• Tidak ada hasil yang ditemukan

5.1 Kesimpulan ... 37 5.2 Saran ... 38 DAFTAR PUSTAKA ... 39

DAFTAR TABEL

Halaman Tabel 2.1 Kriteria Penegakan Diagnosis ... 6

Tabel 2.2 Jenis-jenis Insulin Berdasarkan Mulai dan Masa Kerja ... 8 Tabel 2.3 Penggolongan Obat Hipoglikemik Oral ... 9 Tabel 2.4 Klasifikasi Penyakit Ginjal Kronik Didasarkan Atas Dasar

Derajat Penyakit ... 12

Tabel 2.5 Penyebab Utama Penyakit Gagagl Ginjal Kronik di

Amerika Serikat ... 12

Tabel 2.6 Komplikasi Penyakit Gagal Ginjal Kronik ... 17

Tabel 3.1 Hasil Pemeriksaan Fisik Pasien ... 21 Tabel 3.2 Hasil Pemeriksaan Patologi Klinik I

(tanggal 13 April 2014 ) ... 22 Tabel 3.3 Hasil Pemeriksaan Patologi Klinik II

(tanggal 15 April 2014 ) ... 23 Tabel 3.4 Hasil Pemeriksaan Patologi Klinik III

(tanggal 21 April 2014 ) ... 23 Tabel 3.5 Hasil Pemeriksaan Foto Thorax Pada

Tanggal 14 April 2014 ... 23

Tabel 3.6 Daftar Obat yang Diresepkan Dokter Kepada Pasien

Selama Rawat Inap ... 25

Tabel 4.1 Daftar Obat yang Digunakan Pada Tanggal 13 April s/d

22 april 2014 ... 27

Tabel 4.2 Pengkajian Waspada Efek Samping Tanggal 13 April s/d

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang

Rumah sakit merupakan salah satu dari sarana kesehatan, yang merupakan rujukan pelayanan kesehatan dengan fungsi utama sebagai tempat menyelenggarakan upaya kesehatan. Menurut Kepmenkes No. 1197/MENKES/SK/X/2004 tentang Standar Pelayanan Farmasi di Rumah Sakit, Upaya kesehatan adalah setiap kegiatan untuk memelihara dan meningkatkan kesehatan, bertujuan untuk mewujudkan derajat kesehatan yang optimal bagi masyarakat. Upaya kesehatan diselenggarakan dengan pendekatan pemeliharaan, peningkatan kesehatan (promotif), pencegahan penyakit (preventif), penyembuhan penyakit (kuratif) dan pemulihan kesehatan (rehabilitatif) yang dilaksanakan secara menyeluruh, terpadu dan berkesinambungan. Pelayanan farmasi rumah sakit merupakan salah satu kegiatan di rumah sakit yang menunjang pelayanan kesehatan yang bermutu.

Untuk meningkatkan mutu pelayanan kesehatan di rumah sakit, maka pelayanan farmasi harus ditingkatkan. Pelayanan farmasi rumah sakit adalah bagian yang tidak terpisahkan dari sistem pelayanan kesehatan rumah sakit yang berorientasi kepada pelayanan pasien, penyediaan obat yang bermutu, termasuk pelayanan farmasi klinik, yang terjangkau bagi semua lapisan masyarakat. Praktik pelayanan kefarmasian merupakan kegiatan yang terpadu dengan tujuan mengidentifikasi, mencegah dan menyelesaikan masalah obat dan masalah yang berhubungan dengan kesehatan. Kegiatan pelayanan kefarmasian di rumah sakit meliputi pengkajian resep, dispensing, pemantauan dan pelaporan efek samping

obat, pelayanan informasi obat, konseling, visite pasien dan pengkajian penggunaan obat (Depkes RI, 2004).

