• Tidak ada hasil yang ditemukan

TAFSIR AYAT PERNIKAHAN BEDA AGAMA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "TAFSIR AYAT PERNIKAHAN BEDA AGAMA"

Copied!
28
0
0

Teks penuh

(1)

1

TAFSIR AYAT PERNIKAHAN BEDA AGAMA

Asyhari

ABSTRAK

Hukum pernikahan beda agama sesungguhnya telah terang status hukumnya, karena telah ada nash yang menjelaskan hal tersebut, baik dari al Qur‟an maupun Hadits. Sehingga sebenarnya pembahasan ini sudah tidak begitu relefan lagi. Namun seiring dengan munculnya metode penafsiran baru “hermeneutika”, maka penafsiran-penafsiran terhadap ayat-ayat pernikahan beda agama menurut sebagian cendekiawan muslim kontemporer perlu dilakukan reinterpretasi, agar sejalan dengan perkembangan zaman dan prinsip-prinsip humanism dan hak asasi manusia. Tulisan ini dimaksudkan untuk memberikan pencerahan kembali tentang tafsir ayat-ayat pernikahan beda agama. Sehingga para pembaca dapat memperbandingkannya dengan penafsiran kontemporer tentang ayat-ayat tersebut dan mendapatkan gambaran yang komprehensif dan obyektif tentang duduk persoalan hukum pernikahan beda agama.

Kata kunci: Nikah beda agama, tafsir, dakwah

Pendahuluan

Pernikahan beda agama biasanya didasarkan pada Q.S al-Baqarah: 221,

Q.S al-Maidah: 5 dan Q.S Mumtah}anah: 10. Karena itu, ketiga ayat tersebut

akan menjadi fokus penelitian dan dianalisa dari sisi unsur dakwah yang

terkandung dan diisyaratkan oleh ayat tersebut. Namun pembahasan tentang

perdebatan seputar penafsiran ayat tersebut yang berujung pada perdebatan

tentang nikah beda agama perlu dibahas terlebih dahulu. Sebab disinyalir

wacana-wacana kontemporer liberal yang cendereng mereduksi penafsiran klasik

(2)

2

Setidaknya ada dua kelompok yang saling berseberangan dalam melakukan

interpretasi terhadap tafsir ayat nikah beda agama; kelompok tradisional dan

liberal. Para ulama tafsir tradisional cenderung menafsirkan ayat-ayat tersebut

secara tekstual, berdasarkan makna literal teks. Sedangkan kelompok liberal

cenderung pada penafsiran kontekstual, sehingga menghasilkan penafsiran yang

cenderung lebih longgar dalam permasalahan nikah beda agama.

Pembahasan

Berdasarkan ayat-ayat nikah beda agama di atas, pembahasan tentang

pernikahan beda agama dapat diklasifikasikan menjadi tiga kategori, pernikahan

seorang muslim dengan musyrik, pernikahan seorang muslim dengan ahl

al-kita> b dan pernikahan seorang perempuan muslimah dengan non muslim (ahl

al-kita> b/ non ahl al-al-kita> b).

1. Pernikahan antara seorang muslim dengan seorang kafir musyrik

Pernikahan antara seorang muslim dengan kafir musyrik dijelaskan dalam

Q.S al-Baqarah: 221, Allah ta‟ala berfirman:

شم م خ م م مأ م ح

ش ح ا

ش ح ا م جعأ

خ م م ع م ح

ع ه

ع

أ م جعأ شم م

م ع

ه ء

ه ب فغ ج

“Dan janganlah kamu menikahi perempuan-perempuan musyrik, sebelum

(3)

3

ampunan dengan izin-Nya. dan Allah menerangkan ayat-ayat-Nya (perintah-perintah-Nya) kepada manusia supaya mereka mengambil pelajaran”.

Para ulama tradisionalis menyepakati (ijma') keharaman pernikahan antara

seorang muslim dengan orang-orang kafir musyrik. Kesepakatan tersebut

berdasarkan firman Allah ta'ala dalam Q.S al-Baqarah: 221 di atas. Dalam ayat

tersebut dijelaskan, bahwa umat Islam secara mutlak tidak boleh menikahi dengan

perempuan musyrikah dan tidak boleh menikahkan perempuan muslimah dengan

laki-laki musyrik. Alasan pengharaman tersebut sebagaimana dijelaskan pada

kalimat ayat selanjutnya adalah karena orang-orang musyrik itu hanya akan

mengajak manusia terjerumus ke dalam neraka.

Ketika menjelaskan ayat di atas, al-Zamakhsyari> menyatakan bahwa

yang dimaksud al-musyrika> t adalah al-h}arbiyya> t, yakni musyrik dalam

kategori kafir h}arbi>. Namun, ia juga menyebutkan pendapat lain yang

mamasukkan ahl al-kita> b. Karena menurut mereka, ahl al-kita> b juga termasuk

musyrik berdasarkan Q.S. al-Taubah: 30 dan 31.

ق ه ب ع

ق

ه ب ح س

ص

أ ه م ق ق م ف

ق ه ض م ه فأب م ق

ح س ه

م ب ب أ م ه مه حأ

.

ف

م م م ب

ه ح س ه ا ه ا ح ع ا مأ

ش ع

(4)

4

mereka sebagai Tuhan selain Allah dan (juga mereka mempertuhankan) al-masih putera Maryam, Padahal mereka hanya disuruh menyembah Tuhan yang Esa, tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) selain Dia. Maha suci Allah dari apa yang mereka persekutukan".

Akan tetapi menurutnya, ayat-ayat tersebut telah di-nasakh oleh Q.S. al-Maidah:

5 yang membolehkan seorang muslim menikahi perempuan ahl al-kita> b. Dalam

hal ini, ia menyitir pendapat Ibn „Abba>s dan al-Auza‟i>.1

Dan ketika sampai pada redaksi “wa la-amatun mu'minah” dan “wa

la-'abdun mu'min”, ia mempunyai penjelasan yang berbeda dengan para mufassir

lainnya, yang menurutnya kata “amah dan „abd” dalam ayat tersebut bukanlah

budak, melainkan manusia yang merdeka. Karena setiap manusia adalah amah

dan „abd Allah. Sehingga, ketika menafsirkan ayat tersebut, ia tidak

membandingkan orang musyrik dengan budak, melainkan dengan orang-orang

beriman, di dalam menilai kelayakan suatu perkawinan.2 Dan berdasarkan ayat

tersebut, perkawinan dengan orang musyrik jelas-jelas dilarang, karena mereka

akan membawa pengaruh negatif yang dapat menjerumuskan ke neraka.3

Namun pendapat sebagaimana dipaparkan di atas ditolak oleh kalangan

Islam liberal. Menurut mereka kata al-musyrika> t dalam ayat tersebut yang haram

untuk dinikahi, itu menunjuk pada barang atau komunitas tertentu (al-ma‟rifah)

dan bukan nakirah yang berarti umum. Sehingga mereka berkesimpulan bahwa

al-musyrika> t adalah kategori sosial, bukan hanya persoalan teologi yang berarti

1

al-Zamakhsyari>, al-Kasysya>f „an Haqa> iq Ghawa> mid al-Tanzi>l wa „Uyu>n al -Aqa> wi> l fi> Wuju> h al-Ta‟wi>l, Jilid. I, Cet. I, ( Beirut Da>r al-Kutub al-„Ilmiyah, 1995), h. 261.

2

al-Zamakhsyari>, al-Kasysya>f „an Haqa> iq Ghawa> mid al-Tanzi>l wa „Uyu>n al -Aqa> wi> l fi> Wuju> h al-Ta‟wi>l, Jilid. I/261.

3

(5)

5

orang yang tidak bertuhan, atau seseorang yang menyekutukan Allah, seperti yang

dipahami oleh kelompok tradisionalis.

