• Tidak ada hasil yang ditemukan

Relevansi Perpindahan Hak Wali Nikah Dalam Kitab Tabyin Al Ishlah Karangan Syaikh Haji Ahmad Rifa‟i Ditinjau Dari Hukum Islam SKRIPSI Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat guna Memperoleh Gelar Sarjana dalam Hukum Islam

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "Relevansi Perpindahan Hak Wali Nikah Dalam Kitab Tabyin Al Ishlah Karangan Syaikh Haji Ahmad Rifa‟i Ditinjau Dari Hukum Islam SKRIPSI Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat guna Memperoleh Gelar Sarjana dalam Hukum Islam"

Copied!
109
0
0

Teks penuh

(1)

Relevansi Perpindahan Hak Wali Nikah Dalam Kitab Tabyin Al Ishlah

Karangan Syaikh Haji Ahmad Rifa‟i Ditinjau Dari Hukum Islam

SKRIPSI

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat

guna Memperoleh Gelar Sarjana dalam Hukum Islam

Oleh:

Ringayatunnisa‟

NIM : 21114021

JURUSAN HUKUM KELUARGA ISLAM

FAKULTAS SYARI‟AH

INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN)

SALATIGA

(2)

NOTA PEMBIMBING

Lamp : 4 (empat) eksemplar

Hal : Pengajuan Naskah Skripsi

Kepada Yth.

Dekan Fakultas Syari‟ah IAIN Salatiga Di Salatiga

Assalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh

Disampaikan dengan hormat, setelah dilaksanakan bimbingan, arahan dan koreksi, maka naskah skripsi mahasiswa:

Nama : Ringayatunnisa‟

NIM : 21114021

Judul :Relevansi Perpindahan Hak Wali Nikah Dalam Kitab Tabyin

Al IshlahKarangan Syaikh Haji Ahmad Rifa‟i Ditinjau Dari Hukum Islam

dapat diajukan kepada Fakultas Syari‟ah IAIN Salatiga untuk diujikan dalam sidang munaqasyah.

Demikian nota pembimbing ini dibuat, untuk menjadi perhatian dan digunakan sebagimana mestinya.

Wassalamualaikum Warahmatullahi Wabarakatuh

Salatiga, 04 September 2018 Pembimbing,

(3)

PENGESAHAN

Skripsi Berjudul:

Relevansi Perpindahan Hak Wali Nikah Dalam Kitab Tabyin Al Ishlah

Karangan Syaikh Haji Ahmad Rifa‟i D

itinjau Dari Hukum Islam

Oleh:

Ringayatunnisa‟

NIM : 21114021

telah dipertahankan di depan sidang munaqasyah skripsi Fakultas Syari‟ah, Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Salatiga, pada hari Selasa, tanggal 2018, dan telah dinyatakan memenuhi salah satu syarat guna memperoleh gelar sarjana dalam hukum Islam

Dewan Sidang Munaqasyah

Ketua Sidang : Dr. Siti Zumrotun, M.Ag ...

Sekretaris Sidang : M. Yusuf Khummaini, S.H.I, M.H ...

Penguji I : Dr. Ilyya Muhsin, M.Si ...

Penguji II : Heni Satar N, S.H., M.Si ...

Salatiga, 2018

Dekan Fakultas Syari‟ah

Dr. Siti Zumrotun, M.Ag. NIP.19670115 199803 2 002

KEMENTERIAN AGAMA

INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN) SALATIGA

FAKULTAS SYARI‟AH

Jl. Nakula Sadewa V No.9 Telp.(0298) 3419400 Fax 323433 Salatiga 50722

(4)

PERNYATAAN KEASLIAN

Yang bertanda tangan di bawah ini:

Nama : Ringayatunnisa‟

NIM : 21114021

Jurusan : Hukum Keluarga Islam

Fakultas : Syari‟ah

Judul Skripsi :

Relevansi Perpindahan Hak Wali Nikah Dalam Kitab

Tabyin Al Ishlah

Karangan Syaikh Haji Ahmad Rifa‟i

Ditinjau Dari Hukum Islam

menyatakan bahwa skripsi ini benar-benar merupakan hasil karya saya sendiri, bukan jiplakan dari karya tulis orang lain. Pendapat atau temuan orang lain yang terdapat dalam skripsi ini dikutip dan dirujuk berdasarkan kode etik ilmiah.

Salatiga, 05 September 2018 Yang menyatakan

Ringayatunnisa‟

(5)

MOTTO

اًسْسٌُ ِسْسُعْنا َعَم َّنِإ

﴿

٦

(6)

PERSEMBAHAN

Karya ini penulis persembahkan untuk:

1. Kedua orang tuaku ibu Siti Asiyah dan bapak Muhdi yang telah membesarkan dan mendidikku dengan penuh kasih sayang dan cinta serta pengorbanan baik secara lahir

maupun batin dengan iringan do‟a restu sehingga aku bisa seperti sekarang.

2. Kakakku Mbak Faizah dan Mas Ma‟rufi Ahmad serta Adikku Azmi Latifah dan Azka

Umaya Muflikha terimakasih atas do‟a dan motivasi yang tercurahkan tanpa batas dan lelah.

3. Kepada bapak M. Yusuf Khummaini, S.H.I, M.H. selaku pembimbing dan sekaligus sebagai serta motifator juga pengarah sampai selesainya penulisan skripsi ini.

4. Seluruh bapak ibu dosen yang telah bersedia memberikan ilmu kepada penulis dan terima kasih atas dorongan dan motivasinya.

5. Kepada sahabatku Dhewi Endriani, viani rahmawati, Sinta Marya Dewi, Siti Aisah,

Isnataini Nur Fitriana, Afita Setyowati dan Siti Muzayanah yang selalu mendo‟akan

dan selalu memperhatikanku dalam segala keadaan yang tidak dapat saya sebutkan satu persatu.

6. Kawan-kawan seperjuangan angkatan 2014 terkhusus program studi HKI yang telah

memberikan kebahagiaan, motivasi dan semangat belajar.

(7)
(8)

KATA PENGANTAR

Alhamdulillahirobbil‟alamin, segala puji dan syukur penulis panjatkan kehadiran Allah SWT, yang telah memberikan rahmat, inayah serta hidayahnya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Shalawat serta salam penulis haturkan kepada junjungan kita Nabi Agung Muhammad SAW yang telah menuntun umatnya ke jalan kebenaran, beserta keluarga dan para sahabatnya.

Skripsi ini penulis susun dalam rangka memenuhi tugas dan melengkapi syarat guna

memperoleh gelar Sarjana Hukum Islam (S.H.). Adapun judul skrisi ini adalah “Relevansi

Perpindahan Hak Wali Nikah Dalam Kitab Tabyin Al Ishlah Karangan Syaikh Haji

Ahmad Rifa‟i Ditinjau Hukum Islam

Dengan penuh kerendahan hati, penulis mengucapkan terimakasih kepada:

1. Bapak Dr. Rahmat Hariyadi selaku Rektor IAIN Salatiga.

2. Ibu Dr. Siti Zumrotun, M.Ag. selaku dekan Fakultas Syariah IAIN Salatiga.

3. Bapak Sukron Ma‟mun, M.Si. selaku Ketua Program Studi HKI IAIN Salatiga.

4. Bapak yusuf khummaini,S.H.I, M.H. sebagai Dosen Pembimbing yang telah memberikan bimbingan dan pengarahan dengan penuh keikhlasan dan kesabaran, yang

telah mencurahkan tenaga dan pikiran serta mengorbankan waktunya dalam

(9)

5. Bapak dan Ibu Dosen serta karyawan perpustakaan dan seluruh Sivitas Akademik IAIN Salatiga yang telah banyak membimbing dan membantu dalam menyelesaikan

skripsi ini.

6. Kedua orang tua yang selalu memberikan dukungan moral dan spiritual, yang selalu mencurahkan kasih sayang, memberikan semangat dan dukungan serta mendo‟akan

saya, selama saya menempuh studi di IAIN Salatiga yang selalu megharapkan

keberhasilan saya.

7. Sahabat senasib seperjuangan HKI angkatan 2014 yang tidak bisa penulis sebutkan satu persatu.

Dalam hal ini penulis menyadari masih banyak kekurangan baik teknik penyusunan

maupun isi, karena keterbatasan kemampuan penulis. Untuk itu penulis mengharapkan

saran dan kritikan yang membangun dari para pembaca.

Akhirnya penulis berharap semoga skripsi ini memberikan sumbangsih bagi

pengembangan dunia khususnya Hukum Keluarga Islam.

Salatiga, Agustus 2018

Penulis

Ringayatunnisa‟

(10)

ABSTRAK

Ringayatunnisa‟. 2018 “Relevansi Perpindahan Hak Wali Nikah Dalam Kitab Tabyin Al Ishlah Karangan Syaikh Haji Ahmad Rifa‟i Ditinjau Dari Hukum Islam”.

Skrispi. Fakultas Syari‟ah. Jurusan Hukum Keluarga Islam, Institut Agama

Islam Negeri. Pembimbing: Yusuf Khummaini,S.H.I,M.H.

Kata Kunci: perpindahan, hak wali nikah, dan kitab Tabyin Al-Ishlah

Pernikahan yaitu akad yang sangat kuat atau mitsaqan ghalidzan untuk mentati perintah Allah dan melaksanakannya merupakan ibadah. Yang mana dalam perkawinan itu sendiri bertujuan untuk membentuk keluarga yang sakinah, mawaddah wa rahmah. Dalam melaksanakan pernikahan terdapat syarat sah dan rukun yang harus dipenuhi oleh calon kedua mempelai, Salah satunya yaitu wali nikah. Di dalam kitab Tabyin Al-Ishlah wali nikah harus memenuhi syarat yang sudah ditentukan yaitu, adil dan mursyid. Permasalahan di dalam konsep pernikahan sangat beragam salah satunya permasalahan perwalian nikah. Yang mana, terdapat konsep perpindahan hak wali, itu terjadi karena wali tersebut merasa

tidak mumpuni untuk menikahkan anaknya, maka perwalian di taukilkan kepada ulil amri

yang mereka percaya akan adil dan kemursyidannya. Berdasarkan latar belakang di atas, kemudian peneliti merumuskan ke dalam dua pertanyaan sebagai berikut: 1. Bagaimana perpindahan hak wali dalam kitab tabyin al-ishlah di tinjau dari hukum islam? 2. Bagaimana konsep perpindahanhak wali dalam kitab tabyin al-ishlah di tinjau dari hukum islam?

