• Tidak ada hasil yang ditemukan

PERWALIAN NIKAH DALAM HUKUM ISLAM

C. Tujuan dan Hikmah pernikahan

4. Rukun dan Syarat Sah Nikah

Rukun adalah sesuatu yang mesti ada yang menentukan sah dan tidaknya suatu pekerjaan (ibadah), dan sesuatu itu termasuk dalam rangkaian pekerjaan itu, seperti membasuh muka untuk wudlu, dan takbiratul ihram untuk shalat.Atau adanya calon pengantin laki-laki atau perempuan dalam perkawinan.(rahman, 2003: 45)

Syarat adalah hal-hal yang melekat pada masing-masing unsur yang menjadi bagian dari suatu perbuatan hukum atau peristiwa hukum. (Djubaedah, 2010:92). Syarat menurut Tihami (2010:12) adalah sesuatu yang mesti ada yang menentukan sah dan tidaknya suatu pekerjaan ibadah, tetapi sesuatu itu tidak termasuk dalam rangkaian pekerjaan itu, seperti menutup aurat untuk shalat.Rukun dan syarat dalam pernikahan keduanya wajib dipenuhi, apabila tidak dipenuhi maka perkawinan yang dilangsungkan tidak sah.Sah, yaitu sesuatu pekerjaan (ibadah) yang memenuhi rukun dan syarat.

Rukun-rukun yang harus dipenuhi dalam pelaksanaan aqad nikah sebanyak limaperkara. DalamKompilasi Hukum Islam (KHI) telah diatur dalam pasal 14 tentang rukun-rukun nikah yaitu: (1) pengantin laki-laki, (2) pengantin perempuan, (3) wali pengantin perempuan, (4) dua orang saksi yang adil, (5) ijab dan qabul.

Dari lima rukun nikah tersebut yang paling penting adalah ijab Kabul antara yang mengadakan dengan yang menerima akad, sedangkan yang dimaksud dengan syarat perkawinan adalah syarat yang bertalian dengan rukun-rukun

perkawinan, yaitu syarat-syarat bagi calon mempelai, saksi, ijab Kabul, dan wali. (tihami, 2009:13)

a. Syarat-syarat calon mempelai laki-laki: Bukan mahrom dari calon istri, Tidak terpaksa atas kemauan sendiri, Orang tertentu, jelas orangnya, Tidak sedang ihram.

b. Syarat-syarat calon mempelai perempuan: tidak halangan syarak, yaitu tidak bersuami, bukan mahram, tidak sedang dalam iddah, merdeka, atas kemauan sendiri, jelas orangnya, dan tidak sedang dalam ihram

c. Syarat-syarat saksi: laki-laki, baligh, waras akalnya, adil, dapat mendengar dan melihat, bebas, tidak dipaksa, tidak sedang mengerjakan ihram, dan memahami bahasa yang dipergunakan untuk ijab kabul.

d. Syarat-syarat wali: laki-laki, baligh, waras akalnya, tidak dipaksa, adil, dan tidak sedang dalam ihram

a) KriteriaWali

Didalam KHI tentang wali nikah pasal 20 ayat 1 dijelaskan bahwasannya yang bertindak sebagai wali nikah ialah seorang laki-laki yang memenuhi syarat hukum islam yakni muslim, aqil dan baligh.Orang yang rusak akalnya karena tua atau sakit tidak boleh menjadi wali, kewaliannya harus dipindahkan. Demikian juga menurut suatu pendapat orang yang sangat bodoh tidak boleh menjadi wali, sebab tidak mengerti kebaikan untukdirinya apalagi kebaikan untuk orang lain. Dalam hal wali harus orang islam yang baik (tidak fasik) berdasar pada sabda Nabi:

ٍدِشْسُم ًٍِّنَُِت َّلاِا َحاَكِو َلا

Artinya: tidak sah nikah kecuali dengan (oleh) wali yang mursyid. Sahnya nikah harus hadirnya 4 orang, yaitu wali, calon pengantin laki-laki dan dua orang saksi yang adil. Kalau keduanya atau salah satunya hadir tetapi tidak melaksanakan (tugasnya), mewakilkannya kepada orang lain, dan wakil itu mengakadkan maka akad nikah itu tidak sah, sebab wakil adalah merupakan pengganti wali.

