• Tidak ada hasil yang ditemukan

Faktor yang Mempengaruhi Kematangan Sosial Anak 16

BAB II LANDASAN TEORI

B. Kematangan Sosial Anak Prasekolah

5. Faktor yang Mempengaruhi Kematangan Sosial Anak 16

Faktor-faktor yang mempengaruhi kematangan sosial menurut Hurlock (1991) adalah:

a.

Fisik

Fisik seorang anak mempengaruhi berperilaku, yang sehat tanpa cacat akan membuat anak lebih mampu merespon stimulus yang diberi lingkungan. Fisik yang sehat juga mempengaruhi pandangan anak terhadap dirinya, anak yang merasa berbeda dibanding teman-temannya cenderung menutup diri. Perkembangan fisik juga mempengaruhi perkembangan lain.

b.

Intelegensi

Intelegensi di atas rata-rata memungkinkan anak melakukan imitasi atau stimulus pada lingkungan yang akan terinternalisasi dalam diri anak. Penelitian Oden (Monks, Knoers & Haditono, 1988) mengungkapakan bahwa anak-anak dengan intelegensi tinggi mempunyai prestasi yang baik, lebih ulet, lebih bermotivasi untuk dapat berprestasi sebagai yang paling baik kemudian anak-anak ini lebih baik dalam melakukan penyesuaian sosial dan rata-rata psikis mereka juga lebih sehat.

c.

Keluarga

Keluarga merupakan perantara ang sangat penting dalam membantu perkembangan sosialisasi anak (Hetherington & Parke, 1999). Jika lingkungan rumah secara keseluruhan memupuk perkembangan sosial yang baik, kemungkinan besar anak akan menjadi pribadi yang sosial.

Bhatia (dalam Indrawan, 2000) berpendapat bahwa tingkah laku sosial dan sikap anak terhadap orang lain dipengaruhi oleh pengalaman belajarnya yang didapatkan pada tahap-tahap awal pembentukan pribadi. Keluarga dalam hal ini juga termasuk sistem dan kebiasaan yang berkembang.

d.

Lingkungan sosial

Lingkungan tempat anak bersosialisasi merupakan media anak melakukan imitasi berperilaku dan bersikap. Anak usia prasekolah memasuki stadium praopersional, anak masih belum mampu untuk memahami segala sesuatu menurut cara berpikirnya sendiri. Sehingga pada usia ini anak melakukan imitasi pada lingkungannya (Piaget dalam Monks, Knoers dan Haditono, 1988). Lingkungan sekitar rumah dalam hal ini adalah yang di luar keluarga yaitu sekolah, teman sebaya bahkan televisi.

e.

Guru

Perlakukan dan sikap guru pada anak di sekolah termasuk peraturan yang berlaku di sekolah mempengaruhi sikap sosial anak untuk beradaptasi dengan lingkungan di luar rumah.

6. Aspek-aspek Kematangan Sosial Anak Prasekolah

Doll (dalam Anastasi, 1976) mengatakan bahwa kematangan sosial merupakan konstelasi enam aspek, yaitu:

a. Self-help

Self-help adalah kemampuan membantu diri sendiri dalam hal

umum seperti kemampuan menghindari bahaya sederhana, mengurus diri sendiri di toilet, mengambil makanan tanpa bantuan, mampu berpakaian sendiri, mandi dan tidur tanpa bantuan merupakan kemampuan yang harus dikuasai anak usia prasekolah sehingga anak dapat mandiri untuk melakukan sesuatu bagi diri sendiri terutama di sekolah (Ilg dan Gussel, 1977).

b. Self-direction

Self direction adalah kemampuan untuk mengerahkan dan

memimpin diri sendiri seperti berbelanja yang ringan-ringan tanpa pengawasan pada siang hari.