Sehubungan dengan pertanyaan di atas peneliti menggunakan jenis penelitian kualitatif dan pendekatannya melalui pendekatan yuridis normatif. Metode yang digunakan adalah library research (penelitian kepustakaan), yaitu suatu cara membaca, mencermati, menelaah buku-buku yang ada kaitannya dengan masalah yang akan di teliti.

Hasil yang diperoleh dari penelitian ini adalah konsep perpindahan hak wali nikah

(11)

DAFTAR ISI

SAMPUL ___________________________________________________ i NOTA PEMBIMBING _________________________________________ ii PENGESAHAN ______________________________________________ iii PERNYATAAN KEASLIAN ____________________________________ iv MOTTO_____________________________________________________ v PERSEMBAHAN _____________________________________________ vi KATA PENGANTAR _________________________________________ viii ABSTRAK __________________________________________________ x DAFTAR ISI _________________________________________________ xi DAFTAR LAMPIRAN _________________________________________ xiii

BAB I: PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah ___________________________________ 1

B. Rumusan Masalah ________________________________________ 7

C. Tujuan Penelitian _________________________________________ 7

D. Kegunaan Penelitian ______________________________________ 8

E. Penegasan Istilah _________________________________________ 9

F. Telaah Pustaka ___________________________________________ 9

G. Metode Penelitian ________________________________________ 12

H. Sistematika Penulisan _____________________________________ 15

BAB II: PERWALIAN NIKAH DALAM HUKUM ISLAM

A. Konsep Pernikahan _______________________________________ 17

1. Pengertian Pernikahan __________________________________ 17

2. Hukum Pernikahan ____________________________________ 20

3. Tujuan Dan Hikmah Pernikahan __________________________ 22

(12)

BAB III: GAMBARAN UMUM BIOGRAFI SYAIKH AHMAD RIFA‟I DAN KITAB TABYIN AL-ISHLAH

A. Gambaran Umum Syaikh Ahmad Rifa‟i Dan Kitab Tabyin Al-Ishlah 40

1. Biografi Syaikh Ahmad Rifa‟i ____________________________ 40

2. Jamaah Rifa‟iyyah ____________________________________ 51

3. Kitab Tabyin Al-Ishlah _________________________________ 53

B. Konsep Pernikahan Dalam Kitab Tabyin Al-Ishlah ______________ 55 C. Konsep Perpindahan Hak Wali Nikah Dalam Kitab

Tabyin Al-Ishlah _________________________________________ 65

BAB IV: ANALISIS PERPINDAHANN HAK WALI NIKAH

DALAM KITAB TABYIN AL-ISHLAH DI TINJAU DARI HUKUM ISLAM

A. Analisis Konsep Wali Nikah Dalam Kitab Tabyin Al-Ishlah

Di Tinjau Dari Hukum Islam _______________________________ 71

1. Analisis Konsep Perpindahan Hak Wali Nikah Dalam Fikih ____ 71

2. Analisis Konsep Perpindahan Hak Wali Nikah Dalam Kitab

Tabyin Al-Ishlah Di Tinjau Dari Undang-Undang Perkawinan __ 72

B. Analisis Perpindahan Hak Wali Nikah Dalam Kitab

Tabyin Al-Ishlah Di Tinjau Dari Hukum Islam _________________ 72 1. Analisis Perpindahan Hak Wali Nikah Dalam Fikih __________ 72

2. Analisis Perpindahan Hak Wali Nikah Dalam Kitab

Tabyin Al-Ishlah Di Tinjau Dari Undang-Undang Perkawinan __ 73

C. Analisis Relevansi Perpindahan Hak Wali Nikah Dalam Kitab

Tabyin Al-Ishlah Ditinjau Dari Hukum Islam Era Zaman Sekarang _ 75

BAB V: PENUTUP

A. Kesimpulan _____________________________________________ 77

B. Saran __________________________________________________ 79

C. Penutup ________________________________________________ 79

(13)

DAFTAR LAMPIRAN

1. Lembar Surat Penunjukkan Pembimbing

2. Lembar Surat Izin Observasi 3. Lembar Konsultasi Skripsi

(14)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Salah satu ajaran yang penting dalam islam adalah pernikahan (perkawinan). Begitu pentingnya ajaran tentang pernikahan tersebut sehingga

dalam alqur‟an terdapat sejumlah ayat baik secara langsung maupun tidak langsung

berbicara mengenai masalah pernikahan dimaksud. (Anam, 2015: 1)

Perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai istri dengan tujuan membentuk keluarga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Ikatan lahir adalah hubungan formal yang dapat dilihat karena dibentuk menurut undang-undang yang mengikat kedua pihak dan pihak lain dalam masyarakat. Sedangkan ikatan batin adalah hubungan tidak formal yang dibentuk dengan kemauan bersama yang sungguh-sungguh mengikat kedua belah pihak. (Hanif, 2015: 1)

(15)

Pada hakikatnyaikatan pernikahan sendiri tidak hanya membahas tentang ikatan lahir batin. Akan tetapi, untuk mewujudkan kehidupan kelaurga yang harmonis perlu dilihat proses pernikahan seseorang yang dilaksanakan sebelumnya.Tradisi atau kebiasaan yang terjadi di suatu daerah merupakan rangkaian prosesi pernikahan yang dilaksanakan seseorang.Dimana, suatu adat atau kebiasaan yang terjadi dimasyarakat sudah turun temurun dari nenek moyangnya.Tradisi merupakan sesuatu kebiasaan yang berkembang di masyarakat, baik yang menjadi adat kebiasaan, atau yang diasimilasikan dengan ritual adat atau agama. Atau dalam pengertian yang lain, sesuatu yang telah dilakukan sejak lama dan menjadi bagian dari kehidupan suatu kelompok masyarakat, biasanya dari suatu Negara, kebudayaan, waktu, atau agama yang sama. (Hanif, 2015: 2)

Islam merupakan agama yang bersifat universal.Didalamnya tidak menganut ajaran yang kaku.Ia mampu beradaptasi dan berkembang diberbagai daerah dan disetiap waktu. Akan tetapi terkadang budaya dan tradisi lokal dalam masyarakat tidak dapat dihindari oleh berbagai kalangan masyarakat muslim. Karena itu agama dan budaya saling berjalan beriringan tanpa mengurangi nilai-nilai yang terkandung didalamnya.

(16)

caranya, dengan kata lain masyarakat muslim tidak dapat lepas dengan istilah tradisi.

Tradisi dalam hukum islam disebut „urf. „urf adalah sesuatu yang telah dikenal oleh masyarakat dan merupakan kebiasaan di kalangan mereka baik berupa perkataan maupun perbuatan.Atau kebiasaan atau hukum yang bersifat kedaerahan yang dapat saja bersanding dengan hukum islam, dan ini juga disebut dengan adat. Jadi, dikalangan syariat tidak ada perbedaan antara „urf dan adat. (munir, 2005: 334)

Pada saat ini tradisi pernikahan juga masih melekat dan dijalankan di

masyarakat.Salah satunya di kalanganJamaah Rifa‟iyah, yangmana Jamaah

Rifa‟iyah adalah kelompok keagamaan pengikut KH.Ahmad Rifa‟i yang muncul pada pertengahan abad ke-19 di pesisir utara jawa tengah tepatnya di Desa Kalisalak Kecamatan Limpung Kabupaten Batang, pada masa itu masuk dalam

Karesidenan Pekalongan.KH. Ahmad Rifa‟i telah memainkan peranan yang amat

penting dalam sejarah islam dan gerakan keagamaan menantang pemerintah belanda di Indonesia.

Saat ini pengikut Jamaah Rifa‟iyah cukup banyak yang tersebar di beberapa daerah di jawa tengah seperti Batang, Pekalongan, Pemalang, Kendal, Kebumen, Wonosobo, Pati dan bahkan diluar jawa tengah seperti arjowinangun Cirebon,

(17)

juga sebagai tokoh sentral yang sangat dihormati oleh pengikutnya hingga sekarang.

Jamaah Rifa‟iyah dalam masalah pernikahan ia berpedoman pada kitab

yang dianut oleh KH. Ahmad Rifa‟i yaitu kitab Tabyin Al-Ishlah.Kitab Tabyin Al- Ishlahsendiri merupakan suatu kitab yang dikarang sendiri oleh KH. Ahmad Rifa‟i didalamnya berisi tentang berbagai pelajaran, salah satunya membahas tentang pernikahan dan proses pernikahan berlangsung. Dan pelajaran-pelajaran yang terdapat didalamnya khususnya hal pernikahansesungguhnya tidak jauh berbeda dengan yang dijelaskan oleh kitab-kitab yang lainnya.Perkawinan dianggap sah apabila terpenuhi semua syarat dan rukunnya. Prof. Dr. H. Ahmad Rofiq, M.A menjelaskan bahwa tentang rukun-rukun perkawinan terdiri atas lima macam, yaitu adanya: calon suami, calon istri, wali nikah, dua orang saksi dan ijab qabul. (Rofiq, 2013:55)

Salah satu unsur penting dalam perkawinan adalah adanya wali nikah.Pendapat tentang keharusan adanya wali dalam perkawinan juga dinyatakan oleh Imam Syafi‟i, bahwa wali merupakan satu rukun nikah, sehingga tanpa adanya wali maka perkawinan itu tidak sah.Di dalam kitab al-umm, al-syafi‟i menyatakan secara tegas bahwa salah satu syarat sahnya perkawinan adalah adanya wali bagi perempuan. (Anam, 2013: 3)

(18)

yang menikah tanpa wali berarti pernikahannya tidak sah. Ketentuan ini didasari

oleh hadis Nabi Muhammad yang mengungkapkan:“tidak sah perkawinan, kecuali

diniahkan oleh wali”.Status wali dalam pernikahan merupakan rukun yang menentukan sahnya akad nikah (perkawinan). Seorang wali mempunyai persyaratan yaitu: laki-laki, dewasa, mempunyai hak perwalian dan tidak terdapat halangan perwalian seperti yang diatur dalam pasal 20 KHI ayat (1) bahwa yang bertindak sebagai wali nikah ialah seorang laki-laki yang memenuhi syarat hukum islam, yakni muslim, aqil, dan baligh. Dalam pelaksanaan akad nikah atau yang biasa disebut ijab qabul. (zainuddin, 2006: 15)