Atas dasar alasan di atas Nuryamin berpendapat bahwa orang musyrik

yang disinggung dalam ayat itu merupakan gambaran orang-orang Quraisy

Mekkah yang sangat agitatif terhadap komunitas umat Islam yang saat itu baru

terbentuk. Menurutnya apabila begitu sengit permusuhannya terhadap Islam,

maka bagaimana mungkin mereka dijadikan sebagai pasangan hidup.4

Dengan demikian, konteks permusuhan kaum musyrik itulah yang saat itu

dikhawatirkan akan menghancurkan harapan-harapan suci pernikahan yang biasa

disebut sebagai mi> tsa> qan ghali> dza> (penambat yang kokoh). Oleh sebab itu,

persoalan kafa>‟ah (kesetaraan,) atau kesamaan dalam agama bagi pasangan yang

mau menikah juga ditekankan dalam jurisprudensi Islam klasik.

Argumen seperti inilah yang kemudian melahirkan keputusan hukum

kelompok liberal bahwa pernikahan beda agama, dengan pengertian menikah

dengan non muslim selain ahl al-kitab diperbolehkan secara mutlak. Seorang

laki-laki muslim laki-laki-laki-laki muslim boleh menikah dengan semua non muslim,

meskipun secara aqidah mereka tergolong sebagai musyrik. Sebab konteks ayat

tersebut berbeda dengan kelompok non muslim pada masa sekarang ini.

Pendapat seperti ini menurut hemat penulis kurang tepat, sebab larangan

pernikahan beda agama dalam al-Qur‟an bukan hanya disebutkan di satu tempat. Tetapi juga disebutkan dalam ayat-ayat yang lain. Bahkan dalam Q. S

al-Mumtahan}ah: 10, Allah ta‟ala berfirman:

4

(6)

6

م ٌ ح ه ا ف ه عج َف م م ه

ع ف

ح مه ا

“Jika kalian mengetahui mereka (para perempuan itu) beriman, maka janganlah kalian kembalikan mereka kepada orang-orang (suami-suami mereka) yang kafir. Mereka (para wanit itu) tidak halal baginya, dan dia tidak halal bagi mereka.”

Ayat ini dengan sangat jelas menegaskan keharaman seorang laki-laki

muslim menikah dengan orang kafir, demikian juga sebaliknya seorang muslimah

haram menikah dengan orang kafir.

Al-Raz>iy menilai bahwa term musyrik, sebagaimana ditunjukkan oleh

ayat-ayat al-Qur‟a>n, tidak sepatutnya ditinjau dari sisi kebahasaan, karena ia merupakan istilah tertentu yang ditunjukkan oleh syara‟ yang memuat suatu

kriteria khusus, sebagaimana ditunjukkan oleh syara‟ itu sendiri. Di samping itu,

al-Ra>zi>y lebih condong pada kaedah yang dipakai oleh jumhur ulama tentang

hukum asal perkawinan "al-aslu fi al-abda> al-hurmah ", "Pada dasarnya abda>‟

itu haram".5 Dengan demikian, tampaknya pendapat yang dipegang oleh

al-Ra>ziy> tidak jauh berbeda dengan mayoritas ulama, yakni bahwa pada dasarnya

kawin dengan non muslim, selain ahl al-kita> b, adalah tidak diperbolehkan.6

Sementara Ibn Katsir, ia menguatkan pendapat yang menyatakan bahwa

ahl al-kita> b adalah termasuk musyrik, namun dikecualikan oleh Q.S. al-Maidah:

5

Kata abda>‟, adalah bentuk jamak dari Bud', yang berarti “kemaluan perempuan”. ini merupakan kina> yah, yang dalam istilah balaghah termasuk dalam kategori “min itla> q al-mal wa ira> dah al-l”. Jadi yang dimaksud adalah pemanfaatannya, bukanlah bendanya. Tentang

kaedah tersebut, lihat Abu> „Abdilla>h, Muhammad ibn Baha>dir ibn „Abdilla>h al-Zarkasyi>, al-Mantsu> r fi> al-Qawa>‟id, , Muhaqqiq Taisi>r Fa>iq A. Mahmu>d, Cet. II, (Kuwait Wiza>rah al-Auqa>f wa al-Su‟u>n al-Isla>miyah, 1405 H), Juz. 2, h. 347.disebutkan dalam redaksi "al-aslu fi al-abda> huwa al-hurmah"

6

(7)

7

5, sehingga hewan sembelihannya dapat dimakan oleh orang Islam, demikian juga

dengan para perempuannya nya dapat dinikahi.7 Dalam hal ini, Ibn Katsi>r yang

memberlakukan hukum ayat tersebut secara umum, kendati ia turun dengan sabab

al-nuzu> l.8

2. Pernikahan antara laki-laki muslim dengan perempuan ahl al-kitab

Pernikahan seorang laki-laki muslim dengan perempuan kafir ahl

al-kitab dijelaskan dalam Q.S al-Maidah: 5, Allah ta‟ala berfirman:

أ

م صح م م صح

ا حف سم غ صحم ه جأ ه

ء م ق م

خأ

م

خ ف ه ه ع ط ح ف

ْ ب ف م

س م

”(dan dihalalkan mangawini) perempuan yang menjaga kehormatan diantara perempuan-perempuan yang beriman dan perempuan-perempuan yang menjaga kehormatan di antara orang-orang yang diberi al-kitab sebelum kamu, bila kamu Telah membayar mas kawin mereka dengan maksud menikahinya, tidak dengan maksud berzina dan tidak (pula) menjadikannya gundik-gundik. barangsiapa yang kafir sesudah beriman (Tidak menerima hukum-hukum Islam) Maka hapuslah amalannya dan ia di hari kiamat termasuk orang-orang merugi”.

Berdasarkan ayat di atas mayoritas para ulama berpendapat bolehnya

pernikahan antara seorang laki-laki muslim dengan perempuan ahl al-kita> b. Dan

sebagaimana dijelaskan pada pembahasan tentang ahl al-kita> b pada awal

pembahasan ini, bahwa ahl al-kitab dalam ayat ini juga terbatas pada Yahudi dan

Nasrani saja. Tidak masuk ke dalamnya perempuan non Islam lainnya seperti

Majusi. Karena Majusi meskipun disamakan dengan ahl al-kita> b dalam masalah

7

Ibn Katsi>r Abu> al-Fida>‟ al-Dimasyqi>, Tafsi> r al-Qur‟a>n al-„Azi> m, Juz. 1, h.347.

8

(8)

8

jizyah, tetapi dalam permasalahan nikah dan sembelihan tetap diharamkan seperti

orang-orang kafir lainnya. Dalam hadits ditegaskan bahwa Rasulullah s}allallahu „alaihi wasallam- bersabda:

هأ س) ج أ( م ب س

ا م ئ س ح غ

م حئ ب آء

"Samakanlah orang-orang Majusi dengan ahl al-kita>b selain menikahi perempuan-perempuannya dan tidak pula memakan sembelihan-sembelihan mereka" 9

Menurut Imam Syafi'i –rad}iyallahu ‟anhu- perempuan ahl al-kita> b yang

dimaksud (yang boleh dinikahi) adalah mereka yang memang memiliki nenek

moyang Yahudi sebelum diutusnya Nabi Isa dan yang memiliki nenek moyang

Nasrani sebelum diutusnya Nabi Muhammad s}allallahu 'alaihi wasallam-.

Sebagian ulama melarang laki-laki muslim menikahi seorang perempuan ahl

al-Kita> b karena memang menganggapnya haram dan sebagian lagi melarang dalam

artian menganjurkan dan menasehatkan (min ba> b al-nas}i> h}ah wa al-tauji> h

wa al-irsya> d) agar tidak melakukan hal itu lebih karena alasan kemaslahatan.

Mereka menganggap pernikahan semacam ini sedikit banyak akan membawa

bahaya dan yang lebih besar maslahatnya adalah menghindari model pernikahan

semacam ini.

