• Tidak ada hasil yang ditemukan

TINJAUAN PUSTAKA

II.3. Teori tentang Komitmen

II.3.3. Faktor yang Mempengaruhi Komitmen Pegawai

Komitmen pegawai dapat tercipta apabila individu dalam organisasi sadar akan hak dan kewajibannya dalam organisasi tanpa melihat jabatan dan kedudukan, hal ini disebabkan pencapaian tujuan organisasi merupakan hasil kerja semua anggota

organisasi yang bersifat kolektif. Penelitian yang dilakukan oleh Kouzes menemukan bahwa kredibilitas yang tinggi akan mampu menghasilkan suatu komitmen dan hanya dengan komitmen yang tinggi, suatu perusahaan mampu menghasilkan bisnis yang baik (Riyanto, 2002).

Komitmen terhadap organisasi dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor. Menurut Mowday, Porter dan Steers, (1982) dalam Telemaru (2001), faktor yang mempengaruhi komitmen pegawai terhadap organisasi adalah: masa kerja (tenure), karakteristik pribadi, dan faktor lingkungan pekerjaan. Dari hasil studi yang dilakukan oleh Angle dan Perry (1981) menunjukkan bahwa salah satu prediktor terhadap komitmen adalah masa kerja (tenure) seseorang pada organisasi tertentu. Hal ini dapat dijelaskan sebagai berikut:

a. Makin lama seseorang bekerja pada suatu organisasi, semakin ia memberi peluang untuk menerima tugas yang lebih menantang, otonomi yang lebih besar, keleluasaan untuk bekerja, tingkat imbalan ekstrinsik yang lebih besar dan peluang mendapat promosi yang lebih tinggi.

b. Adanya peluang investasi pribadi, yang berupa pikiran, tenaga dan waktu untuk organisasi yang makin besar, sehingga makin sulit untuk meninggalkan organisasi tersebut.

c. Adanya keterlibatan sosial yang dalam dengan organisasi dan individu-individu yang ada, hubungan sosial yang lebih bermakna, sehingga membuat individu semakin berat meninggalkan organisasi.

Beberapa karakteristik pribadi dianggap memiliki hubungan dengan komitmen, diantaranya adalah (dalam Temaluru, 2001):

a. Usia dan masa kerja. Usia dan masa kerja berkorelasi positif dengan komitmen (Mowday, Porter dan Steers, 1982).

b. Tingkat Pendidikan. Makin tinggi tingkat pendidikan, makin banyak pula harapan individu yang mungkin tidak bisa diakomodir oleh organisasi, sehingga komitmennya semakin rendah (Mowday, Porter dan Steers, 1982). c. Jenis Kelamin. Wanita pada umumnya menghadapi tantangan yang lebih

besar dalam pencapaian kariernya, sehingga komitmennya lebih tinggi.

d. Peran individu tersebut di organisasi. Hasil studi Morris dan Sherman (1981) menunjukkan bahwa adanya hubungan yang negatif antara peran yang tidak jelas dan komitmen terhadap organisasi. Peran yang tidak jelas muncul akibat adanya tujuan yang tidak jelas pula atas suatu pekerjaan (Gary John, 1983). Ciri-cirinya antara lain ketidakjelasan evaluasi terhadap pekerjaan, cara untuk mencapai unjuk kerja yang baik dan batas wewenang serta tanggung jawab individu. Ada beberapa faktor yang menyebabkan munculnya ketidakjelasan peran, yakni: (1) faktor organisasi, keberadaan individu tidak jelas fungsinya sehingga peranannyapun tidak jelas; (2) faktor pemberi peran, ketidakjelasan muncul karena atasan tidak mengkomunikasikan dengan jelas harapannya terhadap bawahan; (3) faktor penerima peran, ketidakjelasan peran karena bawahan tidak mengerti peran yang harus ia lakukan sesuai harapan.

