• Tidak ada hasil yang ditemukan

Perkawinan Lintas Agama dalam Survey Literatur

BAB II: PERKAWINAN LINTAS AGAMA DALAM PERKEMBANGAN

B. Perkawinan Lintas Agama dalam Survey Literatur

Setelah melakukan penelaahan pada sumber-sumber utama tafsir; yakni

“riwayat” baik dari nabi, sahabat, maupun tabi’i (dalam tafsir formatif), yang

biasa dipakai oleh para ulama dalam melakukan penafsiran ayat-ayat al-Qur’ân,

dan secara khusus berhubungan dengan tema Tesis ini, penulis melanjutkan

penelusuran pada beberapa karya tafsir klasik representatif, yang mewakili

95

Keberagaman pendapat tabi’i, setidaknya dapat diklasifikasikan sebagai berikut: (1) Secara umum, tabi’i mengakui bolehnya lelaki muslim menikahi wanita non muslimah dari kalangan ahl al-kitâb (Yahudi-Nasrani), namun tidak sebaliknya; wanita muslimah tidak dapat dinikahkan dengan non muslim, kendati dari ahl al-kitâb sekalipun. Hal ini terbukti dengan kesepakatan mereka perihal bolehnya menikahi wanita Ahl al-kitâb. Lihat: Abû ‘Abdillâh Muhammad ibn Ahmad ibn Abû Bakr ibn Faraj al-Qurt ubî, al-Jâmi’ Li Ahkâm al-Qur’ân, Juz. III/64. Sedangkan tidak ketidakbolehan lelaki musyrik menikahi wanita muslimah, dapat dilihat pada pendapat Ikrimah dan al-H asan al-Basrî. Lihat: Muh ammad ibn Jarîr ibn Yazîd ibn Khâlid Abû Ja’far al-Tabarî, Jâmi’ al-Bayân ‘An Ta’wîl Âyi al-Qur’ân, Juz. II/388. Demikian Juga pendapat Qatâdah, dengan cakupan lebih luas (untuk semua non muslim, baik Yahudi, Nasrani, maupun musyrik), dilarang menjalin hubungan perkawinan dengan wanita muslimah. Lihat: Muhammad ibn Jarîr ibn Yazîd ibn Khâlid Abû Ja’far al-T abarî,Jâmi’ Bayân ‘An Ta’wîl Âyi

al-Qur’ân, Juz. II/388. (2) Perbedaan dalam menentukan posisi ahl al-kitâb; apakah mereka

termasuk musyrik ataukah kelompok tersendiri di luar musyrik. Hal ini, setidaknya terbukti dari perbedaan pendapat antara Qatadâh dengan para tabi’î lainnya, termasuk Mujâhid. Lihat: Abû Bakar Abd al-Razzâq ibn Hammâm al-S an’anî, Musannaf Abd al-Razzâq, Juz. VII/176. Bandingkan dengan: Abû Bakr Ah mad ibn al-Husain ibn ‘Alî ibn Mûsâ al-Baihaqî, Sunan

al-Baihaqî al-Kubrâ, Juz. VII/171. (3) Jika mereka termasuk musyrik, maka perdebatan selanjutnya

terjadi dalam memahami korelasi Q.S. 2: 221 dan Q.S. 5: 5, antara istitsnâ dan nasakh pada sebagian muatannya. Untuk membuktikan hal ini, cermati kembali perbedaan analisis ayat antara al-Hasan-‘Ikrimah, dengan beberapa tabi’i lain termasuk Mujâhid. (4) Perbedaan pendapat juga terjadi di dalam menentukan kriteria ahl al-kitâb; apakah mereka hanya dari kalangan bani Israil ataukah siapa saja yang beragama Yahudi atau Nasrani, walaupun di luar bani Isra’il. Lihat kembali pendapat ‘Atâ’, serta perbedaanya dengan para tabi’i lainnya.

