B. Bentuk Kesulitan Belajar PAI
2. Faktor yang Terletak di Luar Diri (Ekstern) Peserta Didik
Faktor ekstern, yakni hal-hal atau keadaan-keadaan yang datang dari luar diri
peserta didik. Faktor ini meliputi semua situasi dan kondisi lingkungan sekitar yang
tidak mendukung aktivitas belajar peserta didik antara lain.
a. Kurikulum yang seragam, bahan dan buku-buku sumber yang tidak sesuai dengan
tingkat kematangan perbedaan individu
b. Ketidak sesuaian standar administrasi (system pembelajaran, penilaian,
pengelolaan kegiatan dan pengalaman pembelajaran dan sebagainya
c. Terlalu berat beban belajar peserta didik dan atau mengajar guru, terlampau besar
populasi siswa dalam kelas dan sebagainya
d. Terlalu sering pindah sekolah atau program, tinggal kelas, dan sebagainya
e. Kelemahan dan system pembelajaran pada tingkat-tingkat pendidikan
(dasar/asal) sebelumnya
f. Kelemahan yang terdapat dalam kondisi rumah tangga (pendidikan, status sosial,
ekonomis, keutuhan keluarga, besarnya anggota keluarga, tradisi dan kulktur
keluarga, ketentramana dan keamanan sosial psikologis, dan sebagainya)
g. Terlalu banyak kegiatan di luar jam pelajaran sekolah atau banyak terlibat pada
kegiatan ekstrakurikuler
h. Kurangnya makanan (gizi) dan sebagainya.
C. Upaya Guru Mengatasi Kesulitan Belajar PAI 1. Kesulitan Belajar
Burton mengidentifikasi seorang peserta didik sebagai kasus dapat
dipandang atau dapat diduga mengalami kesulitan belajar apabila yang bersangkutan
belajarnya.14Kesulitan belajar dalam pandangan Burton merupakan kasus yang
ditunjukkan dengan kegagalan peserta didik dalam mencapai tujuan-tujuan
belajarnya.
Kegagalan belajar menurut Burton digolongkan menjadi empat golongan,
yaitu (a) lower group apabila peserta didik tidak mencapai ukuran tingkat
keberhasilan atau tingkat penguasaan (level of mastery) minimal dalam pelajaran
tertentu dalam batas waktu tertentu, (b) under archievers apabila peserta didik tidak
dapat mengerjakan atau mencapai prestasi yang semestinya (berdasarkan ukuran
tingkat kemampuannya: intelegensi, bakat), (c) slow learners apabila tidak dapat
mewujudkan tugas-tugas perkembangan, termasuk penyesuaian sosial sesuai dengan
pola organismiknya pada fase perkembangan tertentu, seperti yang berlaku bagi
kelompok sosial dan usia yang bersangkutan, dan (d) immature (belum matang) atau
mungkin menjadi repeaters (pengulang) pelajaran apabila peserta didik tidak berhasil
mencapai tingkat penguasaana yang diperlukan sebagai prasyarat bagi kelanjutan
pada tingkat pelajaran berikutnya.15Keempat golongan kegagalan belajar peserta
didik tersebut, dipandang oleh Burton sebagai kesulitan belajar peserta didik.
Rahman, dkk. mengidentifikasi bentuk-bentuk kesulitan belajar peserta didik
khususnya pada jenjang pendidikan dasar, yaitu kesulitan membaca (disleksia),
kesulitan menulis (disgrafia), dan kesulitan menghitung (diskalkulia) yang
disebabkan oleh faktor internal peserta didik, dan faktor eksternal peserta didik.16
14
W. H. Burton, The Guidance of the Learning Activities (New York: Appleton-Century-Crofts, 1975). Dikutip dalam Abin Syamsuddin Makmun, Psikologi Kependidikan Perangkat Sistem Pengajaran Modul, h. 307.
15
Abin Syamsuddin Makmun, Psikologi Kependidikan Perangkat Sistem Pengajaran Modul, h. 308.
16
Ulfiani Rahman, dkk, “Kesulitan Belajar (Kasus pada Peserta Didik MI Madani Paopao Gowa)”, Auladuna1, no. 2 (2014), h. 222-223.