Dalam fenomena sosial sendiri sudah menjadi tradisi dengan perwakilan perwalian ketika akad nikah, hal ini terjadi karena beberapa alasan seperti kurang siapnya wali atau bisa juga karena grogi, kurangnya pengetahuan sehingga mewakilkan kepada orang yang lebih faham tentang agama, bahkan ada juga yang karena wali tidak bisa hadir ketika akad nikah dikarenakan berada sedang bekerja di luar negeri atau alasan lainnya. Tradisi yang terjadi biasannya wali tersebut diwakilkan kepada wali hakim atau penghulu. (Anam, 2013: 3)

Namun ada suatu penjelasan dalam kitab Tabyin Al-Ishlahyang

membedakan dengan tradisi masyarakat islam pada umumnya, yaitu Jamaah

(19)

Menurut informasi yang penulis dapatkan, Jamaah Rifa‟iyah mempunyai tradisi untuk menentukan atau memilih seseorang yang berhak untuk menjadi wali dan saksi pernikahan dalam setiap pernikahan Jamaah Rifa‟iyah, agar syarat syah yang sudah ditentukan sebagai wali dan saksi pernikahan dapat terpenuhi.Dalam

Jamaah Rifa‟iyah untuk melaksanakan prosesi pernikahan didalamnya terdapat tradisi tersendiri.Yang mana, seorang calon pengantin harus mempelajari kitab yang dianut Jamaah Rifa‟iyah yaitu kitab Tabyin Al-Ishlah. Yang didalamnya berisi tentang hal ikhwal kehidupan dan salah satunya kehidupan bahtera rumah tanggga yang sakinah mawaddah wa rahmah.

Menurut salah satu Jamaah Rifa‟iyah yaitu bapak Nadzir, beliau

berpendapat bahwa seseorang yang ingin melakukan pernikahan dan yang akan menikahkan (wali nikah) calon pengantin diharuskan untuk mempelajari terlebih dahulu kitab Tabyin Al-Ishlah, untuk mencapai syarat sah secara fiqiyah dan pernikahannya bisa dianggap shahih. Jamaah Rifa‟iyah mengenal sebuah prinsip, bahwasannya tidak bisa sah secara fiqiyah seseorang yang akan melakukan sesuatu tanpa mengetahui ilmunya terlebih dahulu. Seorang calon mempelai yang tidak mempelajari kitab Tabyin Al-Ishlahsebelum pernikahan akan mendapat sanksi, yaitu dikucilkan dari Jamaah Rifa‟iyah.

(20)

penelitian yaitu bagaimana perpindahan hak wali, apa syarat untuk menjadi seorang wali untuk menikahkan calon mempelai di dalam kitab Tabyin Al-Ishlahyang diterapkan di dalam Jamaah Rifa‟iyah. Dalam penelitian ini penulis mengambil

judul “Relevansi Perpindahan Hak Wali Nikah Dalam Kitab Tabyin Al Ishlah

Karangan Syaikh Haji Ahmad Rifa‟i Ditinjau Dari Hukum Islam”.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah yang sudah saya sampaikan di atas, maka penulis merumuskan beberapa rumusan masalah:

1. ApaKonsep Perpindahan Hak WaliNikah Dalam Kitab Tabyin Al-Ishlah

Dalam Hukum Islam?

2. Bagaimana Perpindahan Hak WaliNikah Dalam Kitab Tabyin Al-Ishlah?

3. Bagaimana Relevansi Perpindahan Hak Wali Nikah Dalam Kitab Tabyin Al-Ishlah Ditinjau Dari Hukum Islam?

C. Tujuan Penelitian

Sebagaimana yang telah kita ketahui bahwa setiap kegiatan yang dilakukan oleh seseorang pasti mempunyai tujuanyang ingin di capai. Adapun tujuan skripsi ini adalah:

1. Untuk Mengetahui Konsep Wali nikah dalam Kitab Tabyin Al-ishlah dalam hukum islam.

2. Untuk Mengetahui Perpindahan Hak Wali nikah dalam Kitab Tabyin Al-ishlah.

3. Untuk Mengetahui Relevansi Perpindahan Hak Wali Nikah Dalam Kitab

(21)

D. Kegunaan Penelitian

Adapun kegunaan yang diharapkan dalam penulisan ini diantaranya adalah: 1) Secara Teoritis

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberi kontribusi pemikiran tentang wacana keilmuan, terutama pengembangan wawasan mengenai pemikiran tokoh Rifa‟iyah terhadap perpindahan hak wali nikah.

2) Secara Praktis

Penelitian ini diharapkan dapat menjadi informasi dan ilmu pengetahuan bagi semua pihak, khususnya bagi:

a. Bagi Peneliti

Penelitian ini diharapkan dapat menambah wawasan, pengetahuan, dan pengalaman bagi peneliti mengenai produk pemikiran tokoh

Rifa‟iyahyang berkaitan dengan perpindahan hak wali nikah.

b. Bagi pemerintah yang bergerak dalam bidang perkawinan

Hasil penelitian ini diharapkan dapat sebagai tambahan referensi untuk memberikan informasi dan memberikan tambahan pengetahuan terhadap masyarakat khususnya orang tua yang menjadi wali nikah tentang bagaima ketentuan-ketentuan untuk sah menjadi wali nikah.

c. Masyarakat

(22)

yangmana kitab ini membahas tentang pernikahan yang di dalamnya juga berisi tentang ketentuan-ketentuan wali nikah.

E. Penegasan istilah

1. Perpindahan, dalam kamus besar bahasa Indonesia adalahperihal berpindah, peralihan, peranjakan. Perpindahan menurut bapak nadzir yaitu peralihan perwalian dari seorang bapak kepada wali hakim (adil dan mursyid) yaitu seorang kiyai.

2. Hak dalam kamus besar Indonesia adalah kekuasaan untuk berbuat sesuatu (karena telah ditentukan oleh undang-undang, aturan, dan sebagainya)

3. wali nikah, perwalian dalam perkawinan adalah suatu kekuasaan atau wewenang syar‟i atas segolongan manusia, yang dilimpahkan kepada orang yang sempurna, karena kekurangan tertentupada orang yang dikuasai itu, demi kemaslahatannya sendiri. (jawad, : 53)

4. Kitab Tabyin Al-Ishlah, adalah salah satu kitab karangan Syaikh Ahmad

Rifa‟i yang di dalamnya berisi penjelasan-penjelasan mengenai segala hal yang bersangkutan tentang pernikahan.

F. Telaah pustaka

(23)

Penelitian terdahulu dibutuhkan untuk memperjelas, menegaskan, melihat kelebihan dan kelemahan berbagai teori yang digunakan penulis lain dalam penelitian atau pembahasan masalah yang serupa. Selain itu penelitian terdahulu perlu disebutkan dalam sebuah penelitian untuk memudahkan pembaca melihat dan membandingkan perbedaan teori yang digunakan dan perbedaan hasil kesimpulan oleh penulis dengan peneliti yang lain dalam melakukan pembahasn tema yang hampir serupa.Dalam pernikahan wali merupakan salah satu rukun dalam pernikahan.Apabila ada salah satu rukun tidak terpenuhi maka pernikahan itu bisa dibatalkan.Wali nikah bisa diganti oleh wali hakim yang sudah memenuhi aturan atau ketentuan-ketentuan yang ada dalam perundang-undangan yang berlaku.

Penelitian mengenai Jamaah Rifa‟iyah telah banyak dilakukan oleh para peneliti. Ada yang secara total mengkaji dalam skripsi, tesis, disertasi maupun buku. Berikut ini penelitian yang mempunyai topik atau tema yang hampir sama dengan skripsi ini:

1. Penelitian Abdul Djamil dalam Disertasinya yang kemudian dibukukan dengan judul perlawanan Kiayi Desa: pemikiran dan gerakan Islam KH.

(24)

dibeberapa tempat di nusantara, karena menghindari kejaran kekuasaan kolonial belanda. Trauma dari kejaran kolonial belanda ini menghasilkan sikap bagi para pengikutnya untuk anti terhadap kekuasaan dan terjadi apa yang dikatakan Abdul Djamal sebagai protes diam. Tentang pernikahan dalam buku ini Abdul Djamil hanya mengulas tentang pemikiran KH. Ahmad

Rifa‟i dalam kitab tabyin al-islah.

2. Peneltian Muhlisin Saad dalam buku an-naz‟ah al-kharijiyyah fi afkar wa harakah syaikhAhmad Rifa‟i. Buku ini diterjemahkan oleh KH. Ahmad Syadzirin Amin, dengan judul mengungkap gerakan dan pemikiran Syaikh

Ahmad Rifa‟i. Buku yang diterbitkan oleh yayasan badan wakaf rifa‟iyah ini menggambarkan ciri khas pemikiran KH. Ahmad Rifa‟i terutama berkaitan dengan hal-hal yang special. Tentang pernikahan, dalam buku tersebut hanya mengutip pendapat KH. Ahmad Rifa‟i dalam kitab Tabyin Al-Islah, utamanya tentang persyaratan wali yang harus adil dan mursyid.

3. Penelitian yang dilakukan oleh M. Nasrudin dalam skripsinya yang berjudul hukum islam dan perubahan sosial: studi pergeseran pemikiran Jamaah

(25)

pemahaman Jamaah Rifa‟iyah terhadap keabsahan nikah sudah mulai bergeser dengan menerima akad nikah yang dilakukan penghulu walaupun pergeseran itu tidak terjadi secara keseluruhan di Jamaah Rifa‟iyah, hal ini disebabkan oleh beberapa faktor diantaranya perbedaan persepsi antara tokoh muda di Jamaah Rifa‟iyah.