Dalam buku karangan KH. Ahmad Azhar Basyir, MA dijelaskan bahwa, syarat-syarat perkawinan menurut pendapat Imam Syafi‟i, Ahmad bin Hambal, dan lain-lain, umat Islam di Indonesia dilakukan oleh mempelai laki-laki dan wali mempelai perempuan atau wakilnya.Alasan pendapat ini antara lain hadis nabi riwayat Turmudzi dari Aisyah ra. Yang

megatakan, “perempuan yang menikah tanpa izin walinya, nikahnya batal (sampai tiga kali nabi mengatakan “nikahnya batal”)….”.hadis nabi

riwayat Baihaqi dari Imran dan Aisyah ra. Mengatakan, “tidak sah nikah tanpa wali dan dua orang saksi laki-laki yang adil”.

Menurut pendapat Abu Hanifah, wali yang harus ada dalam akad nikah seperti disebutkan dalam hadis di atas hanyalah apabila mempelai perempuan belum baligh atau tidak sehat akal.Perempuan yang telah baligh dan berakal sehat dibolehkan menikahkan diri sendiri dengan laki- laki yang disukai tanpa wali, dengan syarat kufu.Jika mempelai laki-laki

tidak kufu, wali berhak minta kepada hakim untuk membatalkan perkawinan perempuan tersebut.

Alasan pendapat Abu Hanifah itu antara lain hadis Nabi riwayat Muslim dari Ibnu Abbas yang megajarkan, perempuan janda lebih baik berhak atas dirinya sendiri daripada walinya, perempuan perawan diminta

pendapatnya, izinnya adalah jika ia diam”. Hadis ini menegaskan bahwa

perempuan janda dapat bertindak terhadap dirinya sendiri tanpa wali, perawan pula diminintai pendapat mengenai dirinya dalam masalah perkawinan.

Imam Malik menurut riwayat Asyhab, berpendapat bahwa nikah tanpa wali sah. Menurut riwayat Ibnu Qashim, Imam Malik berpendapat bahwa adanya wali dalam akad nikah tidak wajib, tetapi hanya sunah, adanya wali merupakan syarat kesempurnaan nikahm bukan syarat sahnya. Pembahasan mengenai wali meliputi empat persoalan.Pertama, pensyaratan wali bagi sahnya nikah.Kedua, sifat-sifat wali.Ketiga, macam- macam wali dan urut-urutannya dalam perwalian berikut hal-hal yang terkait.Keempat, keberatan wali terhadap orang yang berada dibawah perwaliannya dan hukum perselisihan yang terjadi antara wali dengan orang yang diwalikannya.

Didalam kitab bidayatul mujtahid karangan Al-Fakih Abul Wahid Muhammad Bin Achmad Bin Muhammad Ibnu Rusyd dijelaskan tentang Persyaratan wali bagi sahnya nikah. Yang mana, didalamnya terdapat

beberapa pendapat imam ahli fikih.Ulama berselisih pendapat apakah wali menjadi syarat sahnya nikah atau tidak.Berdasarkan riwayat Asyhab, Malik berpendapat bahwa tidak ada nikah tanpa wali, dan wali menjadi syarat sahnya nikah.Pendapat ini juga dikemukakan oleh Syafi‟I, Abu Hanifah, Zufar, Asy-Sya‟bi, dan Az-Zuhri berpendapat bahwa apabila seorang perempuan melakukan akad nikahnya tanpa wali, sedang calon suami sebanding, maka nikahnya itu boleh.(ibnu, 2007: 409)

Berdasarkan riwayat Ibnul Qasim dari Malik dapat disimpulkan adanya pendapat keempat, yaitu bahwa persyaratan wali itu sunah hukumnya, dan bukan fardlu. Demikian itu karena ia meriwayatkan dari Malik bahwa ia berpendapat adanya waris mewarisi antara suami dengan istri yang perkawinannya terjadi tanpa menggunakan wali, dan wanita yang tidak terhormat itu boleh mewakilkan kepada seorang lelaki untuk menikahkannya. Malik juga menganjurkan seorang janda mengajukan walinya untuk mengawinkannnya. (ibnu, 2007: 410)

Dengan demikian, seolah Malik menganggap wali itu termasuk syarat kelengkapan perkawinan, bukan syarat syahnya perkawinan. Hal ini bertolak belakang dengan pendapat fuqaha Maliki dari Baghdad yang mengatakan bahwa wali itu termasuk syarat syahnya perkawinan, bukan syarat kelengkapan.