Ketika menjelaskan ayat di atas, al-T}abari menyatakan bahwa ahl

al-kita> b (Yahudi-Nasrani) yang hewan sembelihannya boleh dimakan, dan dapat

dinikahi orang Islam, adalah mereka yang menjalankan agama Yahudi atau

Nasrani dengan berpegang pada kitab Taura>t atau Inji>l yang diturunkan kepada

9

(9)

9

mereka. al-Thabari> memilih untuk meluaskan cakupan ahl al-kita> b; bukan hanya dari bani Isra‟il, melainkan siapa saja yang beragama Yahudi atau Nasrani dan menjalankan aturan-aturan yang ada dalam kedua kitab mereka (Taura>t dan

Inji>l). Kendati secara essensial, pendapatnya tampak serupa dengan „Ata> ibn

Abi> Raba>h dan al-Sya>fi‟i> yang menyempitkan cakupan ahl al-kita> b.10 Sementara al-Zamakhsyari> menegaskan bahwa, perempuan ahl al-kita> b

yang dapat dikawini adalah penganut Yahudi dan Nasrani, kendati di kalangan

sahabat, masih terdapat perdebatan tentang Nasrani Arab. Lebih lanjut,

al-Zamakhsyari> menjelaskan bahwa, Abu> Hanifah memasukkan penganut Sabian

dalam kelompok ahl al-kita> b, walaupun pendapat ini tidak didukung oleh

sebagian muridnya.11 Hal ini bebeda dengan Majusi, yang menurut

al-Zamakhsyari> mendapat perlakuan berbeda, yakni mereka diperlakukan seperti

ahl al-kita> b dalam masalah pembayaran pajak. Akan tetapi, makanan mereka

tidaklah halal bagi orang Islam.12

Menurut Imam al-Syirazi>, seorang Muslim diharamkan untuk menikahi

seorang perempuan kaum kafir yang tidak memiliki “kitab”, seperti kaum pagan, juga orang-orang murtad dari Islam.13 Selain Yahudi dan Nasrani, seperti

orang-orang yang beriman kepada kitab Zabur nabi Dawud dan Shuhuf nabi Syi>ts,

10

Abu> Bakr Abd al-Razza>q ibn Hamma>m al-San‟ani>, Musannaf Abd al-Razza> q,, Cet. III, (Beirut al-Maktab al-Isla>mi>, 1403 H), Juz. 7, h. 187.

11

Al-Zamakhsyari>, al-Kasysya>f „an Haqa> iq Ghawa> mid al-Tanzi>l wa „Uyu>n al -Aqa> wi> l fi> Wuju> h al-Ta‟wi>l, Jilid. I, h.595.

12

Al-Zamakhsyari>, al-Kasysya>f „an Haqa> iq Ghawa> mid al-Tanzi>l wa „Uyu>n al -Aqa> wi> l fi> Wuju> h al-Ta‟wi>l, Jilid. I, h.595-596.

13

(10)

10

maka hukumnya “tidak halal” bagi seorang Muslim untuk menikahi perempuan

-perempuan merdeka mereka, juga budak-budaknya.14

Secara lahiriyah, seakan-akan ada pertentangan antara Q.S al-Ma> idah: 5

yang menjelaskan kebolehan seorang laki-laki muslim menikah dengan

perempuan ahl al-kitab, dengan Q.S al-Baqarah: 221 yang menjelaskan

keharaman nikah seorang muslim dengan orang musyrik. Namun pertentangan

dalam al-Qur'an jelas sesuatu yang tidak mungkin, karena itu bagi para ulama

yang menerapkan takhsi> s, memandang bahwa Q.S. al-Baqarah: 221 bermuatan

umum dan mencakup semua jenis syirik, namun kemudian sebagian materinya

dikeluarkan oleh Q.S al-Maida> h: 5. Dengan demikian, kendati ahl al-kita> b

telah melakukan perbuatan syirik, akan tetapi para perempuannya boleh dikawini

oleh umat Islam.15

Dalam hal ini terdapat riwayat, sebagaimana disampaikan dari Nu‟ma>n ibn Mundzir dari Makhu>l bahwa, setelah turunnya Q.S al-Baqarah: 221, para

sahabat tidak berani melakukan perkawinan dengan perempuan musyrik, sampai

akhirnya turunlah Q.S al-Maidah: 5, yang memperbolehkan

perempuan-perempuan ahl al-kita> b untuk dinikahi.

Dalam hal ini Makhu>l mengatakan: “Janganlah kalian menikahi perempuan Majusi, baik merdeka, budak, di rumah, maupun di waktu perang,

sehingga mereka masuk Islam. Karena sesungguhnya Allah telah mengharamkan

perempuan-perempuan musyrik dalam surat al-Baqarah, kemudian Allah memberi

kemurahan/anugerah kepada umat Islam dalam surat al-Ma>‟idah, maka

14

Syeikh Imam Abu Isha>q Ibrahim ibn „Ali ibn Yusuf al-Fayru>z Aba>di> al-Syi>ra>zi>, al-Muhadzdzab fi> Fiqh al-Ima> m al-Sya>fi„i>, (Beirut-Lebanon Dar al-Fikr, ttp.),h. 2 44

15

(11)

11

dihalalkan bagi mereka perempuan-perempuan Yahudi dan Nasrani, dan yang lain

ditinggalkan (tidak dihalalkan)”. 16

Hal ini merupakan sebuah indikasi bahwa, sebenarnya ahl al-kita> b juga

termasuk musyrik. Buktinya, para sahabat tidak berani mengawini mereka setelah

turunnya Q.S al-Baqarah: 221 tersebut, karena mereka meyakini bahwa, ahl

al-kita> b termasuk orang musyrik.

Ada juga pendapat yang menyatakan bahwa sebagian materi Q.S.

al-Baqarah: 221 telah dinasakh oleh Q.S. al-Maidah: 5.17 Namun jika dicermati,

antara takhsi> s dan nasakh pada sebagian keumuman ayat, tidaklah berbeda.

Karena nasakh dalam kategori ini, tidak dapat menghapus/menyalin muatan

mansukh-nya secara keseluruhan, melainkan hanya sebagian saja. Dengan

demikian, hasil dari kedua perangkat analisis tersebut tidaklah berbeda. Yakni

kendati ahl al-kita> b adalah musyrik, namun para perempuannya boleh dikawini

oleh laki-laki muslim.18

Bagi yang menggunakan teori al-jam‟u wa al-taufi> q, menyatakan bahwa

ahl al-kita> b bukanlah orang musyrik. Oleh karena itu, Q.S al-Maidah: 5 yang

turun setelah Q.S al-Baqarah: 221, bukanlah sebagai takhsi> s maupun nasakh

dari sebagian keumumannya. Akan tetapi, ia merupakan penjelasan atas keraguan

umat Islam untuk mengawini perempuan ahl al-kita> b. Karena dalam pandangan

mereka ahl al-kita> b adalah musyrik, padahal sebenarnya tidak demikian.19

16

Lihat Abu> Abdilla>h Muhammad ibn Nasr ibn al-Hajja>j al-Maru>zi>, al-Sunnah, Juz 2, h.92

17

Al-Thabari>, Ja>mi‟ al-Baya>n An Ta‟wi>l A>yi al-Qur‟a>n, Juz. 2, h.388

18

Lihat „Abdulla>h ibn Ahmad ibn Quda>mah al-Maqdisi>, al-Mughni> fi Fiqh al-Ima> m Ahmad ibn Hanbal al-Syaiba> ni> , , Cet, I, Beirut (Da>r al Fikr, 1405 H), Juz. 7, h. 100.

