• Tidak ada hasil yang ditemukan

Respon Rasulullah saw terhadap Kasus Perkawinan

BAB II: PERKAWINAN LINTAS AGAMA DALAM PERKEMBANGAN

1. Respon Rasulullah saw terhadap Kasus Perkawinan

Sejarah mencatat bahwa, lahirnya Islam di Jazirah Arabia melalui

perjuangan panjang dan proses yang berkesinambungan. Setidaknya, Rasulullah

saw membutuhkan waktu dua puluh tiga tahun untuk meletakkan dasar-dasar

agama Islam sampai pada masa kesempurnaanya.

4

Dengan demikian, tidak dapat dipungkiri bahwa selama masa tersebut,

sangat mungkin terjadi perubahan aturan demi aturan karena adanya proses “tadrîj

al-ahkâm”.

5

Dengan demikian mustahil kiranya, jika menerapkan aturan ideal

Translations, and Expanded Notes by Andrew Rippin, (Oxford: Oxford University Press, 1977), h. 121. Sedangkan tafsir salaf/klasik merupakan karya-karya tafsir awal (yang sampai pada generasi sekarang). Periode ini berawal sejak lahirnya karya tafsir tertua (tafsir al-T abarî), sampai menjelang modernisasi di Barat yang diikuti gerakan pembaharuan dalam Islam oleh beberapa tokoh terutama di Timur Tengah, yang untuk selanjutnya memunculkan tafsir generasi modern dan kontemporer.

3

Dalam periode (formatif) ini, kajian difokuskan pada penafsiran Rasulullah saw (jika ada), sahabat, dan tabi’i. walaupun sebenarnya, masa formatif masih berlangsung pasca tabi’i, namun penulis menganggap cukup pada tiga sumber dimaksud, karena sumber-sumber tersebut menjadi rujukan utama bagi para mufassir setelahnya. Sehingga, berbagai pendapat yang muncul pada periode formatif pasca tabi’i, dapat dipastikan tidak mengalami perbedaan yang signifikan dengan penafsiran sebelumnya.

4

Terdapat beberapa pendapat tentang lamanya masa risalah Muh ammad saw, yang dimulai sejak diturunkannya wahyu pertama Q.S. al-‘Alaq: 1-5, di gua H irâ, dan berlanjut sampai beliau wafat. Dalam hal ini, Karen Amstrong berkata: “During the month of Ramadhan in about the year 610, an Arabic merchant of the city of Mecca in the Hijaz had an experience that would ultimately change the history of the world. Each year Muhammad ibn Abdullah retired with his wife and family to a cave on mount Hira in the Meccan Valley to make a spiritual retreat…. But that changed on the seventeenth night of Ramadhan, when Muhammad was torn from sleep in his mountain cave and felt himself overwhelmed by a divastating divine presence… Twenty-three years later, when Muhammad died on 8 June 632, he had managed to bring nearly all the tribes into his Muslim community”. Selengkapnya lihat: Karen Amstrong, Muhammad a Western

attempt to Understand Islam, (London: Victor Gollancz Ltd, 1991), h. 45-46. Pada masa yang

panjang tersebut, selain wahyu, Rasul pun melakukan ijtihad atas berbagai persoalan pada saat itu. Selengkapnya lihat: Abd al-Jalîl ‘Îsâ Abû al-Nas r,Ijtihâd al-Rasûl Salla Allâh ‘Alaih wa Sallam,

terj. Wawan Djunaedi Soffandy, dengan jdl. Ijtihâd Rasûlullâh, Cet. I, (Jakarta: Pustaka Azzam, 2001), h. 87-177. Sedangkan ayat yang menunjukkan kesempurnaan ajaran agama Islam adalah Q.S. al-Mâ’idah/5: 3, “...Pada hari ini, orang-orang kafir telah putus asa untuk (mengalahkan) agamamu, sebab itu janganlah kamu takut kepada mereka dan takutlah kepada-Ku. pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridai Islam itu jadi agama bagimu…”.

