BAB II: PERKAWINAN LINTAS AGAMA DALAM PERKEMBANGAN
D. Keragaman Hasil Penafsiran dalam Kasus Perkawinan
1. Perbedaan Hasil Tafsir Formatif
Pada masa-masa formatif ini, para mufassir awal melakukan pengkajian
atas ayat-ayat al-Qur’ân dalam bentuk yang sangat sederhana.
172Kendati
demikian, masalah perkawinan lintas agama telah menuai perdebatan, khususnya
sejak masa sahabat. Di mana, beberapa sahabat bermaksud mengamalkan materi
Q.S. 5: 5 (tentang kebolehan mengawini wanita ahl al-kitâb) dengan apa adanya.
Namun di sisi lain, terdapat sahabat-sahabat tertentu yang di dalam mengamalkan
ayat tersebut mendasarkan pada beberapa faktor ekstern ayat, seperti situasi
politik dan kemaslahatan umat Islam.
173Kendati demikian, pada dasarnya (secara
teoritis) mereka sepakat bahwa mengawini wanita ahl al-kitâb adalah “boleh”,
karena perbedaan pendapat yang terjadi di antara mereka hanya dalam tataran
praktisnya saja.
Term “ahl al-kitâb”, dalam pandangan para sahabat hanya untuk
orang-orang Yahudi dan Nasrani saja. Sehingga tidak terdapat satupun riwayat “sahîh”
yang menjelaskan praktek perkawinan seorang muslim dengan non muslimah di
luar Yahudi dan Nasrani.
174Kendati demikian, terdapat perbedaan persepsi dalam
172
Hal ini dilakukan karena memang belum ada tuntutan kearah pengkajian secara mendalam. Namun seiring dengan perkembangan zaman, pola pikir serta kebutuhan umat Islam semakin kompleks akan penjelasan-penjelasan berbagai hal dari al-Qur’ân. Hal ini menuntut para mufassir dan spesialis al-Qur’ân untuk melakukan ijtihad lebih luas dalam rangka memenuhi kebutuhan tersebut
173
Lihat kembali dialog antara khalifah ‘Umar ibn Khatt âb dengan Hudzaifah ibn al-Yamân pada pembahasan “Sub: B.1. Silang pendapat di kalangan sahabat”.Dan lihat juga: Abû Bakr Ahmad ibn al-Husain ibn ‘Alî ibn Mûsâ al-Baihaqî, Sunan al-Baihaqî al-Kubrâ, Juz. VII/173. Bandingkan dengan: Sa’îd ibn Mans ûr, Sunan Sa’îd ibn Mansûr, Juz. I/193.
174
Kendati pada masa Rasul dan sahabat telah dikenal para penganut agama di luar Yahudi dan Nasrani, seperti Sabian dan Majusi/Zoroaster. Namun beberapa riwayat, yang ada sama sekali tidak terdapat indikasi yang memasukkan mereka dalam kategori ahl al-kitâb,
sebagaimana dimaksud Q.S. 5:5. Seperti riwayat tentang perlakuan terhadap orang-orang Majusi (daerah taklukan), yang tidak kurang dari 40 riwayat dan tersebar di sekian banyak kitab-kitab Hadîts. Lihat: al-Syâfi’î, Muhammad ibn Idrîs Abû ‘Abdillâh, Musnad al-Syâfi’î, h. 209; lihat juga: Abu al-Qâsim Sulaiman ibn Ahmad ibn Ayyub al-Tabranî, al-Mu’jam al-Kabîr, Juz. XIX/437. Dan Juga: Mâlik ibn Anas Abû ‘Abdillâh al-As bahî, Muwatta’ al-Imâm Mâlik, Juz. I/278. Dan bandingkan juga dengan: Ah mad ibn ‘Alî ibn Mutsannâ Abû Ya’lâ Mûs ilî al-Tamîmî, Musnad Abî Ya’lâ, Muhaqqiq: Husain Salim Asad, Juz. II, Cet. I, (Damascus: Dâr al-Ma’mûn li al-Turâts, 1983), h. 168. Dalam riwayat di atas, Rasulullah saw memerintahkan untuk memperlakukan Majusi seperti memperlakukan ahl al-kitâb. Dengan demikian, dapat dipastikan bahwa mereka bukanlah ahl al-kitâb. Karena jika mereka adalah ahl al-kitâb, tidak perlu lagi ada upaya untuk mensejajarkan mereka dengan ahl al-kitâb, karena mereka sendiri adalah ahl
memberikan penjelesan berkenaan dengan cakupan dan batasannya; apakah
mereka seluruh penganut Yahudi dan Nasrani, ataukah dibatasi oleh hal-hal
tertentu.