Silang pendapat ini disebabkan tidak terdapatnya satu ayat dan satu hadispun yang berdasarkan lahirnya mensyaratkan adanya wali dalam

perkawinan, terlebih lagi yang menegaskan demikian. Bahkan ayat-ayat dan hadis-hadis yang biasa dipakai alasan oleh fuqaha yang mensyaratkan wali hanya memuat kemungkinan yang demikian itu.Demikian pula ayat- ayat dan hadis-hadis yang dipakai alasan oleh fuqaha yang tidak mensyaratkan wali juga hanya memuat kemungkinan yang demikian.

Alasan wali menjadi syarat syahnya nikah yaitu dengan adanya firman Allah dalam ayat alquran:

Quran surat albaqarah: 232

:جسقثنا( هٍجاَشأ هذكىٌ نأ هٌ ُهضعذ لاف هٍهجأ هغهثف ءاسىنا مرقهط اذإَ

232

)

Artinya: apabila menalak istri-istrimu, lalu habis masa iddahnya, maka janganlah anda (para wali) menghalangi mereka kawin dengan calon suaminya. (QS. Albaqarah: 232)

Golongan pertama mengatakan bahwa ayat ini ditujukan kepada para wali.Jika mereka tidak mempunyai hak dalam perwalian, tentu tidak dilarang untuk menghalanginya.Ayat lainnya terdapat dalam quran surat albaqarah ayat 221:

:جسقثنا(همؤٌ ًرد خاكسشمنا اُذكىذ لاَ 222

)

Artinya: dan janganlah kamu menikahkan orang-orang musyrik

(dengan wanita-wanita mukmin) hingga mereka beriman.

Dan diantara hadis-hadis terkenal yang menjadi alasan mereka adalah hadis yang diriwayatkan oleh Az-Zuhri dari „Urwah dari Aisyah, yaitu:

جأسما امٌأ :مهسَ ًٍهع الله ىهص الله لُسز لاق :دناق حشئاع هع

زلاث ،مط ات اٍد اكىف اٍٍنَ نذإ سٍغت دذكو

سٍمناف اٍت مخد نإَ خاسم

ياَز( ًن ًنَ لا هم ًنُواطهسناف اَسجرسا نئف اٍىم ب اصأ امت اٍن

)يرمسرنا

Artinya: Aisyah berkata rasulullah saw. Bersabda: siapapun wanita yang kawin tanpa izin walinya, maka nikah itu batal (diucapkan tiga kali). Jika suaminya telah menggaulinya, maka maskawinnya adalah untuknya (wanita) karena apa yang telah diperoleh darinya. Apabila mereka bertengkar, maka penguasa menjadi wali bagi orang yang tidak mempunyai wali.”

Fuqaha golongan kedua, yakni yang tidak menysaratkan wali mengemukakan alasan dari alquran:

:جسقثنا( فَسعمنات هٍسفوأ ًف ههعف امٍف مكٍهع ح اىج لاف هٍهجأ هغهت اذئف 234

)

Artinya: “(kemudian apabila telah habis iddahnya), maka tiada dosa bagimu membiarkan mereka berbuat terhadap diri mereka menurut

yang patut.” (QS. Albaqarah: 234)

Di dalam kitab Bidayatul Mujtahid Ibnu Rusyd juga menjelaskan tentang sifat-sifat seorang wali nikah. Mengenai sifat-sifat positif dan negatif bagi seorang wali, fuqaha sepakat bahwa sifat-sifat positif tersebut adalah islam, dewasa, dan laki-laki. Sedang sifat-sifat negatif adalah kebalikan dari sifat-sifat tersebut yaitu: kufur, belum dewasa dan wanita.