19

(12)

12

Kenyataan ini diperkuat oleh surat al-Bayyinah: 1 dan 6, yang

menunjukkan adanya perbedaan antara musyrik dan ahl al-kita> b.20 Jika tidak

demikian, maka tidak perlu disebutkan secara tersendiri. Hal ini diperkuat oleh

pendapat Qata>dah, yang menyatakan bahwa, perempuan-perempuan musyrikah

adalah non muslimah selain ahl al-kita> b. 21

Kemudian dalam memahami al-Muhsana> t; yang merupakan syarat ahl

al-kita> b untuk dapat dinikahi oleh seorang muslim, al-Zamakhsyari>

mendefinisikannya sebagai merdeka dan terjaga. Hal ini, sedikit berbeda dengan

pemahaman para tokoh lain, yang pada umumnya hanya memilih salah satu dari

kedua makna tersebut.22 Namun menurutnya yang terpenting adalah, bahwa

pensyaratan itu merupakan peringatan serta petunjuk bagi seorang muslim agar

berhati-hati dalam memilih calon istri. Oleh karenanya, kebolehan untuk

melakukan perkawinan dengan ahl al-kita> b hanyalah merupakan rukhsah/

keringanan, dan bukan tujuan utama, karena bagaimanapun, orang-orang beriman

lebih baik daripada mereka.23

Sedangkan Ibn Katsi>r cenderung mengikuti pendapat jumhu>r bahwa, “al-muhsana> t” adalah “al-'afi> fa> t”. Dan, ia juga menganggap bahwa ahl

20

„Abdulla>h ibn Ahmad ibn Quda>mah al-Maqdisi>, al-Mughni> fi Fiqh al-Ima> m Ahmad ibn Hanbal al-Syaiba> ni> , Juz. 5, h. 100

21

Abu> Abdilla>h Muhammad ibn Nasr ibn al-Hajja>j al-Maru>zi>, al-Sunnah, , Cet. I, (Beirut Muassasah al-Kutub al-Tsaqa>fiyah, 1408 H), Juz. 1, h. 92

22

Bandingkan dengan pendapat al-Thabari> yang cenderung memahaminya sebagai “wanita

merdeka”, yang berbanding terbalik dengan kelompok lain yang memahaminya sebagai “wanita terjaga”. Selengkapnya, lihat Muhammad ibn Jari>r ibn Yazi>d ibn Kha>lid Abu> Ja‟far al -Thabari>, Ja>mi‟ al-Baya>n „an Ta‟wi>l A>yi al-Qur‟a>n, Juz. 4, h.440

23

(13)

13

kita> b adalah kelompok tersendiri di luar musyrik, sehingga mereka tidak masuk

dalam khita> b QS. Al-Maidah: 221.24

Dengan demikian, karakter perempuan ahl al-kita> b yang boleh dinikahi

adalah muhs}anat, perempuan yang menjaga kehormatan. Bukan perempuan sembarangan, apalagi tukang zina. Lagi pula mereka disebut setelah “perempuan

mulia dari kalangan mukminat”. Perempuan ahl al-kita> b itu menempati prioritas

setelah perempuan-perempuan mukminat.

Dalam sejarah, pernikahan dengan perempuan ahl al-kita> b ini dilakukan

oleh para sahabat Nabi, di antaranya, Utsman ibn 'Affan menikah dengan Ibnatul

Farafishah al-Kalabiyyah, seorang Nasrani kemudian masuk Islam. Thalhah ibn

Ubaidillah menikahi perempuan dari Bani Kulayb Nasrani atau Yahudi dan

Hudzaifah ibn al-Yaman menikahi seorang perempuan Yahudi.25

Secara lahiriyah, seakan-akan ada pertentangan antara Q.S al-Maidah: 5

yang menjelaskan kebolehan seorang laki-laki muslim menikah dengan

perempuan ahl al-kitab, dengan Q.S al-Baqarah: 221 yang menjelaskan

keharaman nikah seorang muslim dengan orang musyrik. Namun pertentangan

dalam al-Qur'an jelas sesuatu yang tidak mungkin, karena itu bagi para ulama

yang menerapkan takhsi> s, memandang bahwa Q.S. al-Baqarah: 221 bermuatan

umum dan mencakup semua jenis syirik, namun kemudian sebagian materinya

dikeluarkan oleh Q.S al-Maidah: 5. Dengan demikian, kendati ahl al-kita> b telah

melakukan perbuatan syirik, akan tetapi para perempuannya boleh dikawini oleh

umat Islam.26

24

Ibn Katsi>r Abu> al-Fida>‟ al-Dimasyqi>, Tafsi> r al-Qur‟a>n al-„Azi> m, Juz. 2, h.28.

25

Syekh Muhammad al-Huut al-Beiruti, Mukhtashar al-Badr al Munir, h. 205

26

Ibn Katsi>r Abu> al-Fida>‟ al-Dimasyqi>, Tafsi> r al-Qur‟a>n al-„Azi> m, Juz.2, h.347.

(14)

14

Dalam hal ini terdapat riwayat, sebagaimana disampaikan dari Nu‟ma>n ibn Mundzir dari Makhu>l bahwa, setelah turunnya Q.S al-Baqarah: 221, para

sahabat tidak berani melakukan perkawinan dengan perempuan musyrik, sampai

akhirnya turunlah Q.S al-Maidah: 5, yang memperbolehkan

perempuan-perempuan ahl al-kita> b untuk dikawini.

Dalam hal ini Makhu>l mengatakan: “Janganlah kalian menikahi perempuan Majusi, baik merdeka, budak, di rumah, maupun di waktu perang,

sehingga mereka masuk Islam. Karena sesungguhnya Allah telah mengharamkan

perempuan-perempuan musyrik dalam surat al-Baqarah, kemudian Allah

memberi kemurahan/anugerah kepada umat Islam dalam surat al-Ma>‟idah, maka

dihalalkan bagi mereka perempuan-perempuan Yahudi dan Nasrani, dan yang lain

ditinggalkan (tidak dihalalkan)”. 27

Hal ini merupakan sebuah indikasi bahwa, sebenarnya ahl al-kita> b juga

termasuk musyrik. Buktinya, para sahabat tidak berani mengawini mereka setelah

turunnya Q.S al-Baqarah: 221 tersebut, karena mereka meyakini bahwa, ahl

al-kita> b termasuk orang musyrik.

Ada juga pendapat yang menyatakan bahwa sebagian materi Q.S.

al-Baqarah: 221 telah dinasakh oleh Q.S. al-Maidah: 5.28 Namun jika dicermati,

antara takhsi> s dan nasakh pada sebagian keumuman ayat, tidaklah berbeda.

Karena nasakh dalam kategori ini, tidak dapat menghapus/menyalin muatan

mansukh-nya secara keseluruhan, melainkan hanya sebagian saja. Dengan

demikian, hasil dari kedua perangkat analisis tersebut tidaklah berbeda. Yakni

Yazi>d ibn Kha>lid Abu> Ja‟far al-Tabari>, Ja>mi‟ al-Baya>n „an Ta‟wi>l A>yi al-Qur‟a>n, Juz. 2, h.388.

