• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II. LANDASAN TEORI

A. WORK FAMILY CONFLICT

waktu bekerja yang lama, komitmen terhadap keluarga, jadwal bekerja, tuntutan pekerjaan yang tinggi, persepsi individu, pengaruh gender, anggota keluarga yang tidak mendukung, keinginan untuk memiliki waktu luang, dan masalah pribadi. Di

sisi lain, Bellavia dan Frone (2005) menjelaskan terdapat tiga faktor yang dapat mempengaruhi work family conflict, yaitu: individu (general intra individual predictors), peran keluarga (family role predictors), dan peran pekerjaan (work role predictors). Faktor individu berasal dari kepribadian dan ciri demografis seseorang seperti jenis kelamin, status keluarga, dan usia anak. Sedangkan, peran keluarga terdiri dari pembagian waktu untuk pekerjaan dikeluarga dan stressor dari keluarga. Peran pekerjaan adalah pembagian waktu, stressor dari pekerjaan, karakteristik pekerjaan, karakteristik tempat kerja, jumlah tugas yang harus dikerjakan, dan dukungan sosial dari atasan dan rekan kerja.

Ketika seorang individu mengalami suatu masalah, individu cenderung tidak mampu untuk mengatasi masalahnya sendiri. Pada saat itulah, individu membutuhkan dukungan dari orang lain untuk membantu memecahkan masalahnya (Baron & Byrne, 2005). Sarason (dalam Baron & Byrne, 2005) menyatakan bahwa dukungan sosial adalah kenyamanan secara fisik dan psikologis yang diberikan oleh orang lain. Dukungan sosial juga mengacu pada kenyamanan, perhatian, penghargaan, atau bantuan yang diberikan orang lain atau kelompok kepada individu (Sarafino, 2011). Argyle (dalam Yahya, 2005) menyebutkan tiga sumber utama dukungan sosial yaitu dukungan keluarga (terutama pasangan), dukungan rekan kerja, dan dukungan supervisor. Dukungan keluarga merupakan sikap, tindakan, dan penerimaan keluarga terhadap anggota keluargannya, berupa dukungan informasional, dukungan penilaian, dukungan instrumental dan dukungan emosional (Friedman, 2010). Dukungan rekan kerja berupa perilaku dari rekan kerja yang saling membantu dalam menyelesaikan tugas mereka dengan berbagi pengetahuan dan keahlian serta memberikan dorongan dan dukungan (Zhou & George, 2001). Sedangkan, dukungan supervisor merupakan bentuk dukungan organisasi yang

bersifat informal (Hammer, Kossek, Anger, Bodner, & Zimmerman, 2011). Dukungan supervisor dapat membantu karyawan dalam menyeimbangkan peran antara pekerjaan dan keluarga (Hammer, Kossek, Yragui, Bodner, & Hanson, 2009).

Dari berbagai sumber dukungan sosial, supervisor support merupakan bentuk dukungan sosial terbaik untuk kehidupan kerja karyawan (Yahya, 2005). Dalam lingkungan kerja, supervisor lebih sering berinteraksi dengan karyawannya dan memiliki wewenang formal untuk menentukan beban kerja serta mempengaruhi perilaku karyawan (Allen dalam Pan & Yeh, 2012). Schmelz (dalam Yahya, 2005) menemukan bahwa dukungan yang berasal dari supervisor dapat meringankan stres, mengurangi intensitas withdrawal behavior, dan meningkatkan produktivitas karyawan. Berkaitan dengan pemecahan masalah di tempat kerja, dukungan dari supervisor juga lebih baik daripada dukungan dari rekan kerja dan anggota keluarga. Jika supervisor membantu bawahan mereka agar dapat melakukan pekerjaan dengan lancar dan mendukung mereka dalam menyeimbangkan peran keluarga dengan baik, maka karyawan dapat meminimalisir terjadinya work family conflict sehingga dapat membawa hasil yang baik bagi organisasi. Selain itu, peran supervisor dalam budaya kolektif juga dianggap penting karena tidak hanya memberikan dukungan secara profesional tetapi juga dukungan pribadi (Hassan, 2010; Spector, 2004; Thein, 2010; Yang, 2000, dalam Nurhidayati, 2014).