G. Metode Penelitian

Penggunaan metode penelitian merupakan sesuatu yang lazim diguakan dalam setiap penelitan ilmiah. Dalam dunia riset, penerapan metode dalam sebuah penelitian telah diatur dan ditentukan dengan persyaratan yang sangat ketat berdasarkan tradisi keilmuan ang berlaku agar hasil penemuan tersebut diakui oleh kmunitas ilmuan terkat kaena memiliki nilai ilmiah dibidangnya.

Oleh sebab itu dalam penelitian bahan skripsi ini penulis menggunakan teknik sebagai berkut:

1. Jenis penelitian

Jenis penelitian ini adalah Penelitian Kepustakaan (library research), yaitu suatu cara membaca, mencermati, dan menelaah buku-buku yangada kaitannya dengan masalah yang akan diteliti. Menurut zed (2004: 1-2), “riset pustaka adalah penelitian yang dilakukan dengan cara memanfaatkan sumber

perpustakaan untuk memperoleh data penelitiannya”.

2. Pendekatan

(26)

yang berlaku dan berkaitan dengan permasalahan yang dibahas. Pendekatan yuridis normatif yang digunakan dalam penelitian ini adalah pedekatan hukum Islam, yaitu menelaah aturan-aturan hukum Islam untuk memperoleh data yang akurat mengenai relevansinya perpindahan hak wali yang dijelaskan dalam kitab Tabyin Al-Ishlahdengan hukum islam yang diterapkan masyarakat pada era zaman sekarang.

3. Pengumpulan data

Sumber data yang dipakai dalam penelitian ini mencakup sumber data primer dan sumber data sekunder.

a. Sumber data primer diperoleh dari kitab Tabyin Al-Ishlahyang memuat masalah tentang perpindahan hak wali nikah dan biografi pengarangnya.

b. Sumber data sekunder, adalah data yang diperoleh dari bahan-bahan yang ada hubungannya dengan bahan hukum primer dan dapat membantu menganalisis dan memahami bahan hukum primer tersebut (soemitro, 1990:53). Dalam hal ini yangpenulis gunakan menjadi data sekunder adalah buku-bukudan informasi dari berbagai media mengenai perpindahan hak wali nikah seperti kitab-kitab fiqih, KHI, UUP dan media lainnya.

4. Analisis data

(27)

penanganan terhadap objek ilmiah tertentu dengan jalan memilih antara pengertian yang satu dengan yang lainuntuk mendapatkan pengertian yang satu dengan yang lain untuk mendapatkan pengertian yang baru. Data yang berhasil dihimpun akan dianalisis secara kualitatif, yaitu dengan cara menerapkan metode berfikir induktif, yaitu suatu metode berfikir yang bertolak dari fenomena yang khusus dan kemudian menarik kesimpulan yang bersifat umum.

5. Pengecekan keabsahan data

Dalam hal pengecekan keabsahan data penelitian terhadap beberapa kriteria keabsahan data yang nantinya akan dirumuskan secara tepat, teknik pemeriksaannya yaitu dalam penelitian ini harus terdapat adanya kredibilitas yang dibuktikan dengan perpanjangan keikutsertaan, ketekunan pengamatan, triangulasi, pengecekan sejawat kecukupan referensi, adanya kriteria kepastian dengan teknik uraian rinci.

(28)

dari suatu sumber akan dikontrol oleh data yang sama dari sumber yang berbeda.

6. Tahap-tahap penelitian a. Penelitian pendahuluan

Penulis mengkaji buku-buku yang berkaitan dengan nikah dan buku lain yang berhubungan dengan konsep perpindahan hak wali nikah yang dijelaskan di dalam kitab Tabyin Al-Ishlah.

b. Pengembangan desain

Setelah penulis mengetahui banyak hal tentang tradisi pernikahan dalam kitab Tabyin Al-Ishlah, kemudian penulis melakukan observasi penelitian untuk mencari datayang detail mengenai tradisi pernikihan yang dijelaskan didalam kitab Tabyin Al-Ishlahkhususnya mengenai perpindahan hak wali nikah.

c. Penulis melakukan penelitian dengan cara mengumpulkan data-data dari buku yang berkaitan tentang perpindahan hak wali nikah.

H. Sistematika Penulisan

Dalam menyusun skripsi ini penulis membagi kedalam beberapa bab dan masing-masing bab mencakup beberapa sub bab yang berisi sebagai berikut: 1. BAB I merupakan pendahuluan yang menjelaskan: latar belakang masalah,

(29)

2. BAB II berisi tentang konsep pernikahan, syarat dan rukun nikah dalam fiqih. Dan selanjutnya menjelaskan tentang konsep perpindahan hak wali dalam kitab Tabyin Al-Ishlah.

3. BAB III merupakan hasil penelitian yang berisi tentang gambaran umum

biografi Syaikh Ahmad Rifa‟i dan kitab Tabyin Al-Ishlah.

4. BAB IV berisi tentang analisis data dari data hasil temuan-temaun yang terdiri dari: analisis faktor yang melatar belakangi perpindahan hak wali nikah berdasarkan para ulama fiqih.

(30)

BAB II

PERWALIAN NIKAH DALAM HUKUM ISLAM

A. Konsep Pernikahan

A. Pengertian Nikah

Perkawinan adalah terjemahan dari kata nakahadan zawaja.Kedua kata

inilah yang menjadi istilah pokok dalam al-Qur‟an untuk menunjuk

perkawianan (pernikahan).Dengan demikian, dari sisi bahasa perkawinan berarti berkumpulnya dua insan yang semula terpisah dan berdiri sendiri, menjadi satu kesatuan yang utuh dan bermitra sebagai pasangan.

Menurut sebagian ulama Hanafiah, “nikah adalah akad yang memberikan

faedah (mengakibatkan) kepemilikan untuk bersenang-senang secara sadar (sengaja) bagi seorang pria dengan seorang wanit, terutama guna mendapatkan

kenikmatan biologis”.Sedangkan menurut sebagian mazhab Maliki, nikah

adalah sebuah ungkapan, sebutan atau titel bagi suatu akad yang dilaksanakan

dan dimaksudkan untuk meraih kenikmatan seksual semata”.

Oleh Mazhab Syafi‟iah, nikah dirumuskan dengan “akad yang menjamin

kepemilikan untuk bersetubuh dengan menggunakan redaksi (lafal) “inkah atau

tazwij; atau turunan (makna) dari keduanya.” Sedangkan ulama Hanabilah

(31)

Hal ini sesua dengan ungkapan yang ditulis oleh zakiyah darajat dan kawan-kawan yang memberikan definisi perkawinan sebagai berikut:

َىْعَم ََْأ ِجٌَِْْصَّرنا ََِأ ِحاَكِّىنا ِظْفَهِت ٍئْطََ َحَذَتِإ ُهَّمَضَرٌَ ُدْقَع ٌُا

َما

akad yang mengandung ketentuan huum kebolehan hubungan kelamin dengan lafaz nikah atau tazwij atau yang semakna keduanya

Nikah menurut bahasa artinya mengumpulkan. Sedangkan menurut istilah nikah adalah akad yang telah terkenal dan memenuhirukun-rukun serta syarat (yang telah tertentu) untuk berkumpul.(moh.zuri, 1978:268) Menurut pendapat shahih, bahwa kata nikah itu menurut makna hakikat adalah akad, sedang majasnya adalah persetubuhan (zainuddin, 1993:1).

Sedangkan perkawinan menurut istilah, yang mana menurut Muhammad Abu Zahrah, perkawinan adalah akad (transaksi) yang menghalalkan hubungan seorang laki-laki (suami) dengan seorang perempuan (isteri), dan saling menolong di antara keduanya, dan saling memiliki hak dan kewajiban (Khoiruddin, 2009 : 238- 240)

(32)

Sabda rasulullah saw:

ًِْرَّىُسِت َّهَرْسٍَْهَف ًِذَسْطِف َّةَدَأ ْهَمَف ًِرَّىُس ُخَكِّىنَا

Artinya: nikah adalah sunahku, maka barang siapa yang menyukai agamaku, hendaklah ia mengikuti tuntunanku.

Dalam Kitab Tansyirah(1273H), Ahmad Rifa‟i mengatakan: bahwa

pernikahan seseorang hendaknya melalui prosedur hukum yang berlaku disuatu Negara, misalnya tercatat dalam administrasi di lembaga urusan agama. Adapun pelaksanaan akad nikahnya melalui prosedur hukum islam. Karena pernikahan merupakan awal pembangunan rumah tangga yang kelak diharap akan mendapat keturunan yang sah dan menjadi anak yang solih solihah, maka pernikahan yang benar dan sah merupakan suatu keharusan.

Pasal 1 UU No. 1/1974 menyebutkan: “perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga, rumah tangga yang bahagia dan kekal berdasarkan

Ketuhanan Yang Maha Esa”.Rumusan pasal 1 UU No. 1/1974 juga mengandung dua pokok pengertian, yaitu arti dan tujuan pernikahan. Arti pernikahan adalah: ikatan lahir batin antara seorang pria dan seorang seorang

wanita sebagai suami istri” dan tujuannya adalah “untuk membentuk keluarga

(33)

kuat atau mitsaqan ghalidzanuntuk mentati perintah Allah dan melaksanakannya merupakan ibadah.

Jika dicermati pengertian pernikahan diatas antara UU No. 1/1974 dengan KHI terdapat pokok pembahasan yang tidak jauh berbeda.Karena pengertian perkawinan dalam KHI merupakan penegasan dari UU No. 1/1974.Dari beberapa pengertian pernikahan diatas yang sudah dipaparkan oleh para ulama dan penjelasan dari Undang-undang, dapat disimpulkan bahwa arti pernikahan adalah suatu akad anatara seorang laki-laki dan perempuan yang bertujuan untuk membangun rumah tangga yang bahagia sejahtera di dunia hingga diakhirat dengan dasar sama-sama suka dan sukarela atas kekuasaan Tuhan Yang Maha Esa, serta dengan akad yang sah sesuai dengan yang telah ditentukan oleh syariat.

B. Hukum Nikah

Dalam Qur‟ansuratAdzariyat ayat 9 dijelaskan sebagai berikut:

ٍَْجََْشاَىْقَهَخ ْئَش ِّمُك ْهِمََ

Artinya: dan segala sesuatu kami ciptakan berpasang-pasangan supaya kamu mengingat akan kebesaran Allah. (QS. Adzariyat: 9)

Dalam buku karangan Drs. Moh.Rifa‟i yang berjudul terjemah

khulashahkifayatul akhyar hukum nikah sangat erat hubungannya dengan

mukalaf (pelakunya). Kalau ia (mukalaf) sudah memerlukan, hukumnya wajib.

