• Tidak ada hasil yang ditemukan

PERWALIAN NIKAH DALAM HUKUM ISLAM

C. Relevansi Perpindahan Hak Wali Nikah Dalam Kitab Tabyin Al-Ishlah Pada Zaman Sekarang Ditinjau Dari Hukum Islam

Islam merupakan agama yang bersifat universal.Didalamnya tidak menganut ajaran yang kaku.Ia mampu beradaptasi dan berkembang diberbagai daerah dan disetiap waktu. Akan tetapi terkadang budaya dan tradisi lokal dalam masyarakat tidak dapat dihindari oleh berbagai kalangan masyarakat muslim. Karena itu agama dan budaya saling berjalan beriringan tanpa mengurangi nilai- nilai yang terkandung didalamnya.

Seperti halnya mengenai pembahasan perpindahan hak wali nikah yang terjadi di kalangan masyarakat pengikut Syaikh Ahmad Rifa‟i yang mana mereka

berpegangan pada kitab Tabyin Al-Ishlah dalam pembahasan pernikahan,

khususnya wali nikah. Di dalamnya terdapat ketentuan-ketentuan yang harus dipenuhi oleh kedua mempelai nikah untuk melangsungkan suatu rangkaian pernikahan harus mempelajari kitab Tabyin Al-Ishlah itu sendiridan tidak semua daerah dalam menentukan kualifikasi untuk menjadi wali nikah itu sama dengan yang sudah dijelaskan di dalam kitab Tabyin Al-Ishlah.

Di dalam kitab Tabyin Al-Ishlah sudah disebutkan bahwasannya yang berhak menjdi wali nikah ialah dia seorang wali hakim yang sudah mumpuni

untuk menjadi wali nikah. Seperti yang sudah dijelaskan dalam bpembahasan sebelumnya yangmana, kualifikasi untuk menjadi walinikah yang sesuai dengan ketentuan kitab Tabyin Al-Ishlahyaitu seseorang yang tidak lagi diragukan sifat adil dan mursyidnya dan dalam berperilaku setiap harinya terhindar dari dosa besar dan tidak melanggengkan dosa kecil.

Berbicara mengenai perpindahan hak wali nikah, sebenarnya di dalam kompilasi hukum islam (KHI) dan juga undang-undang perkawinan no. 1 tahun 1974 tidak ada yang membahas secara spesifik tentang perpindahan hak wali

nikah. Jika di dalam KHI pasal 22 hanya menyebutkan “perwalian dapat

dipindahkan kepada wali hakim ketika wali tersebut tuli, tuna netra dan terdapat

udzur”.Sedangkan di dalam undang-undang perkawinan no.1 tahun 1974 pasal 49 hanya menyebutkan bahwa perwaliannya dapat dicabut ketika wali nikah berkelakuan buruk dan melakukan kewajiban anaknya.

Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa relevansi perpindahan hak wali nikah dalam kitab Tabyin Al-Ishlah dalam pandangan hukum islam diperbolehkan akan tetapi apabila diterapkan pada era zaman sekarang kurang relevan karena, kualifikasi seorang wali nikah yang ditentukan dalam kitab tabyin al-ishlah masih condong pada era zaman dahulu ketika kolonial belanda menjajah Negara ini, yangmana wali nikah pada saat itu dipandang kurang cakap untuk menjadi wali nikah karena tidak mumpuni melakukan tugasnya sebagai wali nikah. Dimana seorang wali nikah itu harus memiliki sifat adil and mursyid.

BAB V

PENUTUP

A. Kesimpulan

Berdasarkan hasil dari analisis yang dilakukan penulis dari skripsi yang

berjudul “perpindahan hak wali dalam kitab Tabyinal Ishlah di tinjau dari hukum

islam”, yang mana kiyai H. Ahmad Rifa‟i sebagai imam Jamaah Rifa‟iyyah dan beliau menuangkan pemikiran-pemikirannya tentang konsep perpindahan hak wali kedalam kitab Tabyinal Ishlah.

Penulis menyimpulkan ada beberapa kesimpulan yang akan dipaparkan:

1. Konsep perpindahan hak wali yang dijelaskan di dalam kitab Tabyinal Ishlah, yaitu wali nasab dipindahkan kepada wali hakim yaitu seorang kiyai. Pada

masa KH. Ahmad Rifa‟i mayoritas wali hakim atau penghulu belum bisa adil

mursyid, berada dalam perintah pemerintah kafir atau pemerintah belanda dan hanya memikirkan kepentingan pribadi dengan mengatas namakan agama guna mengeruk keuntungan pribadi. Setelah Indonesia merdeka pengulangan

pernikahan atau tradisi shihah di Jam‟aah Rifa‟iyah sudah mengalami

pergeseran dikarenakan para penghulu sudah diperintah oleh penguasa bukan kafir, para penghulu dinilai sudah memiliki sifat yang alim dan sebagian besar penghulu memiliki latar belakang pendidikan agama yang cukup mumpuni.