5

Hal ini dapat dilihat dari beberapa kasus penerapan aturan hukum Islam, seperti tentang pengharaman Khamr. Dalam hal ini, khamr tidaklah serta merta diharamkan. Bahkan melalui beberapa tahapan, dengan berbagai alasan; termasuk kesiapan umat Islam awal secara psikologis. Setidaknya lihat: Abd al-Mâlik ibn Abdillâh ibn Yûsuf al-Juwainî Abu al-Ma’âlî, al-Burhân fî usûl

al-Fiqh, Muhaqqiq: Abd al-Azîm Mahmûd al-Dîb, Juz. II, Cet. IV, (Mesir: al-Wafâ al-Mans ûrah,

sejak kelahiran Islam pertama kali. Setidaknya atas dasar inilah, di dalam

menjalankan misinya, nabi saw menggunakan berbagai strategi dan pendekatan

yang dapat diterima oleh masyarakat Arab, khususnya.

6

Di samping itu, obyek

dakwah beliau pertama kali adalah keluarga, kerabat dekat, teman karib, serta

orang-orang yang mempunyai kedekatan dengan beliau.

7

Periode Mekah adalah masa penanaman dasar-dasar akidah Islam,

sehingga ayat-ayat yang tergolong Makiyah tidak banyak berbicara tentang aturan

hukum ataupun tatanan kehidupan sosial yang dicita-citakan Islam, sebagaimana

tergambar pada ayat-ayat Madaniyah, selanjutnya.

8

Dengan demikian, perhatian

beliau sama sekali belum tertuju pada pengambilan sikap atas kasus-kasus

perkawinan lintas agama yang terjadi pada saat itu. Bahkan; ketika di Mekah,

beliau sempat menikahkan putri beliau “Zainab” dengan seorang musyrik, Abû

al-‘Âss ibn al-Rabî’.

9

Ahâdits Sayyid al-Akhyâr Syarh Muntaqâ al-Akhbâr, Juz. II, (Idârah al-Tibâ’iyah al-Munîriyah,

tt), h. 42 6

Tentang hal ini, dapat dilihat pada Q.S. Âlu ‘Imrân/3: 159. “Maka disebabkan rahmat Allâh-lah kamu berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu……”.

7

Sebagai contoh dalam hal ini adalah, perintah s alat yang dimulai dari pribadi nabi dan keluarga beliau, sebelum mengajarkannya kepada orang lain. Sebagaimana dijelaskan dalam Q.S. Tâhâ/20: 132.

8

Sebelum hijrah ke Madinah, misi nabi tidak lebih dari kisaran masalah keagamaan; ajaran tauhid, dan etika. Ketika di Mekah maupun awal-awal datang ke Madinah ajaran yang dibawanya tidak jauh berbeda dengan ajaran Yahudi dan Nasrani; sebelum ada penyelewengan dari para pengikut kedua agama tersebut. Lihat: Wael B. Hallaq, The Origins and Evolution of

Islâmic Law, Cet. I, (Cambridge: University Press, 2005), h. 19. Hal ini, jelas berbeda dengan

beberapa tahun berikutnya, di mana telah terbentuk suatu komunitas masyarakat muslim (ummah) di Madinah. Sehingga, beberapa kasus dapat diputuskan berdasarkan ijtihad dan wahyu, seperti Kasus zihâr antara Aus ibn al-S âmit dan Haulah bint Tsa’labah. Lihat: Muh ammad ibn Ismâ’îl Abû ‘Abdillâh al-Bukhârî al-Ju’fî, al-Jâmi’ al-Sahîh al-Mukhtasar, Juz. IV, Cet. III, (Beirut: Dâr Ibn Katsîr, Yamâmah, 1987), h. 1851. Lihat juga: Sulaimân ibn Asy’ats Abû Dâwûd al-Sijistânî al-Azdî, Sunan Abî Dâwûd, Muhaqqiq: M. Muhyî al-Dîn Abd al-Hamîd, Juz. I, (Beirut: Dâr al-Fikr, tt), h. 674. Juga beberapa kasus lain, seperti pencuarian, perzinahan dan sebagainya.