Faktor lingkungan pekerjaan akan berpengaruh terhadap sikap individu pada organisasi. Menurut Porter, Mowday dan Steers (1982) dalam Temaluru (2001), lingkungan dan pengalaman kerja dipandang sebagai kekuatan sosialisasi utama yang mempengaruhi komitmen terhadap organisasi. Beberapa faktor lingkungan yang berkaitan dengan komitmen adalah:

(1) Keterandalan organisasi yakni sejauh mana individu merasa bahwa organisasi tempat ia bekerja memperhatikan anggotanya, baik dalam hal minat maupun kesejahteraan;

(2) Perasaan dianggap penting oleh organisasi, yakni sejauhmana individu merasa diperlukan dalam mencapai misi organisasi;

(3) Realisasi terhadap harapan individu yakni sejauhmana harapan individu dapat direalisasikan melalui organisasi di mana ia bekerja;

(4) Persepsi tentang sikap terhadap rekan kerja sejauhmana individu merasa bahwa rekan kerjanya dapat mempertahankan sikap kerja yang positif terhadap organisasi;

(5) Persepsi terhadap gaji sejauhmana individu tersebut merasa gaji yang diterimanya seimbang dengan gaji individu lain. Perasaan diperlakukan fair atau tidak akan mempengaruhi komitmennya;

(6) Persepsi terhadap perilaku atasan sejauhmana individu merasa dihargai dan dipercayai oleh atasan. Jika persepsi sikap atasan negatif, maka akan cenderung mengakibatkan sikap negatif pula yang diaktualkan dalam bentuk perilaku negatif seperti mangkir dan keinginan berpindah kerja.

Jika dalam organisasi, komitmen dari karyawannya cenderung rendah, maka menurut Schermerhorn (1996) akan terjadi kondisi sebagai berikut:

1. Tingkat absensi karyawan yang tinggi dan meningkatnya turnover (High levels of abseentism and voluntary turnover). Pada banyak penelitian, individu yang berkomitmen terhadap organisasinya cenderung kurang melakukan usaha mencari pekerjaan baru.

2. Ketidakinginan untuk berbagi dan berkorban untuk kepentingan organisasi (Unwillingness to share and make sacrifice). Individu-individu yang memiliki komitmen rendah cenderung memeiliki motivasi kerja yang rendah, dan sebisa mungkin bekerja dengan kondisi minimal yang diharapkan organisasi.

II.4. Teori tentang Kepuasan Kerja II.4.1. Pengertian Kepuasan Kerja

Bekerja bagi sebagian orang merupakan sarana atau bentuk aktivitas yang bertujuan untuk memperbaiki taraf hidup. Hal ini lebih menekankan pada orientasi material sebagai tujuan dari bekerja. Sedangkan pada sebagian yang lain, bekerja dianggap sebagai serangkaian aktivitas yang bertujuan meningkatkan dan memperbaiki taraf hidup sekaligus juga sebagai sarana aktualisasi diri untuk menunjukkan individu yang dianutnya. Berkenaan dengan anggapan ini, Smith dan Wakeley dalam As'ad (1998), menyatakan bahwa bekerja adalah serangkaian aktivitas yang bertujuan mendapatkan kepuasan.

Kepuasan kerja merupakan dampak dari pelaksanaan pekerjaan. Dalam konteks organisasi, pegawai terdorong untuk bekerja untuk memuaskan ketutuhan-kebutuhannya. Apabila kebutuhannya terpenuhi sebagai imbalan dari pekerjaan yang dilakukannya, maka ia cenderung untuk merasa puas. Sebaliknya, ketika kebutuhannya tidak bisa terpenuhi, ketidakpuasan akan muncul.

Kepuasan kerja adalah suatu tingkatan emosi yang menyenangkan dan bersifat positif yang muncul atau dihasilkan dari penilaian terhadap suatu prestasi kerja atau pengalaman (Locke dalam Luthans, 2006). Sedangkan Davis (1996), memandang kepuasan kerja sebagai rasa senang seseorang dalam memandang pekerjaannya. Jadi, kepuasan kerja akan tercapai apabila terdapat kesesuaian antara pekerjaan yang dibebankan dengan keinginan individu pegawai.

