• Tidak ada hasil yang ditemukan

Fatwa DSN-MUI NO: 3/DSN-MUI/IX/2000 tentang Uang Muka dalam Murabahah

B. al-Murabahah 1.Pengertian1.Pengertian

2) Fatwa DSN-MUI NO: 3/DSN-MUI/IX/2000 tentang Uang Muka dalam Murabahah

Untuk menunjukkan kesungguhan nasabah dalam meminta pembiayaan murabahah maka LKS dapat meminta uang muka kepada nasabah.

Demi menjaga agar tidak ada pihak yang dirugikan dalam pembiayaan murabahah dengan uang muka, dan agar tetap sesuai

dengan ketentuan Syariah DSN-MUI mengeluarkan Fatwa tetang uang muka dalam murabahah.

Terdapat 5 (lima) ketentuan umum tentang uang muka dalam murabahah:

a) Dalam akad pembiayaan murabahah, Lembaga KeuanganSyari’ah (LKS) dibolehkan untuk meminta uang muka apabila kedua belah pihak bersepakat.

b) Besar jumlah uang muka ditentukan berdasarkan kesepakatan. c) Jika nasabah membatalkan akad murabahah, nasabah harus

memberikan ganti rugi kepada LKS dari uang muka tersebut. d) Jika jumlah uang muka lebih kecil dari kerugian, LKS dapat

meminta tambahan kepada nasabah.

e) Jika jumlah uang muka lebih besar dari kerugian, LKS harus mengembalikan kelebihannya kepada nasabah.

Dari fatwa tersebut diketahui bahwa dibolehkan adanya uang muka pada akad pembiayaan murabahah dengan syarat harus ditentukan berdasarkan kesepakatan kedua beleh pihak.

3) Fatwa DSN No. 16/DSN-MUI/IX/200 Tentang Diskon dalam Murabahah

Dalam prakek pembiayaan murabahah biasanya bank (penjual) biasanya memperoleh diskon dari supplier, sehingga timbul permasalahan apakah diskon tersebut milik nasabah ataw milik bank.

Untuk memperoleh kepastian hukum DSN-MUI menetapkan fatwa tentang diskon tersebut.

Terdapat lima ketentuan umum yang menyangkut diskon tersebut:

a) Harga (tsaman) dalam jual beli adalah suatu jumlah yang disepakati oleh kedua belah pihak, baik sama dengan nilai (qîmah) benda yang menjadi obyek jual beli, lebih tinggi maupun lebih rendah.

b) Harga dalam jual beli murabahah adalah harga beli dan biaya yang diperlukan ditambah keuntungan sesuai dengan kesepakatan.

c) Jika dalam jual beli murabahah LKS mendapat diskon dari supplier, harga sebenarnya adalah harga setelah diskon; karena itu, diskon adalah hak nasabah.

d) Jika pemberian diskon terjadi setelah akad, pembagian diskon tersebut dilakukan berdasarkan perjanjian (per-setujuan) yang dimuat dalam akad.

e) Dalam akad, pembagian diskon setelah akad hendaklah diperjanjikan dan ditandatangani.

Dengan demikian dapat kita ketahui bahwa diskon merupakan hak nasabah dan jika pembagiannnya setelah akad, maka hendaklah dimuat dalam akad perjanjian tersebut.

4) Fatwa DSN No. 23/DSN-MUI/III/2002 tentang Potongan Pelunasan Dalam Murabahah

Dalam peraktik pembiayaan murabahah, biasanya pembayaran dilakukan dengan cicilan atau berdasarkan kurun waktu tertentu yang disepakati, maka nasabah yang melakukan pembayaran cicillan dengan tepat waktu dapat diberi penghargaan, sedangkan nasabah yang mengalami penurunan kemampuan pembayaran cicilan dapat diberi keringanan.

Dalam menanggapi hal ini, DSN-MUI menetapkan fatwa tetang potongan pelunasan cicilan murabahah, terdapat tiga ketentuan tentang hal tersebut:

1) LKS boleh memberikan potongan dari total kewajiban pembayaran kepada nasabah dalam transaksi (akad) murabahah yang telah melakukan kewajiban pembayaran cicilan dengan tepat waktu dan nasabah yang mengalami penurunan kemampuan pembayaran.