175Perdebatan serupa juga terjadi pada generasi setelah sahabat (tabi’î),
karena bagaimanapun mereka banyak terpengaruh oleh pendapat guru-guru
mereka; yakni para sahabat. Dengan demikian, terbukti bahwa perdebatan pada
masa formatif hanya berkisar pada posisi Yahudi dan Nasrani sebagai ahl al-kitâb.
Dan sama sekali tidak ada upaya memasukkan non muslim di luar mereka dalam
term (ahl al-kitâb) tersebut, kecuali pendapat tersebut akan dianggap lemah.
176Oleh karenanya, pendapat-pendapat yang berkembang tentang perkawinan
lintas agama sama sekali tidak keluar dari pengamalan zâhir al-nass, yang
memperbolehkan perkawinan lelaki muslim dengan wanita ahl al-kitâb, melarang
perkawinan orang Islam dengan orang musyrik, serta mendiamkan bentuk lain
dari perkawinan lintas agama; seperti antara wanita muslimah dengan lelaki ahl
al-kitâb. Namun, dengan tidak adanya riwayat tentang perkawinan antara lelaki
ahl al-kitâb (yang disepakati keabsahannya), seakan memberi sebuah indikasi
175
Kenyataan tersebut sebagaimana ditunjukkan oleh ungkapan ‘Umar ibn al-Khatt âb ra, yang tidak memasukkan Nasrani Arab dalam kategori ahl al-kitâb. Lihat kembali: Muhammad ibn Idrîs Abû ‘Abdillâh al-Syâfi’î, Musnad al-Syâfi’î, h.309. Demikian juga putranya, Abdullâh ibn ‘Umar ra, kendati mengakui Yahudi dan Nasrani sebagai ahl al-kitâb, namun memasukkan mereka dalam golongan musyrik. Lihat: Muh ammad ibn Ismâ’îl Abû Abdillâh al-Bukhârî al-Ju’fî,
al-Jâmi’ al-Sahîh al-Mukhtasar, Juz. V/2024. Namun, para sahabat pada umumnya mengakui Yahudi
dan Nasrani tetap sebagai ahl al-kitâb, kendati terkadang membenci kemungkaran yang diperbuatnya. Sebagaimana sikap ini ditunjukkan oleh beberapa sahabat lain, seperti ‘Alî ibn Abî Tâlib ra, Ibn ‘Abbâs ra, ‘Abdullâh ibn Mas’ûd ra, dan H asan ibn ‘Alî.
