• Tidak ada hasil yang ditemukan

Faktor yang Mempengaruhi Turnover Intention

Dalam dokumen BAB 2 LANDASAN TEORI DAN KERANGKA PEMIKIRAN (Halaman 34-39)

2.5 Turnover Intention

2.5.3 Faktor yang Mempengaruhi Turnover Intention

Faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya turnover cukup kompleks dan saling berkaitan satu sama lain. Diantara faktor-faktor tersebut yang akan dibahas antara lain adalah usia, lama kerja, tingkat pendidikan, dan keterikatan terhadap organisasi (Novliadi, 2007, p10-12).

1. Usia.

Maier (1971) mengemukakan pekerja muda mempunyai tingkat turnover yang lebih tinggi daripada pekerja-pekerja yang lebih tua. Penelitian-penelitian terdahulu menunjukkan adanya hubungan yang signifikan antara usia dan turnover intention dengan arah hubungan negatif. Artinya semakin tinggi usia seseorang, semakin rendah turnover intention-nya (dalam Mobley,1986). Karyawan yang lebih muda lebih tinggi kemungkinan untuk keluar. Hal ini mungkin disebabkan pekerja yang lebih tua enggan berpindah-pindah tempat kerja karena berbagai alasan seperti tanggung jawab keluarga, mobilitas yang menurun, tidak mau repot pindah kerja dan memulai pekerjaan di tempat kerja baru, atau karena energi yang sudah berkurang, dan lebih lagi karena senioritas yang belum tentu diperoleh di tempat kerja yang baru walaupun gaji dan fasilitasnya lebih besar.

Gilmer (1966) berpendapat bahwa tingkat turnover yang cenderung lebih tinggi pada karyawan berusia muda disebabkan karena mereka masih memiliki keinginan untuk mencoba-coba pekerjaan atau organisasi kerja serta ingin mendapatkan keyakinan diri lebih besar melalui cara coba-coba tersebut.

Selain itu karyawan yang lebih muda mungkin mempunyai kesempatan yang lebih banyak untuk mendapat pekerjaan baru dan memiliki tanggung jawab terhadap

keluarga lebih kecil, sehingga dengan demikian lebih mempermudah mobilitas pekerjaan. Mungkin juga mereka mempunyai harapan-harapan yang kurang tepat mengenai pekerjaan yang tidak terpenuhi pada pekerjaan-pekerjaan mereka yang sebelumnya (Porter dan Steer; Wanous dan Mobley,1986).

Hal ini juga didukung oleh Cheng dan Chan (2008, p272), bahwa turnover intention lebih kuat pada karyawan dengan masa kerja yang lebih pendek, dan lebih kuat pada karyawan yang lebih muda daripada karyawan yang lebih tua.

2. Lama kerja.

U. S. Civil Service Commission (1977) menyatakan bahwa pada setiap kelompok tertentu dari orang-orang yang dipekerjakan, dua pertiga sampai tiga perempat bagian dari mereka yang keluar terjadi pada akhir tiga tahun pertama masa bakti, berdasarkan data ini lebih dari setengahnya sudah terjadi pada akhir tahun pertama (dalam Mobley,1986).

Hasil penelitian yang pernah dilakukan menunjukkan adanya korelasi negatif antara masa kerja dengan turnover, yang berarti semakin lama masa kerja semakin rendah kecenderungan turnovernya (Prihastuti, 1992). Turnover lebih banyak terjadi pada karyawan dengan masa kerja lebih singkat (Parson dkk, 1985). Interaksi dengan usia, kurangnya sosialisasi awal merupakan keadaan-keadaan yang memungkinkan terjadinya turnover tersebut.

Karyawan sering pula menemukan harapan-harapan mereka terhadap pekerjaan atau perusahaan itu berbeda dengan kenyataan yang didapat. Disamping itu, umumnya pekerja-pekerja baru itu masih muda usianya, masih punya keberanian untuk berusaha mencari perusahaan dan pekerjaan yang sesuai dengan yang diharapkan. Sebaliknya pekerja-pekerja yang lebih dapat bertahan lama bekerja di suatu perusahaan, merupakan pekerja yang berhasil menyesuaikan dirinya dengan perusahaan dan pekerjaannya. Mereka juga mempunyai kebanggaan atas

senioritas mereka, karena itu mereka mempunyai rasa tanggung jawab lebih besar daripada pekerja-pekerja baru. Akibatnya secara langsung mereka enggan untuk berpindah pekerjaan atau perusahaan (Handoyo, 1987).

