• Tidak ada hasil yang ditemukan

Status Sosial Umat Islam dalam Perkawinan Lintas

BAB IV: KONTEKS SOSIO-HISTORIS SEBAGAI PERANGKAT

1. Status Sosial Umat Islam dalam Perkawinan Lintas

Kehadiran Islam untuk pertama kalinya, di kalangan masyarakat Quraisy

Mekah menuai tantangan dan gangguan yang sangat berat. Ia dianggap sebagai

hal baru yang dapat merusak kelestarian ajaran warisan nenek moyang mereka.

Dan karena preseden buruk tersebut, Islam menjadi agama yang sulit berkembang

pada sepuluh tahun pertama sejak kelahirannya. Sehingga, daftar para pengikut

Islam pada saat itu hanya dipenuhi oleh keluarga, karib-kerabat, dan orang-orang

dekat yang mempunyai kekaguman terhadap pribadi nabi Muhammad saw.

3

Kendati demikian, Islam menjadi mudah untuk diterima oleh kaum lemah,

terutama para budak dan orang-orang tertindas, karena mereka berharap, Islam

2

Penjelasan tentang keutamaan Rasul dalam fungsinya sebagai panutan (contoh) bagi umat Islam, dapat dilihat pada Q.S. al-Ah zâb [33]: 21, “Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allâh dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah”. Terdapat perbedaan pendapat perihal redaksi “uswah hasanah”, yakni fungsi Rasul sebagai suri tauladan bagi orang Islam; apakah hal itu wajib ataukah hanya sunnah. Perdebatan tersebut, akhirnya dapat kompromikan dengan menyatakan bahwa dalam urusan agama, harus (wajib) menjadikan Rasul sebagai panutan, namun dalam masalah-masalah kediniaan, hanya dianjurkan saja. Lihat: al-Qurt ubî, Abû ‘Abdillâh Muhammad ibn Ahmad ibn Abû Bakr ibn Faraj, al-Jâmi’ Li Ahkâm al-Qur’ân, Juz. XIV, Cet. II, (Kairo: Dâr al-Syu’ab, 1372 H), h. 138.

3

Semua ahli sejarah sepakat bahwa agama Islam pada mulanya diterima oleh orang-orang yang mempunyai kedekatan dengan Rasul, walaupun masih diperselisihkan tentang orang yang pertama kali masuk Islam. Namun untuk menghilangkan perselisihan tersebut, mereka menyatakan bahwa: (1) Abû Bakr ra adalah orang pertama yang masuk Islam dari kalangan (lelaki) dewasa, (2) Khadîjah ra, adalah wanita pertama yang masuk Islam, (3) ‘Alî ibn Abî T âlib ra adalah penganut Islam (pertama) dari kalangan anak-anak, yang mana pada saat itu ia baru berusia 9 tahun, (4) Zaid ibn Hâritsah ra, adalah orang pertama yang masuk Islam dari kalangan budak ( mawâlî). Lihat: Muhammad ibn Jarîr ibn Yazîd ibn Khâlid Abû Ja’far al-T abarî,Târîkh Umam wa

al-Muluk, Juz. I, Cet. I, (Beirut: Dâr al-Kutub al-‘Ilmiyah, 1407 H), h. 537. Lihat juga: Abu al-Fidâ

Ismâ’il ibn ‘Umar ibn Katsîr, al-Qurasyî al-Dimasyqî, al-Bidâyah wa al-Nihâyah, Juz. III, (Beirut: Maktabah al-Ma’arif, tt), h. 25-26. Bandingkan dengan: Abd al-Rah mân ibn Abî Bakr al-Suyûtî,

Târîkh al-Khulafâ, Muhaqqiq: M. Muhyi Dîn Abd Hamîd, Cet. I, (Mesir: Mat ba’ah

akan mampu mengakhiri menindasan dan penderitaan yang mereka alami.

4

Dari

kenyataan di atas, dapat dilihat bahwa para pengikut Islam pada saat itu

merupakan kelompok kecil yang tersisihkan dari pergaulan masyarakat secara

luas. Bahkan seringkali menerima perlakuan tidak adil dari para penguasa dan

orang-orang kaya, termasuk boikot perekonomian.