27

Abu> Abdilla>h Muhammad ibn Nasr ibn al-Hajja>j al-Maru>zi>, al-Sunnah, Juz. 1, h.92

28

(15)

15

kendati ahl al-kita> b adalah musyrik, namun para perempuannya boleh dikawini

oleh laki-laki muslim.29

Bagi yang menggunakan teori al-jam‟u wa al-taufi> q, menyatakan bahwa

ahl al-kita> b bukanlah orang musyrik. Oleh karena itu, Q.S al-Maidah: 5 yang

turun setelah Q.S al-Baqarah: 221, bukanlah sebagai takhsi> s maupun nasakh

dari sebagian keumumannya. Akan tetapi, ia merupakan penjelasan atas keraguan

umat Islam untuk mengawini perempuan ahl al-kita> b. Karena dalam pandangan

mereka ahl al-kita> b adalah musyrik, padahal sebenarnya tidak demikian.30

Kenyataan ini diperkuat oleh surat al-Bayyinah: 1 dan 6, yang

menunjukkan adanya perbedaan antara musyrik dan ahl al-kita> b.31 Jika tidak

demikian, maka tidak perlu disebutkan secara tersendiri. Hal ini diperkuat oleh

pendapat Qata>dah, yang menyatakan bahwa, Perempuan-perempuan musyrikah

adalah non muslimah selain ahl al-kita> b. 32

Pendapat mayoritas ulama ini mendapatkan kritik serius dari kalangan

liberal. Sebagaimana dituturkan oleh Nuryamin. Ia menjelaskan bahwa ahl

al-kitab itu merupakan gambaran bagi orang yang tercerahkan. Artinya ketika dia

bertindak, ada yang memandu mereka, berkat adanya ajaran yang dia yakini. Dia

tidak grusa-grusu seperti orang musyrik yang jelas tidak punya acuan sehingga

29

„Abdulla>h ibn Ahmad ibn Quda>mah al-Maqdisi>, al-Mughni> fi Fiqh al-Ima> m Ahmad ibn Hanbal al-Syaiba> ni> , , Cet, I, Beirut (Da>r al Fikr, 1405 H), Juz. 7, h. 100

30

Abu> Bakr Abd al-Razza>q ibn Hamma>m al-San‟ani>, Musannaf Abd al-Razza> q, Juz. 7, h.176.

31

„Abdulla>h ibn Ahmad ibn Quda>mah al-Maqdisi>, al-Mughni> fi Fiqh al-Ima> m Ahmad ibn Hanbal al-Syaiba> ni> , Juz. 7, h.100.

32

(16)

16

kaum musyrikin bermusuhan dengan siapapun. Oleh karena itu, menurutnya ahl

al-kita> b itu tidak terpaku pada orang-orang yang secara konvensional dibatasi

pada Yahudi dan Nasrani saja, tapi bagi siapapun yang punya cara pandang yang

terarah, dan kemudian membuat mereka tidak bermusuhan dengan orang lain.

Pembatasan makna ahl al-kita> b dengan hanya Yahudi dan Nashrani menurut

Nuryamin justru dapat mereduksi universalitas ajaran al-Quran itu sendiri33

Dengan demikian dalam pandangan kelompok liberal ahl-kita> b

cakupannya sangat luas, tidak terbatas hanya pada Yahudi dan Nashrani. Dan

karena itu pula ayat di atas tidak dapat dijadikan sebagai landasan untuk

mengharamkan pernikahan seorang muslim dengan non muslim selain Yahudi

dan Nashrani.

Sebagian orang tidak sependapat apabila dikatakan bahwa ayat di atas

hanya berlaku bagi laki-laki Muslim untuk menikahi perempuan ahl al-kita> b,

dan bukan sebaliknya, seorang perempuan muslimah untuk menikahi laki-laki ahl

al-kita> b. Menurutnya dalam ayat ini tidak ada larangan perempuan muslimah

menikah dengan laki-laki non Muslim. Karena dalam ayat tersebut hanya

disebutkan, laki-laki Muslim boleh menikahi ahl al-kitab. Jadi selain cakupan ahl

al-kitab yang sangat luas sebagaimana dijelaskan di muka, menurut kelompok

liberal dalam ayat tersebut juga tidak ada dalil keharaman seorang perempuan

muslimah menikah dengan non muslim. Dan hal itu menunjukkan bahwa

hukumnya juga boleh seorang perempuan muslimah menikah dengan non muslim,

ahl al-kitab dan non ahl al-kitab.

33

(17)

17

Sementara al-Qardhawi, mengemukakan bahwa pendapat seperti ini

merupakan salah satu bentuk maza> liq al-ijtiha> d al-mu‟a>shir (ketergelinciran

ijtihad kontemporer). Pernikahan seorang Muslim dengan perempuan ahl al-kitab

(al-kita> biyyah) tidak bisa disamakan dengan seorang Muslimah menikah dengan

seorang laki-laki ahl al-kitab (al-kita> bi> ). Padahal perbedaannya sangat

mencolok. Seorang Muslim mengakui dasar agama seorang kita> biyyah.

Sehingga, dia menghormatinya, memelihara haknya dan tidak menyita aqidahnya.

Sedangkan seorang kita> bi> tidak mengakui agama sang Muslimah, tidak

mengimani al-Qur‟an dan tidak mengakui nabinya (Muhammad). Bagaimana mungkin seorang Muslim dapat hidup di bawah payung seorang laki-laki yang

tidak memandang hak apapun dari istrinya, yang notabene sebagai Muslimah.

Menurut penulis, pendapat di atas terkesan mengada-ada, karena

seandainya dalam Q.S al-Ma‟idah: 5 itu tidak ada dalil pengharaman bagi

perempuan muslimah menikah dengan non Muslim, pengharaman itu sudah

dibahas di ayat-ayat lain, seperti Q.S al-Baqarah: 221 dan Q.S al-Mumtahanah:

10.

Pernyataan mereka bahwa al-Qur‟an hanya mengharamkan kaum perempuan musyrik (al- musyrika> t) dan kita> biyya> t yang tidak musyrikat,

dibatalkan oleh Q.S al-Mumtahanah: 10, yang berbunyi:

ف ه عج َف م م ه

ع ف

م ٌ ح ه ا

ح مه ا

(18)

18

Di sini, hukum itu dibentuk berdasarkan “kekafiran” (al-kufr), bukan atas

“kemusyrikan” (al-syirk), dimana Allah menyatakan, “...jangan kembalikan

mereka kepada orang-orang kafir”. Jika pengambilan hukum (al-‟ibrah) lewat keumuman lafaz, maka lafaz “al-kuffa>r” (suami-suami kafir), di sini mencakup

seorang kita> bi> dan seorang pagan (al-watsani>: penyembah berhala). Maka,

siapa yang tidak beriman kepada risalah Muhammad maka ia dipandang sebagai

kafir, tanpa diperdebatkan.34

3. Pernikahan antara perempuan muslimah dengan non muslim

Penjelasan tentang pernikahan seorang muslimah dengan laki-laki non

muslim disebutkan dalam Q.S Mumtahanah: 10, Allah ta‟ala berfirman:

ه عج َف م م ه

ع ف

م ٌ ح ه ا ف

ح مه ا

” maka jika kamu telah mengetahui bahwa mereka (benar-benar) beriman

maka janganlah kamu kembalikan mereka kepada (suami-suami mereka) orang kafir. mereka tiada halal bagi orang kafir itu dan orang-orang kafir itu tiada halal pula bagi mereka.”.

Berdasarkan ayat di atas para ulama menyepakati (ijma') keharaman

pernikahan seorang muslimah dengan laki-laki kafir, baik musyrik maupun ahl

al-kita> b. Karena itu, orang yang menghalalkan model pernikahan semacam ini

berarti telah mendustakan ayat di atas. Dan seseorang yang mendustakan al-Qur‟an hukumnya adalah kufur, keluar dari Islam.

Ayat ini, dengan sangat gamblang menegaskan, “Laa hunna hillu lahum, wa la> hum yahillu>na la hunna” (tidaklah perempuan-perempuan itu halal bagi

34

(19)

19

mereka (laki-laki kuffar), dan tidak pula mereka (laki-laki kuffar itu) halal bagi

mereka (perempuan-perempuan muslimah). Kata “laa hillu” atau “laa yahilluna”

itu artinya tidak halal dan itu berarti haram. Dan perlu diperhatikan bahwa

kata-kata yang digunakan dalam ayat ini “kuffar” dan bukan “musyrik”.

Pelarangan tersebut tidak hanya ditujukan bagi para muslimah saja,

melainkan juga para wali> mereka, karena bagaimanapun seorang wali>

mempunyai andil yang sangat besar dalam perkawinan seorang perempuan

(muslimah), terutama yang masih gadis.35 Hal ini, tentunya merupakan langkah

antisipatif, sebelum terjadinya perkawinan. Namun jika perkawinan sudah

terlanjur dilakukan, maka harus segera diputuskan setelah mengetahui

keharamannya.