Menurut Dole and Schroeder (2001), kepuasan kerja dapat didefinisikan sebagai perasaan dan reaksi individu terhadap lingkungan pekerjaannya. Dalam pernyataan tersebut mengandung makna bahwa kepuasan kerja merupakan suatu keadaan emosi yang positif atau dapat menyenangkan yang dihasilkan dari suatu penilaian terhadap pekerjaan atau pengalaman-pengalaman kerja seseorang.

Menurut Linz (2002), bahwa secara positif sikap terhadap kerja ada hubungan positif dengan kepuasan kerja. Pada dasarnya makin positif sikap kerja makin besar pula kepuasan kerja, untuk itu berbagai indikator dari kepuasan kerja perlu memperoleh perhatian khusus agar pekerja dapat meningkatkan kinerjanya. Pada umumnya seseorang merasa puas dengan pekerjaannya karena berhasil dan memperoleh penilaian yang adil dari pimpinannya.

Menurut Hasibuan (2005), kepuasan kerja dipengaruhi oleh faktor-faktor sebagai berikut:

1. Balas jasa yang adil dan layak.

2. Penempatan yang tepat sesuai dengan keahlian. 3. Berat ringannya pekerjaan.

4. Suasana dan lingkungan pekerjaan.

5. Peralatan yang menunjang pelaksanaan pekerjaan. 6. Sikap pimpinan dalam kepemimpinannya.

7. Sifat pekerjaan monoton atau tidak. II.4.2. Pengukuran Kepuasan Kerja

Kepuasan kerja memiliki banyak dimensi. Luthans (2006), menganjurkan untuk mengacu pada JDI (Job Descriptive Index). Menurut indeks ini, kepuasan kerja diukur atas dasar lima dimensi yaitu:

a. Pekerjaan

Sekarang ini, seseorang cenderung lebih menyukai pekerjaan yang memberikan kepada mereka kesempatan untuk berkreativitas, yakni dengan menggunakan ketrampilan dan kemampuan serta menawarkan keberagaman tugas dan kebebasan berekspresi.

b. Imbalan/Bayaran

Dalam organisasi, seseorang cenderung menginginkan sistem imbalan yang mampu mempresentasikan rasa keadilan yang sesuai dengan keinginan mereka. Oleh karena itu, ketika individu mempersepsikan bahwa kebijakan sistem imbalan dilakukan secara adil, maka mereka akan mempunyai kecenderungan untuk merasa puas dengan pekerjaan. c. Promosi

Promosi adalah menunjuk pada suatu kesempatan untuk memperoleh jenjang jabatan tertentu yang lebih tinggi dalam organisasi. Kesempatan tersebut bisa timbul karena berbagai faktor diantaranya pengetahuan dan kemampuan yang tinggi untuk menyelesaikan pekerjaan. Pencapaian prestasi tertentu juga memungkinkan diberikannya kesempatan untuk mendapatkan jenjang jabatan yang lebih menantang.

d. Supervisi

Pengaruh-pengaruh dari perilaku pengawas yang berorientasi pada pekerjaan terhadap kepuasan kerja, kurang dapat diramalkan. Dalam beberapa studi, para pegawai lebih banyak mendapatkan kepuasan dengan supervisi yang tidak terlalu berorientasi pada pekerjaan (Yukl, 1998). Namun demikian para peneliti akhir-akhir ini telah banyak mengidentifikasi sifat-sifat individu dan variabel-variabel situasional yang membentuk kesukaan pegawai terhadap pengawasan partisipatif. e. Rekan kerja

Dukungan, motivasi, perhatian dan tingkat pemahaman ditunjukkan sabagai suatu proses positif dari sebuah interaksi antar sesama pegawai dalam organisasi. Hal ini juga tidak terlepas dari daya dukung yang diberikan oleh pimpinan organisasi kepada para pegawainya.