5

Namun berbagai penderitaan

yang mereka rasakan, justru semakin mempertebal keimanan serta mempererat

persaudaraan di antara mereka. Dan dengan prinsip al-ukhûwwah, mereka berbagi

kesenangan dan kesedihan satu sama lain.

6

Masyarakat Arab terkenal sebagai masyarakat yang dapat memegang

tradisi leluhur dengan sangat kuat. Sehingga aktifitas keagamaan mereka, tidak

lebih hanya sekedar pelestarian budaya yang mereka warisi secara turun temurun.

Dan siapapun (dari kalangan mereka) yang tidak menjalankan ajaran tersebut, atau

mengajarkan sesuatu yang berbeda dengannya, dianggap sebagai penyeleweng

4Tercatat beberapa orang budak yang telah masuk Islam sejak periode Mekah, seperi Zaid ibn Hâritsah, Bilâl ibn Rabâh, Yâsir, dan anaknya; Amar ibn Yâsir. Mereka menyembunyikan keimanan demi menyelamatkan nyawa dari kekejaman para majikan. Namun ketika rahasia mereka terbongkar, penyiksaan demi penyiksaan pun tidak dapat dihindarkan lagi. Bahkan tak sedikit dari mereka yang harus kehilangan nyawa demi mempertahankan akidah, walaupun beberapa di antaranya berhasil diselamatkan dan dimerdekakan oleh sahabat-sahabat lain. Berbeda dengan kebiasaan orang-orang kafir, di dalam Islam, kemulyaan seseorang tidak lagi diukur dengan status sosial maupun kekayaan, melainkan ketaqwaan kepada Allâh SWT. Oleh karenanya, Rasulullah saw memperlakukan budak dan orang-orang lemah sebagaimana perlakuan beliau terhadap sahabat lainnya. Bahkan beliau sering berbincang-bincang dan duduk bersama dengan mereka. Lihat: Abu al-Fidâ Ismâ’il ibn ‘Umar Ibn Katsîr, al-Qurasyî al-Dimasyqî, al-Bidâyah wa

al-Nihâyah, Juz. VI/56.

5Pemboikotan tersebut diprakarsai oleh Abû Jahl, dengan menyeru orang-orang Quraisy agar memutus akses perekonomian dengan klan nabi dan para pengikutnya. Dalam bukunya, Karen Amstrong menegaskan, "Abu Jahl imposed a boycott on Muhammad's clan, forbidding the Quraysh to marry or trade with the muslims. This meant that nobody sell them any food. The ban lasted for two years, and the food shortages may well have been responsible for the death of Muhammad's beloved wife Khadija, and it certainly ruined some of the muslims financially". Lihat: Karen Amstrong, Islam, a Short History, (New York: The Modern Library, 2002), h. 13.

6

Persaudaraan yang dibangun oleh Rasulullah saw antara Muhajirûn dan Ans âr begitu kuat, sehingga mereka rela berbagi apapun yang mereka miliki, seperti yang terjadi antara Abd al-Rahmân ibn ‘Auf ra dan Sa’d ibn al-Rabî’ra. Lihat: Abû Bakr ‘Abdullâh ibn Muh ammad ibn Abî Syaibah al-Kûfî, al-Musannaf fî al-Ahâdîts wa al-Âtsâr, Juz. V, Cet. I, (Riyâd: Maktabah al-Rusyd, 1409 H), h. 341. Lihat juga: Abû al-Qâsim Sulaimân ibn Ah mad ibn Ayyûb Al-Tabrânî,

al-Mu’jam al-Kabîr, Juz. I/252. Hal serupa juga terjadi antara ‘Alî ibn Abî T âlib dan Sahl ibn H unaif,

yang mana keduanya selalu berusaha saling melindungi satu sama lain. Bahkan ketika ‘Alî ra terlibat dalam peperangan S iffîn melawan Mu’awiyah ra, Sahl ibn H unaif ra gugur dalam peperangan tersebut. Lihat: Muh ammad ibn ‘Abdullâh Abû ‘Abdillâh al-H âkim al-Naisâbûrî,

dan tidak menghargai para leluhur.