9

Dalam hal ini, al-Qurt ubî menjelaskan bahwa nabi saw telah menikahkan Zainab (putrinya) sedangkan dia masih dalam keadaan kafir, dengan Abû al-‘Âss ibn al-Rabî’. Kemudian Zainab masuk Islam, demikian juga suaminya, segera menyusul masuk Islam. Berdasarkan riwayat yang disampaikan Ibn Syihâb, dinyatakan bahwasannya setelah Zainab Masuk Islam, maka ia segera hijrah ke Madinah setelah nabi (pada hijrah pertama), sedangkan pada saat itu suaminya, Abû al-‘Âss ibn al-Rabî’ masih dalam keadaan musyrik, di Mekah. Ketika suaminya menyusul ke Madinah dan menyatakan masuk Islam, keduanya dikembalikan dalam ikatan keluarga. Selengkapnya lihat: Abû ‘Abdillâh Muhammad ibn Ahmad ibn Abû Bakr ibn Faraj al-Qurt ubî,

Keadaan ini berlanjut sampai datang masa hijrah ke Madinah, yakni ketika

sudah terdapat pemisahan yang jelas antara para pengikut nabi saw dan

orang-orang kafir Quraisy, baik secara geografis maupun sosial.

10

Dan pada saat itulah

mulai terjadi beberapa kali kontak senjata antara kedua kelompok tersebut di

beberapa tempat sekitar Mekah-Madinah. Hingga pada suatu hari, Martsad ibn

Abî Martsad

11

menyusup ke Mekah untuk mengeluarkan salah seorang sahabat

yang ditawan kafir Quraisy, dan membawanya ke Madinah. Namun, ketika berada

di Mekah ia bertemu kembali dengan teman wanitanya, ‘Anâq, seorang pelacur

musyrikah. Ia mengajak Martsad berzina, namun ditolaknya. Dan, sekembalinya

dari Mekah, entah kenapa ia meminta izin kepada Rasulullah saw untuk

mengawini wanita tersebut. Namun tanpa alasan yang jelas, beliau melarangnya,

hingga turun Q.S. al-Nûr [24]: 3.

12

Setelah itu beliau bersabda bahwa, lelaki

10

Menurut Wael B. Hallaq, ide untuk menciptakan komunitas politik dan sosial sudah muncul sejak nabi berada di Mekah. Hal ini terbukti dengan segera terwujudnya kesuksesan nabi dalam mengorganisir suku-suku Yahudi dan Arab ke dalam sebuah lembaga politik sesampainya di Madinah. Adanya konstitusi Madinah adalah merupakan suatu bukti konkrit adanya suatu ketrampilan tinggi dalam merumuskan dokumen-dokumen hukum yang menakjubkan, apalagi didukung dengan kapasitasnya sebagai seorang hakim arbitrasi (hakam), pada saat itu. Lihat: Wael B. Hallaq, A History of Islam ic Legal Theories,an introduction to sunni usûl al fiqh, (Cambridge: University Press, 1997), h. 4. Di sisi lain Akram D iyâ al-‘Umarî, menyatakan: “ Islam brought about a radical change in the individual and social life of Medina, because of its depth and comprehensiveness and its ability to affect the quality of all aspect of life…. The state of Medina was founded upon a totally idological base, and it expended to unite the Arabian paninsula for the first time in its history under the banner of Islam. This was an advencement in the political history of the Arabian paninsula”. Selengkapnya, lihat: Akram Diyâ al-‘Umarî, Madinah Society at the

time of the Prophet, translated from al-Mujtama’ al-Madânî fî al-Nubuwwah, by Huda Khattâb,

edisi. II, (Virginia USA: the International Institute of Islam ic Thought, 1995), h. 51.