II.5. Teori tentang Prestasi Kerja II.5.1. Pengertian Prestasi Kerja

Prestasi kerja adalah suatu tingkat atau serangkaian pencapaian keberhasilan dalam mengatasi segala tantangan dan hambatan kerja dalam upaya mencapai tujuan yang telah ditentukan. Penyelesaian yang baik dan berorientasi pada kualitas adalah rnerupakan tolok ukur dari pencapaian tingkat prestasi kerja. Sejumlah karakteristik menunjukkan pegawai yang berorientasi pada prestasi kerja. Mereka bekerja keras apabila mereka memandang bahwa mereka akan memperoleh kebanggaan pribadi atas upaya mereka, terdapat resiko gagal dalam pekerjaan, dan apabila mereka mendapat umpan balik yang spesifik tentang

prestasi di waktu yang lalu.

Prestasi kerja atau prestasi kerja karyawan adalah hasil kerja atau kinerja yang dihasilkan oleh para pekerja dalam organisasi (Yousef, 2000). Prestasi kerja karyawan tidak hanya sekedar informasi tentang dapat dilakukannya promosi dan penetapan gaji bagi perusahaan. Tetapi yang lebih penting adalah bagaimana mengembangkan satu rencana untuk memperbaiki kemerosotan apa saja yang mungkin sudah digali oleh penilaian, dan mendorong hal-hal baik yang sudah dilakukan bawahan. Penilaian di sini dimaksudkan untuk memberikan satu peluang yang baik untuk meninjau rencana karir orang itu dilihat dari kekuatan dan kelemahan yang diperlihatkan. Akhirnya, semua itu dengan satu sasaran yaitu kebutuhan dan kepuasan pelanggan.

Prestasi kerja karyawan (employee performance) adalah tingkat terhadap mana para karyawan mencapai persyaratan-persyaratan dalam pekerjaan (Baron & Gerald dalam Ruky, 2006). Sedang Ivancevich dan Matteson (1999) mendefinisikan sebagai hasil kerja karyawan yang diperoleh dari resultan/gabungan perilaku karyawan dan organisasi. Dari dua definisi di atas, prestasi kerja karyawan merupakan sesuatu yang penting bagi organisasi/perusahaan, tidak terkecuali perusahaan manufaktur.

Menurut Heneman, Schab dan Fossum dalam Istitimijati (1996) bahwa secara umum pengukuran prestasi kerja mencakup dua kegiatan. Pertama, identifikasi dimensi prestasi kerja yang mencakup semua unsur yang akan dievaluasi dalam pekerjaan masing-masing karyawan dalam suatu organisasi. Kedua, penetapan standar prestasi kerja. Berdasarkan

pernyataan tersebut, untuk mengetahui prestasi kerja karyawan diperlukan tolok ukur meliputi: kuantitas, kualitas dan ketepatan waktu kerja.

II.5.2. Dimensi Prestasi Kerja

Lopez dalam Istitimijati (1996) mengajukan tujuh kriteria pengukuran prestasi kerja yaitu: kuantitas kerja, kualitas kerja, pengetahuan tentang pekerjaan, pendapat atau pernyataan yang disampaikan, keputusan yang diambil, perencanaan kerja dan daerah kerja organisasi. Menurut Yousef (2000) indikator/dimensi dari prestasi kerja karyawan adalah: Kualiti Prestasi Kerja (Quality Performance) dan Kuantiti Prestasi Kerja (Quantity Performance).

1) Kualiti Prestasi Kerja (Quality Performance)

Kualiti merupakan harapan semua organisasi bisnis, baik kualiti manusianya, alatnya, maupun perangkat lainnya sehingga diperoleh kualiti produk yang maksimal. Prestasi kerja karyawan secara kualitatif kerapkali tidak pasti, namun demikian, penilaian prestasi kerja secara kualitatif penting artinya bagi organisasi, sebab merupakan sarana untuk merencanakan dan mengendalikan pekerjaan ke arah prestasi kerja (kinerja) yang lebih baik.

2) Kuantiti Prestasi Kerja (Quantity Performance)

Artinya bahwa semakin meningkat kuantiti kerja karyawan berarti menunjukkan adanya produktiviti yang meningkat.

BAB III

Dokumen terkait