Tentang Q.S al-mumtahanah: 10 di atas, al-T}abari menyatakan bahwa

khita> b ayat tersebut ditujukan kepada para sahabat Rasul, dalam menyikapi para

penduduk Mekah yang bergabung dengan mereka di H> }udaibiyah; untuk

mengetahui apakah hijrah mereka benar-benar karena Allah dan Rasu>l-Nya,

ataukah hanya karena takut kemarahan suami mereka.36

35

Q.S. al-Baqarah: 221, Redaksi ayat tersebut secara jelas menegaskan bahwa, perempuan-perempuan muslimah tidak boleh kawinkan dengan laki-laki musyrik. Dan ini merupakan ijmak umat Islam, karena ketentuan tersebut langsung dijelaskan oleh nass sari> h. Namun, para ulama cenderung meluaskan cakupannya pada kategori kafir (yang mencakup musyrik dan ahl al-kita> b), sebagaimana kemutlakan yang terdapat dalam Q.S. al-mumtahinah: 10. Namun jika mereka telah masuk Islam, perkawinan tersebut tidak lagi haram. Dan oleh karena standarnya adalah agama, maka orang yang bertatus sosial lebih rendah asalkan seagama, dianggap lebih baik daripada non muslim, kendati berstatus sosial lebih tinggi. Lihat Muhammad ibn „Ali> al -Syauka>ni>, Fath al-Qadi> r al-Ja>mi‟ baina Fannay al-Riwa> yah wa al-Dira>yah min „Ilm al -Tafsi> r, Juz. 1, h.341. Lihat juga al-Husain ibn Mas'u>d al-Farra>' al-Bagha>wi>, Abu> Muhammad, Ma'a> lim al-Tanzi> l, h. 255. Dan juga al-Nasafi>, Tafsi> r al-Nasafi> , ,(Beirut Da>r al-Fikr al-„Ilmiyah, tt), Juz. 1, h. 221.

36

Di antaranya, adalah riwayat yang disampaikan Abu Nasr al-Asadi>, tentang jawaban Ibn

„Abba>s ra ketika ditanya peri bentuk ujian yang diberikan oleh Rasulullah saw kepada para

wanita yang bergabung dengan beliau dan para sahabat, di Hudaibiyah. Ibn „Abba>s, berkata

(20)

20

Ketika sampai pada potongan ayat wa la> tumsiku> bi 'isam al-kawa> fir,

al-T}abari> menjelaskan bahwa redaksi tersebut merupakan larangan Allah agar

para sahabat tidak menjalin dan/atau mempertahankan perkawinan mereka dengan

- musyrikah; penyembah berhala. Dan hal ini langsung mendapat respon positif

dari para sahabat termasuk „Umar ibn al-Khattha>b ra.37 Al-T}abari mendukung

pendapat al-Zuhri> bahwa turunnya ayat mihnah ini, karena adanya perjanjian

antara nabi dengan kafir Quraisy, bukan karena peperangan di antara mereka.

Oleh karenanya, mereka saling bertukar mahar dan nafkah atas istri-istri yang

tidak mengikuti tempat tinggal para suaminya. Karena jika ayat tersebut turun

karena perang, maka tidak mungkin ada pengaturan sedemikian rupa, termasuk

pertukaran mahar dan nafkah. Dengan demikian, dapat simpulkan bahwa musyrik

Mekah pada saat itu bukanlah kafir harbi> y melainkan mu‟a>hadah. Dalam hal

ini, penulis tidak menemukan pendapat pribadi al-T}abari tentang penafsiran ayat

tersebut, maupun analisisnya berkenaan dengan berbagai riwayat yang ada, selain

tarji> h.38

kemarahan suami (2) bukan karena benci pada daerah tertentu, dan mencari tempat yang lebih aman, (3) bukan karena harta benda (4) mereka meninggalkan rumah tidak lain, hanyalah karena mencintai Allah dan Rasul-Nya”. Selengkapnya, lihat Muhammad ibn Jari>r ibn Yazi>d ibn

Kha>lid Abu> Ja‟far al-Tabari>, Ja>mi‟ al-Bayan „An Ta‟wi>l A>yi al-Qur‟a>n, Juz. 12, h.64.

37

Peristiwa ini terekam dengan jelas oleh beberapa riwayat, di antaranya adalah riwayat Marwa>n ibn Hakam, bahwa nabi saw kedatangan beberapa wanita beriman, setelah perjanjian antara umat Islam dan orang-orang Quraisy baru saja dibuat (sedangkan perjanjian tersebut sama sekali tidak membahas para wanita). Maka, turunlah Q.S. al-mumtahinah: 10. Dan ketika sampai pada redaksi "bi 'isam al-kawa> fir", „Umar ra langsung menceraikan dua istrinya sekaligus, yang masih tetap dalam keadaan syirik. Lihat Muhammad ibn Jari>r ibn Yazi>d ibn Kha>lid Abu>

Ja‟far al-Tabari>, Ja>mi‟ al-Baya>n „an Ta‟wi>l A>yi al-Qur‟a>n, Juz. 12, h.64.

38

(21)

21

Sementara al-Zamakhsyari> menjelaskan, bahwa para sahabat yang

bergabung di H}udaibiyah pada saat itu diterima setelah menjalani ujian dari

Rasulullah, untuk mengetahui maksud kepindahan mereka dari Mekah ke

Madinah. Pada waktu yang sama, para sahabat yang istrinya tidak ikut hijrah

(karena memilih tinggal di Mekah bersama orang musyrik), diperintahkan untuk

menceraikan mereka.39 Dengan demikian, menurut al-Zamakhsyari>, perkawinan

lintas agama yang diperbolehkan hanyalah antara lelaki Muslim dengan ahl

al-kita> b (Yahudi-Nasrani) saja.

Pendapat serupa disampaikan oleh al-Qurtubi>, ia berpendapat bahwa

perbedaan agama merupakan unsur pemisah perkawinan. Dalam hal ini, ia menyatakan bahwa, redaksi “fa la> tarji'u> hunna ila> al-kuffa> r, la> hunna hillun lahum wa la> hum yahillu> na lahunna”, mengandung pengertian tidak

tersebut. Selengkapnya, lihat Muhammad ibn Jari>r ibn Yazi>d ibn Kha>lid Abu> Ja‟far al -Tabari>, Ja>mi‟ al-Baya>n „An Ta‟wi>l A>yi al-Qur‟a>n, Juz. 12, h.64.

39

al-Zamakhsyari> menjelaskan makna “al-'isam” atau “al-„ismah” dalam redaksi ayat “wa la> tumsiku> bi 'isam al-kawa> fir”, yang menurutnya adalah “Sesuatu yang membuat seseorang

menjadi terjaga, termasuk akad dan sebab”. Ia juga melakukan pendataan beberapa sahabat yang

menceraikan istri-istri mereka, setelah turunnya ayat tersebut. Mereka adalah 1. „Umar ibn al -Khatta>b ra, yang menceraikan dua istrinya, yaitu Fa>timah bint Abi> Umaiyah, saudari Ummu

Salamah, dan Kaltsu>m bint Jazu>l, 2. „Iya>d ibn Syadda>d al-Fihri>, yang menceraikan Ummu al-Hakam bint Abi> Sufya>n, 3. Syammas ibn „Utsma>n, yang menceraikan Barwa>‟ bint