176Hal ini terbukti dengan adanya pernyataan sebagian tabi’i, yang membedakan antara musyrik dan ahl al-kitâb, seperti pendapat Qatadâh. Lihat: Abû Bakr Abd al-Razzâq ibn Hammâm al-San’anî,Musannaf Abd al-Razzâq, Juz. VII/176. Atau justru mereka memasukkan ahl al-kitâb
dalam kategori musyrik, namun terdapat pengecualian dalam masalah halalnya makanan dan perkawinan. Seperti pendapat beberapa tabi’i yang dilansir dari pernyataan Ibn ‘Abbâs ra. Lihat: Ismâ’il ibn ‘Umar ibn Katsîr Abu al-Fidâ al-Qurasyî al-Dimasyqî, Tafsîr al-Qur’ân al-‘Azîm, Juz. I/347. Namun Abû ‘Aliyah (w. 90 H) menyatakan bahwa penganut Majusi/Zoroaster membaca kitab Zabûr. Bahkan menurut Abû H anifah, w. 150 H (berikut para pengikutnya) menyatakan bahwa, siapa saja yang mempercapai salah seorang nabi atau kitab yang pernah diturunkan Allâh SWT, termasuk ahl al-kitâb. Lihat: Ali Mustafa Ya’qub, Nikah Beda Agama dalam al-Qur’ân dan
Hadîts, Cet. I/h. 22. Lihat juga: Muh ammad ibn Jarîr ibn Yazîd ibn Khâlid Abû Ja’far al-Tabarî,
Jâmi’ al-Bayân ‘an Ta’wîl Ayi al-Qur’ân, Juz. I/320. Dan juga: Badran Abû al-‘Ianain Badran,
al-Alâqah al-Ijtimâ’iah baina al-Muslimîn wa Ghair al-Muslimîn, (Iskandariyah: Muassasah Syabâb
al-Jâmi’ah, 1984), h. 41-42. Kendati demikian, Abû H anifah tidak menganggap penganut Majusi sebagai ahl al-kitâb, sembari menyatakan bahwa pendapat sebaliknya adalah syadz. Lihat: Abd. Al-Rahmân ibn ‘Alî ibn Muh ammad al-Jauzî, 1404 H, Zâd al-Masîr fi ‘ilm al-Tafsîr, Juz. II, Cet. III, (Beirut: al-Maktab al-Islâmî, 1404 H), h. 297.
bahwa mereka sepakat pada hal sebaliknya, yakni menolak bentuk perkawinan
tersebut.
1772. Perdebatan Para Mufassir Klasik
Masa tafsir klasik yang begitu panjang, menjadikan penulis dan para
peneliti tafsir pada umumnya tidak dapat dengan mudah menarik suatu
kesimpulan dari diskusi-diskusi yang berkembang serta perdebatan yang terjadi di
dalamnya. Hal ini disebabkan oleh perkembangan metode serta keberagaman
pendekatan yang digunakan oleh para mufassir (tersebut), dari masa ke masa.
178Kendati demikian, dalam masalah perkawinan lintas agama tidak terdapat
perdebatan yang berarti, semua pendapat tampak berjalan linier, dengan tetap
mengembangkan prinsip-prinsip serta berbagai diskusi yang telah berkembang
sebelumnya dan terus-menerus hangat sampai pada masa mereka. Para mufassir
cenderung memaparkan berbagai pendapat yang pernah berkembang, baik pada
masa mereka maupun sebelumnya. Kemudian mencoba melakukan analisis dan
berakhir pada upaya tarjîh, atau keluar dari perdebatan tersebut dan menghasilkan
pendapat yang mandiri.
179177
Sebenarnya pernah beberapa kali terjadi perkawinan antara wanita muslimah dengan lelaki ahl al-kitâb (Yahudi-Nasrani) pada saat kekhalifahan ‘Umar ibn al-Khatt âb ra. Namun segera saja hal itu mendapat respon negatif dari pemerintah dan kaum muslim. Sehingga, pasangan tersebut tidak dapat mempertahankan ikatan perkawinannya, bahkan khalifah langsung turun tangan untuk mengatasi permasalahan tersebut. Gambaran beberapa peristiwa tersebut dapat dilihat dari sekian banyak riwayat, yang telah kami paparkan sebelumnya. Lihat: ‘Alî ibn Ah mad ibn Hazm Abû Muhammad al-Zâhirî, al-Muhallâ, Juz. VII/313. Namun, dengan tidak adanya penjelasan kejadian serupa pada masa-masa setelah ‘Umar ra, banyak menyisakan pertanyaan; apakah hal itu berarti kaum muslim sepakat tidak mengakui jenis perkawinan ini, ataukah mungkin masalah itu tidak lagi dianggap penting karena umat Islam disibukkan oleh urusan-urusan politik pasca ‘Umar ra.
178
Lihat kembali penjelasan perihal perkembangan pola penafsiran pada awal pembahasan tafsir klasik. Di mana terdapat beberapa fase perkembangan tafsir klasik, sejak dari pendekatan riwayat, kebahasaan, logika, fikih, teologi, dan lain sebagainya.