Kalau ia (mukalaf) tidak mampu maka hukumnya haram. Sedang hukum asal

(34)

memerlukannya.Hukum pernikahan bisa berubah disebabkan oleh faktor berikut ini:

a. Orang yang diwajibkan menikah adalah orang yang sanggup untuk

menikah, sedang dia khawatir terhadap dirinya akan melakukan perbuatan yang dilarang Allah SWT. Melaksanakan pernikahan merupakan satu-satunya jalan baginya untuk menghindarkan diri dari perbuatan yang dilarang oleh Allah SWT.

b. Orang yang disunatkan menikah adalah orang yang mempunyai

kesanggupan untuk menikah dan sanggup memelihara diri dari kemungkinan melakukan perbuatan terlarang. Sekalipun demikian melaksanakan pernikahan adalah lebih baik baginya, karena Rasulullah SAW melarang hidup sendirian dalam nikah.

c. Orang yang dimakruhkan menikah adalah orang yang tidak mempunyai kesanggupan menikah. Pada hakekatnya orang yang tidak mempunyai kesanggupan untuk menikah diperbolehkan untuk melakukan pernikahan. Tetapi dia dikhawatirkan tidak dapat mencapai tujuan pernikahannya, karena itu dianjurkan sebaiknya dia tidak melakukan pernikahan.

(35)

Segolongan fuqaha, yakni jumhur, berpendapat bahwa nikah itu sunat

hukumnya.Gologan zhahiri berpendapat bahwa nikah itu wajib. Sedang ulama

Maliki mutaakhirin berpendapat bahwa nikah itu wajib untuk sebagian orang, sunat untuk sebagian lainya, dan mubah untuk segolongan yang lain lagi. Demikian itu menurut mereka ditinjau berdasarkan kekhawatiran terdapat kesusahan dirinya.

Fuqaha yang berpendapat bahwa nikah itu wajib bagi sebagian orang, sunat untuk sebagianyang lain, dan mubah untuk sebagian yang lain lagi, didasarkan atas pertimbangan kemaslahatan.Qiyas seperti inilah yang

dinamakanqiyas mursal, yakni qiyas yang tidak mempunyai dasar

penyandaran.Kebanyakan ulama mengingkari qiyas tersebut, tetapi dalam Mazhab Maliki tampak jelas dipegangi. (ibnu rusyd, 2007:394-39)

C. Tujuan dan Hikmah pernikahan

Ulama fiqih mengemukakan beberapa tujuan dan hikmah

pernikahan.Tujuan pokok perkawinan adalah untuk membangun keluarga

sakinah (ketenangan) menunjukkan kesejukan dan ketentraman mendalam.(nasution. 2009: 225-227)

(36)

anak tidak berketentuan siapa yang akan mengurusnya dan siapa yang bertanggung jawab atasnya. (rasjid. 2016: 375)

Keuntungan nikah diantaranya adalah anak yang saleh, meredam birahi, mengatur rumah tangga, banyak keluarga dan pahala jerih payah dalam memenuhi kebutuhan nafkah mereka. Jika anaknya saleh, maka berkah doanya akan menyusulnya, danjika dia mati, maka anaknya yang saleh itu menjadi pemberi syafaat baginya. (al-ghazali, 2016: 172)

Salah satu tujuan menikah adalah untuk menjalankan perintah sunatullah dan sebagai fitroh manusia untuk menyempurnakan ibadahnya menuju pada kehidupan yang terjaga, bahagia, sejahtera serta barokah di dunia hingga menuju akhirat.

Zakiya darajat dkk, mengemukakan lima tujuan dalam perkawinan, yaitu:

1. Mendapatkan dan melangsungkan keturunan.

2. Memenuhi hajat manusia menyalurkan syahwatnya dan menumpahkan

kasih sayangnya.

3. Memenuhi panggilan agama, memelihara diri dari kejahatan dan kerusakan.

4. Menumbuhkan kesungguhan untuk bertanggung jawab menerima hak serta

kewajiban, juga bersungguh-sungguh untuk memperoleh harta kekayaan yang halal, serta

5. Membangun rumah tangga untuk membentuk masyarakat yang tentramatas

(37)

Islam mengajarkan dan menganjurkan nikah karena akan berpengaruh baik bagi pelakunya sendiri, masyarakat, dan seluruh umat manusia. Adapun hikmah menikah adalah:

1. Dengan pernikahan maka banyaklah keturunan. Ketika keturunan itu banyak, maka proses memakmurkan bumi berjalan dengan mudah, karena suatu perbuatan yang harus dikerjakan bersama-sama akan sulit jika dilakukan secara individual. Dengan demikian keberlangsungan keturunan dan jumlahnya harus terus dilestarikan sampai benar-benar makmur.

2. Keadaan hidup manusia tidak akan tenteram kecuali jika keadaan rumah tangganya teratur. kehidupannya tidak akan tenang kecuali dengan adanya ketertiban rumah tangga. Ketertiban tersebut tidak mungkin terwujud kecuali harus ada perempuan yang mengatur rumah tangga itu. Dengan alasan itulah maka nikah disyariatkan, sehingga keadaan kaum laki-laki menjadi tentram dan dunia semakin makmur.

3. Naluri kebapakan dan keibukan akan tumbuh saling melengkapi dalam suasana hidup dengan anak-anak.

Perkawinan, dapat membuahkan diantaranya: tali kekeluargaan,

(38)

4. Rukun dan Syarat Sah Nikah

Rukun adalah sesuatu yang mesti ada yang menentukan sah dan tidaknya suatu pekerjaan (ibadah), dan sesuatu itu termasuk dalam rangkaian pekerjaan itu, seperti membasuh muka untuk wudlu, dan takbiratul ihram untuk shalat.Atau adanya calon pengantin laki-laki atau perempuan dalam perkawinan.(rahman, 2003: 45)

Syarat adalah hal-hal yang melekat pada masing-masing unsur yang menjadi bagian dari suatu perbuatan hukum atau peristiwa hukum. (Djubaedah, 2010:92). Syarat menurut Tihami (2010:12) adalah sesuatu yang mesti ada yang menentukan sah dan tidaknya suatu pekerjaan ibadah, tetapi sesuatu itu tidak termasuk dalam rangkaian pekerjaan itu, seperti menutup aurat untuk shalat.Rukun dan syarat dalam pernikahan keduanya wajib dipenuhi, apabila tidak dipenuhi maka perkawinan yang dilangsungkan tidak sah.Sah, yaitu sesuatu pekerjaan (ibadah) yang memenuhi rukun dan syarat.

Rukun-rukun yang harus dipenuhi dalam pelaksanaan aqad nikah sebanyak limaperkara. DalamKompilasi Hukum Islam (KHI) telah diatur dalam pasal 14 tentang rukun-rukun nikah yaitu: (1) pengantin laki-laki, (2) pengantin perempuan, (3) wali pengantin perempuan, (4) dua orang saksi yang adil, (5) ijab dan qabul.

(39)

perkawinan, yaitu syarat-syarat bagi calon mempelai, saksi, ijab Kabul, dan wali. (tihami, 2009:13)

a. Syarat-syarat calon mempelai laki-laki: Bukan mahrom dari calon istri, Tidak terpaksa atas kemauan sendiri, Orang tertentu, jelas orangnya, Tidak sedang ihram.

b. Syarat-syarat calon mempelai perempuan: tidak halangan syarak, yaitu tidak bersuami, bukan mahram, tidak sedang dalam iddah, merdeka, atas kemauan sendiri, jelas orangnya, dan tidak sedang dalam ihram

c. Syarat-syarat saksi: laki-laki, baligh, waras akalnya, adil, dapat mendengar dan melihat, bebas, tidak dipaksa, tidak sedang mengerjakan ihram, dan memahami bahasa yang dipergunakan untuk ijab kabul.

d. Syarat-syarat wali: laki-laki, baligh, waras akalnya, tidak dipaksa, adil, dan tidak sedang dalam ihram

a) KriteriaWali

(40)

ٍدِشْسُم ًٍِّنَُِت َّلاِا َحاَكِو َلا

Artinya: tidak sah nikah kecuali dengan (oleh) wali yang mursyid. Sahnya nikah harus hadirnya 4 orang, yaitu wali, calon pengantin laki-laki dan dua orang saksi yang adil. Kalau keduanya atau salah satunya hadir tetapi tidak melaksanakan (tugasnya), mewakilkannya kepada orang lain, dan wakil itu mengakadkan maka akad nikah itu tidak sah, sebab wakil adalah merupakan pengganti wali.

Dalam buku karangan KH. Ahmad Azhar Basyir, MA dijelaskan bahwa, syarat-syarat perkawinan menurut pendapat Imam Syafi‟i, Ahmad bin Hambal, dan lain-lain, umat Islam di Indonesia dilakukan oleh mempelai laki-laki dan wali mempelai perempuan atau wakilnya.Alasan pendapat ini antara lain hadis nabi riwayat Turmudzi dari Aisyah ra. Yang

megatakan, “perempuan yang menikah tanpa izin walinya, nikahnya batal

(sampai tiga kali nabi mengatakan “nikahnya batal”)….”.hadis nabi

riwayat Baihaqi dari Imran dan Aisyah ra. Mengatakan, “tidak sah nikah tanpa wali dan dua orang saksi laki-laki yang adil”.

(41)

tidak kufu, wali berhak minta kepada hakim untuk membatalkan perkawinan perempuan tersebut.

Alasan pendapat Abu Hanifah itu antara lain hadis Nabi riwayat Muslim dari Ibnu Abbas yang megajarkan, perempuan janda lebih baik berhak atas dirinya sendiri daripada walinya, perempuan perawan diminta

pendapatnya, izinnya adalah jika ia diam”. Hadis ini menegaskan bahwa

perempuan janda dapat bertindak terhadap dirinya sendiri tanpa wali, perawan pula diminintai pendapat mengenai dirinya dalam masalah perkawinan.