Persepsi terhadap dukungan lebih penting dibandingkan dengan penilaian obyektif karena persepsi mempengaruhi penilaian kognitif terhadap situasi (Glazer, 2006). Perceived supervisor support (PSS) merupakan sejauh mana karyawan membentuk kesan terhadap atasan mereka bahwa atasan mereka menghargai kontribusi, mendukung, dan peduli dengan kesejahteraan mereka (Eisenberger, Stinglhamber, Vandenberghe, Sucharski, & Rhoades, 2002). Karyawan yang

diperlakukan secara baik oleh organisasi cenderung menunjukkan sikap yang baik juga terhadap organisasi (Meyer & Allen, 1991). Levinson (1965) menambahkan, karena supervisor merupakan agen dari organisasi, maka karyawan yang memiliki PSS positif cenderung menunjukkan sikap yang positif terhadap organisasi.

Berdasarkan pemaparan di atas, peneliti ingin mengetahui apakah perceived supervisor support dan work family conflict memiliki hubungan langsung. Peneliti juga belum menemukan penelitian antara perceived supervisor support dan work family conflict di Indonesia. Hal tersebut membuat peneliti tertarik untuk mengetahui apakah terdapat hubungan antara perceived supervisor support dan work family conflict pada ibu bekerja.

B. RUMUSAN MASALAH

Rumusan masalah dalam penelitian adalah “apakah terdapat hubungan antara perceived supervisor support dan work family conflict pada ibu bekerja?”

C. TUJUAN PENELITIAN

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui adanya hubungan antara perceived supervisor support dan work family conflict pada ibu bekerja.

D. MANFAAT PENELITIAN 1. Manfaat Teoritis

Hasil penelitian ini diharapkan mampu memberikan sumbangan informasi pada bidang Psikologi Industri, khususnya mengenai perceived supervisor support dan work family conflict pada ibu bekerja.

2. Manfaat Praktis a. Bagi Subjek

Penelitian ini diharapkan mampu memberikan informasi dan pemahaman mengenai perceived supervisor support dan work family conflict pada ibu bekerja.

b. Bagi Instansi

Penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai bahan pertimbangan dalam membuat atau memperbaharui peraturan atau kebijakan di instansi terkait, khususnya yang berkaitan dengan perceived supervisor support dan work family conflict.

10

BAB II

LANDASAN TEORI

A. WORK FAMILY CONFLICT 1. Definisi Work Family Conflict

Konsep work family conflict didasarkan pada teori peran yang dikemukakan oleh Kahn, Wolfe, Quinn, Snoek, dan Rosenthal (1964) dalam Greenhaus dan Beutell, 1985. Kahn et al. meneliti orang-orang yang mengalami konflik antara peran pekerjaan dan peran kehidupan lainnya. Kahn et al. mengemukakan bahwa work family conflict terjadi ketika tuntutan dari pekerjaan dan keluarga saling bertentangan satu sama lain. Greenhaus dan Beutell (1985) kemudian mengembangkan definisi work family conflict menjadi suatu bentuk konflik antar peran (inter-role conflict) dimana tuntutan dari pekerjaan dan keluarga saling bertentangan sehingga partisipasi dalam satu peran (pekerjaan atau keluarga) lebih sulit karena partisipasi dalam peran lainnya (keluarga atau pekerjaan).

Lebih lanjut, Frone et al. (1992) mengkonseptualisasikan work family conflict sebagai konstruksi dua arah yaitu work interfering with family (W F conflict) dan family interfering with work (F W conflict). Bellavia dan Frone (2005) menjelaskan istilah tersebut mempunyai arti yang sama. Work interfering with family (WIF) berarti work-to-family conflict (WFC), sedangkan family interfering with work (FIW) berarti family-to-work conflict (FWC). Netemeyer et al. (1996) mendefinisikan work family conflict merupakan bentuk konflik antar peran (inter-role conflict) dimana tuntutan umum, waktu khusus, dan ketegangan