Namun demikian, di Jamaah Rifa‟iyah masih ada yang tetap mempertahankan

Tradisi shihah lebih ditujukan sebagai bentuk tabarukan, mengharap berkah kepada sang Guru, itu yang pertama.Kedua,dilakukan bertujuan untuk

tajdid,memperbaharuipernikahan.Ketiga, untuk

tajamulnikahataumemperindahpernikahanuntukmewujudkankeluargayangbaha gia, tentramdan sejahtera.

Sedangkan di dalam KHI tentang wali nikah pasal 20 ayat 1 dijelaskan bahwasannya yang bertindak sebagai wali nikah ialah seorang laki-laki yang memenuhi syarat hukum islam yakni muslim, aqil dan baligh.

Orang yang rusak akalnya karena tua atau sakit tidak boleh menjadi wali, kewaliannya harus dipindahkan. Demikian juga menurut suatu pendapat orang yang sangat bodoh tidak boleh menjadi wali, sebab tidak mengerti kebaikan untuk dirinya apalagi kebaikan untuk orang lain. Dalam hal wali harus orang islam yang baik (tidak fasik).

2. Di dalam kitab Tabyin Al-Ishlah karangan beliau Syaikh Ahmad Rifa‟i,

terdapat beberapa syarat wali, yang mana wali nikah sah jika memenuhi beberapa syarat yang telah ditentukan, yaitu: Sebagai seorang wali pernikahan harus bersifat mursyid, artinya dia harus selamat dari perbuatan safih, baik

safih duniawi maupun ukhrawi karena orang safih itu dibatasi kehidupannya oleh agama. Demikian juga syahid atau saksi harus orang-orang yang memenuhi kriteria syahid. Sedangkan di dalam KHI disebutkan syarat seorang wali nikah: laki-laki, baligh, waras akalnya, tidak dipaksa, adil, dantidak sedang dalam ihram.

3. Relevansi perpindahan hak wali nikah dalam kitab Tabyin Al-Ishlah dalam pandangan hukum islam diperbolehkan akan tetapi apabila diterapkan pada era zaman sekarang kurang relevan karena, kualifikasi seorang wali nikah yang ditentukan dalam kitab Tabyin Al-Ishlahmasih condong pada era zaman dahulu ketika kolonial belanda menjajah Negara ini, yangmana wali nikah pada saat itu dipandang kurang cakap untuk menjadi wali nikah karena tidak mumpuni melakukan tugasnya sebagai wali nikah. Dimana seorang wali nikah itu harus memiliki sifat adil dan mursyid.

B. Saran

Setelah melakukan penelitian dan menganalisa hasil yang didapat dari data- data, penulis bermaksud memberikan saran bagi masyarakat umum. Bahwasannya, bagi masyarakat umum dalam menunjuk wali nikah harus mempunyai prinsip keati-hatian, dimana prinsip tersebut merupakan pegangan dalam mewujudkan keluarga yang sakinah mawaddah wa rohmah. Sedangka bagi Jamaah Rifa‟iyah

jangan hanya terpaku terhadap pemikiran KH. Ahmad Rifa‟i harus membuka diri

dengan pemikiran-pemikiran ulama lain.Konsep pernikahan Jamaah Rifa‟iyah dalam ajaran agama Islam termasuk konsep yang diperbolehkan, sehingga pertahankan konsep tersebut.Namun dalam mempertahankan konsep tersebut

Jamaah Rifa‟iyyah harus melihat perkembangan zaman.

C. Penutup

Dengan memanjatkan puji syukur dan ucapan Alhamdulillah atas segala karunia, petunjuk dan pertolongan dari Allah SWT, penulis dapat menyelesaikan

skripsi ini dalam bentuk sederhana sesuai dengan kemampuan yang dimiliki penulis.Untuk itu penulis mengharapkan pengembangan terus menerus, yang terpenting adalah saran dan kritik demi kesempurnaan selanjutnya.

Sebagai akhir kata, penulis berharap semoga skripsi ini dapat bermanfaat khususnya bagi penulis, umumnya bagi para pembaca dan juga bermanfaat untuk