179
Di antara praktek analisis tarjîh, adalah pernyataan al-T abarî yang menguatkan pendapat Qatadâh; yang membedakan antara ahl al-kitâb dan musyrik. Lihat: Muh ammad ibn Jarîr ibn Yazîd ibn Khâlid Abû Ja’far al-Tabarî, Jâmi’ al-Bayân ‘an Ta’wîl Âyi al-Qur’ân, Juz. II/ 388. Hal serupa juga dilakukan Ibn Katsîr, yang tidak memakai riwayat al-T abarî karena dianggap
gharîb dalam masalah keh araman menikahi wanita selain muslimah. Lihat: Ismâ’îl ibn ‘Umar ibn
Katsîr Abû al-Fidâ’ al-Dimasyqî, Tafsîr al-Qur’ân al-‘Azîm, Juz. I/347. Demikian juga sikap al-Râzî yang keluar dari perdebatan kebahasaan, dan menyatakan bahwa “kâfir”, merupakan term syari’ah yang tidak sepatutnya dipahami secara kebahasaan. Lihat: Muh ammad Fakhr al-Dîn ibn Diyâ al-Dîn ‘Umar al-Râzî, Mafâtih al-Ghaib, Jld. III/61-62.
Dari lima karya tafsir yang telah penulis paparkan (pada pembasan
sebelumnya), walaupun pembahasannya tentang perkawinan lintas agama tampak
searah, namun mereka mampu mengemas sedemikian rupa dengan melakukan
pembahasan yang demikian dalam, serta pembuatan klasifikasi yang begitu rumit.
Hal ini, dapat dilihat dalam beberapa karya tersebut, di mana para penulisnya
membuat sub pembahasan (masalah) yang begitu banyak hanya dari satu ayat
saja, misalkan.
180Hanya saja, kesimpulan dari pembahasan mereka (dalam
masalah perkawinan lintas agama) tidak jauh berbeda dengan masa ketika pertama
kali masalah tersebut diperdebatkan, pada masa sahabat.
Secara garis besar mereka sepakat bahwa perkawinan antara lelaki muslim
dengan wanita ahl al-kitâb (Yahudi-Nasrani) tidaklah dilarang. Namun, lagi-lagi
perdebatan berkutat pada menentuan kriteria ahl al-kitâb tersebut. Hanya saja,
pada masa ini mereka mulai melakukan penelaahan lebih mendalam dengan
memaparkan berbagai argumentasi rasional, di samping juga berdasarkan
riwayat-riwayat yang mereka temukan. Demikian juga halnya dengan perkawinan antara
wanita muslimah dengan lelaki ahl al-kitâb, maupun antara orang Islam dengan
orang-orang musyrik, sama sekali tidak ada dukungan untuk memperbolehkannya.
Kendati, hal itu pernah diwacanakan, namun justru dianggap sebagai pendapat
yang aneh dan marjûh.
1813. Reinterpretasi Tafsir dalam Wacana Modern/Kontemporer
Dengan melihat berbagai fakta kejumudan pada masa-masa sebelumnya,
beberapa tokoh modernis Islam berupaya membangunkan kembali gairah ijtihad
180
Hal ini dapat dilihat dalam tafsir al-Qurt ubî, misalkan. Di mana ia membagi satu ayat (Q.S. 2: 221) dalam 17 pembahasan. Selengkapnya lihat: Abû ‘Abdillâh Muh ammad ibn Ahmad ibn Abû Bakr ibn Faraj al-Qurtubî, al-Jâmi’ Li Ahkâm al-Qur’ân, Juz. III/64.