Visite pasien merupakan kegiatan kunjungan ke pasien rawat inap yang

dilakukan secara mandiri oleh apoteker maupun bersama tim dokter dan tenaga kesehatan lainnya. Tujuannya adalah untuk pemilihan obat, menerapkan secara langsung pengetahuan farmakologi terapetik, menilai kemajuan pasien dan bekerja sama dengan tenaga kesehatan lain. Pengkajian penggunaan obat merupakan program evaluasi penggunaan obat yang terstruktur dan berkesinambungan untuk menjamin obat-obat yang digunakan sesuai indikasi, efektif, aman, dan terjangkau oleh pasien (Depkes RI, 2004).

Dalam rangka menerapkan pelayanan kefarmasian di rumah sakit, maka mahasiswa calon apoteker perlu diberi perbekalan dan pengalaman dalam bentuk Praktek Kerja Profesi (PKP) di rumah sakit. PKP di rumah sakit merupakan salah satu praktek pelayanan kefarmasian yang bertujuan untuk mengidentifikasi, mencegah dan menyelesaikan masalah terkait obat dan masalah yang berhubungan dengan kesehatan pasien. Adapun pelayanan kefarmasian yang difokuskan untuk dilaksanakan adalah visite pasien dan pengkajian penggunaan obat secara rasional (PPOSR). Adanya masalah penggunaaan obat yang tidak rasional menunjukkan bahwa peranan apoteker sangat besar dalam membantu keberhasilan terapi pasien.

Studi kasus yang akan dikaji adalah pasien dengan diagnosa Diabetes Melitus + CKD (Chronic Kidney Disease) stage V ec. DN (Diabetic

Nephropathy). Disini penulis akan mengkaji penggunaan obat yang diberikan kepada pasien dan memberikan edukasi kepada pasien dan keluarganya dalam

rangka untuk meningkatkan kepatuhan pasien selama menjalani pengobatan demi tercapainya tujuan pengobatan untuk memaksimalkan pengobatan pasien.

1.2 Tujuan

Tujuan dilakukan studi kasus ini adalah:

a. Memberikan pemahaman untuk meningkatkan kepatuhan pasien dalam mematuhi terapi yang telah ditetapkan dokter.

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Diabetes Melitus

2.1.1 Definisi

Diabetes melitus (DM) didefinisikan sebagai suatu penyakit atau gangguan metabolisme kronis dengan multi etiologi yang ditandai dengan tingginya kadar gula darah disertai dengan gangguan metabolisme karbohidrat, lipid dan protein sebagai akibat insufisiensi fungsi insulin. Insufisiensi fungsi insulin dapat disebabkan oleh gangguan atau defisiensi produksi insulin oleh sel-sel β langerhans kelenjar pankreas, atau disebabkan oleh kurang responsifnya sel-sel tubuh terhadap insulin (Depkes, 2005).

2.1.2 Patofisiologi

a. DM tipe 1 (IDDM) terjadi pada 10% dari semua kasus diabetes. Secara umum DM tipe ini berkembang pada anak-anak atau pada awal masa dewasa yang disebabkan oleh sel β pankreas akibat autoimun, sehingga terjadi defisiensi insulin absolut. Hiperglikemia terjadi bila 80%-90% dari sel β rusak. Penyakit DM bisa menjadi penyakit menahun dengan resiko komplikasi dan kematian. Faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya autoimun tidak diketahui.

b. DM tipe 2 (NIDDM) terjadi pada 90% dari semua kasus diabetes dan biasanya ditandai dengan resistensi insulin dan defisiensi insulin relatif. Resistensi insulin ditandai dengan peningkatan lipolisis dan produksi asam lemak bebas, peningkatan produksi glukosa hepatik dan penurunan pengambilan glukosa pada otot skelet. Disfungsi sel β mengakibatkan gangguan pada pengontrolan glukosa darah. DM tipe 2 lebih disebabkan oleh

gaya hidup penderita DM (kelebihan kalori, kurangnya olahraga dan obesitas) dibandingkan dengan pengaruh genetik.

c. Diabetes yang disebabkan oleh faktor lain (1-2% dari semua kasus diabetes) termasuk gangguan endokrin (misalnya akromegali, sindrom Cushing), diabetes melitus gestational (DMG), penyakit pankreas eksokrin (pankreatitis), dan karena obat (glukokortikoid, pentamidin, niasin, dan α -interferon).