7

Mereka tidak meyakini kehidupan akhirat,

dengan segala kenikmatan maupun siksaan yang ada di dalamnya. Kehidupan

mereka hanya didasarkan pada norma-norma yang berkembang pada saat itu,

sehingga tidak ada aturan baku (baca: hukum) yang menjadi pedoman dalam

menjalankan aktifitas mereka sehari-hari. Kenyataan ini diperparah oleh kebiasaan

mereka yang saling menindas dan merampas hak-hak orang lain, demi

mendapatkan superioritas di antara suku-suku yang ada.

8

Untuk mewujudkan tujuan tersebut, tidak ada cara lain kecuali berusaha

memperkuat kelompok masing-masing dengan mempersiapkan pasukan perang

berikut segala perlengkapannya. Dalam keadaan demikian, para wanita, anak-anak

dan orang-orang lemah sama sekali tidak mendapatkan tempat, bahkan menjadi

kelompok yang termarginalkan, karena tidak dapat diandalkan dalam peperangan

tersebut. Sehingga, posisi wanita pada saat itu tak lebih hanya sebagai pemuas

hawa nafsu semata. Sedangkan anak-anak perempuan yang dirasa tidak membawa

keuntungan, mereka rampas hak hidupnya. Dan walaupun dibiarkan hidup,

keberadaan mereka sama sekali tidak diperhitungkan.

9

7

Ketika dakwah Islamiyah diarahkan kepada orang-orang kafir (Mekah), alasan (penolakan) yang paling sering dilontarkan adalah bahwa, apa yang nenek moyang mereka lakukan telah cukup untuk dijadikan pedoman dalam kehidupan, sehingga mereka tidak merasa perlu adanya petunjuk lain di luar itu. Hal ini terekam dalam beberapa ayat al-Qur’ân, di antaranya: Q.S. al-Baqarah: 170, al-Mâ’idah: 107, al-A’râf: 28, 95, dan juga al-Syu’arâ: 74. Kenyataan ini juga terekam oleh para ahli sejarah kontemporer, seperti Karen Amstrong, dalam pernyataannya, "At first, the most powerful men in Mecca ignored the muslims, but by 616 they had become extremely angry with Muhammad who, they said, reviled the faith of their fathers, and was obviously a charlatan, who only pretended to be a prophet". Lihat: Karen Amstrong, Islam, a

Short History, h. 12.

8

Ketidakpercayaan mereka terhadap kehidupan akhirat terlukis dalam pernyataan Ubay ibn Khalaf yang diabadikan Q.S. Yâsîn/36:78. Dalam beberapa riwayat dinyatakan bahwa suatu hari Ubay ibn Khalaf, seorang musyrik, mendatangi nabi Mah ammad saw dengan membawa tulang belulang, dan mengejek nabi seraya mengatakan: "Siapakah yang dapat menghidupkan tulang belulang, yang telah hancur luluh?". Maka Allâh menjawab dalam ayat berikutnya (Q.S. 36:79), “Katakanlah: "Ia akan dihidupkan oleh Tuhan yang menciptakannya kali yang pertama. dan Dia Maha mengetahui tentang segala makhluk”. Lihat: Muh ammad ibn Jarîr ibn Yazîd ibn Khâlid Abû Ja’far al-Tabarî,Jâmi’ al-Bayân ‘An Ta’wîl Âyi al-Qur’ân, Juz. X/463. Lihat juga: Ismâ’îl ibn ‘Umar ibn Katsîr Abû al-Fidâ’ al-Dimasyqî, Tafsîr al-Qur’ân al-‘Azîm, Juz. III/767.