96

Sebagaimana yang telah penulis paparkan sebelumnya (di awal pembahasan bab II) bahwa, tafsir salaf/klasik merupakan karya-karya tafsir awal (yang sampai pada generasi sekarang). Periode ini berawal sejak lahirnya karya tafsir tertua (tafsir al-T abarî), sampai menjelang modernisasi di Barat yang diikuti gerakan pembaharuan dalam Islam oleh beberapa tokoh terutama di Timur Tengah. Adapun beberapa literatur tafsir yang penulis pilih dalam periode klasik ini, adalah: (1). Jâmi’ al-Bayân ‘An Ta’wîl al-Qur’ân, karya al-Tabarî, w. 310 H, (2).

al-Kasysyâf ‘an Haqâiq Ghawâmid al-Tanzîl wa ‘Uyûn al-Aqâwîl fî Wujûh al-Ta’wîl; karya Abû

al-Qâsim al-Zamakhsyarî, 467-538 H (3) Al-Tafsîr al-Kabîr/Mafâtif al-Ghaib, karya al-Râzî, w. 606 H, (4). Al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur’ân, karya al-Qurtubî, w. 671 H, (5). Tafsîr al-Qur’ân al-‘Azîm, karya Ibn Katsîr, w. 774 H. Lima literatur tafsir di atas, (selain Mafâtif al-Ghaib), pada umumnya adalahtafsîr bi al-ma’tsûr, karena hal ini disesuaikan dengan tuntutan analisis selanjutnya, yakni untuk mengetahui praktek perkawinan lintas agama pada masa-masa Islam awal, dan hal itu akan dapat diketahui dengan riwayat-riwayat yang ada.

masanya masing-masing.

97

Namun, oleh karena rentetan waktu yang begitu

panjang, penulis hanya mengambil beberapa literatur tafsir yang menurut penulis

telah mewakili sekian banyak bentuk dan model tafsir yang ada pada masa klasik

tersebut.

98

Sebagaimana telah dijelaskan bahwa, upaya menjelaskan makna ayat-ayat

al-Qur’ân telah lama diusahakan oleh para tokoh muslim, bahkan sejak masa

Rasulullah saw. Aktivitas tersebut terus berlanjut; bahkan terjadi peningkatan.

Dan, sejak abad kedua Hijriyah telah banyak karya tafsir (tertulis) bermunculan,

yang kemudian, pada paruh pertama abad ke-3 H, terjadi konsolidasi dan

sistematisasi.

99

Usaha tersebut, mencapai puncaknya pada akhir abad ke-4 dengan

lahirnya Jâmi` al-Bayân ‘An Ta’wîl Âyât al-Qur`ân; karya al-Tabarî (w.310

97

Beberapa karya tafsir representatif yang banyak memuat riwayat dan terkenal sejak masanya masing-masing, bahkan sampai sekarang, adalah: (1). Jâmi’ Bayân ‘An Ta’wîl

al-Qur’ân, karya al-Tabarî, w. 310 H, (2). Bahr al-‘Ulûm, karya al-Samarqandî, w. 373 H, (3).

al-Kasyf wa al-Bayân, karya al-Tsa’labî, w. 427 H, (4). Tiga tafsir al-Wâh idî, w. 468 H, yaitu:

al-Basît, al-Wasît, dan al-Wajîz, (5). Ma’âlim al-Tanzîl, karya al-Baghâwî, w. 510 H, (6)

al-Muharrar al-wajîz fî Tafsîr al-Kitâb al-‘Azîz, karya Ibn ‘Atiyyah, w. 546 H, (7). Zâd al-Masîr,

karya Ibn al-Jauzî, w. 597 H, (8). al-Tafsîr al-Kabîr/Mafâtif al-Ghaib, karya al-Râzî, w. 606 H, (8). Al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur’ân, karya al-Qurtubî, w. 671 H , (9). Lubâb Ta’wîl fî Ma’ânî

al-Tanzîl, karya al-Khâzin, w. 725 H, (10). Al-Bahr al-Muhît, karya Abû Hayyân, w. 745 H, (11).

Tafsîr al-Qur’ân al-‘Azîm, karya Ibn Katsîr, w. 774 H, (12). Al-Jawâhir Hisân fi Tafsîr

al-Qur’ân, karya al-Tsa’labî w. 876 H, (13). Al-Dûrr al-Mantsûr, karya al-Suyûtî, w. 911 H, (14).

Fath al-Qadîr al-Jâmi’ Baina Fannai al-Riwâyah wa al-Dirâyah min ‘Ilm al-Tafsîr, karya

al-Syaukânî w. 1255 H. Lihat: Muhammad Abd al-Rahîm Muhammad, al-Tafsîr al-Nabawî,

Khasâisuh wa Masâdiruh, 24.