c. Occupation

Occupation adalah kemampuan untuk membantu berupa

pekerjaan rumah tangga yang ringan, menggunakan pensil dan spidol untuk menggambar dan menggunakan alat-alat perlengkapan. Seorang anak, agar dapat menjadi anggota kelompok sosial yang diterima di dalam keluarga, sekolah dan teman sebaya, anak harus menjadi anggota yang kooperatif dengan memiliki keterampilan tersebut di atas (Hurlock, 1991).

d. Locomotion

Daya penggerak pada anak (locomotion) untuk bepergian seperti

main atau pergi ke rumah tetangga tanpa pengawasan, ke sekolah tanpa diantar, keliling kompleks perumahan dengan bebas. Bepergian tanpa diawasi orang dewasa menunjukkan tanggung jawab dan kemandirian yang dimiliki anak.

e. Communication

Communication adalah kemampuan anak untuk mengungkapkan

dan menerima apa yang dipikirkan, diinginkan dan dirasakan. f. Social relation

Anak usia prasekolah (3-5 tahun) tidak lagi berorientasi pada diri sendiri melainkan harus dapat berinteraksi dengan orang lain. Berinteraksi menekankan pada hubungan timbal balik, anak tidak hanya menuntut orang lain memahami dirinya tetapi anak juga harus dapat memahami dan mematuhi standar norma yang berlaku dalam lingkungannya di rumah atau pun di sekolah. Kemampuan anak mengadakan hubungan sosial (social relation)

seperti turut serta dalam permainan perlombaan, “main sandiwara”. Keterampilan ini melihat sejauh mana anak dapat terlibat dalam kehidupan sosialnya. Kematangan sosial yang dicapai anak usia taman kanak-kanak mungkin berbeda satu sama lain. Apabila anak telah menguasai 6 ketrampilan di atas dengan baik sesuai dengan tingkat usianya, maka anak memiliki

kematangan sosial yang tinggi. Anak yang kematangan sosialnya tinggi umumnya dapat melakukan penyesuaian sosial lebih baik dari anak yang kematangan sosialnya rendah (Hurlock, 1991). Kematangan sosial anak juga bervariasi menurut tingkat perkembangan perilaku sosialnya. Perkembangan perilaku sosial dapat disimpulkan bahwa hal ini akan bermuara pada aspek organisasi perilaku sosial (sosialisasi) saja. Aspek kompetensi sosial adalah sebagian dari aspek sosialisasi, hal ini menjelaskan kekuatan motivasi dan keterampilan-keterampilan yang diperlukan untuk mengatur perilaku sosial. Kaitan yang sangat erat antara perilaku attachment dan

kompetensi anak (Sroufe, 1978), menampakkan bahwa kompetensi sosial merupakan fasilitas untuk organisasi perilaku sosial. Dengan kata lain aspek sosialisasi atau aspek organisasi perilaku sosial merupakan puncak dari kedua aspek lainnya. Dalam konsep ini aspek-aspek yang juga digunakan untuk mengamati kematangan sosial (Fitzgerald et al., 1982):

a. Dependensi

Item ini meliputi empat macam ketrampilan: self help skills, social help

skills, school skills dan play skills. Self help skills adalah keterampilan

dalam menolong diri sendiri yang menunujukkan taraf kemampuan anak untuk semakin bergantung pada dirinya sendiri dan kemerdekaan dari bantuan orang lain. Social help skills adalah keterampilan yang

dalam keluarga. School skills adalah keterampilan dalam menyelesaikan

tugas-tugas sekolah baik akademik maupun non akademik. Play skills

adalah keterampilan dalam berbagai jenis permainan yang sesuai dengan tingkat perkembangannya. Dari deskripsi di atas nampak bahwa dependensi sangat terkait dengan perilaku attachment sehingga