11Dia adalah orang yang kuat, dan pada saa itu ia berjanji pada tawanan tersebut untuk membebaskannya. Janji tersebut dipenuhinya, walaupun harus dengan cara menggendong tawanan itu. Ia juga termasuk orang yang ikut serta dalam perang Badar, dan bersama ayahnya mendampingi Hamzah ibn Abd al-Mutallib ra dalam perang tersebut. Lihat: Abû Ja’far Muhammad ibn Jarîr al-T abarî, Târîkh al-Umam wa al-Muluk, Juz. II, Cet. I, (Beirut: Dâr al-Kutub al-Ilmiyah, 1407), h. 213. Lihat juga: Muh ammad ibn ‘Îsâ Abû ‘Îsâ al-Turmudzî al-Sulamî,

al-Jâmi’ al-Sahîh Sunan al-Turmudzî, Juz. V, (Beirut: Ihyâ al-Turâts al-‘Arabî, tt), h. 328. Lihat

juga: Abû Bakr Ahmad ibn al-Husain ibn ‘Alî ibn Mûsâ al-Baihaqî, Sunan al-Baihaqî al-Kubrâ,

Juz. VII, (Makkah al-Mukarramah: Maktabah Dâr al-Bâz, 1994), h. 153, No. Hds. 13639 12

Ayat tersebut menjelaskan tentang larangan perkawinan antara pezinah dengan orang-orang yang terjaga, “Laki-laki yang berzina tidak mengawini melainkan perempuan yang berzina, atau perempuan yang musyrik, dan perempuan yang berzina tidak dikawini melainkan oleh laki-laki yang berzina atau lelaki-laki yang musyrik, dan yang demikian itu diharamkan atas orang-orang yang mu’min”. Terdapat perbedaan pemahaman tentang redaksi terakhirnya “wa hurrima dzâlika

'alâ al-mu'minîn”, apakah pengharaman tersebut, berkenaan dengan mengawini orang yang zina

ataukah perbuatan zinanya. Namun, dengan melihat damîr yang dipakai adalah (dzâlika), yakni

pezinah tidak boleh menikah selain hanya dengan perempuan pezinah, atau wanita

musyrik. Dan begitu pula sebaliknya bahwa, perempuan pezinah juga tidak boleh

dinikahi, selain hanya oleh lelaki pezinah atau musyrik.

13

Sebelum ayat turun, tidak diketahui apakah larangan Rasul tersebut

disebabkan oleh perbedaan keyakinan antara Martsad dengan ‘Anâq, atau

mungkin juga karena profesi ‘Anâq (sebagai pelacur/pezinah), atau bahkan

mungkin karena adanya permusuhan yang terjadi antara kaum muslimin dengan

kafir Quraisy. Namun, setelah turun ayat di atas, jelaslah bahwa pelarangan ini

disebabkan oleh karena profesi ‘Anâq sebagai pelacur tersebut. Dengan demikian,

sampai pada saat itupun, Rasulullah saw belum mengambil sikap tegas atas

perkawinan yang dilakukan antara pengikutnya dengan non muslim, Musyrik.

Pada masa awal-awal hijrah, turun juga Q.S. 2: 221. Dan, sebagaimana

diketahui bahwa surah al-Baqarah, adalah surah pertama yang turun di Madinah.

Namun tidak ada suatu keterangan yang menjelaskan tentang manakah yang lebih

dulu dari kedua ayat tersebut (Q.S. 24: 3, dan 2: 221). Namun, jika dilihat dari

urutan turunnya surah, maka surah al-Baqarah lebih dulu dari pada al-Nûr. Akan

tetapi permasalahannya adalah, tidak semua ayat dalam suatu surah turun

sekaligus; bersama-sama. Oleh karenanya, belum tentu Q.S. 2. 221 turun lebih

dulu dibandingkan Q.S. 24: 3 tersebut. Tapi bagaimanapun, kasus Martsad ra

tersebut berlangsung sebelum akhir tahun 3 H, karena pada bulan Safar 3 H, ia

meninggal.

14

hanya untuk salah satunya saja, melainkan semuanya, baik perbuatan zina maupun mengawini para pelakunya.