Kemudaian fuqaha berselisih pendapat tentang tiga orang, yaitu hamba sahaya, orang fasik dan orang bodoh. Mengenai kecerdikan, menurut pendapat yang populer dalam Madzhab Maliki, tidak menjadi syarat dalam perwalian. Pendapat ini juga dikemukakan oleh abu hanifah.

Syafi‟i berpendat bahwa kecerdikan menjadi syarat dalam perwalian. Pendapat seperti ini juga diriwayatkan dari Malik. Asyhab dan Abu

Mush‟ab juga mengemukakan pendapat yang samadengan Syafi‟i.

Silang pendapat ini disebabkan oleh kemiripan kekuasaan dalam menikahkan dengan kekuasaan alam urusan harta. Bagi fuqaha, yang berpendapat kecerdikan dalam perwalian harta dapat diperlukan dan bisa tidak, mengatakan dalam urusan harta, wali tidak disyaratkan cerdik. Sedang bagi fuqaha yang berpendapat bahwa cerdik mutlak diperlukan dalam urusan harta, maka kecerdikan menjadi syarat bagi wali harta.

Dengan demikian, dalam hal ini terdapat dua kecerdikan, yaitu kecerdikan dalam urusan harta dan kecerdikan dalam urusan memilih memilih calon suami yang patut untuk wanita.Selain syarat yang sudah dituturkan, syarat lain yang dijelaskan Ibnu Rusyd yaitu tentang sifat wali yang adil. Para fuqaha berbeda pendapat tentang esensi keadilan. Sebab keadilan sulit dibuktikan tanpa adanya kekuasaan. Oleh karena itu, pilihan

untuk “kecocokan dan kesesuaian” tanpa keadilan itu sulit diterima.

Dengan kata lain, kondisi para wali ketika memilih calon suami yang sesuai dan cocok bagi para wanita yang di bawah perwaliannya itu

bukan keadilan dalam arti khawatir akan tertimpa kehinaan. Sebab kondisi ini secara alami ada pada setiap orang. Sedang keadilan selain kondisi diatas dapat dicapai dengan berbagai upaya. Seorang hamba sahaya, karena tidak mempuanyai otoritas kekuasaan, diperselisihkan keadilan dan perwaliannya.

b) Urutan wali

Didalam kitab kifayatul akhyar dijelaskan mengenai Orang-orang yang berhak menjadi wali yaitu, Kebanyakan ulama berpendapat bahwa orang-orang yang menjadi wali adalah:

a. Ayah, kakek dan seterusnya ke atas dari garis laki-laki. b. Saudara laki-laki kandung (seayah dan seibu) atau seayah

c. Kemenakan laki-laki kandung atau seayah (anak laki-laki saudara laki-laki kandung atau seayah)

d. Paman kandung atau seayah (saudara laki-laki kandung seayah)

e. Saudara sepupu kandung atau seayah (anak laki-laki paman kandung

atau seayah)

f. Sultan (penguasa tetinggi) yang disebut juga hakim (bukan qadli, hakim pengadilan)

g. Wali yang diangkat oleh mempelai bersangkutan, yang disebut wali muhakkam.

Dari macam-macam orang yang dinyatakan berhak menjadi wali tersebut di atas, dapat dilihat adanya tiga macam wali, yaitu:

1) Wali nasab atau kerabat

Wali nasab adalah wali nikah karena ada hubungan nasab dengan wanita yang akan melangsungkan pernikahan. Tentang urutan wali nasab terdapat perbedaan pendapat di antara ulama fikih. Imam malik

mengatakan bahwa perwalian itu didasarkan atas „shabah, kecuali

anak laki-laki dan keluarga terdekat lebih berhak untuk menjadi wali. Tertib wali:ayah, kakek dan seterusnya ke atas dari garis laki-laki, saudara laki-laki kandung, saudara laki-laki seayah, kemenakan laki- laki kandung, kemenakan laki-laki seayah, paman kandug, paman seayah, saudara sepupu laki-lakikandung, saudara sepupu laki-laki seayah, sultan atau hakim, orang yang ditunjuk oleh mempelai bersangkutan.Dalam al-mughni terdapat keterangan bahwa kakek lebih utama daripada saudara lelaki dan anaknya saudara lelaki, karena kakek adalah asal, kemudian paman-paman dari pihak ayah berdasarkan urut-urut saudara-saudara lelaki sampai ke bawah, kemudian bekas tuan (almaula).