181
Perdebatan tentang budak wanita Majusi, berkaitan dengan boleh-tidaknya mereka dikawini orang Islam, sebagaimana diuraikan oleh al-Qurt ubî. Selengkapnya lihat: Abû ‘Abdillâh Muhammad ibn Ahmad ibn Abû Bakr ibn Faraj al-Qurt ubî, al-Jâmi’ Li Ahkâm al-Qur’ân, Juz. III/64. Demikian juga dengan pendapat Abu al-Tsaur dalam hal ini (yakni, menikahi wanita Majusi), namun segera mendapat bantahan dari ulama lainnya termasuk Ah mad ibn Hanbal. Lihat: Muhammad ibn ‘Alî al-Syaukânî, Fath Qadîr Jâmi’ baina Fannay Riwâyah wa
al-Dirâyah min ‘Ilm al-Tafsîr, Juz. II, (Beirut: Dâr al-Fikr, tt), h. 22. Namun, anehnya sebagian
pengikut madzhab Hanbalî justru sependapat dengan Imam H anafî (yang memperluas cakupan
ahl al-kitâb). Lihat: Ali Mustafa Ya’qub, Nikah Beda Agama dalam al-Qur’ân dan Hadîts, Cet.
I/22. Lihat juga: Badran Abû al-‘Ianain Badran, al-Alâqah al-Ijtimâ’iah baina al-Muslimîn wa
umat Islam yang telah sekian lama tertidur. Mereka melakukan penyadaran
intelektual umat Islam, dengan menyeru agar kembali kepada al-Qur’ân-Hadîts
sebagai pijakan utama di setiap aktifitas yang mereka lakukan, tentunya dengan
jalan ijtihad atas berbagai masalah kontemporer yang mereka hadapi sekarang
ini.
182Terdapat pola analisis yang menarik dari al-Manâr perihal non muslim,
dengan menyatakan bahwa semua penganut agama non Islam yang mempunyai
kitab suci atau semacam kitab suci adalah ahl al-kitâb. Demikian juga dengan
term musyrik, menurut penulisnya, hanya diperuntukkan bagi musyrik
(penyembah berhala) Arab. Oleh karena itu semua penganut agama non Islam
pada saat ini, dapat dikategorikan sebagai ahl al-kitâb, yang tentunya para
wanitanya dapat dinikahi. Al-Manâr juga menuduh para ulama terlalu
tergesa-gesa melarang perkawinan antara wanita muslimah dengan lelaki ahl al-kitâb,
tanpa melihat terlebih dahulu situasi sosial yang melatarbelakangi kehidupan
mereka, karena tidak satupun ayat al-Qur’ân yang dengan terang melarangnya.
183Kendati demikan, al-Manâr tidak setuju atas perkawinan orang-orang
Islam dengan non muslim akhir-akhir ini, karena justru sangat berpotensi akan
menimbulkan fitnah. Apalagi bagi para lelaki muslim yang lemah pengetahuan
182
Dan dalam bidang tafsir, al-Manâr dapat di katakan sebagai salah satu wujud dari upaya tersebut. Yang mana dengan meneruskan semangat ijtihad M. Abduh, Rasyîd Rid â menyelesaikan karya dimaksud. Lihat: Rif’at Syauki Nawawi, Rasionalitas Tafsir Muhammad
Abduh, Kajian Masalah Akidah dan Ibadah, Cet. I, (Jakarta: Paramadina, 2002) h. 97, 98. Dalam
penyajian tamtsîl dan ta’wîl, Abduh tampak terpengaruh oleh metode al-Zamakhsyarî. Namun terdapat perbedaan antara keduanya, di mana al-Zamakhsyarî menyajikannya untuk menyesuaikan antara nass dengan akal, sekaligus menguatkan madzhab mu’tazilah yang dianutnya. Sedangkan, Abduh melakukannya untuk menyesuaikan nass dengan akal sembari memerangi penakwilan al-Qur’ân yang ditujukan untuk menguatkan madzhab-madzhab kalam, serta menyangsikan para mufassir yang berangkat dari, dan untuk kepentingan madzhab tertentu. Selengkapnya lihat: Abdullâh Mahmûd Sahhâtah,Manhaj al-Imâm Muhammad Abduh, (Kairo: Universitas Kairo, tt), h. 97
183
Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya bahwa, M. Rasyîd Ridâ mengutip pendapat Abû Mansûr Abd al-Qâhir ibn T âhir al-Baghdâdî dalam kitabnya: al-Farq baina al-Firâq untuk menguatkan pendapatnya tentang perluasan ahl al-kitâb. Selengkapnya, lihat: M. Rasyîd Ridâ,
Tafsîr al-Qur’ân al-Hakîm (tafsir al-Manâr), Juz. VI/153. Adapun, tentang sorotan al-Manâr
terhadap pelarangan (jumhur ulama) terhadap perkawinan wanita muslimah dengan lelaki ahl
agamanya, mereka akan dengan mudah terlena oleh kecantikan para wanita
tersebut, dan terjerumus tipu dayanya.