9Beberapa riwayat menjelaskan tentang pernyataan ‘Umar ibn al-Khatt âb ra bahwa, pada masa jahiliyah mereka sama sekali tidak mempertimbangkan keberadaan wanita, sampai Islam datang dengan al-Qur’ân, dan memberikan hak-hak mereka. Lihat: Muh ammad ibn Ismâ’îl Abû Abdillâh al-Bukhârî al-Ju’fî, al-Jâmi’ al-Sahîh al-Mukhtasar, Juz. IV/1866. Lihat juga: Muslim ibn Hajjâj Abû al-Husain al-Qusyairî al-Naisabûrî, Sahîh Muslim, Juz. II/1105.

Dalam keadaan demikian, status perkawinan bukanlah sesuatu yang

mendapat perhatian khusus, di kalangan mereka. Apalagi tidak ada aturan tentang

perkawinan dan perceraian, sehingga memungkinkan seseorang untuk mengawini

wanita berapapun ia mau dan mampu. Demikian juga, sebanyak apapun seorang

istri diceraikan, maka sebanyak itu pula istri tersebut dapat dirujuk (kembali).

10

Dan Islam yang pada saat itu masih fokus pada masalah tauhîd serta belum

mengatur masalah perkawinan, dapat diterima dalam keluarga-keluarga tersebut,

ataupun salah satu pasangannya. Apalagi ajaran tauhîd yang mereka terima, dapat

disembunyikan dengan mudah dari kelompok, keluarga, bahkan pasangan hidup

masing-masing.

Dengan demikian, pada saat itu telah banyak terjadi pasangan suami-istri

dengan latar belakang keyakinan yang berbeda, yakni antara para penganut agama

Islam dengan orang-orang musyrik. Namun, hal itu tidak dianggap sebagai

penghalang bagi mereka untuk membangun mahligai rumah tangga, asalkan

mereka masih mampu merahasiakan keimanan masing-masing. Akan tetapi,

ketika keimanan mereka tidak lagi menjadi suatu rahasia pribadi, ancamanpun

datang bahkan dari orang yang paling dekat sekalipun.

11

Namun, ketika salah satu pasangan telah masuk Islam, maka tidak lama

kemudian hal itu (biasanya) diikuti oleh pasangan lainnya. Karena mereka yang

telah menerima ajaran Rasulullah saw, akan selalu berusaha menyebarkannya

10Bahkan ketika masuk Islam, Ghailân ibn Salamah al-Tsaqafî mempunyai 10 orang istri. Namun oleh Rasul dia hanya boleh menetapkan 4 istri dan menceraikan 6 lainnya. Lihat: Muhammad ibn ‘Îsâ Abû ‘Îsâ al-Turmudzî al-Sulamî, al-Jâmi’ al-Sahîh Sunan al-Turmudzî, Juz. III, (Beirut: Ihyâ al-Turâts al-'Arabî, tt), h. 435. Pada masyarakat Arab pra-Islam (jahiliyah), terdapat beberapa bentuk perceraian dan yang paling sering dipakai adalah talâq, ilâ’ dan zihâr. Namun setelah Islam datang, masing-masing di beri aturan tersendiri, dengan konsekuensi hukum yang berbeda-beda. Lihat: Muhammad ibn Jarîr ibn Yazîd ibn Khâlid Abû Ja’far al-T abarî,Jâmi’

al-Bayân ‘an Ta’wîl Âyi al-Qur’ân, Juz. XII/3. Lihat Juga: Muh ammad al-Râzî, Fahr al-Dîn ibn

Diyâ’ al-Dîn ‘Umar, Tafsîr al-Fahr al-Râzî, juz. 29, cet, III, (Beirut: Dâr al-Fikr, 1985), h. 251. Dan juga: Abû Zakariâ Muhyi al-Dîn ibn Syaraf al-Nawawî, al-Majmû’ Syarh al-Muhadzdzab,

Juz. 18, (Beirut: Dâr al-fikr), h. 342.