„Uqbah, 4. „Amr ibn Abi> Wudd, yang menceraikan „Abidah ibn „Abd al-„Uzza> ibn Naslah, 5. Hisya>m ibn al-„A>ss, yang menceraikan Hind bint Abi> Jahl. Kemudian, diadakan saling tukar mahar antara orang Islam dan kafir Mekah. Namun, setelah Rasul membayar mahar mereka; dengan memakai harta ghani> mah (rampasan perang), orang-orang musyrik tidak melakukan yang sama. Dan setelah prosesi tersebut usai, para wanita muslimah yang baru bergabung dapat dinikahi oleh para lelaki muslim kapanpun, dengan syarat memberikan mahar kepadanya.Dalam ini, mahar disyaratkan dalam perkawinan mereka yang menurut al-Zamakhsyari>, karena mahar adalah ajr al-Bud. Tentang masalah 'iddah, al-Zamakhsyari> menyebutkan pendapat Abu> Hanifah bahwa tidak ada „iddah bagi para wanita tersebut. Oleh karenanya, mereka dapat langsung dinikahi. Karena menurutnya, jika suami istri tinggal di Da> r al-Harb, kemudian salah satu dari mereka keluar/pindah dari daerah tersebut (baik dalam keadaan Islam maupun dalam tanggungan/dzimmi> ), maka hubungan perkawinan mereka putus karenanya. Lihat Abu al-Qa>sim

(22)

22

halalnya wanita beriman bagi lelaki kafir, demikian juga seorang mukmin tidak

boleh menikahi wanita musyrikah. Dengan demikian, dalil wajibnya perceraian

antara wanita muslimah dengan lelaki kafir adalah Islamnya wanita tersebut,

bukan masalah hijrahnya. Sedangkan menurut Abu> H}anifah, yang

menyebabkan perpisahan keduanya adalah perbedaan daerah/negara. Namun

menurut al-Qurtubi>, pendapat pertama lebih sahi>h, karena menurutnya, redaksi “la> hunna hillun lahum wa la> hum yahillu> na lahunna” menunjukkan suatu

alasan bahwa, ketidak halalan tersebut bukan karena beda tempat, melainkan beda

agama. Sedangkan ketika mendeskripsikan (wa la> tumsiku> bi 'isam

al-kawa> fir), ia menyatakan bahwa, maksud kata al-„ismah adalah perkawinan.

Maka, dengan ayat tersebut, barang siapa mempunyai istri kafir di Mekah,

tidaklah dianggap sebagai istri, karena hubungan perkawinannya telah putus

akibat perbedaan daerah/negara.40

Ayat di atas pada masa awal turunnya ditujukan untuk para sahabat setelah

peristiwa Hudaibiyah (6 H). Kendati demikian, ia dapat diberlakukan secara

umum, dengan berpegang pada kaedah "al-'ibrah bi umu> m al-lafz la> bi

khusu> s al-sabab". Dalam ayat tersebut, secara redaksional terdapat kalimat la>

hunna hillun lahum, wa la> hum yahilu> na lahunna.41 Pada redaksi pertama,

ditunjukkan dalam bentuk masdar/infinitive nounyang berarti “sejak sekarang hal itu telah tidak halal”, sedangkan pada redaksi kedua, disebutkan dalam bentuk

40

al-Qurtubi>, al-Ja>mi‟ Li Ahka> m al-Qur‟a>n, Juz. 18, h.55.

41

(23)

23

muda>ri‟/present tense, yang mengandung arti “pada masa akan datang juga tidak

halal”. Dengan demikian, pelarangan perkawinan antara perempuan muslimah

dengan laki-laki non muslim (khususnya musyrik) tidak akan berubah sejak ayat

tersebut turun sampai masa-masa selanjutnya.

Berdasarkan banyaknya riwayat yang ada, para ulama sepakat bahwa,

turunnya ayat di atas erat hubungannya dengan perjanjian H}udaibiyah. Perjanjian

tersebut mengatur hubungan kependudukan antara Mekah dan Madinah. Di mana

sejak saat itu, orang-orang Mekah yang pergi ke Madinah haruslah dikembalikan

lagi ke tempat asalnya. Namun tidak sebaliknya, orang (Islam) Madinah yang ke

Mekah, harus tetap tinggal di Mekah. Perjanjian tersebut tidak mengatur tentang

orang-orang perempuan, maka ketika beberapa dari mereka datang ke

H}udaibiyah untuk hijrah ke Madinah, turunlah ayat tersebut, yang menolak

untuk mengembalikan mereka ke Mekah. Bahkan mereka akan diterima, jika telah

menjalani beberapa pengujian dan menyatakan keimanan tanpa adanya tendensi

keduniaan. Pengujian yang dimaksud adalah pernyataan mereka yang didahului

sumpah "bi Allah al-ladzi> la> ila> ha illa> huwa" bahwa mereka tidak hijrah

karena kemarahan suami, tidak hijrah karena suka berpindah dari satu tempat ke

tempat lain, tidak hijrah karena cinta harta benda, benar-benar hijrah hanya karena

cinta Allah dan Rasul-Nya. Dan sejak saat itulah, Islam mengatur proses putusnya

hubungan perkawinan antara umat Islam dengan Musyrik Mekah, sebagaimana

dijelaskan dalam ayat tersebut. Dan aturan hukum tersebut berlaku sejak saat itu,

sampai seterusnya. 42

Berdasarkan beberapa penjelasan di atas, tampak jelas bahwa perempuan

muslimah sama sekali tidak diperkenankan kawin dengan laki-laki musyrik,

42

(24)

24

sebagaimana larangan serupa juga berlaku bagi para laki-laki muslim terhadap

perempuan musyrikah. Namun permasalahannya adalah tidak terdapat satu

ayatpun al-Qur‟a>n yang dengan tegas menyatakan keharaman pernikahan (antara

laki-laki ahl al-kita> b dengan perempuan muslimah) tersebut. Padahal, dalam

perkawinan antara laki-laki muslim dengan perempuan ahl al-kita> b, terdapat

nass yang dengan tegas memperbolehkannya, sebagaimana dijelaskan dalam Q.S.

al-Maidah: 5.

Tentang pernikahan seorang perempuan Muslimah dengan laki-laki

non-Muslim, penulis buku Fiqih Lintas Agama menegaskan bahwa hal itu merupakan

wilayah ijtihadi dan terikat dengan konteks tertentu, diantaranya konteks dakwah

Islam pada saat itu. Yang mana jumlah umat Islam tidak sebesar saat ini, sehingga

pernikahan antar agama merupakan sesuatu yang terlarang. Karena kedudukannya

sebagai hukum yang lahir atas proses ijtihad, maka amat dimungkinkan bila

dicetuskan pendapat baru, bahwa perempuan muslim boleh menikah dengan

laki-laki non-muslim, atau pernikahan beda agama secara lebih luas diperbolehkan,

apapun agama dan aliran kepercayaannya.43.

Permasalahan di atas dapat dikembalikan lagi pada kaedah dalam masalah

perkawinan, yaitu “Pada asalnya, abda>‟ itu haram”.44 Dan dalam upaya untuk

menghilangkan keharaman tersebut maka disyari‟atkanlah nikah/perkawinan. Sehingga, dalam hal ini, nikah merupakan salah satu cara untuk menghalalkan

43

Mun‟im A. Sirry, Fiqih Linta s Agama Membangun Masyarakat Inklusif-Pluralis, (Jakarta, 2004), h.164

44

(25)