13

Dalam riwayatnya, al-Turmudzî menyebutkan bahwa Rasulullah saw berkata pada Martsad ra: “Wahai Martsad, Laki-laki yang berzina tidak (boleh) mengawini melainkan perempuan yang berzina, atau perempuan yang musyrik, dan perempuan yang berzina tidak (berhak) dikawini melainkan oleh laki-laki yang berzina atau lelaki yang musyrik, maka janganlah engkau menikahinya!”. Selengkapnya, lihat: Muh ammad ibn ‘Îsâ Abû ‘Îsâ Turmudzî al-Sulamî, al-Jâmi’ al-Sahîh Sunan al-Turmudzî, Juz. V/328. Bandingkan juga dengan: Ah mad ibn Syu’aib Abû Abd al-Rahmân al-Nasâ’î, al-Mujtabâ min al-Sunan, Muhaqqiq: Abd al-Fattâh Abû al-Ghadah, Juz. VI, Cet. II, (H alb: Maktabah al-Matbû’ât al-Islâmiyah, 1986), h. 66.

14

Muhammad Ibn Sa’d menyebutkan dalam kitabnya “al-Tabaqât al-Kubrâ” bahwa, beberapa orang yang baru masuk Islam (dari Rajî’) mengadu kepada nabi, ingin belajar banyak tentang Islam. Maka, beliau mengutus sepuluh orang sahabat di bawah pimpinan Martsad ibn Abî Martsad ra untuk datang ke sana (ke kabilah ‘Adal dan Qurah; pimpinan Hûn ibn Khazîmah), bersama 9 orang sahabat lainnya. Di tengah perjalanan, mereka dihadang oleh orang-orang bersenjata (dalam jumlah yang lebih besar) dan terjadilah peperangan yang tidak seimbang

Namun, ketika kita menilik kembali riwayat di atas, seakan-akan Q.S. 24:

3 turun lebih dulu daripada Q.S. 2: 221. Jika tidak demikian, Martsad tidak

mungkin meminta izin untuk mengawini ‘Anâq yang jelas-jelas masih

menyembah berhala. Demikian juga, kendati nabi melarangnya, namun beliau

sama sekali tidak memberikan alasan yang jelas tentang pelarangan tersebut

kepada Martsad hingga turun Q.S. 24: 3.

15

Pada tahun 6 Hijriyah, Rasulullah saw bersama para sahabat bermaksud

melakukan ‘umrah, namun dihalangi oleh orang-orang Quraisy di Hudaibiyah,

maka terjadilah perjanjian Hudaibiyah yang disusul Bai’ah al-Ridwân. Dalam

perjanjian tersebut diatur beberapa hal yang sangat merugikan kaum muslimin.

Namun, dengan demikian justru semakin menguatkan barisan para pengikut nabi,

karena sejak saat itu, banyak penduduk Mekah yang mendatangi nabi dan

menyatakan keimanannya.

16

Dalam peristiwa tersebut turun beberapa ayat al-Qur’ân, termasuk Q.S. 60:

10, yang di dalamnya terdapat redaksi ”wa lâ tumsikû bi 'isam al-kawâfir”, yakni

larangan mempertahankan perkawinan dengan orang-orang kafir. Turunnya ayat

ini langsung mendapat respon positif dari kaum muslimin. Oleh karenanya, para

sehingga banyak dari mereka yang terbunuh; termasuk Martsad ra. Lihat: Muh ammad Ibn Sa’d ibn Manî’ al-Hâsyimî al-Basrî,al-Tabaqât al-Kubrâ, Juz. I, Cet. II, (Beirut: Dâr al-Kutub al-’Ilmiyah, 1997), h. 42

15

Dalam riwayat panjang yang disampaikan al-Turmudzî, terdapat redaksi yang mengandung kemungkinan sebagaimana disebutkan di atas, sebagaimana kutipannya tentang pernyataan Martsad ra sendiri: “Aku mendatangi Rasulullah saw, dan kukatakan: “Wahai Rasulullah, bolehkah aku menikahi ‘Anâq?”. Beliau melarang, namun sama sekali tidak melanjutkan dengan komentar apapun, sehingga turun Q.S. 24: 3”. Lihat kembali: Muh ammad ibn ‘Îsâ Abû ‘Îsâ al-Turmudzî al-Sulamî, al-Jâmi’ al-Sahîh Sunan al-Turmudzî, Juz. V/ 328, No. Hds. 3177. Lihat juga: Abû Bakr Ahmad ibn al-Husain ibn ‘Alî ibn Mûsâ al-Baihaqî, Sunan al-Baihaqî

al-Kubra: VII/153, No. Hds. 13639. Dan juga: Ahmad ibn Syu’aib Abû Abd al-Rahmân al-Nasâ’î,

al-Mujtabâ min al-Sunan, Juz. VI/66.