98

Dalam hal ini, penulis memilih empat literatur tafsir (sebagaimana telah penulis jelaskan sebelumnya) adalah berdasarkan beberapa pertimbangan, di antaranya: (1) pertimbangan sumber tafsir; yang meliputi tafsîr bi al-ma’tsûr/bi al-riwâyah/bi al-manqûl dan tafsîr bi ra’yi/bi

al-ma’qûl. (2) pertimbangan laun al-tafsîr/corak penafsiranya, termasuk lughawî, fiqhî, falsafî, dan

lain-lain. (3) pertimbangan manhaj al-tafsîr/metode penafsiran. Untuk poin ini, penulis hanya mengambil tafsîr tahlîlî, di samping karena pembahasannya yang begitu luas, juga karena belum diketemukannya tafsîr maudû’î (yang lengkap) dalam kajian tema ini. Sedangkan tafsir muqârin

dan ijmâlî, menurut penulis, kurang sesuai untuk dipakai dalam kajian ini.

99

Pada abad kedua hijriah ini terdapat beberapa karya penting yang sampai pada kita, seperti al-Asybah wa al-Nazâ’ir fi al-Qur`ân al-Karîm, karya Muqâtil Ibn Sulaimân (w. 150 H);

Ma`ânî al-Qur`ân, karya al-Farrâ` (w. 207 H); serta Majâz al-Qur`ân, karya Abû `Ubaidah

Ma`mar ibn al-Mutsannâ (w. 215 H). Lebih lanjut lihat: Muh ammad `Abîd al-Jâbirî, Bunyah `Aql `Arabi: Dirâsah Tahlîliyyah Naqdiyyah Li Nudzûm Ma`rifah fî Tsaqâfah

al-`Arabiyyah, Cet. VII, (Beirut: Dâr Baidâ`, 2000), h. 16-17. Lihat juga: Khâlid ibn Utsmân

al-Sabt, Qawâ`id al-Tafsîr: Jam`an wa Dirâsatan, (Kairo: Dâr Ibn `Affân, 1421 H), h. 42; dan Khalid `Abd al-Rahmân al-`Akk, UUsûl al-Tafsîr wa Qawâ`iduh, Cet. II, (Beirut: Dâr al-Nafâiz, 1986), h. 32-33. Adapun konsolidasi dan sistematisasi tafsir-tafsir klasik (sebagaimana disebutkan di atas), setidaknya dapat dilihat dalam karya-karya Imam al-Bukhârî (w. 256 H/870 M) yang memuat penjelasan makna kosa kata al-Qur`ân yang diambil dari pandangan ulama bahasa sebelumnya terutama Abû ‘Ubaidah.

H/922 M).

100

Hal ini berlanjut sampai pada abad ke-5 H, yakni dengan lahirnya

Kasyf wa Bayân karya Tsa’labî (w. 427 H), dan tiga karya besar

al-Wâhidî;al-Wajîz, al-Wasît dan al-Basît. Pada abad ke-6 H, penafsiran dengan

pendekatan bahasa mulai berkembang, dan mencapai puncaknya pada masa

al-Zamakhsyarî (w.538 H/1143 M) dengan karya tafsirnya al-Kasysyâf, serta

pendekatan rasio/aqlî, sebagaimana dikembangkan oleh Fakhr al-Dîn al-Râzî (w.

606 H/ 1209 M), dengan karyanya tafsir al-Kabîr atau Mafâtih al-Ghaib.

101

1. Tafsir al-Tabarî (251-310 H): Jâmi’ al-Bayân ‘an Ta’wîl Âyi al-Qur’ân

102

Tafsir al-Tabarî sangat kaya dengan riwayat. Ia mempunyai cara tersendiri

dalam melakukan penafsiran serta sistematisasi karyanya; yakni dengan

menampilkan pendapatnya terlebih dahulu, kemudian dilanjutkan dengan

pemaparan perdebatan berdasarkan beberapa riwayat; baik dari Rasulullah,

sahabat, maupun tabi’i.

103

100

Tafsir al-Tabarî merupakan karya tafsir tertua (generasi abad-4), paling terkenal, representatif, dan memuat sekian banyak riwayat. Selengkapnya lihat Muh ammad ‘Abd al-‘Azîm al-Zarqânî, Manâhil al-‘Irfân fî ‘Ulûm al-Qur`ân, Jld. II/33; di samping itu Thameem Ushama menyatakan bahwa, tafsir ini merupakan magnum opus dari kitab-kitab tafsir awal yang sampai pada kita. Lihat: Thameem Ushama, Methodologhies of The Qur`anic Exegesis, h. 86.