yang dihasilkan oleh pekerjaan mengganggu kemampuan seseorang untuk melakukan tanggung jawab yang berkaitan dengan keluarga. Tuntutan umum sebuah peran mengacu pada tanggung jawab, kebutuhan, harapan, tugas, dan komitmen yang terkait dengan peran tertentu. Greenhaus, Parasuraman, Granrose, Rabinowitz, dan Beutell (dalam Aboobaker, Edward, & Pramatha, 2017) menambahkan work family conflict merupakan konflik yang terjadi ketika pengalaman di tempat kerja mengganggu kehidupan keluarga, seperti jam kerja yang kaku, beban kerja berlebih, stres kerja, konflik interpersonal di tempat kerja, perjalanan kerja, transisi karir, supervisor atau organisasi yang tidak mengakomodasi.

Berdasarkan uraian diatas, dapat disimpulkan bahwa work family conflict adalah suatu bentuk konflik antar peran (inter-role conflict) yang terjadi ketika seseorang berusaha untuk menyeimbangkan peran antara pekerjaan dan kelurga yang disebabkan oleh berbagai tuntutan pekerjaan sehingga mengganggu peran dan tanggung jawab dalam keluarga. Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan definisi dari Netemeyer et al. (1996) yang mendefinisikan work family conflict sebagai bentuk konflik antar peran (inter-role conflict) dimana tuntutan umum, waktu khusus, dan ketegangan yang dihasilkan oleh pekerjaan mengganggu kemampuan seseorang untuk melakukan tanggung jawab yang berkaitan dengan keluarga.

2. Dimensi dan Pengukuran Work Family Conflict

Menurut Greenhaus dan Beutell (1985), work family conflict terdiri dari tiga dimensi, yaitu (1) Time-Based Conflict, (2) Strain-Based Conflict, dan (3) Behavior-Based Conflict. Time-based conflict merupakan konflik yang terjadi ketika waktu yang dibutuhkan untuk memenuhi satu tuntutan dapat mengurangi waktu untuk memenuhi tuntutan yang lain. Konflik ini biasanya terjadi pada karyawan dengan jam kerja panjang, banyak bepergian, sering bekerja lembur, dan tidak memiliki jadwal yang fleksibel. Strain-based conflict merupakan konflik yang terjadi ketika tekanan dari salah satu peran mempengaruhi kinerja peran lain sehingga sulit untuk memenuhi tuntutan dari peran lain. Konflik ini biasanya terjadi pada karyawan yang mengalami konflik atau ambiguitas peran kerja, yang menghadapi banyak tekanan fisik, emosional atau tuntutan kerja mental. Sedangkan, behavior-based conflict adalah konflik yang terjadi ketika pola perilaku tertentu efektif untuk satu peran tetapi tidak sesuai dengan peran yang lain. Konflik ini biasa terjadi pada orang yang sulit beradaptasi pada saat ia memasuki peran baru.

Carlson, Michele, dan Larry (2000) mengukur work family conflict dengan menggunakan respon dari para karyawan yang bekerja menggunakan tiga dimensi konflik yang sudah dijelaskan pada paragraf diatas, yaitu time based conflict, strain based conflict dan behavior based conflict. Skala Carlson et al. memiliki 18 item yang terdiri dari dari 3 item time-based work interference with family, 3 item time-based family interference with work, 3 item strain-based work interference with family, 3 item strain-based family interference with work, 3 item behavior work interference with family, dan 3 item behavior family interference

with work. Reliabilitas dari skala ini dilihat dari masing-masing dimensi dengan time-based WFC sebesar 0,87; time-based FWC 0,79; strain based WFC 0,85; strain-based FWC 0,87; behavior-based WFC 0,78; dan behavior based FWC 0,85. Sedangkan, validitas skala ini sebesar 0,24 sampai 0,83.