25

sesuatu yang pada dasarnya adalah haram, karena dengan nika>h, hubungan intim

laki-laki dan perempuan menjadi halal.45 Di samping itu, dalam fungsinya sebagai

salah satu bentuk ibadah, kendati juga bernuansa sosial, terdapat aturan dan

batasan-batasan tersendiri yang harus dipatuhi oleh umat Islam dalam melakukan

perkawinan. Dan secara umum, terdapat kaedah, “pada dasarnya (asal) dalam

masalah ibadah adalah mendiamkannya”. Maksudnya adalah bahwa, masalah

ibadah itu merupakan sesuatu yang telah ditentukan oleh sya>ri‟; Allah , dan

Rasul-Nya, sehingga tidak ada peluang ijtiha> d di dalamnya. Maka dari itu,

rekayasa dalam masalah tersebut tidaklah dibenarkan, bahkan masuk dalam

kategori bid‟ah.46

Dengan demikian, jika kaedah di atas diterapkan dalam masalah

pernikahan, maka pernikahan yang diperbolehkan hanyalah “pernikahan syar‟i>”,

yakni bentuk perkawinan yang mendapat legalisasi dari aturan-aturan pokok Islam

baik al-Qur‟a>n maupun hadi>ts. Belum lagi, jika dihubungkan dengan kaedah

umum, “Asal segala sesuatu adalah dilarang/haram”, yakni setiap sesuatu pada

dasarnya, haruslah dipandang sebagai “tidak boleh/ dilarang”, dan baru dianggap boleh jika terdapat nass sari> h yang menjelaskan hal sebaliknya.47 Kaedah ini

banyak didasarkan pada beberapa penjelasan ayat al-Qur‟a>n yang menyatakan

45

Karena tanpa ikatan perkawinan, hubungan laki-laki-perempuan (dalam arti jima>‟) adalah dilarang dan termasuk zina; suatu perbuatan dosa besar yang harus dijauhi. Sebagaimana firman Allah dalam Q.S. Isra>: 32, dengan redaksinya "wa la> taqrabu> al-zina> innahu> kana fahisyatan wa sa>‟a sabi>la>", “Dan janganlah kamu mendekati zina; sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji dan suatu jalan yang buruk”.

46

Lihat Abu> al-Fadl Ahmad ibn „Ali> ibn Hajar al-Asqala>ni> al-Sya>fi‟i>, Fath al-Ba> ri> Syarh Sahi> h al-Bukha> ri>, , (Beirut Da>r al-Ma‟rifah, 1379 H) Juz. 3, h. 54. Dengan redaksi"al-aslu fi al-'iba> dah al-tawaqquf", “Pada dasarnya (asl) dalam masalah ibadah adalah tawaqquf/bersikap diam atasnya”.

47

(26)

26

bahwa, segala sesuatu itu adalah milik Allah. Oleh karenanya, haram bagi

manusia untuk melakukan tasarruf, kecuali atas izin–Nya.48

Di sisi lain, juga terdapat banyak riwayat yang menyatakan tidak

diperkenankannya laki-lakiahl al-kita> b menikahi perempuan muslimah, kendati

hanya datang dari para sahabat. Demikian juga pada masa sahabat maupun para

ulama salaf, perkawinan tersebut tidak pernah terjadi, kecuali langsung mendapat

respon negatif dari mereka, dan bahkan diceraikan secara paksa. Seperti putusan

khalifah „Umar ibn al-Khatta>b yang menceraikan secara paksa beberapa

pasangan keluarga lintas agama; antara perempuan muslimah dengan laki-laki ahl

al-kita> b, karena para suami menolak untuk masuk Islam .49

Belum lagi pernyataan Ibn 'Abba>s dan beberapa sahabat lain bahwa,

laki-laki muslim boleh menikahi perempuan ahl al-kita> b, namun sebaliknya laki-laki

ahl al-kita> b sama sekali tidak berhak menjadi suami dari perempuan

muslimah.50 Dalam hal ini, seakan telah terjadi ijmak bahwa seorang muslimah

dilarang menikah dengan laki-lakiahl al-kita> b.

48

Dalam ini, terdapat banyak sekali ayat yang menjelaskan tentang kepemilikan Allah yang

bersifat mutlak. Seperti Q.S. 2 284, “Kepunyaan Allah-lah segala apa yang ada di langit dan apa

yang ada di bumi”. Juga Q.S. al-Nisa>: 131, 170, Q.S. al-Ma>‟idah: 120, Q.S. al-An‟a>m: 12, Q.S. Yu>nus: 55, 66, Q.S. al-Ra‟d: 31, dan lain-lain.

49

Lihat Abu> Abdilla>h Muhammad ibn al-Hasan al-Syaiba>ni>, al-Hujjah „ala> Ahl al -Madi> nah, Juz. 4, h.7. Lihat juga Muslim ibn Hajja>j, al-Mufrada> t wa al-Wahda> n, Juz. 1, h.185. Bandingkan dengan Abu> Muhammad, „Ali> ibn Ahmad ibn Hazm Za>hiri>, Juz 7, al-Mula> , h. 313.

50

Riwayat tersebut disampaikan oleh „Ikrimah, dari Ibn „Abba>s, beliau berkata

“Sesungguhnya Allah Telah mengutus Muhammad dengan membawa kebenaran (Islam), untuk

memenangkannya di atas setiap agama. Maka agama kita (Islam) adalah agama yang terbaik, millah kita di atas millah-millah, para laki-laki kita dapat menikahi perempuan-perempuan mereka (ahl al-kita> b), namun para laki-laki (ahl al-kita> b) mereka tidak dapat menikahi

(27)

27

Baya> n fi Raddi 'ala man Kha> lafa al

-al- Qaradhawi, Yusuf, al-Ijtiha> d al-Mu„a>shir, bayna al-Indhiba> th wa al-Infira> th, Kairo Dar al-Tawzi„ wa al-Nasyr al-Isla>miyyah, 1994

mad ibn Abu> Bakr ibn Faraj, h

Fakhr al-Ra> zi> , , Jld. III, Cet. III, Beirut: Da>r al-Fikr, 1985

Ja>mi‟ ammad ibn Jari>r ibn Yazi>d ibn Kha>lid Abu> Ja‟far,

h abari>, Mu T

-al

al-Baya>n „An Ta‟wi>l A>yi al-Qur‟a>n, , Beiru>t: Da>r al Fikr, 1405,

Amin, Qosim,Tahrir al Mar‟ah , Kairo Darul al –Salam, t.t

Bintaji, Muhammad di dalam “ Makanatul Mar‟ah fi al- Qur‟an al Kariem dan al Sunah al- Shohihah, Kairo Darul al –Salam, 2000

Bungin, Burhan, Analisis Data Kualitatif, Jakarta: Grafindo Raja Persada, 2003 Ibn Katsi>r, Isma>‟i>l ibn „Umar Abu> al-Fida>‟ al-Dimasyqi>, Tafsi> r

al-Qur‟a>n al-„Azi>m, al-Maktabah al-Syamilah vol.2

h

(28)

28

Sirry, Mun‟im A., Fiqih Lintas Agama Membangun Masyarakat Inklusif-Pluralis,

Jakarta, 2004

Syihab, M. Quraish, Tafsir al-Misbah, kesan pesan dan keserasian al-Qur‟a>n, Vol. XIV, Jakarta, Lentera Hati

Wade, Anthony, Interfaith is Difficult for Children, .thealabamabaptist.org/ip_templete.asp? http//www

Referensi

Dokumen terkait

Menurut Utama (2004), baik tidaknya pelaksanaan good corporate governance di dalam perusahaan salah satu diantaranya dipengaruhi oleh mekanisme disclosure informasi

4, Kabag MK-PSIdan Kabag AUKK Polnep5. Yang

Sibuk Sendiri Ketika sedang Berinteraksi dengan Teman Berdasarkan data yang diperoleh dari pertanyaan yang kami ajukan mengenai apakah responden sibuk sendiri ketika

Pada saat Peraturan Menteri ini mulai berlaku, semua peraturan perundang-undangan yang merupakan peraturan pelaksanaan dari Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor

- Biaya administrasi 500.000/tim, maksimal 10 hari kerja setelah mengisi form pendaftaran - Jika >10 hari tidak bayar, dianggap mengundurkan diri, jika mau daftar ulang lagi

da’i, materi dakwah, strategi dakwah, metode dakwah dan media dakwah. Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif daskriptif, dengan mengambil latar Di Kelurahan Kota

Hasil uji HI menunjukkan reaksi silang baik serum ayam maupun itik pasca vaksinasi AI H5N1 clade 2.3.2 dengan antigen clade 2.1.3 terjadi dengan titer antibodi rendah,

Dalam film American Sniper seperti kelompok-kelompok tertentu yaitu Alqaeda, yang dikenal sebagai kelompok radikal yang membela agama Islam, maka semua informan