2) Besar potongan sebagaimana dimaksud di atas diserahkan kepada kebijakan LKS.

3) Pemberian potongan tidak boleh diperjajikan dalam akad.

5) Fatwa DSN NO. 17/DSN-MU/IX/2000 tetang Saksi Atas Nasabah Mampu yang Menunda-nunda Pembayaran

Banyaknya kebutuhan masyarakat terhadap pembiayaan dari Lembaga Keuangan Syariah haruslah didukung dengan kedisipilnan

nasabah mampu dalam pembayaran cicilan dan tidak menunda-nunda pembayaran pada waktu yang telah ditentukan sesuai kesepakatan.

Dalam menanggapi permintaan masyarkat dalam hal ini pihak LKS, DSN menentukan dan menetapkan fatwa tetang sanksi terhadap nasabah mampu yang menunda-nunda pembayaran sesuai dengan prinsip syariah.

a) Sanksi yang disebut dalam fatwa ini adalah saksi yang dikenakan LKS kepada nasabah yang mampu membayar, tetapi menunda-nunda pembayaran dengan sengaja.

b) Nasabah yang tidak/ belum mampu membayar disebabkan force majeur tidak boleh dikenakan sanksi.

c) Nasabah mampu yang menunda-nunda pembayaran dan/atau tidak mempunyai kemauan dan itikad baik untuk membayar hutangnya boleh dikenakan sanksi.

d) Sanksi didasarkan pada prinsip ta’zir, yaitu bertujuan agar nasabah lebih disiplin dalam melaksanakan kewajibannya.

e) Sanksi dapat berupa denda sejumlah uang yang besarnya ditentukan atas dasar kesepakatan dan dibuat saat akad ditandatangani.

f) Dana yang berasal dari denda dperuntukkan sebagai dana sosial. 6) Fatwa DSN No. 47/DSN-MUI/II/2005 tentang Penyelesaian

Dalam menanggapi kasus cicilan yang tidak dapat dilunasi oleh nasabah tidak mampu, maka DSN-MUI memandang perlu memberikan kepastian hukum tentang masalah tersebut sesuai dengan Syariat Islam.

Diantara dasar Hukum yang dipakai DSN-MUI dalam menetapkan hal ini antara lain:

a) Firman Allah SWT QS. Al-Baqarah ayat 280:

)

ﺮ ﻟا

ة

:

٢ ٠

(

Artinya: “Dan jika (orang berhutang itu) dalam kesukaran, maka berilah tangguh samapai dia berkelapangan. Dan menyedekahkan (sebagian atau semua utang) itu lebih baik bagimu, jika kamu mengetahui.”

b) Hadis Nabi yang diriwatkan oleh Muslim:

ج

آ

ﺑﺔ

آ

ب

ﺪﻟا

ﺎﻴ

ﻓ ،

ج

ﷲا

آ

ﺑﺔ

آ

ب

م

ﻟا

ﺎﻴ

و ،

ﷲا

ن

ﻟا

دﺎ

ما

ﻟا

ن

أ

)

ﻢ ﺴ اور

(

Artinya: “ Orang yang melepaskan seorang muslim dari kesulitannya di dunia, Allah akan melepaskan kesulitannya di hari kiamat; dan Allah senantiasa menolong hamba-Nya selama ia (suka) menolong saudaranya”.

Dari ayat dan Hadis diatas menerangkan, bahwa betapa pentingnya memberikan kemudahan bagi orang yang dalam

kesempitan dan kesusahan, sehinga orang yang dalam kesulitan tadi terbantu.

Dalam Fatwa ini, DSN-MUI menetapkan Ketentuan Penyelesaian yaitu; “LKS boleh melakukan Penyelesaian murabahah bagi nasabah yang tidak bias menyelesaikan/ melunasi pembiayaannya sesuai jumlah dan waktu yang telah disepakati, dengan ketentuan:

a) Obyek murabahah atau jaminan lainnya dijual oleh nasabah kepada atau melalui LKS dengan harga pasar yang disepakati; b) Nasabah melunasi sisa hutangnya kepada LKS dari hasil

penjualan;

c) Apabila hasil penjualan melebihi sisa hutang maka LKS mengembalikan sisanya kepada Nasbah;

d) Apabila hasil penjualan lebih kecil dari sisa hutang maksa sisa hutang tetap menjadi hutang nasabah;

e) Apabila nasabah tidak mampu membayar sisa hutangnya, maka LKS dapat membebaskannya.”