184Beberapa tafsir kontemporer lainnya, kendati menggunakan pola analisis
brilian, namun masih mengacu atau setidaknya searah dengan pendapat-pendapat
ulama klasik, sebagaimana hal ini tergambar dalam tafsir fî Zilâl al-Qur’ân; karya
Sayyid Qutub, dan al-Misbah; karya M. Qurash Shihab. Dalam hal ini, Sayyid
Qutub menilai bahwa secara konseptual, perkawinan antara lelaki muslim dan
wanita ahl al-kitâb tidaklah dilarang.
185Namun, jika melihat penyelewengan
akidah yang mereka lakukan, mereka jelas-jelas telah keluar dari ajaran tauhid,
yang menyatukan semua agama samawî.
186Oleh karenanya, kendati dalam
tinjauan akar sejarah, mereka termasuk ahl al-kitâb, namun secara praktis,
perbuatan mereka telah memasukkan mereka dalam kategori musyrik, sehingga
tidak ada lagi jalan untuk menjalin hubungan perkawinan antara orang Islam
dengan non Muslim.
Berbeda lagi dengan Quraish Shihab. Ia tidak condong pada pendapat
Sayyid Rasyîd Ridâ maupun Sayyid Qutub, karena menurutnya, al-Qur’an telah
memperbolehkan lelaki muslim mengawini wanita ahl al-kitâb, yang mana hal itu
merupakan rukhsah, pada suatu keadaan tertentu.
187Sehingga tidak patut, kalau
kemudian hal itu dianggap haram, bahkan jika maslahah dijadikan sebagai alasan,
maka hukum yang lahir tidak boleh lebih dari hanya sekedar makruh. Sedangkan,
penyelewengan akidah yang banyak dibicarakan ulama (termasuk Sayyid Qutub),
184
Dalam hal ini, al-Manâr menggunakan konsep Sadd al-Dzarî’ah (mencegah jalan masuknya kerusakan). Lihat kembali : M. Rasyîd Ridâ, Tafsîr Qur’ân Hakîm (tafsir
al-Manâr), Juz. VI/159
185
Ia menegaskan bahwa, kendati beda akidah, namun wanita ahl al-kitâb dapat dinikahi oleh orang Islam. Karena pokok akidah antara umat Islam dan ahl al-kitâb adalah sama, dan yang berbeda hanyalah perincian masalah-masalah tasyrî’iyah saja. Lihat: Sayyid Qutub, Fî Zilâl
al-Qur’ân, Juz. II/178.
186
Dalam hal ini, Sayyid cenderung memilih pendapat Ibn ‘Umar ra yang menyatakan bahwa, penyelewengan yang dilakukan oleh ahl al-kitâb adalah bentuk syirik terbesar. Di samping itu, ia juga melarang terjadinya perkawinan antara wanita muslimah dengan lelaki ahl al-kitâb, kendati (andai saja lelaki tersebut) tidak melakukan penyelewengan akidah. Lihat: Sayyid Qut ub,
Fî Zilâl al-Qur’ân, Juz. II/ 178, 179
187
Ia menjelaskan bahwa, Yahudi dan Nasrani mempunyai kitab suci yang berisi norma-norma akhlak serta ketentuan-ketentuan yang jika diindahkan dapat mengantar pada terciptanya perkawinan yang tidak otomatis buruk. Lihat: M. Quraish Syihab, Tafsir al-Misbah, kesan pesan
menurutnya karena adanya pemaknaan syirk yang kurang sesuai dengan petunjuk
al-Qur’ân, yang telah dengan jelas membedakan antara ahl al-kitâb dan
Musyrik.