101

Al-Zamakhsyarî adalah seorang ulama yang sangat brilian dan ahli dalam bidang filologi. Tafsirnya banyak dirujuk dalam kajian teologi, seperti, oleh Taftazanî (w. 792 H/ 1389 M) dan Sayyid Syarîf Jurjanî (w. 816 H/ 1413 M). Lihat juga: Muhammad Husain al-Dzahabî,

al-Tafsir wa al-Mufassirun, Juz I, (Beirut: Dâr al-Fikr, tt), h. 206, 210. Adapun tentang al-Râzî

berikut karya kafsirnya, lihat: Ali H asan al-‘Arîd,Târîkh ‘Ilm al-Tafsîr wa Manâhij al-Mufassirîn, terj. Ahmad Akrom, Sejarah dan Metodologi Tafsir, Cet. 2, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1994), h. 31

102

Kitab ini di tulis oleh Muh ammad ibn Jarîr ibn Yazid ibn Katsîr al-T abarî, (251-310 H/838-923 M). Dia merupakan satu di antara sekian banyak pemikir besar Islam di sepanjang masa. Dunia Barat juga sangat menghargai prestasinya yang cemerlang, karena di antara banyak keahliannya ia juga seorang bapak sejarah Islam. Namun, al-T abarî terlebih dahulu menulis kitab tafsirnya sebelum kitab sejarah. Lihat: Ignaz Goldziher, Madzâhîb fi al-Tafsîr al-Islâmî, terj. Oleh: M. Alaika Salamullâh, Saifuddin Zuhri Qudsi, dan Badrus Syamsul Fata, dengan jdl. Madzhab

Tafsir, dari aliran klasik sampai modern, Cet. II, (Yogyakarta: eLSAQ, 2006), h. 112. Lihat juga:

Muhammad ibn ‘Abdullâh ibn ‘Alî al-Khad irî,Tafsîr al-Tâbi’î, ‘Arad wa Dirâsah Muqâranah, Juz. I/74.

103

Jumlah riwayat yang terdapat dalam tafsir al-T abarî tercatat 38397 Âtsâr. Jumlah tersebut merupakan yang terbesar di antara beberapa tafsir bi al-ma’tsur yang ada, baik; (1) Sebelumnya, seperti: tafsir Sufyân al-Tsaurî, Abd al-Razzâq al-S an’anî, Yahyâ ibn Salam, dll, (2) Semasa dengan al-Tabarî, seperti: Ibn Abî Hâtim, w. 324 H, yang riwayatnya hanya tercatat 1331, (3) Juga tafsir pasca al-Tabarî, seperti al-Dûrr al-Mantsûr, karya al-Suyûtî, yang riwayatnya tercatat 37060. Lihat: Muhammad ibn ’Abdullâh ibn ‘Alî al-Khadirî, Tafsîr al-Tâbi’î, ‘Arad wa

Dirâsah Muqâranah, Juz. I/74. Namun, ia tampaknya tidak menentukan posisi (pendapat

pribadinya)nya pada perdebatan yang dipaparkannya, kecuali hanya dalam porsi yang sangat sedikit. Sehingga, ia kerap kali menyampaikan berbagai macam pendapat; bahkan yang

Dalam hal perkawinan lintas agama, penjelasan al-Tabarî dapat dilihat

pada diskripsinya atas Q.S. 2: 221, 5: 5, dan 60: 10. Di awal penjelasannya atas

Q.S. 2: 221, ia mengusung dua pertanyaan besar, yakni: “Apakah ayat tersebut

memuat semua orang musyrik, ataukah hanya sebagian saja? Dan apakah terdapat

nasakh pada sebagian muatannya, setelah ditetapkannya hukum pada ayat

tersebut?”. Setelah itu, ia mulai menyampaikan berbagai macam pendapat dan

perdebatan yang berhubungan dengan pertanyaan di atas, kemudian tanpa

diketahui bentuk analisis yang dilakukannya, ia melakukan pemilihan di antara

pendapat-pendapat tersebut; dan menurutnya yang paling bagus adalah pendapat

Qatâdah.