3. Tingkat pendidikan dan intelligensi.

Mowday dkk (1982) berpendapat bahwa tingkat pendidikan berpengaruh pada dorongan untuk melakukan turnover. Dalam hal ini Maier (1971) membahas pengaruh intelligensi terhadap turnover. Dikatakan bahwa mereka yang mempunyai tingkat intelligensi tidak terlalu tinggi akan memandang tugas-tugas yang sulit sebagai tekanan dan sumber kecemasan. Ia mudah merasa gelisah akan tanggung jawab yang diberikan padanya dan merasa tidak aman. Sebaliknya mereka yang mempunyai tingkat intelligensi yang lebih tinggi akan merasa cepat bosan dengan pekerjaan-pekerjaan yang monoton. Mereka akan lebih berani keluar dan mencari pekerjaan baru daripada mereka yang tingkat pendidikannya terbatas, karena kemampuan intelligensinya yang terbatas pula (Handoyo, 1987).

4. Keterikatan terhadap perusahaan.

Penelitian yang dilakukan oleh Hom dkk (1979); Michaels dan Spector (1982); Arnold dan Fieldman (1982); Steel dan Ovalle (1984) menemukan bahwa keterikatan terhadap perusahaan mempunyai korelasi yang negatif dan signifikan terhadap intensi turnover. Berarti semakin tinggi keterikatan seseorang terhadap perusahaannya akan semakin kecil ia mempunyai intensi untuk berpindah pekerjaan dan perusahaan, dan sebaliknya.

Pekerja yang mempunyai rasa keterikatan yang kuat terhadap perusahaan tempat ia bekerja berarti mempunyai dan membentuk perasaan memiliki (sense of belonging), rasa aman, efikasi, tujuan dan arti hidup, serta gambaran diri yang positif (Mowday dkk,1982). Akibat secara langsung adalah menurunnya dorongan diri untuk berpindah pekerjaan dan perusahaan.

Menurut Zeffane (1994) ada beberapa faktor yang berpengaruh terhadap terjadinya turnover, diantaranya adalah faktor eksternal, yakni pasar tenaga kerja, faktor institusi yakni kondisi ruang kerja, upah, keterampilan kerja, dan supervisi, karakteristik personal dari karyawan seperti intelegensi, sikap, masa lalu, jenis kelamin, minat , umur, dan lama bekerja serta reaksi individu terhadap pekerjaannya

Menurut Suhartono, keinginan pindah kerja dari perusahaan yang satu ke perusahaan yang lainnya pada umumnya banyak dipengaruhi oleh umur, jenis kelamin, status pernikahan, jumlah tanggungan serta masa kerja. (Suhartono, 2007, p87-89):

1. Umur

Percaya atau tidak, umur secara tidak langsung berpengaruh kepada kemungkinan pindah-pindah kerja seseorang. Seseorang yang berusia relatif muda pada umumnya mempunyai energi yang lebih banyak serta selalu berkeinginan untuk mencari tantangan yang baru. Mereka tidak segan-segan untuk berpindah pekerjaan apabila ada tawaran yang lebih menarik dan menantang. Sementara itu seseorang yang cukup umur akan berpikir seribu kali untuk berpindah kerja meskipun itu kelihatannya amat menarik perhatiannya. Di lain pihak, pada umumnya perusahaan cenderung mencari tenaga kerja yang masih muda, energik, dan lebih mudah diatur. 2. Jenis kelamin

Pada umumnya pekerja laki-laki lebih besar kecenderungannya pindah-pindah kerja jika dibandingkan wanita. Hal ini disebabkan karena laki-laki mempunyai kecenderungan memiliki tingkat kepuasan kerja yang lebih rendah dibandingkan wanita. Secara alamiah, laki-laki lebih suka berkompetisi dan tak pernah puas dengan keadaan sekitarnya walaupun hal ini tidak selalu mutlak terjadi.