d. Gangguan glukosa puasa dan gangguan toleransi glukosa terjadi pada pasien dengan kadar glukosa plasma lebih tinggi dari normal tetapi tidak termasuk dalam DM. Gangguan ini merupakan faktor resiko untuk berkembang menjadi penyakit DM dan kardiovaskular yang berhubungan dengan sindrom resistensi insulin.

e. Komplikasi mikrovaskular berupa retinopati, neuropati dan nefropati sedangkan komplikasi makrovaskular berupa penyakit jantung koroner, stroke dan penyakit vaskular periferal (Sukandar dkk, 2009).

2.1.3 Penegakan Diagnosis

Diabetes seringkali muncul tanpa gejala. Namun demikian ada beberapa gejala khas yang harus diwaspadai sebagai isyarat kemungkinan diabetes. Gejala khas yang sering dirasakan penderita diabetes antara lain poliuria (sering buang air kecil), polidipsia (sering haus), dan polifagia (banyak makan/mudah lapar). Selain itu sering pula muncul keluhan penglihatan rabun, koordinasi gerak anggota tubuh terganggu, kesemutan pada tangan atau kaki, timbul gatal-gatal yang sering kali mengganggu (pruritus), dan berat badan menurun tanpa sebab yang jelas. Apabila ada keluhan khas, hasil pemeriksaan kadar glukosa darah

sewaktu > 200 mg/dl sudah cukup untuk menegakkan diagnosis DM. Hasil pemeriksaan kadar glukosa darah puasa > 126 mg/dl juga dapat digunakan sebagai patokan diagnosis DM (Darmono, 1996 dan Depkes, 2005).

Tabel 2.1 Kriteria Penegakan Diagnosis

Glukosa Plasma Puasa

Glukosa Plasma 2 jam setelah makan

Normal <100 mg/dl <140 mg/dl

Pra-diabetes IFG atau IGT

100-125 mg/dl - - 149-199 mg/dl Diabetes ≥126 mg ≥200 mg/dl 2.1.4 Komplikasi

Jika tidak ditangani dengan baik, DM akan mengakibatkan timbulnya komplikasi pada berbagai organ tubuh seperti mata, ginjal, jantung, pembuluh darah kaki, syaraf dan lain-lain. Dengan penanganan yang baik, diharapkan komplikasi kronik DM akan dapat di hambat perkembangannya.

Komplikasi kronik DM pada dasarnya terjadi pada semua pembuluh darah di tubuh. Komplikasi ini terbagi 2 yaitu komplikasi makrovaskular berupa penyakit jantung koroner, pembuluh darah kaki dan komplikasi mikrovaskular berupa retinopati, neuropati dan nefropati (Waspadji, 1996).

2.1.4.1 Diabetik Nefropati

Diabetik nefropati (DN) merupakan komplikasi mikrovaskular DM tipe 1 dan DM tipe 2. Pada sebagian penderita komplikasi ini akan berlanjut menjadi gagal ginjal terminal yang memerlukan terapi cuci darah atau cangkok ginjal. Untuk menegakkan diagnosis komplikasi DN akibat DM tipe 1 dan DM tipe 2 harus dicari manifestasi klinis yang menunjang penyakit dasarnya (diabetes) maupun komplikasi yang ditimbulkannya (DN) (Roesli R dkk, 2001).

2.1.5 Terapi

Penatalaksanaan diabetes mempunyai tujuan untuk menurunkan morbiditas dan mortalitas DM, yang secara spesifik ditujukan untuk mencapai 2 target utama, yaitu: menjaga agar kadar glukosa plasma berada dalam kisaran normal dan mencegah atau meminimalkan kemungkinan terjadinya komplikasi diabetes.