104

Ia juga menolak pendapat tentang adanya nasakh dalam ayat tersebut,

karena dianggap tidak ada dasar yang kuat dalam hal ini.

105

Demikian juga, ketika al-Tabarî menjelaskan Q.S. 60: 10, ia menyatakan

bahwakhitâb tersebut ditujukan kepada para sahabat Rasul, dalam menyikapi para

wanita Mekah yang bergabung dengan mereka di Hudaibiyah; untuk mengetahui

apakah hijrah mereka benar-benar karena Allâh dan Rasûl-Nya, ataukah hanya

karena takut kemarahan suami mereka. Isi perjanjian Hudaibiyah sama sekali

tidak mengatur tentang para wanita, maka hal tersebut kemudian diatur

bertentangan sekalipun, kemudian (ia tampak) menyerahkannya kepada pembaca untuk melakukan sendiri analisis atas riwayat-riwayat tersebut.

104

Lihat kembali pendapat-pendapat Qatadâh dalam permasalahan ini. Terutama ungkapan-nya bahwa, para wanita Ahl al-kitâb tidaklah masuk dalam kategori al-musyrikât. Lihat: Muhammad ibn Jarîr ibn Yazîd ibn Khâlid Abû Ja’far al-Tabarî, Jâmi’ Bayân ‘an Ta’wîl Âyi

al-Qur’ân, Juz. II/ 388. Lihat juga: Abû Bakr Abd al-Razzâq ibn Hammâm al-S an’anî,Musannaf Abd

al-Razzâq, Juz. VII/176. Dan bandingkan dengan: Abû ‘Abdillâh Muh ammad ibn Ahmad ibn Abû

Bakr ibn Faraj al-Qurt ubî, al-Jâmi’ Li Ahkâm al-Qur’ân, Juz. III/64 105

Dengan tegas ia menyatakan bahwa, jika terdapat dua ayat, maka tidak boleh dikatakan adanyanasakh, kecuali dengan adanya dalil yang pasti dari khabar, padahal tidak satupun khabar

yang menjelaskan tentang nasakh antara Q.S. 2: 221 dan Q.S. 5: 5. Dengan demikian, orang yang menyatakan adanya nasakh antara keduanya sama sekali tidak berdasar, karena tidak terbukti. Dan mereka termasuk orang yang mengada-ada hukum. Sedangkan orang yang mengada-adakan hukum tidak dapat melemahkan pendapat orang lain. Adapun, pendapat yang diriwayatkan oleh Syahr ibn Hausyab dari Ibn ‘Abbâs ra tentang larangan larangan ‘Umar ra terhadap perkawinan Hudzaifah ra dan T alhah ra dengan wanita ahl al-kitâb, adalah pendapat yang tidak bermakna (tidak perlu dipertimbangkan), karena bertentangan dengan ijma’ umat Islam berdasarkan al-Qur’ân dan h adîts nabi saw perihal halalnya mengawini wanita Ahl al-kitâb. Lihat: Muhammad ibn Jarîr ibn Yazîd ibn Khâlid Abû Ja’far al-Tabarî, Jâmi’ al-Bayân ‘An Ta’wîl Âyi al-Qur’ân, Juz. II/ 38. Dengan demikan, al-T abarî cenderung untuk membedakan antara musyrik dan ahl al-kitâb; karena menurutnya “musyrik dan ahl al-kitâb” merupakan dua kelompok yang berbeda; sebagaima dijelaskan oleh Qatâdah.

berdasarkan Q.S. al-Mumtahanah/60. Dalam hal ini al-Tabarî mengutip beberapa

riwayat terutama yang berhubungan dengan sabab al-nuzûl ayat tersebut.

106

Ketika sampai pada potongan ayat wa lâ tumsikû bi 'isam kawâfir,

al-Tabarî menjelaskan bahwa redaksi tersebut merupakan larangan Allâh SWT agar

para sahabat tidak menjalin dan/atau mempertahankan perkawinan mereka dengan

wanita-wanita musyrikah; penyembah berhala. Dan hal ini langsung mendapat

respon positif dari para sahabat termasuk ‘Umar ibn al-Khattâb ra.