faktor-faktor pembentuk pola perilaku attachment itu adalah komposisi

keluarga. Anak yang dependen cenderung banyak meminta tolong kepada orang lain. Ia senang menempel, meminta digandeng dan meminta perhatian pada orang lain. Ia kurang berinisiatif, tidak mampu mengatasi hambatan lingkungan dan tidak menuntaskan kegiatannya. Ia tidak merasa puas dalam pekerjaannya. Sebaliknya anak independen mampu melaksanakan tugas rutinnya sendiri. Ia juga mampu berpakaian dan makan sendiri dan ia terdorong untuk bergabung dengan kelompoknya. Doll (dalam Medinnus, 1976) menyusun item-item kematangan sosial berdasarkan Vineland Maturity Scale. Item-item itu

dikembangkan untuk mengukur Social Quotient (SQ) anak. Item-item

untuk anak prasekolah adalah:

1. Mampu melakukan kegiatan toilet sendiri 2. Mampu mencuci muka sendiri

3. Mampu menjalin hubungan dengan orang baru 4. Mampu berpakaian sendiri kecuali dasi

5. Mampu menggunakan pensil dan krayon untuk menggambar 6. Mampu melakukan permainan kompetitif

b. Partisipasi Sosial

Partisipasi sosial terutama diamati berdasarkan partisipasi anak bersama peernya. Parten (1932, dalam Monks, Knoers & Haditono, 2001) meninjau permainan anak dari sudut tingkah laku sosial anak; Parten menyusun kategori-kategori permainan berdasarkan besarnya keterlibatan sosial. Kategori-kategori yang digunakan untuk melihat partisipasi sosial anak adalah sebagai berikut:

1. Paralel Play

Anak bermain secara bebas tetapi aktivitas yang ia pilih adalah aktivitas yang secara alamiah akan menempatkan dia dalam golongan anak-anak lain. Ia memainkan mainan-mainan yang menyerupai mainan yang dipakai anak-anak lain di sekitarnya. Tetapi ia memainkan mainan itu menurut adanya ia lihat dan tidak mencoba mempengaruhi aktivitas anak-anak di sekitarnya. Jadi ia hanya bermain di sebelah anak-anak lain dan tidak bersama ana-anak lain.

2. Associative Play

Anak bermain bersama anak-anak lain. Terjadi pinjam-meminjam alat/ bahan permainan; silih berganti dengan sedikit usaha untuk mengontrol alat/ bahan permainan mana yang sedang digunakan atau tidak digunakan anak lain. Aktivitasnya serba sama kalau bukan identik. Belum ada pembagian kerja dan pengaturan aktivitas. Masing-masing anak berbaut menurut kehendaknya

sendiri dan tidak menjadikan minatnya sebagai bagian dari kelompok.

3. Cooperative Play atau Organized Supplementary Play

Anak bermain dalam sebuah kelompok yang dibentuk dan diorganisir untuk tujaun-tujuan tertentu, misalnya untuk membuat suatu barang, mencapai tujuan persaingan, mendramakan situasi hidup orang dewasa atau memainkan permainan formal. Kontrol terhadap situasi kelompok berada di tangan satu atau dua anggota, yang mengarahkan aktivitas anak lain. Tujuan maupun sarana yang digunakan memerlukan pembagian kerja, pembagian peran yang berbeda-beda dan organisasi aktivitas sehingga usaha dari seorang anak dilengkapi oleh usaha dari anak lain.

c. Kontrol Emosi

Pengontrolan emosi yang efektif menghasilkan penerimaan sosial. Indikasi adanya penerimaan sosial dapat dilihat dari kesesuaian tingkah laku anak terhadap norma kelompok, kemampuan adaptasi dengan kelompok, keterlibatan anak dan penerimaan dari kelompoknya serta perasaan puas dan bahagia berada dalam kelompok. Pola umum emosi anak-anak yaitu; kemarahan, ketakutan, rasa malu, kecanggungan, kekhawatiran dan kecemasan. Anak yang pemalu dan canggung (Hurlock, 1991), hanya memberi sedikit kontribusi pada kelompok. Umumnya mereka bukan tidak disukai tetapi dipandang rendah dan diabaikan. Hal ini mengakibatkan penyesuaian yang buruk karena