Pada dasarnya ada dua pendekatan dalam penatalaksanaan diabetes, yang pertama pendekatan tanpa obat dan yang kedua adalah pendekatan dengan obat. Dalam penatalaksanaan DM, langkah pertama yang harus dilakukan adalah penatalaksanaan tanpa obat berupa pengaturan diet dan olahraga. Apabila dengan langkah pertama ini tujuan penatalaksanaan belum tercapai, dapat dikombinasikan dengan langkah farmakologis berupa terapi insulin atau terapi obat hipoglikemik oral, atau kombinasi keduanya (Depkes, 2005).

a. Terapi Insulin

Insulin dihasilkan oleh sel β pulau langerhans pankreas. Pankreas mengandung sel-sel yang terdiri atas sel alfa yang menghasilkan hormon glukagon, sel beta menghasilkan insulin, sel D menghasilkan somatostatin dan sel PP menghasilkan pancreatic polypeptide (Tjay dan Rahardja, 2002).

Pada prinsipnya, sekresi insulin dikendalikan oleh tubuh untuk menstabilkan kadar glukosa darah. Apabila kadar glukosa di dalam darah tinggi, sekresi insulin akan meningkat. Sebaliknya, apabila kadar glukosa darah rendah, maka sekresi insulin juga akan menurun. Dalam keadaan normal, kadar gula darah di bawah 80 mg/dl akan menyebabkan sekresi insulin menjadi sangat rendah (Depkes, 2005).

Tabel 2.2 Jenis – jenis Insulin Berdasarkan Mulai dan Masa Kerja Jenis Insulin Mulai Kerja

(jam)

Puncak Efek (jam)

Lama Kerja (jam)

Masa kerja Singkat

(Shortacting/

Insulin), disebut juga insulin

Reguler

0,5 1-4 6-8

Kerja sedang 1 - 2 6-12 18-24

Kerja sedang mulai kerja cepat

0,5 4-15 18-24

Kerja lama 4 - 6 14-20 24-36

b. Terapi Obat Hipoglikemik Oral

Obat-obat hipoglikemik oral terutama ditujukan untuk membantu penanganan pasien DM Tipe II. Pemilihan obat hipoglikemik oral yang tepat sangat menentukan keberhasilan terapi diabetes. Bergantung pada tingkat keparahan penyakit dan kondisi pasien, farmakoterapi obat hipoglikemik oral dapat dilakukan dengan menggunakan satu jenis obat atau kombinasi dari dua jenis obat. Pemilihan dan penentuan regimen obat hipoglikemik oral yang digunakan harus mempertimbangkan tingkat keparahan diabetes (tingkat glikemia) serta kondisi kesehatan pasien secara umum termasuk penyakit-penyakit lain dan komplikasi yang ada (Depkes, 2005).

Penggolongan obat hipoglikemik oral dan mekanisme kerjanya dapat dilihat pada Tabel 2.3.

Tabel 2.3 Penggolongan Obat Hipoglikemik Oral

Golongan Contoh Senyawa Mekanisme Kerja

Sulfonilurea Gliburida/Glibenklamida Glipizida

Glikazida Glimepirida Glikuidon

Merangsang sekresi insulin di kelenjar pankreas, sehingga hanya efektif pada penderita diabetes yang sel-sel β pankreasnya masih berfungsi dengan baik

Meglitinida Repaglinide Merangsang sekresi insulin di kelenjar pankreas

Turunan fenilalanin

Nateglinide Meningkatkan kecepatan sintesis insulin oleh pankreas

Biguanida Metformin Bekerja langsung pada hati (hepar), menurunkan produksi glukosa hati. Tidak merangsang sekresi insulin oleh kelenjar pankreas.

Tiazolidindion Rosiglitazone Troglitazone Pioglitazone

Meningkatkan kepekaan tubuh terhadap insulin. Berikatan dengan PPARγ (peroxisome proliferator activated receptor-gamma) di otot, jaringan lemak, dan hati untuk menurunkan resistensi insulin

Inhibitor α- glukosidase

Acarbose Miglitol

Menghambat kerja enzim-enzim pencenaan yang mencerna karbohidrat, sehingga memperlambat absorpsi glukosa ke dalam darah

2.2 Ginjal 2.2.1 Definisi

Ginjal adalah suatu kelenjar yang terletak di bagian belakang kavum abdominalis di belakang peritonium pada kedua sisi vertebrata lumbalis III, melekat langsung pada dinding belakang abdomen. Bentuk ginjal seperti biji kacang, jumlahnya ada dua buah yaitu bagian kiri dan kanan, ginjal kiri lebih besar dari ginjal kanan (Syaifuddin, 2006).