188Dengan demikian, secara tidak langsung, ia juga tidak sependapat
dengan pendapat Rasyîd Ridâ yang cenderung memperluas cakupan ahl
al-kitâb.
189Pendapat tiga mufassir modern/kontemporer ini, (bagi penulis) adalah
merupakan representasi dari pendapat-pendapat mufassir sebelumnya, baik
formatif maupun klasik.
190Karena bagaimanapun, sebagai mufassir generasi
188
Definisi yang biasa dipakai selama ini, bahwa syirik adalah mempersekutukan sesuatu dengan sesuatu. Dengan demikian, orang musyrik berarti siapa saja yang percaya bahwa ada tuhan bersama Allâh SWT, atau yang melakukan aktifitas dengan tujuan ganda; yakni bertujuan kepada Allâh dan juga untuk selain Allâh. Definisi tersebut membawa sebuah konsekuensi bahwa, semua non muslim masuk dalam kategori musyrik, tidak perduli apakah mereka ahl al-kitâb atau selain
ahl al-kitâb. Padahal; al-Qur’ân telah melakukan pembedaan antara ahl al-kitâb dan Musyrik,
sebagaimana tercantum dalam Q.S. al-Bayyinah: 1 dan 3. Lihat: M. Quraish Syihab, Tafsir
al-Misbah, kesan pesan dan keserasian al-Qur’ân, Vol. I/442-443.
189
Sebenarnya Rasyîd Ridâ juga membedakan antara ahl al-kitâb dan Musyrik. Namun, ia cenderung menilai bahwa, Musyrik hanyalah terbatas pada “Musyrik Arab” pada saat turunnya al-Quran, yang jelas-jelas tidak mempunyai kitab suci sebagai pedoman. Sedangkan semua agama pada saat ini mempunyai kitab suci atau semacam kitab suci yang mengajarkan pokok ajaran tauhîd, dan lahir dari agama wahyu. Lihat: M. Rasyîd Rid â,Tafsîr Qur’ân Hakîm (tafsîr
al-Manâr), Juz. VI/153. Hal ini berbeda dengan Quraish Shihab yang menganggap bahwa, ahl
al-kitâb hanyalah penganut agama Yahudi dan Nasrani saja. Indikasi ini dapat dilihat dari
pemaparannya, kendati ia tidak secara terang menyatakan demikian. Lihat: M. Quraish Syihab,
Tafsir al-Misbah, kesan pesan dan keserasian al-Qur’ân, Vol. I/446.
190
Untuk membuktikan hal ini: (1) Bandingkan pendapat Rasyîd Rid â dengan pendapat Abû ’Aliyah, bahwa orang Majusi membaca Zabûr, lihat: Muh ammad ibn Jarîr ibn Yazîd ibn Khâlid Abû Ja’far Al-Tabarî,Jâmi’ al-Bayân ‘an Ta’wîl Âyi al-Qur’ân, Juz. I/320. Lihat juga: Ali Mustafa Ya’qûb, Nikah Beda Agama dalam al-Qur’ân dan Hadîts, h. 22. Juga dengan pendapat Abû Hanifah, bahwa orang yang percaya salah seorang nabi atau kitab yang diturunkan Allâh, termasuk Ahl al-kitâb, lihat: Badran Abu al-’Ianain Badran, Alâqah Ijtimâ’iah baina
al-Muslimîn wa Ghair al-al-Muslimîn, h. 41-42. Lihat juga: Ali Mustafa Ya’qub, Nikah Beda Agama
dalam al-Qur’ân dan Hadîts, h. 22. Juga pendapat pendapat Abû Tsaur, bahwa lelaki muslim
boleh menikahi wanita Majusi, lihat: Muhammad bin ‘Ali Al-Syaukanî, Fath al-Qadîr al-Jâmi’
baina Fannay al-Riwâyah wa al-Dirâyah min ‘Ilm al-Tafsîr, Juz. II/22. Dan juga dengan
pendapat Abû Mansûr Abd al-Qâhir ibn T âhir al-Baghdâdî, yang menyatakan bahwa, orang-orang