11

Penyiksaan tersebut juga dialami oleh Fatimah bint al-Khatt âb, oleh kakaknya sendiri ‘Umar ibn al-Khattâb. Namun di sisi lain, kejadian tersebut juga merupakan jalan bagi ‘Umar ra untuk mendapatkan hidayah dan menerima da'wah Islâmiyah. Bahkan sejak saat itu, orang-orang Islam dapat bernaung di bawah perlindungannya, dan tidak perlu lagi menjalankan syari’at agama secara sembunyi-sembunyi. Lihat: ‘Abd al-Rahmân ibn Abî Bakr al-Suyûtî, Târîkh al-Khulafâ, h. 100.

kepada keluarga terdekat, terutama pasangan hidup masing-masing.

12

Akan tetapi,

hal itu tidak selalu berjalan mulus, karena masih tercatat beberapa istri sahâbat

yang tetap berpegang pada keyakinan jahiliyah, kendati suami-suami mereka telah

menjadi teman setia Rasulullah saw, seperti Abû Bakr ra, dan ‘Umar ibn

al-Khattâb ra. Dengan demikian, status perkawinan mereka pada awal-awal dakwah

Islam di Mekah, tetap dianggap sah. Karena pada saat itu, Islam belum

menetapkan aturan yang membatasi perkawinan lintas agama, bagi para

penganutnya.

13

Di samping itu, permusuhan yang dikobarkan kafir Quraisy kapada nabi

Muhammad dan para pengikutnya lebih tampak bernuansa politis daripada

religius. Para pembesar Quraisy berfikir bahwa, kehadiran Muhammad akan

memudarkan pengaruh mereka di kalangan masyarakat Arab. Sehingga, dengan

bermodalkan isu pencemaran terhadap ajaran nenek moyang, mereka berusaha

menghancurkan karir nabi Muhammad dengan berbagai cara.

14

Namun hal itu

12Pada umumnya, salah satu dari mereka masuk Islam terlebih dahulu. Kemudian berselang beberapa waktu, pasangan merekapun mengikuti jejak tersebut. Namun, sejak umat Islam hijrah ke Madinah, mereka yang telah masuk Islam lantas pergi untuk tinggal di Madinah, sedangkan pasangan mereka yang masih kafir tetap berada di Mekah. Perpisahan mereka tersebut dianggap sebagai putusnya tali perkawinan, kecuali suami/istrinya yang berada di Mekah segera menyusul ke Madinah sebelum masa ‘iddahnya habis. Lihat: Abû Bakr Ah mad ibn al-Husain ibn 'Alî ibn Mûsâ al-Baihaqî, Sunan al-Baihaqî al-Kubrâ, Juz. VII, (Makkah al-Mukarramah: Maktabah Dâr al-Bâz, 1994), h. 187. Namun jika mereka masuk Islam setelah fath Makkah dan tidak melakukan hijrah, maka status perkawinan mereka tidak putus sampai salah satu dari keduanya juga masuk Islam. Sebagaimana hal ini terjadi pada ‘Âtikah bint Walîd ibn al-Mughîrah (istri Safwan ibn Umaiyah) dan Ummu al-Hakîm bint al-Hârits ibn Hisyâm (istri ‘Ikrimah ibn Abu Jahl), keduanya masuk Islam lebih dulu daripada suami mereka. Lihat: Abû Bakr Abd al-Razzâq ibn Hammâm al-S an’anî, Musannaf Abd al-Razzâq, Juz. VII, Cet. II, (Beirut: al-Maktab al-Islâmî, 1403 H), h. 169.

13

‘Umar ra baru memutuskan tali perkawinan dengan dua istrinya yang masih kufur setelah turun Q.S. 60: 10 di H udaibiyah (6 H). Padahal ia telah masuk Islam sepuluh tahun sebelumnya, yakni pada bulan Dzul Hijjah tahun ke-6 kenabian, yakni 4 tahun sebelum hijriyah (pada usia 26 tahun). Lihat: ‘Abd al-Rah mân ibn Abî Bakr al-Suyûtî,Târîkh al-Khulafâ, h. 100. Lihat juga: Muhammad ibn Jarîr ibn Yazîd ibn Khâlid Abû Ja’far al-T abarî,Jâmi’ al-Bayân ‘An