2.2.2 Fungsi Ginjal

a. Mengatur volume air (cairan) dalam tubuh. Kelebihan air dalam tubuh akan diekskresikan oleh ginjal sebagai urin yang encer dalam jumlah besar, kekurangan air menyebabkan urin yang diekskresi berkurang dan konsentrasinya lebih pekat sehingga susunan dan volume cairan tubuh dapat dipertahanan relatif normal.

b. Mengatur keseimbangan osmotik dan mempertahankan keseimbangan ion yang optimal dalam plasma (keseimbangan elektrolit).

c. Mengatur keseimbangan asam basa cairan tubuh.

d. Ekskresi sisa hasil metabolisme (ureum, asam urat, kreatinin) zat-zat toksik, obat-obatan, hasil metabolisme hemoglobin dan bahan kimia asing (pestisida).

e. Fungsi hormonal dan metabolisme. Ginjal mensekresikan hormon renin yang mempunyai peranan penting mengatur tekanan darah (sistem renin angiotensin aldosteron) membentuk eritropoeisis mempunyai peranan penting untuk memproses pembentukan sel darah merah (eritropoesis) (Aslam, 2003, Pearce, 2006 dan Syaifuddin, 2006).

2.3 Gagal Ginjal Kronik 2.3.1 Definisi

Gagal ginjal kronik (GGK) adalah suatu sindrom klinis yang disebabkan penurunan fungsi ginjal yang bersifat menahun, berlangsung progresif dan cukup lanjut. Hal ini terjadi apabila laju filtrasi glomerural (LFG) kurang dari 50ml/menit. GGK sesuai dengan tahapannya, dapat ringan, sedang atau berat. Gagal ginjal tahap akhir (end stage) atau gagal ginjal terminal adalah tingkat

gagal ginjal yang mengakibatkan kematian kecuali jika dilakukan terapi pengganti ginjal (Suhardjono dkk, 2001).

Batasan penyakit ginjal kronik dapat dilihat sebagai berikut:

a. Kerusakan ginjal yang terjadi lebih dari 3 bulan, berupa kelainan struktural atau fungsional, dengan atau tanpa penurunan laju filtrasi glomerulus (LFG), dengan manifestasi: Kelainan patologis dan terdapat tanda kelainan ginjal, termasuk kelainan dalam komposisi darah atau urin, atau kelainan dalam tes pencitraan (imaging tests).

b. Laju filtrasi glomerulus (LFG) kurang dari 60 ml/menit/1,73m2

Pada pasien dengan penyakit ginjal kronik, klasifikasi stadium didasarkan atas dasar derajat penyakit (stage), dibuat berdasarkan nilai LFG, yang dihitung dengan menggunakan rumus Kockcroft-Gault sebagai berikut:

selama 3 bulan, dengan atau tanpa kerusakan ginjal.

LFG (ml/menit/1,73m2) = (140 – umur) x Berat Badan (kg) * 72 x Kreatinin Plama (mg/dl)

)

*)

Klasifikasi penyakit gagal ginjal kronik didasarkan atas dasar derajat (stage) penyakit (Sudoyo, 2007), dapat dilihat pada Tabel 2.2 di bawah ini.

pada perempuan dikalikan 0,85

Tabel 2.4 Klasifikasi Penyakit Ginjal Kronik Didasarkan Atas Dasar Derajat

Penyakit

Stage Penjelasan LFG (ml/menit/1,73m2)

1 Kerusakan ginjal dengan LFG normal

atau meningkat ≥ 90

2 Kerusakan ginjal dengan penurunan LFG

ringan 60 – 89

3 Kerusakan ginjal dengan penurunan LFG

sedang 30 – 59

4 Kerusakan ginjal dengan penurunan LFG

berat 15 – 29

2.3.2 Patofisiologi

Etiologi penyakit ginjal kronik ini sangat bervariasi antara satu negara dengan negara lain. Tabel 2.5 di bawah ini menunjukkan penyebab utama dan insiden penyakit gagal ginjal kronik di Amerika Serikat (Sudoyo, dkk., 2007).