107

Al-Tabarî

mendukung pendapat al-Zuhrî bahwa turunnya ayat mihnah ini, karena adanya

perjanjian antara nabi dengan kafir Quraisy, bukan karena peperangan di antara

mereka. Oleh karenanya, mereka saling bertukar mahar dan nafkah atas istri-istri

yang tidak mengikuti tempat tinggal para suaminya. Karena jika ayat tersebut

turun karena perang, maka tidak mungkin ada pengaturan sedemikian rupa,

termasuk pertukaran mahar dan nafkah. Dengan demikian, dapat simpulkan

bahwa musyrik Mekah pada saat itu bukanlah kafir harbî melainkan mu’âhadah.

Dalam hal ini, penulis tidak menemukan pendapat pribadi al-Tabarî tentang

penafsiran ayat tersebut, maupun analisisnya berkenaan dengan berbagai riwayat

yang ada, selain tarjîh.

108

106

Di antaranya, adalah riwayat yang disampaikan Abu Nas r al-Asadî, tentang jawaban Ibn ‘Abbâs ra ketika ditanya perihal bentuk ujian yang diberikan oleh Rasulullah saw kepada para wanita yang bergabung dengan beliau dan para sahabat, di H udaibiyah. Ibn ‘Abbâs ra, berkata: “Nabi mengambil sumpah mereka; (1) bahwa mereka meninggalkan rumah bukan karena takut kemarahan suami (2) bukan karena benci pada daerah tertentu, dan mencari tempat yang lebih aman, (3) bukan karena harta benda (4) mereka meninggalkan rumah tidak lain, hanyalah karena mencintai Allâh dan Rasul-Nya”. Selengkapnya, lihat: Muh ammad ibn Jarîr ibn Yazîd ibn Khâlid Abû Ja’far al-Tabarî, Jâmi’ al-Bayan ‘An Ta’wîl Âyi al-Qur’ân, Juz. XII/64.

107

Peristiwa ini terekam dengan jelas oleh beberapa riwayat, di antaranya adalah riwayat Marwân ibn Hakam, bahwa nabi saw kedatangan beberapa wanita beriman, setelah perjanjian antara umat Islam dan orang-orang Quraisy baru saja dibuat (sedangkan perjanjian tersebut sama sekali tidak membahas para wanita). Maka, turunlah Q.S. 60: 10. Dan ketika sampai pada redaksi "bi 'isam al-kawâfir", ‘Umar ra langsung menceraikan dua istrinya sekaligus, yang masih tetap dalam keadaan syirik. Lihat: Muh ammad ibn Jarîr ibn Yazîd ibn Khâlid Abû Ja’far al-T abarî,

Jâmi’ al-Bayân ‘an Ta’wîl Âyi al-Qur’ân, Juz. XII/64.

108

Dalam hal ini, al-T abarî menyebutkan beberapa riwayat, termasuk riwayat yang disampaikan oleh Ibn Syihâb bahwa, berita yang sampai kepadanya tentang ayat mihnah adalah peristiwa antara nabi dan dan orang-orang Quraisy dalam masa perjanjian. Pada saat itu, nabi saw mengembalikan nafkah yang diberikan oleh para mantan suami wanita-wanita yang baru saja masuk Islam, dan bergabung di H udaibiyah untuk hijrah ke Madinah, sedangkan para suami mereka masih kafir dan terikat perjanjian dengan Nabî. Jikalau saja mereka adalah kafir harbî, maka tidak mungkin ada perjanjian, pengembalian sesuatupun atas nafkah yang telah diberikan tersebut. Selengkapnya, lihat: Muhammad ibn Jarîr ibn Yazîd ibn Khâlid Abû Ja’far al-T abarî,

Sedangkan, ketika menjelaskan Q.S. 5: 5, al-Tabarî menyatakan bahwa ahl

al-kitâb (Yahudi-Nasrani) yang hewan sembelihannya boleh dimakan, serta

wanitanya dapat dinikahi orang Islam, adalah mereka yang menjalankan agama

Yahudi atau Nasrani dengan berpegang pada kitab Taurât atau Injîl yang

diturunkan kepada mereka. al-Tabarî memilih untuk meluaskan cakupan ahl

al-kitâb; bukan hanya dari bani Isra’il, melainkan siapa saja yang beragama Yahudi

atau Nasrani dan menjalankan aturan-aturan yang ada dalam kedua kitab mereka

(Taurât dan Injîl). Kendati secara essensial, pendapatnya tampak serupa dengan

‘Atâ ibn Abî Rabâh dan al-Syâfi’î yang menyempitkan cakupan ahl al-kitâb.