Bruck, Allen, dan Spector (2002) menggunakan skala milik Carlson et al. (2000) dalam penelitian mereka mengenai “The Relation between Work–Family Conflict and Job Satisfaction: A Finer-Grained Analysis”. Dalam penelitian tersebut, skala milik Carlson et al. memiliki reliabilitas yang tergolong baik yaitu 0,79 sampai 0,89. Godek (2012) juga menggunakan skala milik Carlson et al. dalam penelitiannya mengenai “Work-Family Conflict and the Perception of Departmental and Institutional Work-Family Policies in Collegiate Athletic Trainers”. Dalam penelitiannya, skala milik Carlson et al. memiliki reliabilitas yang tergolong baik yaitu 0,869.

3. Faktor yang Mempengaruhi Work Family Conflict

Greenhaus dan Beutell (1985) menjelaskan terdapat dua faktor yang mempengaruhi work family conflict, yaitu work related sources of conflict dan family related sources of conflict. Work related sources of conflict adalah konflik yang disebabkan oleh pekerjaan, seperti banyaknya jam kerja dalam seminggu, jumlah dan frekuensi lembur, jadwal kerja yang tidak fleksibel, dukungan atasan, dukungan rekan kerja, tuntutan pekerjaan, dan perubahan lingkungan kerja. Sedangkan, family related sources of conflict merupakan konflik yang disebabkan oleh pekerjaan, seperti pernikahan, jumlah anak, usia anak, tanggung jawab dalam mengasuh anak, jumlah keluarga yang banyak, dan dukungan pasangan.

Byron (2005) menambahkan, work family conflict dipengaruhi oleh tiga factor yaitu work domain, non-work domain, dan individual and demographic domain. Work domain merupakan konflik yang disebabkan oleh faktor pekerjaan dan tempat kerja, seperti keterlibatan dalam pekerjaan, lama bekerja, dukungan pekerjaan, fleksibilitas jadwal kerja dan stres kerja. Non-work domain adalah konflik yang disebabkan oleh faktor keluarga dan faktor lain di luar faktor pekerjaan, seperti keterlibatan dalam keluarga, dukungan keluarga, stres keluarga, konflik keluarga, jumlah anak, usia anak, pekerjaan rumah tangga, dan status pernikahan. Sedangkan, individual and demographic domain merupakan konflik yang disebabkan oleh kepribadian, tingkah laku dan individual differences, seperti seks, usia, pendapatan, dan cara coping.

Berdasarkan pemaparan di atas, dapat disimpulkan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi work family conflict adalah work domain, family/non-work domain, dan individual and demographic domain.

4. Dampak Work Family Conflict

Work family conflict yang tinggi dapat berdampak pada individual well-being, attitudinal, dan behavior (Mihelic & Tekavcic, 2014). Individual well-being terdiri dari disfungsional kesehatan fisik (hipertensi, obesitas, kolesterol tinggi, dan gangguan tidur) dan psikologis individu (perilaku depresif, kelelahan emosi, gangguan mood, gangguan kecemasan, dan burnout). Mihelic dan Tekavcic menambahkan, work family conflict juga dapat berdampak pada attitudinal sehingga merugikan organisasi. Hal ini dapat terjadi karena work family conflict memunculkan perubahan sikap individu terkait dengan pekerjaan

dan organisasi serta hubungan dengan anggota keluarga. Work family conflict yang tinggi dapat menurunkan tingkat kepuasan kerja, kualitas kerja, dan komitmen organisasi. Work family conflict juga dapat menyebabkan perubahan sikap yang tidak berhubungan dengan pekerjaan, seperti kepuasan hidup rendah, family distress, kepuasan terhadap keluarga rendah, dan kepuasan pernikahan rendah.

Menurut Mihelic dan Tekavcic, work family conflict juga berdampak pada behavior individu. Ketidakmampuan dalam menyeimbangkan tuntutan pekerjaan dan keluarga dapat mempengaruhi pola perilaku individu di tingkat organisasi. Work family conflict yang tinggi dapat menyebabkan rendahnya performansi kerja, tingginya turn over, dan tingginya tingkat absensi.

Berdasarkan pemaparan tersebut, dapat disimpulkan bahwa work family conflict dapat memberikan dampak terhadap individual well-being, attitudinal, dan behavioral.

B. PERCEIVED SUPERVISOR SUPPORT

Dokumen terkait