Tabel 2.5 Penyebab Utama Penyakit Gagal Ginjal Kronik di Amerika Serikat

Penyebab Insiden

Diabetes mellitus 44%

Hipertensi dan penyakit pembuluh darah besar 27%

Glomerulonefritis 10%

Nefritis interstitialis 4%

Kista dan penyakit bawaan lain 3% Penyakit sistemik (misal, lupus dan vaskulitis) 2%

Neoplasma 2%

Tidak diketahui 4%

Penyakit lain 4%

Patofisiologi penyakit ginjal kronik pada awalnya tergantung pada penyakit yang mendasarinya, tapi dalam perkembangan selanjutnya proses yang terjadi kurang lebih sama. Pengurangan massa ginjal mengakibatkan hipertrofi struktural dan fungsional nefron yang masih tersisa sebagai upaya kompensasi, yang diperantai oleh molekul vasoaktif seperti sitokin dan growth factors. Hal ini mengakibatkan terjadinya hiperfiltrasi, yang diikuti oleh peningkatan tekanan kapiler dan aliran darah glomerulus. Proses adaptasi ini berlangsung singkat, yang akhirnya diikuti proses maladaptasi berupa sklerosis nefron yang masih tersisa. Proses ini akhirnya diikuti dengan penurunan fungsi nefron yang progresif, walaupun penyakit dasarnya sudah tidak aktif. Adanya peningkatan aktivitas sistem renin-angiotensin-aldosteron intrarenal, ikut memberikan kontribusi terhadap terjadinya hiperfiltrasi, sklerosis dan progresifitas tersebut. Aktivitas jangka panjang sistem renin-angiotensin-aldosteron, sebagian diperantarai oleh

progresifitas penyakit ginjal kronik adalah albuminuria, hipertensi, hiperglikemia, dislipidemia. Terdapat variabilitas interindividual untuk terjadinya sklerosis dan fibrosis glomerulus maupun tubulointerstisial (Sudoyo, 2007).

2.3.3 Penegakan Diagnosis

Menurut Sudoyo gambaran klinis pada penyakit ginjal kronik meliputi: a. Sesuai dengan penyakit yang mendasari seperti DM, infeksi traktus urinarius,

batu traktus urinarius, hipertensi, hiperurisemia, lupus eritomatosus sistemik (LES) dan lain sebagainya.

b. Sindroma uremia, yang terdiri dari lemah, lethargi, anoreksia, mual, muntah, nokturia, kelebihan volume cairan (volume overload), neuropati perifer, pruritus, uremic frost, perikarditis, kejang-kejang sampai koma.

c. Gejala komplikasinya antara lain, hipertensi, anemia, osteodistrofi renal, payah jantung, asidosis metabolik, gangguan keseimbangan elektrolit (sodium, kalium, klorida).

Gambaran hasil laboratorium penyakit ginjal kronik meliputi: a. Sesuai dengan penyakit yang mendasarinya.

b. Penurunan fungsi ginjal berupa peningkatan kadar ureum dan kreatinin serum, dan penurunan LFG yang dihitung menggunakan rumus

Kockcroft-Gault.

c. Kelainan biokimiawi darah meliputi penurunan kadar hemoglobin, peningkatan kadar kadar asam urat, hiper atau hipokalemia, hiponatremia, hiper atau hipokloremia, hiperfosfatemia, hipokalsemia, asidosis metabolik. d. Kelainan urinalisis meliputi, proteinuria, hematuria, leukosuria, cast,

Gambaran pemeriksaan radiologis penyakit ginjal kronik meliputi: a. Foto polos abdomen, tampak batu radio-opak.

b. Pielografi intravena jarang dikerjakan, karena kontras sering tidak bisa melewati filter glomerulus, di samping kekhawatiran terjadinya pengaruh toksik oleh kontras terhadap ginjal yang sudah mengalami kerusakan.

c. Pielografi antegrad atau retrograde dilakukan sesuai dengan indikasi.

d. Ultrasonografi ginjal bisa memperlihatkan ukuran ginjal yang mengecil, korteks yang menipis, adanya hidronefrosis atau batu ginjal, kista, massa e. Pemeriksaan renografi dikerjakan bila ada indikasi.