109

Dari pemaparan di atas dapat diketahui bahwa, penafsiran al-Tabarî atas

ayat-ayat tentang perkawinan lintas agama tergolong tafsîr bi al-manqûl/ma’tsûr,

109

Pendapat al-Tabarî ini, kendati dengan redaksi yang berbeda, namun essensinya tampak sama dengan pendapat ‘Atâ’ ibn Abî Rabâh . Lihat: Abû Bakr Abd al-Razzâq ibn Hammâm al-San’anî,Musannaf Abd al-Razzâq, Juz. VII, Cet. III, (Beirut: al-Maktab al-Islâmî, 1403 H), h. 187. Pendapat ‘Atâ’ yang dimaksud di sini adalah pernyataannya bahwa, orang-orang Yahudi dan Nasrani hanyalah dari kalangan bani Isra’il saja. Pendapat ini, untuk selanjutnya dikuatkan oleh al-Syâfi’î dalam pernyataannya bahwa, “ ahl al-kitâb adalah orang-orang, yang Taurât dan Injîl telah turun pada mereka, yakni bani Isra’il dan para keturunan mereka. Adapun orang-orang non bani Isra’il yang masuk agama mereka, tidaklah masuk dalam kategori ayat tersebut (Q.S. 5: 5). Oleh karenanya, mereka bukanlah orang-orang yang hewan sembelihannya halal untuk orang Islam, karena mereka bukan orang-orang yang diberi kitab sebelum umat Islam ”. Hanya saja (dalam hal ini) al-Tabarî tidak secara terang menyebutkan kata bani Isra’il. Namun pernyataannya bahwa, ”

ahl al-kitâb adalah orang-orang yang diberi kitab Taurât dan Injîl, dan masuk agama

Yahudi-Nasrani atau salah satunya”, merupakan indikasi bahwa mereka adalah bani Isra’il; karena kepada merekalah Taurât dan Injîl diturunkan. Namun, al-T abarî tidak mengakui hal itu, karena ia cenderung menyatakan sebaliknya, dengan mendasarkan pada pernyataan ‘Alî ibn Abî T âlib yang tidak suka dengan sembelihan Nasrani bani Taghlab, karena perbuatan mereka yang tidak sesuai dengan aturan halal-haram dalam kitab suci mereka sendiri, bukan karena mereka dari luar bani Isra’il. Dengan demikian, (menurut al-T abarî) tidak jadi masalah, jika seorang muslim memakan sembelihan orang-orang Yahudi ataupun Nasrani yang berpegang teguh pada ajaran kedua agama tersebut, baik dari kalangan bani Isra’il maupun bukan. Dan atas dasar inilah, ia menyatakan bahwa pendapat al-Syâfi’î, tampak salah. Lihat: Muh ammad ibn Jarîr ibn Yazîd ibn Khâlid Abû Ja’far al-Tabarî, Jâmi’ al-Bayân ‘An Ta’wîl Âyi al-Qur’ân, Juz. IV/440. Dalam menjelaskan

al-muhsanât, al-Tabarî cenderung memahaminya sebagai “al-harâ’ir” daripada “al-'afâ’if”, karena

menikahi budak tidaklah diizinkan kecuali jika mereka adalah wanita mukminah; sebagaimana disebutkan dalam Q.S. 4: 25. Dan jika hal itu dipahami sebagai “al-'afâ’if”, maka akan memasukkan budak wanita dari kalangan ahl al-kitâb, sekaligus mengecualikan para wanita merdeka dari kalangan ahl al-kitâb dan mukminah yang tidak terjaga. Padahal Allâh telah menghalalkan wanita-wanita mukminah yang merdeka, walaupun bukan “al-'afâ’if”, sebagaimana dijelaskan dalam Q.S. al-Nûr/24: 32. Bahkan ia membolehkan perkawinan dengan para wanita yang tidak terjaga, asalkan dari kelompok yang ditunjuk oleh zahir al-nass Q.S. 5: 5 tersebut, yakni mukminah dan ahl al-kitâb, baik kafir dzimmî maupun harbî. Namun setelah mempertimbangkan baik buruknya masa depan keturunan mereka kelak. Dan jangan sampai