Imam Malik menurut riwayat Asyhab, berpendapat bahwa nikah tanpa wali sah. Menurut riwayat Ibnu Qashim, Imam Malik berpendapat bahwa adanya wali dalam akad nikah tidak wajib, tetapi hanya sunah, adanya wali merupakan syarat kesempurnaan nikahm bukan syarat sahnya. Pembahasan mengenai wali meliputi empat persoalan.Pertama, pensyaratan wali bagi sahnya nikah.Kedua, sifat-sifat wali.Ketiga, macam-macam wali dan urut-urutannya dalam perwalian berikut hal-hal yang terkait.Keempat, keberatan wali terhadap orang yang berada dibawah perwaliannya dan hukum perselisihan yang terjadi antara wali dengan orang yang diwalikannya.

(42)

beberapa pendapat imam ahli fikih.Ulama berselisih pendapat apakah wali menjadi syarat sahnya nikah atau tidak.Berdasarkan riwayat Asyhab, Malik berpendapat bahwa tidak ada nikah tanpa wali, dan wali menjadi syarat sahnya nikah.Pendapat ini juga dikemukakan oleh Syafi‟I, Abu Hanifah, Zufar, Asy-Sya‟bi, dan Az-Zuhri berpendapat bahwa apabila seorang perempuan melakukan akad nikahnya tanpa wali, sedang calon suami sebanding, maka nikahnya itu boleh.(ibnu, 2007: 409)

Berdasarkan riwayat Ibnul Qasim dari Malik dapat disimpulkan adanya pendapat keempat, yaitu bahwa persyaratan wali itu sunah hukumnya, dan bukan fardlu. Demikian itu karena ia meriwayatkan dari Malik bahwa ia berpendapat adanya waris mewarisi antara suami dengan istri yang perkawinannya terjadi tanpa menggunakan wali, dan wanita yang tidak terhormat itu boleh mewakilkan kepada seorang lelaki untuk menikahkannya. Malik juga menganjurkan seorang janda mengajukan walinya untuk mengawinkannnya. (ibnu, 2007: 410)

Dengan demikian, seolah Malik menganggap wali itu termasuk syarat kelengkapan perkawinan, bukan syarat syahnya perkawinan. Hal ini bertolak belakang dengan pendapat fuqaha Maliki dari Baghdad yang mengatakan bahwa wali itu termasuk syarat syahnya perkawinan, bukan syarat kelengkapan.

(43)

perkawinan, terlebih lagi yang menegaskan demikian. Bahkan ayat-ayat dan hadis-hadis yang biasa dipakai alasan oleh fuqaha yang mensyaratkan wali hanya memuat kemungkinan yang demikian itu.Demikian pula ayat-ayat dan hadis-hadis yang dipakai alasan oleh fuqaha yang tidak mensyaratkan wali juga hanya memuat kemungkinan yang demikian.

Alasan wali menjadi syarat syahnya nikah yaitu dengan adanya firman Allah dalam ayat alquran:

Quran surat albaqarah: 232

:جسقثنا( هٍجاَشأ هذكىٌ نأ هٌ ُهضعذ لاف هٍهجأ هغهثف ءاسىنا مرقهط اذإَ

232

)

Artinya: apabila menalak istri-istrimu, lalu habis masa iddahnya, maka janganlah anda (para wali) menghalangi mereka kawin dengan calon suaminya. (QS. Albaqarah: 232)

Golongan pertama mengatakan bahwa ayat ini ditujukan kepada para wali.Jika mereka tidak mempunyai hak dalam perwalian, tentu tidak dilarang untuk menghalanginya.Ayat lainnya terdapat dalam quran surat albaqarah ayat 221:

:جسقثنا(همؤٌ ًرد خاكسشمنا اُذكىذ لاَ 222

)

Artinya: dan janganlah kamu menikahkan orang-orang musyrik

(dengan wanita-wanita mukmin) hingga mereka beriman.

(44)

Dan diantara hadis-hadis terkenal yang menjadi alasan mereka

Artinya: Aisyah berkata rasulullah saw. Bersabda: siapapun wanita yang kawin tanpa izin walinya, maka nikah itu batal (diucapkan tiga kali). Jika suaminya telah menggaulinya, maka maskawinnya adalah untuknya (wanita) karena apa yang telah diperoleh darinya. Apabila mereka bertengkar, maka penguasa menjadi wali bagi orang yang tidak mempunyai wali.”

Fuqaha golongan kedua, yakni yang tidak menysaratkan wali mengemukakan alasan dari alquran:

:جسقثنا( فَسعمنات هٍسفوأ ًف ههعف امٍف مكٍهع ح اىج لاف هٍهجأ هغهت اذئف 234

)

Artinya: “(kemudian apabila telah habis iddahnya), maka tiada dosa bagimu membiarkan mereka berbuat terhadap diri mereka menurut

yang patut.” (QS. Albaqarah: 234)

(45)

Kemudaian fuqaha berselisih pendapat tentang tiga orang, yaitu hamba sahaya, orang fasik dan orang bodoh. Mengenai kecerdikan, menurut pendapat yang populer dalam Madzhab Maliki, tidak menjadi syarat dalam perwalian. Pendapat ini juga dikemukakan oleh abu hanifah.

Syafi‟i berpendat bahwa kecerdikan menjadi syarat dalam perwalian. Pendapat seperti ini juga diriwayatkan dari Malik. Asyhab dan Abu

Mush‟ab juga mengemukakan pendapat yang samadengan Syafi‟i.

Silang pendapat ini disebabkan oleh kemiripan kekuasaan dalam menikahkan dengan kekuasaan alam urusan harta. Bagi fuqaha, yang berpendapat kecerdikan dalam perwalian harta dapat diperlukan dan bisa tidak, mengatakan dalam urusan harta, wali tidak disyaratkan cerdik. Sedang bagi fuqaha yang berpendapat bahwa cerdik mutlak diperlukan dalam urusan harta, maka kecerdikan menjadi syarat bagi wali harta.

Dengan demikian, dalam hal ini terdapat dua kecerdikan, yaitu kecerdikan dalam urusan harta dan kecerdikan dalam urusan memilih memilih calon suami yang patut untuk wanita.Selain syarat yang sudah dituturkan, syarat lain yang dijelaskan Ibnu Rusyd yaitu tentang sifat wali yang adil. Para fuqaha berbeda pendapat tentang esensi keadilan. Sebab keadilan sulit dibuktikan tanpa adanya kekuasaan. Oleh karena itu, pilihan

untuk “kecocokan dan kesesuaian” tanpa keadilan itu sulit diterima.

(46)

bukan keadilan dalam arti khawatir akan tertimpa kehinaan. Sebab kondisi ini secara alami ada pada setiap orang. Sedang keadilan selain kondisi diatas dapat dicapai dengan berbagai upaya. Seorang hamba sahaya, karena tidak mempuanyai otoritas kekuasaan, diperselisihkan keadilan dan perwaliannya.

b) Urutan wali

Didalam kitab kifayatul akhyar dijelaskan mengenai Orang-orang yang berhak menjadi wali yaitu, Kebanyakan ulama berpendapat bahwa orang-orang yang menjadi wali adalah:

a. Ayah, kakek dan seterusnya ke atas dari garis laki-laki. b. Saudara laki-laki kandung (seayah dan seibu) atau seayah

c. Kemenakan laki-laki kandung atau seayah (anak laki-laki saudara laki-laki kandung atau seayah)

d. Paman kandung atau seayah (saudara laki-laki kandung seayah)

e. Saudara sepupu kandung atau seayah (anak laki-laki paman kandung

atau seayah)

f. Sultan (penguasa tetinggi) yang disebut juga hakim (bukan qadli, hakim pengadilan)

g. Wali yang diangkat oleh mempelai bersangkutan, yang disebut wali muhakkam.

(47)

Dari macam-macam orang yang dinyatakan berhak menjadi wali tersebut di atas, dapat dilihat adanya tiga macam wali, yaitu:

1) Wali nasab atau kerabat

Wali nasab adalah wali nikah karena ada hubungan nasab dengan wanita yang akan melangsungkan pernikahan. Tentang urutan wali nasab terdapat perbedaan pendapat di antara ulama fikih. Imam malik

mengatakan bahwa perwalian itu didasarkan atas „shabah, kecuali

anak laki-laki dan keluarga terdekat lebih berhak untuk menjadi wali. Tertib wali:ayah, kakek dan seterusnya ke atas dari garis laki-laki, saudara laki kandung, saudara laki seayah, kemenakan laki-laki kandung, kemenakan laki-laki-laki-laki seayah, paman kandug, paman seayah, saudara sepupu laki-lakikandung, saudara sepupu laki-laki seayah, sultan atau hakim, orang yang ditunjuk oleh mempelai bersangkutan.Dalam al-mughni terdapat keterangan bahwa kakek lebih utama daripada saudara lelaki dan anaknya saudara lelaki, karena kakek adalah asal, kemudian paman-paman dari pihak ayah berdasarkan urut-urut saudara-saudara lelaki sampai ke bawah, kemudian bekas tuan (almaula).

(48)

ْهُّسنا ََِأ اٍَِهٌَْأ ْهِم ِيْأَّسنا يِذ ََْأ اٍٍَِِّنََ ِنْذِئِت َّلاِإ ُجَأْسَمْنا ُخِكْىَذ َلا

ناَط

Artinya:“wanita tdak boleh menikah kecuali dengan izin walinya, atau orang cerdik dari kalangan keluarganya, atau penguasa” Wali nasab dibagi menjadi dua, yaitu wali aqrab (dekat) dan wali

ab‟ad (jauh). Adapun perpindahan wali aqrab kepada wali ab‟ad

adalah sebagai berikut: apbila wali aqrabnya non muslim, fasik, belum dewasa, gila dan bisu/tuli. (tihami, 2009: 96-97)

2) Wali mujbir

Diantara wali nasab yang telah disebutkan, ada yang berhak memaksa gadis di bawah perwaliannya untuk dikhawatirkan dengan laki-laki tanpa izin gadis bersangkutan.Wali yang mempunyai hak memaksa itu disebut wali mujbir.Wali mujbir hanya terdiri dari ayah dan kakek (bapak dan seterusnya ke atas) yang dipandang paling besar rasa kasih sayangnya kepada perempuan dibawah perwaliannya, selain mereka tidak berhak ijbar.