2.3.4 Terapi

Penatalaksanaan terapi pada penyakit ginjal kronik meliputi: a. Terapi spesifik terhadap penyakit dasarnya

Waktu yang paling tepat untuk terapi penyakit dasarnya adalah sebelum terjadinya penurunan laju filtrasi glomerulus (LFG), sehingga pemburukan fungsi ginjal tidak terjadi. Pada ukuran ginjal yang masih normal secara ultrasonografi, biopsi dan pemeriksaan histopatologi ginjal dapat menentukan indikasi yang tepat terhadap terapi spesifik. Sebaliknya, bila LFG sudah menurun sampai 20-30% dari normal, terapi terhadap penyakit dasar sudah tidak banyak bermanfaat.

b. Pencegahan dan terapi terhadap kondisi komorbid

Penting sekali untuk mengikuti dan mencatat kecepatan penurunan LFG pada pasien penyakit ginjal kronik. Hal ini untuk mengetahui kondisi komorbid yang dapat memperburuk keadaan pasien. Faktor-faktor komorbid ini antara lain, gangguan keseimbangan cairan, hipertensi tidak terkontrol, infeksi

traktus urinarius, obstruksi traktus urinarius, obat-obat nefrotoksik, bahan radiokontras, atau peningkatan aktivitas penyakit dasarnya.

c. Menghambat perburukan (progression) fungsi ginjal

Faktor utama penyebab perburukan fungsi ginjal adalah terjadinya hiperfiltrasi glomerulus. Dua cara penting untuk mengurangi hiperfiltrasi glomerulus ini adalah pembatasan asupan protein. Pembatasan asupan protein mulai dilakukan pada LFG ≤ 60 ml/menit, sedangkan di atas nilai tersebut pembatasan asupan protein tidak selalu dianjurkan. Protein diberikan 0,6-0,8/kgBB/hari, yang 0,35-0,50 gram diantaranya merupakan protein nilai biologi tinggi. Jumlah kalori yang diberikan sebesar 30-35 kkal/kgBB/hari, dibutuhkan pemantauan yang teratur terhadap status nutrisi pasien. Bila terjadi malnutrisi, jumlah asupan kalori dan protein dapat ditingkatkan. Berbeda dengan lemak dan karbohidrat, kelebihan protein tidak disimpan dalam tubuh tetapi dipecah menjadi urea dan substansi nitrogen lain, yang terutrama diekskresikan melalui ginjal. Selain itu, makanan tinggi protein yang mengandung ion hidrogen, posfat, sulfat dan ion anorganik lain juga diekskresikan melalui ginjal. Oleh karena itu, pemberian diet tinggi protein pada pasien penyakit ginjal kronik akan mengakibatkan penimbunan substansi nitrogen dan ion anorganik lain, dan mengakibatkan gangguan klinis dan metabolik yang disebut uremia. Dengan demikian, pembatasan asupan protein akan mengakibatkan berkurangnya sindrom uremik. Masalah penting lain adalah asupan protein berlebih akan meningkatkan perubahan hemodinamik ginjal berupa peningkatan aliran darah dan tekanan

intraglomerulus (intraglomerulus hyperfiltration), yang akan meningkatkan progresifitas pemburukan fungsi ginjal.