16

Karena setelah pulang dari H udaibiyah; pada bulan Dzu al-Hijjah 6 H, nabi Muh ammad saw mengirimkan surat kepada beberapa raja dan kabilah-kabilah Arab, yang berisi ajakan untuk memeluk agama Islam, dengan mengakui Muh ammad sebagai utusan Allâh SWT. Di antara beberapa sahabat yang di utus kepada raja-raja, ialah: (1) ‘Amr ibn Umaiyyah al-D umrî, diutus kepada raja Najâsyî, ia menerima dengan baik, dan membalas surat lewat Ja’far ibn Abî T âlib, (2) Dihyah ibn Khalifah al-Kalabî, menghadap Qais ar lewat pembesar Busrâ, (3) ‘Abdullâh ibn Hudzafah al-Sahamî, menghadap raja Kisrâ, namun dia marah dan suratnya dirobek-robek. Sedangkan, sahabat yang diutus ke beberapa pembesar/kabilah, di antaranya: (1) Mu’adz ibn Jabal, diutus untuk penduduk Yamân, (2) Sujâ’ ibn Wahb Asadî, menghadap H ârits ibn Abi Syâmir al-Ghassânî, (3) Salît ibn ‘Amr al-‘Amirî, diutus untuk H andah ibn ‘Alî al-H anafî. Selengkapnya, lihat: Muhammad ibn Sa’d ibn Manî’ al-Hâsyimî al-Bas rî,al-Tabaqât al-Kubrâ, Juz. I/198-209.

sahabat yang pada saat itu masih mempunyai istri-istri kafir segera menceraikan

mereka demi mengamalkan materi ayat tersebut.

17

Dalam hal ini, penulis tidak menemukan satupun redaksi hadîts qaulî,

yang secara langsung mengungkapkan sabda Rasul perihal turunnya Q.S. 60: 10

ini. Mungkin saja, beliau mengganggap hal itu tidak perlu dilakukan karena sudah

ada nass sarîh yang langsung dapat dipahami serta diamalkan oleh para sahabat

pada saat itu juga. Dan, dua tahun kemudian, tepatnya pada bulan Ramadân tahun

8 Hijriyah, terjadilah peristiwa besar sebagaimana terukir dalam sejarah, yaitu

penaklukan kota Mekah, yang lazim disebut fath Makkah.

Setelah peristiwa itu turunlah beberapa ayat, termasuk di dalamnya Q.S.

al-Mâidah [5]: 5, yang memuat penjelasan tentang kebolehan mengawini para

wanita ahl al-kitâb dengan kriteria “al-Muhsanât”. Sebagaimana dijelaskan Ibn

‘Abbâs ra, bahwa setelah Q.S. 2: 221 turun, para sahabat mencegah dari bentuk

perkawinan tersebut. Namun setelah turun Q.S. 5: 5, mereka sama menikahi

wanitaahl al-kitâb.

18

Dalam riwayat tersebut, seolah Ibn ‘Abbâs ra memasukkan ahl al-kitâb

dalam kategori musyrik, hal ini dapat dilihat dari redaksinya yang berbunyi "fa

hajaza al-nâs 'anhunna hattâ nazalat al-latî ba'dahâ". Jika demikian, maka Q.S.