Wali mujbir yang menikahkan perpempuan gadis dibawah

(49)

dan tidak terbayang akan berbuat yang mengakibatkan kesengsaraan istri.

Syarat-syarat tersebut yang harus diperhatikan oleh wali mujbir apabil akan menggunakan hak ijbarnya sehingga prinsip sukarela tersebut tidak terlanggar. Apabila syarat-syarat tersebut tidak terpenuhi, gadis yang telah dinikahkan walinya tanpa terlebih daulu diminta persetujuannya itu dapat minta fasakh, minta dirusakkan nikahnya kepada hakim.

Hadis nabi riwayat Ahmad, Abu Dawd, dan Ibnu Majah dari Ibnu Abbas menceritakan bahwa ada seorang gadis yang mengadu kepada nabi karena ayahnya telah menikahkannya dengan laki-laki yang tidak disenangi. Kemudian nabi memberi hak kepadanya untuk melangsungkan atau membatalkan perkawinannya. Hadis ini ditinjau dari jalan perawi-perawinya tidak memenuhi syarat sahih, tetapi isinya sejalan dengan hadis riwayat muslim yang antara lain mengajarkan agar anak gadis yang akan dinikahkan diminta pendapatnya atau izinnya. (azhar, 1999: 40-43)

(50)

“maka hakimlah yang bertindak menjadi wali bagi seseorang yang tidak ada walinya.” (HR. Ahmad, Abu Dawud, Ibnu Majah, dan Nasa‟i)

Wali hakim ialah kepala Negara yang beragama islam, dalam hal ini biasanya di Indonesia dilakukan oleh kepala pengadilan agama. Seorang wali hakim dapat mengangkat orang lain menjadi hakim (biasanya yang diangkat adalah kepala kantor urusan agama kecamatan) untuk mengakdnikahkan perempuan yang berwali hakim. Sabda rasulullah saw: siapapun perempuan yang menikah dengan tidak seizin walinya, maka batallah pernikahannya, dan jika ia telah bercampur, maka maskawinnya bagi perempuan itu, lantaran ia telah menghalalkan kemaluannya; dan jika wali-wali itu enggan menikahkan, maka

sultanlah yang menjadi wali bagi orang yang tidak

mempunyai‟.”(HR. Imam yang empat, kecuali Nasa‟i dan disahkan oleh Abu Awanah, Ibnu Hibban dan Hakim)

(51)

lebih 92,5 km atau dua hari perjalanan, wali aqrab di penjara da tidak bisa ditemui, wali aqrabnya„adlal, wali aqrabnya berbelit-belit (mempersulit), wali aqrabnya sedang ihram, wali aqrabnya sendiri yang akan menikahkan wanita akan dinikahkan gila, tetapi sudah dewasa dan wali mujbir tidak ada.

d) Ketiadan hakperwalian

Moh Rifa‟i dalam buku karangannya yang berjudul fiqih islam lengkap menjelaskan Sebab Perempuan Berwali Hakim. Diantara penyebab perempuan berwali hakim adalah: (1) Tidak ada wali nasab, (2) Wali yang lebih dekat (aqrab) tidak memenuhi persyatan menjadi wali,sedangkan wali yang lebih jauh (ab‟ad) tidak ada, (3) Wali yang lebih dekat gaib sejauh perjalanan safar yang memperbolehkan mengqasar salat, (4) Wali yang lebih dekat sedang mengerjakan ihram haji atau umrah, (5) Wali yang lebih dekat masuk penjara dan tidak dapat dijumpai, (6) Wali yang lebih dekat menolak, atau tidak mau menikahkan, (7) Wali yang lebih dekat hilang, dan tidak diketahui

tempat tinggalnya. (moh.rifa‟i. 2014: 437-438)

Dalam kitab Bidayatul Mujtahid karangan Ibnu Rusyd, dijelaskan Malik berpendapat bahwa apabila wali dekat tidak ada, maka hak

perwalian berpindah pada wali jauh. Sedang Syafi‟i berpendapat

(52)
(53)

BAB III

Gambaran UmumBiografi Syaikh Ahmad Rifa‟i Dan Kitab Tabyin Al-Ishlah

A. Gambaran Umum Tentang Syaikh Ahmad Rifa‟i Dan Kitab Tabyin Al-Ishlah 1. Biografi Syaikh Ahmad Rifa‟i (pengarang kitab tabyin al-ishlah)

a. Tempat lahir

KH.Ahmad Rifa‟i dilahirkan di Desa Tempuran Kabupaten Kendal

pada tanggal 10 Muharram 1200 Hijriyah. Ayahnya bernama Raden Kiyai Haji Muhammad bin Abi Sujak, yang menjadi qadli agama di kabupaten

tersebut. Pada usianya mencapai 30 tahun KH.Ahmad Rifa‟i pergi ke

Mekah untuk menunaikan ibadah haji.Selama 8 tahun di Mekah

KH.Ahmad Rifa‟i mendalami ilmu-ilmu keislaman di bawah guru Syaikh Ahmad Usman dan Syaikh Al Faqih Muhammad Ibn Abd Aziz

al-Jaisyi. Kemudian KH. Ahmad Rifa‟i melanjutkan belajarnya ke Mesir

selama 12 tahun untuk belajar kitab-kitab dengan petunjuk dan arahan guru-guru agung seperti Syaikh Ibrahim al-Bajuri dan Syaikh Abdurrahman al-Mirsyi (Saad, 2004:6-7).

b. Silsilah nasab

(54)

Nyai Nakiyamah, Raden KH. Muhammad Mahrum, Raden KH. Bukhari, Raden KH. Ahmad Hasan, Raden Kiai Abu Mustofa. Anak kedua hasil pernikahannya Abu Sujak dengan gadis pilihannya di Kendal itu bernama Muhammad marhum. Setelah Muhammad marhum mencapai usia dewasa, menikah dengan Siti Rahmah atau Umi Radjiyah di Kendal.

(55)

c. Cikal bakal ulama besar

Dikisahkan oleh ulama terkemuka generasi kedua Syaikh Ahmad Bajuri Bin Abdul Muthalib Kendal, bahwa pada diri Ahmad Rifa‟i ada suatu keistimewaan yang merupakan tanda kekuasaan dan kebesaran Allah sebagai alamat cikal bakal ulama besar di kemudian hari, diperlihatkan kepada masyarakat kaum santri di Kaliwungu, terutama kepada kakak iparnya Kiai Asy‟ari.Pada suatu malam gelap gulita Kiai Asy‟ari secara diam-diam memeriksa para santri yang sedang berada di dalam asrama pondok pesantren. Tiba-tiba ia dikejutkan oleh seberkas cahaya menerangi asrma dan memancar tinggi ke atas. Dia menyangka cahaya itu berasal lampu milik anak santri yang sedang menelaah kitab.Tetapi sangkaan itu meleset, karena ternyata cahaya tersebut berasal dari lekuk ditengah pusar seorang santri kecil yang ternyata santri tersebut yaitu Ahmad

Rifa‟i.singkat cerita, menurut kepercayaan sementara masyarakat bahwa cahaya itu merupakan cikal bakal akan memperoleh gelar kebesaran dan keagungan bagi pemiliknya di masa mendatang. (syadzirin: 1996. 44)

d. Masa remaja

Masa remaja Ahmad Rifa‟i hampir sama sekali tidak meluangkan waktu untuk keperluan lain kecuali menuntut ilmu agama kepada Kiai

Asy‟ari dan kiai lain. tiada hari tanpa mengaji, tiada waktu tanpa menuntut ilmu, tiada saat tanpa belajar semangat dan tiada hidup tanpa amar ma‟ruf.

(56)

sekaligus menjadi idaman dan panutan.Pola berfikirnya mendasar pada ulama-ulama dahulu seperti Imam Syafi‟i, Abu Hanifah, Anas Ibnu Malik,Ahmad Bin Hanbal, Alghazali.Dan Ahmad Rifa‟i juga mendasar pada cita-cita mulia, pemuda sekarang adalah pemimpin di masa mendatang.

Ahmad Rifa‟i terus belajar ilmu-ilmu yang dibutuhkan diri pribadi dan orang lain, terutama ilmu pokok-pokok agama islam. Di dalam mempelajari ilmu pokok agama, Ahmad Rifa‟i memusatkan pikirannya untuk memahami dan mendalami ilmu ketuhanan (teologi), ilmu hukum-hukum syariah (fiqih) dan ilmu perpaduan antara syariat dan haqiqat dalam praktik ibadah dan muamalah (tasawuf). Dari sebab ketekunan belajar serta pandai memilih ilmu-ilmu terpenting, ia kemudian tumbuh menjadi remaja yang mahir sekali dalam soal agama. Untuk memperluas

pemahaman tentang ilmu-ilmu agama, Ahmad Rifa‟i kemudian

(57)

e. Menuntut Ilmu di Mekah Melanjutkan Studi di Mesir

Beliau berangkat ke Mekah untuk menunaikan ibadah haji melalui pelabuhan Semarang dan kemudian menetap di sana selama delapan tahun (1833-1841 M). Beliau belajar ilmu agama dengan beberapa guru seperti Syaikh Abdurrahman, Syaikh Abu Ubaidah, Syaikh Abdul Aziz, Syaikh Usman, Syaikh Abdul Malik, dan Syaikh Isa al-Barawi. Dalam riwayat yang lain, Pada tahun 1230 H/1816 M ketika usianya mencapai 30 tahun,

Ahmad Rifa‟i pergi ke Makkah untuk menunaikan ibadah Haji dan selama

8 tahun mendalami ilmu-ilmu agama di bawah bimbingan guru Syaikh Ahmad Usman dan Syaikh al-Faqih Muhammad ibn Abdul Azis al-Jaisy, kemudian beliau melanjutkan belajarnya ke Mesir selama 12 tahun. Di Kairo beliau belajar kitab-kitab fiqih madzhab Syafi‟i dengan petunjuk dan arahan dari guru-guru agung dan dua diantara guru-gurunya adalah Syaikh Ibrahim al-Bajuri (pengarang kitab al-Bajuri) dan Syaikh Abdurrahman al-Misry. (Syazdirin: 1996.50-53)

f. Silsilah guru-guru syaikh Ahmad Rifa‟i

(58)

alauddin bin al-„Atthar dari Muhyiddin an-Nawawy dari al-Ardabily dari Muhammad bin Muhammad Shahibisy Syamilisy Shaghir dari Abdirrahim ibn Abdil Ghaffar al-Qozwainy dari Abdil Karim ar-Rofi‟i dari Abil Fadlal bin Yahya dari Hujjatul islam al-Ghozali dari Abdil Mulk bin Abdillah Juwainy dari Abdillah bin Yusuf Juwainy dari Abi Bakr al-Qoffal al-Marwazy dari Abi Yazid al-Marwazy dari Abi Ishaq al-Marwazy

dari Abil „Abbas Ahmad bin Syuraij dari Ibnul Qosim „Usman bi n Sa‟id

Anmathy dari Ibrahim bin Ismail bin Yahya Muzany dari Imam al-Mujtahid Abi Abdillah Muhammad bin Idris asy-Syafi‟i dari Muslim bin Khalid az-Zinji dari Abdil Mulk bin Juraij dari Atha‟ bin Abi Rabbah dari Abdillah bin Abbas as-Shahaby dari Rasulullah SAW dari Malaikat Jibril as. dari Tuhan Yang Maha Agung lagi Maha Suci dari segala apa yang menyekutukan.