d. Pencegahan dan terapi terhadap penyakit kardiovaskular

Pencegahan dan terapi terhadap penyakit kardiovaskular merupakan hal yang penting, karena 40-45% kematian pada penyakit ginjal kronik disebabkan oleh penyakit kardiovaskular. Hal-hal yang termasuk dalam pencegahan dan terapi penyakit kardiovaskular adalah pengendalian diabetes, pengendalian hipertensi, pengendalian dislipidemia, pengendalian anemia, pengendalian hiperfosfatemia dan terapi terhadap kelebihan cairan dan gangguan keseimbangan elektrolit. Semua ini terkait dengan pencegahan dan terapi terhadap komplikasi penyakit ginjal kronik secara keseluruhan.

e. Pencegahan dan terapi terhadap komplikasi

Penyakit ginjal kronik mengakibatkan berbagai komplikasi yang manifestasinya sesuai dengan derajat penurunan fungsi ginjal yang terjadi. Komplikasi penyakit ginjal kronik dapat dilihat pada Tabel 2.6 di bawah ini.

Tabel 2.6 Komplikasi Penyakit Ginjal Kronik

Stage Penjelasan LFG (ml/menit) Komplikasi

1 LFG normal ≥ 90 _

2 Penurunan LFG ringan

60 – 89 Tekanan darah mulai

meningkat 3 Penurunan LFG sedang 30 – 59 - Hiperfosfatemia - Hipokalsemia - Anemia - Hiperparatiroid - Hipertensi - Hiperchomosistinemia 4 Penurunan LFG berat 15 – 29 - Malnutrisi - Asidosis metabolik - Cenderung hiperkalemia - Dislipidemia

5 Gagal ginjal < 15 - Gagal jantung - Uremia

f. Terapi pengganti

Terapi pengganti ginjal dilakukan pada penyakit ginjal kronik, yaitu pada LFG kurang dari 15ml/menit. Terapi pengganti tersebut dapat berupa hemodialisis, peritoneal dialysis dan transplantasi ginjal (Sudoyo, 2007).

BAB III

PENATALAKSANAAN UMUM

3.1 Identitas Pasien

Nama : S

Nomor MR : 00.91.58.76

Umur : 63 tahun 0 bulan 19 hari Jenis Kelamin : Laki-laki

Tanggal Lahir : 25 Maret 1951

Agama : Islam

Berat Badan : 47 kg Tinggi Badan : 163 cm

Ruangan : XXI Penyakit Dalam Pria/ Asoka I Pembayaran : Non PBI – JKN Kelas III

Tanggal Masuk : 13 April 2014 pukul 19.42 WIB

3.2 Ringkasan Pada Waktu Pasien Masuk RSUD Dr.Pirngadi Medan

Pasien masuk ke RSUD Dr.Pirngadi melalui instalasi gawat darurat (IGD), pada tanggal 13 April 2014 pukul 19.42 WIB yang kemudian dirujuk ke Rawat Inap Asoka I, ruang XXI Penyakit Dalam Pria. Pasien datang dengan keluhan nyeri ulu hati, mual, muntah, BAB sedikit dan jarang yang dirasakan sejak 2 bulan ini. Isi muntahan adalah makanan dan minuman yang dikonsumsi. Pasien merasa BAK sedikit, warnanya jernih tetapi tidak kuning. Pasien diketahui memiliki riwayat penyakit diabetes melitus dalam 15 tahun terakhir dan penyakit hipertensi dalam 2 bulan terakhir ini, dengan kadar gula darah (KGD) pernah mencapai 500

mg/dl dan tekanan darah sistolik tertinggi pernah mencapai 180 mmHg. Namun pasien tidak melakukan kontrol dan tidak minum obat dengan teratur.

Hasil pemeriksaan fisik yang dilakukan yaitu :

Sensorium : Compos Mentis (sadar penuh) Tekanan darah (TD) : 110/70 mmHg

Heart Rate (HR) : 88 kali/menit Respiratory Rate (RR) : 24 kali/menit Temperatur (T) : 36,50C

3.3 Pemeriksaan

Selama dirawat di RSUD Dr.Pirngadi, pasien menjalani beberapa pemeriksaan, seperti pemeriksaan fisik, beberapa pemeriksaan laboratorium patologi klinik seperti pemeriksaan hematologi, urin rutin, kimia klinik seperti

Dokumen terkait