Meskipun bentuk-bentuk kesulitan belajar peserta didik tersebut bersifat
umum pada semua mata pelajaran, akan tetapi dapat pula terjadi pada pembelajaran
Pendidikan Agama Islam, termasuk di SMP Negeri 1 Pallangga Kabupaten Gowa
sebagai salah satu satuan pendidikan pada jenjang pendidikan menengah.
Gejala-gejala munculnya kesulitan belajar dapat diamati dalam berbagai
bentuk, baik yang dapat muncul dalam bentuk perubahan perilaku yang menyimpang
maupun dalam menurunya hasil belajar. Perilaku yang menyimpang, juga muncul
dalam berbagai bentuk, seperti suka mengganggu teman, merusak alat-alat pelajaran,
sukar memusatkan perhatian, suka termenung, menangis, hiperaktif, atau sering
bolos.17
Meskipun perilaku yang menyimpang dapat merupakan indikasi (petunjuk)
adanya kesulitan belajar, namun tidak semua perilaku yang menyimpang dapat
disamakan dengan munculnya kesulitan belajar. Untuk membedakannya, diperlukan
kemampuan dan pengalaman guru dalam mendalami perilaku yang menyimpang
tersebut.
Alat yang digunakan untuk melakukan diagnosis dapat muncul dalam
berbagai bentuk yaitu dalam bentuk tes yang disebut tes diagnostik dan dapat pula
berupa alat nontes seperti observasi atau wawancara.Tes diagnostik disusun khusus
untuk mengungkapkan kesulitan belajar yang dialami oleh peserta didik. Gronlund
dalam Nasution dkk., menjelaskan bahwa tes diagnostik mempunyai ciri-ciri, yaitu:
(a) memusatkan diri pada pencapaian tujuan dalam bidang yang akan didiagnosis, (b)
memuat perincian nilai (skor) yang lebih luas untuk setiap bagian tes yang lebih
banyak untuk mengetes setiap kemampuan, (c) butir-butir tes disusun berdasarkan
17
analisis yang cermat tentang keterampilan khusus yang berperan dalam keberhasilan
belajar dan suatu studi tentang kesalahan yang umum dibuat oleh para peserta didik,
dan (d) agar pencapaian peserta didik yang mengalami kesulitan belajar dapat diukur
dengan cermat, maka tingkat kesukaran tes diagnostik pada umumnya rendah.18
Penyusunan tes diagnostik diperlukan beberapa syarat, yaitu (a) tentukan
tujuan khusus yang harus dicapai dengan cermat, (b) tentukan tahap-tahap yang harus
dilalui peserta didik dalam mencapai tujuan khusus tersebut, (c) susunlah butir tes
untuk mengukur tingkat pencapaian peserta didik pada setiap tahap.19
Selain alat diagnostik dalam bentuk tes, guru dapat juga menggunakan daftar
isian (daftar cek) dalam mengobservasi kemampuan/keterampilan peserta didik,
misalnya dalam mengamati peserta didik melakukan gerakan tertentu, guru
menggunakan daftar cek untuk mencatat gerakan yang benar dan yang salah, di
samping wawancara sebagai alat diagnostik untuk melengkapi informasi yang belum
dapat dijaring dengan tes atau daftar cek.20Pemilihan dan penggunaan alat diagnostik
sangat tergantung dari wawasan guru tentang hakikat diagnosis dan perbaikan belajar,
dan kemampuan guru dalam menggunakan alat diagnostik tertentu.
Kesulitan belajar Pendidikan Agama Islam dilihat dari diagnosis, sebenarnya
meliputi kegiatan belajar, dan perkembangan sikap keagamaan,21akan tetapi
penelitian dikhususkan pada aspek kegiatan belajar peserta didik pada mata pelajaran
Pendidikan Agama Islam di SMP Negeri 1 Pallangga Kabupaten Gowa.
18
N. E. Grondund, Measurement and Evaluation in Teaching (New York: Mac Millen, 1985). Dikutp dalam Noehi Nasution, dkk, Materi Pokok Psikologi Pendidikan, h. 223-224.
19
Noehi Nasution, dkk, Materi Pokok Psikologi Pendidikan, h. 224. 20
Noehi Nasution, dkk, Materi Pokok Psikologi Pendidikan, h. 224-225. 21