Ta’wîl Âyi al-Qur’ân, Juz. XII/68, 70. Dan juga: Abû al-Qâsim Sulaimân ibn Ah mad ibn Ayyûb

al-Tabrânî, al-Mu’jam al-Kabîr, Juz. XX/9. Sedangkan tentang istri Abû Bakr ra, dapat dilihat dalam beberapa riwayat yang berhubungan dengan sabab al-nuzûl Q.S. 60: 8. Selengkapnya lihat: Ismâ’îl ibn ‘Umar Ibn Katsîr al-Dimasyqî Abu al-Fidâ’, Tafsîr al-Qur’ân al-‘Azîm, Juz. IV/447. Lihat juga: Abû ‘Abdillâh Muhammad ibn Ahmad ibn Abû Bakr ibn Faraj al-Qurt ubî, al-Jâmi’ Li

Ahkâm al-Qur’ân, Juz. X/207. Bandingkan: Muh ammad ibn ‘Alî al-Syaukânî, Fath Qadîr

al-Jâmi’ baina Fannay al-Riwâyah wa al-Dirâyah min ‘Ilm al-Tafsîr, Juz. V/299.

14

Dalam hal ini Amstrong menjelaskan, "…. The opposition grew, led by Abu al-Hak am (who is called by Abû Jahl), Abû Sufyan, an extremely intelligent man, who had once been a personal friend of Muhammad, and Suhail ibn Amr, a devout pagan. They were disturbed by the

membuat mereka lupa dengan keberadaan pasangan lintas agama yang semakin

menjamur di tengah-tengah mereka. Hal ini merupakan peluang bagi nabi dan

para sahabat untuk menyebarkan ajaran tauhîd dari pintu ke pintu, terutama bagi

keluarga yang salah satu pasangannya telah masuk Islam. Demikian juga para

sahabat tidak serta merta menceraikan istri-istri mereka lantaran beda agama,

karena hal itu justru dapat menjadi peluang dakwah penyebaran Islam.

15

Keadaan ini tidak berlarut-larut, karena setelah turun perintah hijrah, nabi

dan para sahabat segera meninggalkan Mekah dengan segala atribut syirik yang

ada di dalamanya. Mereka rela meninggalkan harta benda dan segala kemewahan

yang mereka miliki. Tidak tanggung-tanggung, mereka juga meninggalkan sanak

keluarga yang lebih memilih untuk tinggal di Mekah bersama orang-orang

musyrik dengan segala kesesatannya. Dan sejak saat itulah awal terjadinya

pemisahan antara orang-orang Islam dan orang-orang musyrik, baik secara

geografis maupun tatanan sosial.

16

idea abandoning the faith of their ancestors; all had relatives who had converted to Islam, and all feared that Muhammad was plotting to take over the leadership of Mecca". Lihat: Karen Amstrong, Islam, a Short History, h. 12. Ambisi politik, sebagaimana dituduhkan orang-orang Quraisy kepada nabi, disangkal oleh turunnya beberapa ayat al-Qur'ân, termasuk Q.S. 74: 1-5, 8-10, 88: 21-22, yang menyatakan bahwa, fungsi utama beliau adalah sebagai "nadzîr", pemberi peringatan.

15

Penyebaran agama melalui jalan perkawinan dirasa sangat efektif, walau terkadang juga tidak berhasil. Hal ini dapat dilihat, ketika Ghailân ibn Salamah al-Tsaqafî masuk Islam, maka sepuluh orang istrinya seketika itu juga masuk Islam. Lihat: Muh ammad ibn ‘Îsâ Abû ‘Îsâ al-Turmudzî al-Sulamî, al-Jâmi’ al-Sahîh Sunan al-Turmudzî, Juz. III, (Beirut: Ihyâ Turâts al-'Arabî, tt), h. 435. Demikian juga dengan Ummu Hakîm bint al-H ârits, setelah masuk Islam, ia menyusul suaminya; ‘Ikrimah ibn Abu Jahl yang melarikan diri ke Yaman dan mengajaknya masuk Islam. Lihat: Abû Bakr Abd al-Razzâq ibn Hammâm al-S an’anî, Musannaf Abd al-Razzâq, Juz. VII/169. Bahkan Khâlid ibn al-Walîd masuk Islam adalah, setelah nabi menikahi sepupunya; Maimunah. Sebagaimana dinyatakan Safdar, “Khalid son of Walid, a cousin of Maimuna, after her marriage of the prophet, repaired to Medina along with his friend Amr bin Ass in the beginning of the eighth year of hegira, and entered into the new faith”. Lihat: Saiyid Safdar Hosain, The Early