Seseorang yang sudah menikah biasanya merasa lebih mantap dengan pekerjaan sekarang, hal ini karena dia melihat pekerjaan sekarang merupakan jaminan terhadap hari depan kemudian.

4. Jumlah tanggungan

Semakin banyak anak (jumlah tanggungan) maka kecenderungan mereka pindah-pindah dari satu perusahaan ke perusahaan lainnya semakin kecil, hal ini karena tingkat kepuasan kerja mereka cukup tinggi. Apalagi secara tanggung jawab, mereka menanggung jumlah yang semakin besar sehingga segala tindakan yang akan dilakukan perlu dipertimbangkan secara hati-hati. Terutama dampak yang mungkin timbul terhadap anak atau istri yang menjadi tanggung jawabnya.

5. Masa kerja

Semakin lama masa kerja seseorang disebuah perusahaan, maka semakin kecil pula kemungkinan dia untuk pindah-pindah kerja. Hal ini dimungkinkan karena orang tersebut sudah merasa cukup nyaman dengan suasana kerja yang dirasakannya, selain itu dia cukup familiar dengan orang-orang sekitar maupun alat bantu kerjanya (komputer, program, mesin-mesin, dll).

2.6 Organisasi Nirlaba

Tidak semua bisnis diciptakan untuk laba. Organisasi nirlaba (nonprofit organization) adalah organisasi yang melayani tujuan tertentu dan tidak dimaksudkan untuk mencari laba. Ketika pendapatan melampaui bebannya di periode tertentu, laba tersebut diinvestasikan kembali di organisasi tersebut. Di Amerika Serikat, suatu organisasi nirlaba tidak dikenakan pajak selama organisasi tersebut masuk kualifikasi dengan memenuhi persyaratan tertentu yang ditetapkan oleh Internal Revenue Service. Contoh-contoh umum dari organisasi nirlaba meliputi beberapa rumah sakit, sekolah, organisasi sosial, dan gereja. (Madura, 2007, p9).

Menurut Boone dan Kurtz (2007, p7) organsisasi nirlaba (non-profit organization), yaitu organisasi serupa dunia bisnis yang memiliki tujuan utama selain mengembalikan laba

kepada para pemiliknya. Organisasi-organisasi ini memainkan peranan penting di dalam masyarakat dengan menempatkan pelayanan publik di atas laba. Organisasi nirlaba beroperasi di sektor swasta maupun publik. Organisasi nirlaba sektor swasta antara lain museum, perpustakaan, serikat-serikat dagang, organisasi amal dan keagamaan, dan sebagian besar perguruan tinggi dan universitas. Selain itu, badan-badan pemerintahan, partai-partai politik, dan serikat pekerja dapat dikategorikan pula sebagai organisasi nirlaba.

Meskipun organisasi nirlaba tidak sepenuhnya fokus pada menghasilkan laba, organisasi tersebut tetap dikelola sebagaimana bisnis dikelola. Misalnya saja, perhatikan bisnis dari rumah sakit nirlaba. Rumah sakit tersebut mengenakan biaya untuk layanannya sama seperti rumah sakit yang mencari laba. Karyawannya juga memperoleh gaji sama seperti karyawan dari rumah sakit yang mencari laba. (Madura, 2007, p9-10).

Meskipun demikian, karakteristik organisasi nirlaba berbeda dengan organisasi bisnis. Perbedaan utamanya adalah pada cara organisasi tersebut memperoleh sumber daya. Organisasi bisnis memperoleh sumber daya dari pemilik atau setoran pemilik, sedangkan organisasi nirlaba memperoleh sumber daya dari sumbangan anggota atau masyarakat, baik yang mengikat maupun yang tidak mengikat. (Sulistiawan, 2007, p4).

Dalam dokumen BAB 2 LANDASAN TEORI DAN KERANGKA PEMIKIRAN (Halaman 34-39)

Dokumen terkait