjelaskan beberapa penyelewengan tersebut, termasuk: Q.S. 9: 30, yang menjelaskan tentang ucapan orang-orang Yahudi bahwa, ‘Uzair adalah putra Allâh. Demikian juga dengan ucapan orang-orang Nasrani yang menjustifikasi bahwa Îsâ al-Masîh adalah putra Allâh”. Dan Q.S. 6: 73, yang menjelaskan ucapan mereka bahwa Allâh adalah salah satu dari tiga tuhan. Lihat: Sayyid Qut ub,Fî Zilâl al-Qur’ân, Juz. II/ 178. Bandingkan dengan pendapat M. Rasyîd Ridâ yang tetap menganggap mereka sebagai ahl al-kitâb, bahkan memasukkan non muslim selain Yahudi dan Nasrani dalam kategori ahl al-kitâb. Lihat: M. Rasyîd Ridâ, Tafsîr al-Qur’ân al-Hakîm (tafsîr al-Manâr), Juz. VI/153.
159
Dalam hal ini ia menjelaskan bahwa, dalam syari’at Islam, setiap anak yang lahir dari ikatan perkawinan akan dihubungkan dengan ayah mereka. Demikian juga dengan seorang wanita, setelah menikah, akan menjadi tanggung jawab suaminya. Dan kemungkinan besar, ia akan mengikuti suaminya, bahkan bisa juga dia akan dibawa ke lingkungan keluarga suami. Dengan demikian, keberadaan istri muslimah dalam lingkungan keluarga suaminya yang non muslim tersebut, sangat besar kemungkinannya akan menjadi fitnah bagi dirinya, bahkan dapat menjadikannya murtad. Hal ini berbeda dengan lelaki muslim yang memperistri wanita ahl
al-kitâb, karena anak-anaknya kelak akan dihubungkan dengan ayahnya yang muslim tersebut. Lihat:
Sayyid Qutub,Fî Zilâl al-Qur’ân, Juz.II/ 179 160
Lihat: Sayyid Qutub, Fî Zilâl al-Qur’ân, Juz.II/ 179. Bandingkan dengan pendapat Quraish Shihab yang menyatakan bahwa, tidak dibenarkan melakukan kawin beda agama dengan
ahl al-kitâb bagi orang yang tidak dapat menampakkan kesempurnaan Islam, apalagi terdapat
indikasi bahwa kelak ia akan terpengaruh ajaran non Islam tersebut. Lihat: M. Quraish Syihab,
Tafsir al-Misbah, Vol. III/30. Dengan demikian, bagi mereka yang dapat melakukan hal