History of Islam, First Published, (New Delhi: Low Price Publications, 1993), h. 181

16

Setelah tiba di Madinah, nabi segera membangun sendi-sendi tatanan sosial sebagaimana dicita-citakan Islam. Beliau mengawalinya dengan membuat piagam Madinah, yang merupakan perjanjian antara tiga pihak; Muhajirûn, Ans âr, dan Yahudi. Piagam ini menjamin hak sosial maupun beragama antara Muslim-Yahudi, dan menetapkan tugas mereka masing-masing. Materi pokok perjanjian tersebut adalah membentuk satu ummah untuk menghadapi pihak asing, melawan siapapun yang memberontak dan melakukan ketidak-adilan, agresi, maupun menyebarkan permusuhan antara orang-orang beriman. Mereka saling membantu dan bahu membahu. Semua persoalan akan diputus berdasarkan hukum Tuhan dan diajukan kepada Muhammad, untuk memperoleh keadilan. Lihat: Afzal al-Rah mân, Muhammad as Military

Leader, terj: Anas siddiq, “Nabi Muhammad saw sebagai Seorang Pemimpin Militer”, Cet. I,

Kendati demikian, umat Islam tidak dapat terlepas dari komunitas non

muslim. Karena di Madinah, mereka harus dapat beradaptasi dan hidup

berdampingan dengan orang-orang Yahudi yang lebih dulu menempati daerah itu.

Keadaan tersebut dapat dimanfaatkan oleh Nabi untuk melakukan perjanjian

dengan orang-orang Yahudi dalam rangka menjaga keamanan bersama dari

ancaman luar, terutama orang-orang kafir Mekah. Namun, pengkhianatan atas

perjanjian tersebut, memposisikan mereka bukan lagi sebagai kawan, melainkan

musuh umat Islam.

17

Dalam waktu yang relatif singkat, komunitas muslim Madinah dengan

bermodalkan persatuan dan kebersamaan, mereka mampu menunjukkan prestasi

yang mengagumkan. Hal ini dibuktikan dengan dimenangkannya peperangan

besar di Badar.

18

Peristiwa ini tentunya menjadi pukulan berat bagi orang-orang

kafir Mekah, karena tidak mampu menghalau pasukan muslim walaupun dengan

jumlah personel yang jauh lebih kecil dari mereka. Sedangkan bagi umat Islam,

17

Di antara pemicu pengkhianatan Yahudi adalah kecemburuan mereka atas perkembangan Islam, sekaligus kekhawatiran jika kelak mereka akan dikuasai komunitas baru tersebut. Dalam hal ini Safdar Hosain mengungkapkan: “Since after his immigration to Medina, the Jews as already abserved, were jealous of the evergrowing power and authority of the prophet and were contantly giving him trouble: most of them were consequenstly expelled”. Lihat: Saiyid Safdar Hosain, The Early History of Islam, h. 163.

18

Dalam hal ini Ira M. Lapidus menegaskan, “At the batlle of Badr, Muhammad defeated a large Meccan force, decimated Mecca’s leadership and won tremendous prestige everywhere in Arabia”. Lihat: Ira M. Lapidus, A History of Islamic Societies, (Cambridge: Cambridge University Press, 1995), h. 31. Dalam riwayat yang disampaikan Ibn ‘Abbâs ra dinyatakan bahwa, perang Badar terjadi pada 17 Ramadan. Dan dengan kekuatan 313 personel, pasukan Madinah mampu mengalahkan pasukan Mekah dengan kekuatan 1.000 tentara, bahkan berhasil menawan 70 orang