5: 5 berfungsi sebagai nâsikh, yang menyalin hukum ayat sebelumnya (Q.S. 2:

221), atau sebagai mustatsnâ yang mengecualikan dan membedakan ahl al-kitâb

17

Di antara mereka adalah ‘Umar ibn Khatt âb. Ia menceraikan dua istrinya sekaligus; yaitu (1) putrinya Abû Umaiyyah ibn Mughîrah yang akhirnya di kawin oleh Mu’awiyah ibn Abû Sufyân (2) Ummu Kaltsûm bint Jazûl al-Khazâ’iyyah, ibu dari ‘Abdullâh ibn ‘Umar ra, yang akhirnya ia dikawini oleh Abû Jah m ibn Hudzâfah ibn Ghânim. Demikian juga dengan T alhah ibn ‘Ubaidillah ra ibn ‘Utsmân ibn ‘Amr al Taimî, ia menceraikan istrinya bernama Urwâ bint Rabî’ah ibn Hârits ibn Abd al-Mutallib. Namun setelah mantan istrinya tersebut masuk Islam, iapun dikawin oleh Khalid ibn Sa’îd ibn ‘Âss . Dua sahabat di atas adalah dua dari sekian banyak sahabat yang menceraikan istri-istrinya setelah turun Q.S. 60: 10 tersebut. Selengkapnya lihat: Muhammad ibn Jarîr ibn Yazîd ibn Khâlid Abû Ja’far al-T abarî,Jâmi’ Bayân ‘An Ta’wîl Âyi

al-Qur’ân, Juz. XII, (Beirut: Dâr al-Fikr, 1405 H), h. 68, 70. Lihat juga: Abû al-Qâsim Sulaimân ibn

Ahmad ibn Ayyûb al-Tabrânî, al-Mu’jam al-Kabîr, Juz. XX, Cet. II, (Mûsal: Maktabah al-‘Ulûm wa al-Hikam, 1983), h. 9

18

Komentar Ibn ‘Abbâs ra ini, terekam dalam sebuah riwayat yang disampaikan al-Tabrânî, bahwa Ibn ‘Abbâs ra, berkata: “Setelah turun Q.S. 2: 221, maka orang-orang mencegah diri untuk tidak menikahi (wanita musyrikah), sehingga turunlah Q.S. 5: 5, merekapun lalu menikahi wanita-wanita Ahl al-kitâb”. Lihat: Abu Qâsim Sulaimân ibn Ah mad ibn Ayyûb al-Tabrânî, al-Mu’jam al-Kabîr, Juz. XII/105. Pendapat ini diikuti oleh beberapa tabi’i, termasuk: Mujâhid, Sa’îd ibn Jubair, Ikrimah, dll. Lihat: Abu al-Fidâ Ismâ’il ibn ‘Umar ibn Katsîr al-Qurasyî al-Dimasyqî, Tafsîr al-Qur’ân al-‘Azîm, Juz. I, (Beirut: Dâr al-Fikr, 1401 H), h. 347.

dari kelompok-kelompok musyrik lainnya. Namun, terlepas dari hal itu semua,

terdapat beberapa riwayat lain, yang membedakan antara ahl al-kitâb dan

musyrik.

19

Dari pemaparan di atas jelaslah bahwa, selama periode Mekah, nabi saw

sama sekali tidak menunjukkan respon terhadap kasus-kasus perkawinan lintas

agama. Dan hal itu baru dilakukan setelah beliau dan para pengikutnya hijrah ke

Madinah, memusatkan kegiatan dakwah, ekonomi, serta membentuk dan

membenahi tatanan sosial yang ada di sana.

20

Walaupun demikian, respon yang beliau tunjukkan sama sekali tidak

tampak muncul dari inisiatif pribadi, melainkan perintah dan ketetapan wahyu.

Hal ini dapat dilihat dari sikap pasif beliau atas kasus-kasus perkawinan lintas

agama yang terjadi di kalangan para sahabat, sebelum turunnya wahyu.

Sedangkan setelah wahyu turun, para sahabat langsung mengamalkan zâhir

al-nass, sehingga beliau tidak banyak berkomentar dalam hal ini. Dan bahkan, tidak

diketemukan hadîts-hadîts qaulî tentang proses pelaksanaan ayat-ayat perkawinan

beda agama tersebut. Hal ini memberi indikasi bahwa para sahabat dapat secara

langsung memahami pesan-pesan nass sebelum kemudian mengamalkannya.

Sehingga, nyaris tidak diketemukan dialog antara mereka dengan nabi saw dalam