kurangnya pengalaman belajar dalam segi hubungan sosial. Anak yang pemalu, takut bicara dengan orang lain sehingga orang lain juga tidak berbicara dengan mereka, hal ini mendorong mereka menjadi terikat kepada diri sendiri. Syarat utama penerimaan sosial pada anak-anak adalah kematangan sosial sebagaimana didefinisikan oleh kelompok anak itu berada. Penerimaan sosial berkaitan dengan popularitas anak dalam kelompoknya. Adapun ciri-ciri perilaku tidak populer menurut Koch (dalam Medinnus & Johnson, 1969) adalah sebagai berikut:

1. Cenderung bermain sendiri

2. Menolak atau mengabaikan permintaan anak lain 3. Menyerang anak lain

4. Melarikan diri dari keadaan yang tidak diharapkan 5. Membuang-buang waktu

Penerimaan sosial tidak hanya dipengaruhi oleh kematangan sosial melainkan juga jenis kelamin dan kelas sosial. Oleh karena itu dalam mengamati kematangan sosial anak yang didasarkan pada penerimaan sosial, variabel jenis kelamin dan kelas sosial sebisa mungkin disingkirkan. Lagipula, istilah peer group mengimplikasikan keadaan di

mana seorang anak dinilai oleh lingkungan sebayanya. Menurut Hurlock (1991) penerimaan sosial berarti dipilih sebagai teman untuk suatu aktivitas dalam kelompok di mana seseorang menjadi anggota. Ini merupakan indeks keberhasilan yang digunakan anak untuk berperan

dalam kelompok sosial dan menunjukkan derajat rasa suka anggota kelompok yang lain untuk bekerja atau bermain dengannya.

Maka, dari beberapa aspek kematangan sosial yang sudah dipaparkan di bagian sebelumnya, penulis dapat menyimpulkan bahwa kematangan sosial anak usia prasekolah adalah kemampuan anak usia prasekolah dalam menjalin relasi dengan orang lain yang nampak dari : a. Kemampuan mengungkapkan diri; misalnya berani meminta sesuatu,

mengekpresikan rasa senang, sedih atau marah dengan jelas, mulai bertanya “apa?”, “kenapa?”, “siapa?”.

b. Mampu menolong dirinya sendiri; yaitu memakai sepatu sendiri, bisa memakai celana atau kaus sendiri; bisa memakai kaus kaki sendiri, pergi ke toilet sendiri, mampu mencuci muka atau tangan sendiri, makan sendiri.

c. Memiliki keterampilan sosial yang baik; perilaku ini dapat dilihat dari kemauan anak menjawab atau memberi salam kepada orang lain, berkenalan dengan teman baru dan tidak malu berhadapan dengan orang lain tanpa didampingi figur lekatnya (dalam hal ini pengasuh atau orang tua), kemampuan empatik atau mau menolong teman.

d. Memiliki keterampilan dalam menyelesaikan tugas-tugas sekolah, baik akademis maupun non akademis; misalnya mampu memegang pensil dengan benar, mampu menggambar dengan pensil atau crayon, mampu mendengarkan satu atau dua perintah dari guru.

e. Memiliki keterampilan dalam berbagai jenis permainan yang sesuai dengan tingkat perkembangannya. Kemampuan anak dalam hal ini dilihat dari jenis permainan yang dipilih, apakah cenderung permainan individual atau kelompok, mampu bermain secara kooperatif, bermain peran atau bahkan permainan kompetitif.

f. Memiliki kemampuan untuk mengontrol emosi; problem solving dengan

anak lain ketika terjadi konflik, mau berbagi mainan dengan teman, tidak memukul teman ketika terjadi konflik, tidak mudah menangis dalam situasi sulit atau gagal dalam melakukan suatu pekerjaan

Dokumen terkait