KH. Ahmad Rifa‟i belajar qira‟ah imam „Ashim, yang mata rantai

guru beliau bersambung kepada Syaikh Muhammad Ibnu al-Jazari dari

Imam Abi „Abdilla Muhammad bin Khaliq al-Misry as-Syafi‟i dari Imam Abi Hasan bin asy-Syuja‟i bin Ali bin Musa al-Abbasi al-Misry dari Imam Abu Qosim asy-Syatibi dari Imam Abil Hasan bin Huzail dari Ibnu Dawud Sulaiman bin Naijah dari al-Hafiz Abi „Amar ad-Dani dari Abil HasanṬahir dari Syaikh Abil „Abbas al-Asnani dari „Ubaid Ibnu as-Sabag

(59)

dan Ubay bin Ka‟ab) dari Rasulullah SAW dari Malaikat Jibril as. dari Tuhan Yang Maha Agung lagi Maha Suci dari segala apa yang

menyekutukan. KH. Ahmad Rifa‟i belajar ilmu tasawuf pada aliran

tariqah yang diajarkan oleh Imam Abu Qasim Junaidi al-Bagdadi, yang mata rantai guru beliau bersambung kepada Syaikh Usman dari Abdurrahim dari Abu Bakar dari Yahya dari Hasamuddin dari Waliyuddin dari Nuruddin dari Zainuddin dari Syarafuddin dari Syamsuddin dari Muhammad al-Haski dari Abdul Aziz dari Syaikh Abdul Qadir al-Jailani

dari Abil Sa‟id al-Mubarak al-Mahzuum dari Abil hasan Ali al-Hakari dari Abil Faraji at-Tartusi dari Abdul Wahid at-Tamimi dari Abi Bakar as-Sibli dari Abi al- Qasim al-Junaidi al-Bagdadi dari Sari as-Saqati dari Ma‟ruf al-Kurkhi dari Abi al-Hasan Ali bin Musa al-Radi dari Musa al-Kadim

dari Ja‟far as-Sadiq dari Muhammad al-Baqir dari Imam Zainal Abidin dari Al-Husain bin Fatimah az-Zahra dari Ali bin Abu Talib dari Rasulullah SAW dari Malaikat Jibril as. dari Tuhan Yang Maha Agung lagi Maha Suci dari segala apa yang menyekutukan.

KH. Ahmad Rifa‟i juga berguru ilmu fiqih kepada Ahmad „Usman

dari Muhammad Syanwan bin Aly as-Syafi‟i dari Isa bin Ahmad al -Barawy dari Ahmad al-„Izzi al-Faray bin Salim bin Abdillah al-Bashary

(60)

g. Langkah-langkah perjuangannya

Setelah 20 tahun belajar di Timur Tenggah, kemudian KH.Ahmad

Rifa‟i pulang ke Indonesia bersama Syaikh Nawawi Banten dan Syaikh

Muhammad Kholil Bangkalan Madura.Dan pada waktu ingin kembali ke Indonesia ketiganya duduk berkeliling memusyawarahkan untuk menyatakan menyebarkan ilmu yang diperolehnya dalam bentuk tulisan dan mereka bersepakat bahawa setiap individu wajib mengembangkan ajarannya, pendidikannya dan keagamaannya. (Saad, 2004:7)

h. Karya-karya karangan syaikh Ahmad Rifa‟i

Dalam perkembangan dunia keilmuan, khususnya dakwah

Islamiyah, KH. Ahmad Rifa‟i dinilai sangat mengerti kebutuhan

masyarakat yang akan beliau dakwahi pada masa itu. Sehingga dengan cerdas beliau membuat puluhan kitab yang berbentuk syair dengan berbahasa Jawa (Tarajumah) supaya lebih cepat dipaham dan dihafal oleh masyarakat Jawa. Oleh sebab itu, Dr. Karel A. Steenbrink seorang sarjana Belanda yang diperbantukan sebagai dosen di IAIN Jakarta dan Yogyakarta dalam kunjungannya ke pesantren IKSAP Pekalongan pada

tanggal 15 November 1987 mengatakan kalau KH. Ahmad Rifa‟i adalah

seorang mujaddid (pembaharu) dalam metode dakwah. Dalam kesimpulan

bukunya, Mukhlisin sa‟ad mengatakan KH. Ahmad Rifa‟i adalah seorang

yang alim, mualif (pemikir dan pengarang kitab), muballig,

(61)

mujtahidyang memperjelas persoalan-persoalan agama dan menyelesaikan problem sosial kemasyarakatan.

Kitab-kitab tarjumah karangan KH. Ahmad Rifa‟i di pulau Jawa sejak tahun 1225 sampai akhirnya diasingkan ke Ambon sebanyak 53 buah, yang isinya mencakup tiga bidang ilmu agama islam,ilmu ushuluddin, ilmufiqih dan ilmu tasawuf. Kitab tarjumah yang membahas tentang ketiga ilmu agama islam itu adalah kitab Ri‟ayatul Himmahdua jilid, Abyanalhawa‟ij enam jilid, Husnul Mithalabsatu jilid, Asnal Miqasaddua jilid dan Jam‟ul Masa‟ilsatu jilid.

Adapun kitab yang membahas masalah iman serta yang berhubungan dengan iman ialah syariatul iman satu jilid, tahyirah mukhtashar, dan lain-lainnya.Kitab absyar membicarakan qiblat shalat, kitab rukhshiyah membahas ilmu qasar jama‟ dan kitab taisir membahas

ilmu shalat jum‟at.

Tahsinah, suatu kitab yang menguraikan ilmu tajwid, kitab tazkiyah

membahas ilmu memotong hewan, hewan halal, hewan haramdimakan, kitab wadlihah membicarakan masalah ilmu manasik haji, kitab muslihat

(maslahat) membahas ilmu membagi waris, Tasyrihatal Mukhtajmengulas

tentang hukum jual beli, Minwaril Himmatberisi talqin mayit. Arja

(62)

Selain kitab yang berjilid-jilid, ada beberapa ratus bismillah kitab

tanbih dan beberapa ratus lagi kitab nadzam do‟a dan jawabnya.Semua ini diterjemahkan ke bahasa jawa dengan nadzam (puisi) atau natsar (prosa) atau natsrah, (puisi dan prosa menjadi satu kitab). Lima puluh tiga kitab yang dikarang oleh Syaikhina haji Ahmad Rifa‟i di pulau Jawa ini dapat dilihat pada daftar kitab yang disusun oleh Syaikhina Kiai Ahmad Nasihun.

e) Perjuangan kh. Ahmad rifa‟i dan wafat beliau

Setelah pulang dari Timur Tenggah KH.Ahmad Rifa‟i tinggal di

Kaliwungu Kabupaten Kendal dan memusatkan perhatiannya

merealisasikan pengajaran ilmu-ilmu keagamaan dan mengarang kitab-kitab Tarjumah.Di samping kesibukannya dalam urusan pengajaran dan

mengarang kitab, KH.Ahmad Rifa‟i bekerja keras menanamkan

keislaman kepada murid-muridnya dan masyarakat umumnya.

Pada waktu pemerintah Belanda dan sekutunya menjajah penduduk

dantan ahairnya, KH.Ahmad Rifa‟i memandang bahwa pemerintah

Belanda yang harus bertanggung jawab atas kesengsaraan yang telah

menimpa umat Islam pada waktu itu. Kemudian KH. Ahmad Rifa‟i

membuat gerakan Ahmad Rifa‟i untuk melawan pemerintah Belanda dan

menyebabkan KH.Ahmad Rifa‟i harus berhadapan dengan pemerintah

Referensi

Dokumen terkait

LAPORAN REALISASI ANGGARAN BETANJA BELANJA SATUAN KERJA METALUI KPPN. UNTUK TRIWULAN YANG BERAKHIR 31

siklus I baru mencapai 68,01%, siklus II mencapai 86,26%, dan pada siklus III meningkat mencapai 90,91%. Dari data tersebut dapat disimpulkan bahwa hasil kinerja guru

Pada penelitian ini telah dilakukan uji coba aplikasi Sistem Pakar untuk mendeteksi Penyakit Kulit Menular kepada 20 orang user , hasil yang diperoleh dari

Ketika pemerintah menerapkan liberalisasi perdagangan beras maka pasar beras Indonesia terintegrasi dengan pasar beras internasional dan harga beras dalam negeri akan

perataan laba dengan perusahaan yang tidak melakukan bahwa mempunyai. reaksi pasar

variabel terikat atau bila F tabel < dari F hitung maka semua variabel bebas. secara simultan mempengaruhi

Pada tahap persiapan, praktikan menyiapkan seluruh kebutuhan dan administrasi yang diperlukan untuk mencari tempat PKL. Dimulai dengan pengajuan surat permohonan PKL

Adanya gas yang terlarut, oksigen dan karbon dioksida pada air umpan boiler adalah penyebab utama general corrosion dan pitting corrosion (tipe oksigen elektro kimia dan