Imam Syafi‟i berpegang pada „ashabah, yakni bahwa anak laki- laki termasuk „ashabah seorang wanita, berdasarkan hadisUmar r.a sebagai berikut:

ْهُّسنا ََِأ اٍَِهٌَْأ ْهِم ِيْأَّسنا يِذ ََْأ اٍٍَِِّنََ ِنْذِئِت َّلاِإ ُجَأْسَمْنا ُخِكْىَذ َلا

ناَط

Artinya:“wanita tdak boleh menikah kecuali dengan izin walinya, atau orang cerdik dari kalangan keluarganya, atau penguasa” Wali nasab dibagi menjadi dua, yaitu wali aqrab (dekat) dan wali

ab‟ad (jauh). Adapun perpindahan wali aqrab kepada wali ab‟ad

adalah sebagai berikut: apbila wali aqrabnya non muslim, fasik, belum dewasa, gila dan bisu/tuli. (tihami, 2009: 96-97)

2) Wali mujbir

Diantara wali nasab yang telah disebutkan, ada yang berhak memaksa gadis di bawah perwaliannya untuk dikhawatirkan dengan laki-laki tanpa izin gadis bersangkutan.Wali yang mempunyai hak memaksa itu disebut wali mujbir.Wali mujbir hanya terdiri dari ayah dan kakek (bapak dan seterusnya ke atas) yang dipandang paling besar rasa kasih sayangnya kepada perempuan dibawah perwaliannya, selain mereka tidak berhak ijbar.

Wali mujbir yang menikahkan perpempuan gadis dibawah

perwaliannya tanpa izin gadis bersangkutan disyaratkan: laki-laki pilihan wali harus kufu (seimbang) dengan gadis yang dinikahkan, antara wali mujbir dan gadis tidak ada permusuhan, antara gadis dan laki-laki calon suami tidak ada permusuhan, calon suami harus sanggup membayar maskawin dengan tunai,laki-laki pilihan wali akan dapat memenuhi kewajiban-kewajibanya terhadap istri denganbaik,

dan tidak terbayang akan berbuat yang mengakibatkan kesengsaraan istri.

Syarat-syarat tersebut yang harus diperhatikan oleh wali mujbir apabil akan menggunakan hak ijbarnya sehingga prinsip sukarela tersebut tidak terlanggar. Apabila syarat-syarat tersebut tidak terpenuhi, gadis yang telah dinikahkan walinya tanpa terlebih daulu diminta persetujuannya itu dapat minta fasakh, minta dirusakkan nikahnya kepada hakim.

Hadis nabi riwayat Ahmad, Abu Dawd, dan Ibnu Majah dari Ibnu Abbas menceritakan bahwa ada seorang gadis yang mengadu kepada nabi karena ayahnya telah menikahkannya dengan laki-laki yang tidak disenangi. Kemudian nabi memberi hak kepadanya untuk melangsungkan atau membatalkan perkawinannya. Hadis ini ditinjau dari jalan perawi-perawinya tidak memenuhi syarat sahih, tetapi isinya sejalan dengan hadis riwayat muslim yang antara lain mengajarkan agar anak gadis yang akan dinikahkan diminta pendapatnya atau izinnya. (azhar, 1999: 40-43)

3) Wali hakim

Wali hakim adalah wali nikah dari hakim atau qadli, Rasulullah SAW bersabda: ُّسن اَف ْه َط ُنا ََ ِن ًُّ َم ْه َّلا ََ ِن ًَّ َن ً

“maka hakimlah yang bertindak menjadi wali bagi seseorang yang tidak ada walinya.” (HR. Ahmad, Abu Dawud, Ibnu Majah, dan Nasa‟i)

Wali hakim ialah kepala Negara yang beragama islam, dalam hal ini biasanya di Indonesia dilakukan oleh kepala pengadilan agama. Seorang wali hakim dapat mengangkat orang lain menjadi hakim (biasanya yang diangkat adalah kepala kantor urusan agama kecamatan) untuk mengakdnikahkan perempuan yang berwali hakim. Sabda rasulullah saw:

ًٍَِْهَع ُالله ىَّهَص ِالله ُلُُْسَز َل اَق : ْدَن اَق اٍَْىَع ُالله ًَِضَز َحَشِئ اَع ْهَع

اٍََهَف اٍَِت َمَخَد ْنِاَف ،ٌمِط اَت اٍَُد اَكِىَف اٍٍَِِّنََ ِنْذِا ِسٍَْغِت ْدَذَكَو ٍجَاَسْمااَمٌَُّا :مَّهَسََ

ْهِم َّمضذَرْسا اَمِت ُسٍَْمْنا

اٍََن ًَِّنََ َلا ْهَم ًُِّنََ ُن اَطْهُّسن اَف اَُْسَجَرْشا ِن ِاَف اٍَِجْسَف

Artinya: “Dari aisyah ra., ia berkata, rasulullah saw. Bersabda, siapapun perempuan yang menikah dengan tidak seizin walinya, maka batallah pernikahannya, dan jika ia telah bercampur, maka maskawinnya bagi perempuan itu, lantaran ia telah menghalalkan kemaluannya; dan jika wali-wali itu enggan menikahkan, maka

sultanlah yang menjadi wali bagi orang yang tidak

mempunyai‟.”(HR. Imam yang empat, kecuali Nasa‟i dan disahkan oleh Abu Awanah, Ibnu Hibban dan Hakim)

Apabila tidak ada orang-orang di atas, maka wali hakim dapat diangkat oleh orang-orang yang terkemuka dari daerah tersebut atau orang-orang yang alim. Wali hakim dibenarkan menjadi wali dari sebuah akad nikah jika dalam kondisi-kondisi berikut: (1) tiak ada wali nasab, (2) tidak cukup syarat-syarat pada wali aqrab atau wali ab‟ad, wali aqrab ghaib atau pergi dalam perjalanan sejauh kurang

lebih 92,5 km atau dua hari perjalanan, wali aqrab di penjara da tidak bisa ditemui, wali aqrabnya„adlal, wali aqrabnya berbelit-belit (mempersulit), wali aqrabnya sedang ihram, wali aqrabnya sendiri yang akan menikahkan wanita akan dinikahkan gila, tetapi sudah dewasa dan wali mujbir tidak ada.

d) Ketiadan hakperwalian

Moh Rifa‟i dalam buku karangannya yang berjudul fiqih islam lengkap menjelaskan Sebab Perempuan Berwali Hakim. Diantara penyebab perempuan berwali hakim adalah: (1) Tidak ada wali nasab, (2) Wali yang lebih dekat (aqrab) tidak memenuhi persyatan menjadi wali,sedangkan wali yang lebih jauh (ab‟ad) tidak ada, (3) Wali yang lebih dekat gaib sejauh perjalanan safar yang memperbolehkan mengqasar salat, (4) Wali yang lebih dekat sedang mengerjakan ihram haji atau umrah, (5) Wali yang lebih dekat masuk penjara dan tidak dapat dijumpai, (6) Wali yang lebih dekat menolak, atau tidak mau menikahkan, (7) Wali yang lebih dekat hilang, dan tidak diketahui

tempat tinggalnya. (moh.rifa‟i. 2014: 437-438)

Dalam kitab Bidayatul Mujtahid karangan Ibnu Rusyd, dijelaskan Malik berpendapat bahwa apabila wali dekat tidak ada, maka hak

perwalian berpindah pada wali jauh. Sedang Syafi‟i berpendapat

bahwa hak perwalian tersebut berpindah kepada penguasa.Silang pendapat ini disebabkan, ketiadaan tersebut bisa disamakan

kedudukannya dengan kematian atau tidak.Dengan demikian hal tersebut tidak diperselisihkan lagi di kalangan fuqaha bahwa dalam hal kematian, perwalian bisa berpindah. (ibnu, 2007: 422-423)

BAB III

Gambaran UmumBiografi Syaikh Ahmad Rifa‟i Dan Kitab Tabyin Al-Ishlah A. Gambaran Umum Tentang Syaikh Ahmad Rifa‟i Dan Kitab Tabyin Al-Ishlah