7) Fatwa DSN No. 48/DSN-MUI/II/2005 tentang Penjadwalan Kembali Tagihan Murabahah

Penurunan kemampuan nasabah dalam pembayaran cicilan dapat saja terjadi, maka bank dapat memberikan keringan bagi nasabah yang mengalami penurunan kemampuan pembayaran.

Keringan yang akan diberikan oleh bank, harus diwujudkan dengan cara yang sesuai dengan tuntuan dan prinsip-prinsip ajaran islam.

Dewan Syariah Nasional menetapkan ketentuan tentang Penjadwalan Kembali Tagihan Murabahah yaitu, “LKS boleh melakukan Penjadwalan kembali (rescheduling) tagihan murabahah bagi nasabah yang tidak bisa menyelesaikan/melunasi pembiayaannya sesuai jumlah dan waktu yang telah disepakati, dengan ketentuan: a) Tidak menambah jumlah tagihan yang tersisa;

b) Pembebanan biaya dalam proses penjadwalan kembali adalah biaya riil;

c) Perpanjangan masa pembayaran harus berdasarkan kesepakatan kedua belah pihak.”

Sebagai mana disebutkan diatas bahwa nasabah yang mengalami penurunan kemampuan dalam pembayaran cicilan, sebaiknya diberikan keringan dengan penjadwalan kembali tagihan yang harus dilunasinya. Bank tidak dapat menentukan biaya atau panjangan masa pembayaran secara sepihak, tetapi harus merupakan kesepakatan kedua belah pihak.

8) Fatwa DSN NO. 49/DSN-MUI/II/2005 tentang Konversi Akad Murabahah.

Dalam memberikan keringan bagi nasabah yang mengalami spenurunan kemampuan pembayaran cicilan dapat juga dilakukan dalam bentuk konversi dengan membuat akad baru dalam pembayaran kewajiban;

DSN-MUI menetapkan bahwa “LKS boleh melakukan konversi dengan membuat akad (membuat akad baru) bagi nasabah yang tidak bisa menyelesaikan/melunasi pembiayaan murabahahnya sesuai jumlah dan waktu yang telah disepakati, tetapi ia masih prospektif dengan ketentuan:

a) Akad Murabahah dihentikan dengan cara:

a.1. obyek murabahah dijual oleh nasabah kepada LKS dengan harga pasar;

a.2. Nasabah melunasi sisa hutangnya kepada LKS dari hasil penjualan;

a.3. Apabila hasil penjualan melebihi sisa hutang maka kelebihan itu dapat dijadikan uang muka untuk akad ijarah atau bagian modal dari mudharabah dan musyarakah.

a.4. Apabila hasil penjualan lebih kecil dari sisa hutang maka sisa hutang tetap menjadi hutang nasabah yang cara pelunasannya disepakati antara LKS dan Nasabah.

b) LKS dan nasabah eks-murabahah tersebut dapat membuat akad baru dengan akad:

b.1. Ijarah Muntahiyah bit Tamlik atas barang tersebut di atas dengan merujuk kepada fatwa DSN No. 27/DSN-MUI/III/2002 tentang al-Ijarah al-Muntahiyah bi al-Tamlik. b.2. Mudharabah dengan merujuk kepada fatwa DSN No.

07/DSN-MUI/IV/2000 Tentang Pembiayaan Mudharabah (Qiradh); atau

b.3. Musyarakah dengan merujuk kepada fatwa DSN No. 08/DSN-MUI/IV/2000 tentang Pembiayaan Musyarakah.”

Pada setiap fatwa yang di keluarkan DSN-MUI, di akhiri dengan ketentuan penutup “ Jika salah satu pihak tidak menunaikan kewajibannya atau jika terjadi perselisihan di antara para pihak-pihak terkait, maka penyelesaiannya dilakukan melalui Badan Arbitrase Syariah Nasional setelah tidak tercapai kesepakatan melalui musyawarah.” Dari pernyataan ini dapat dilihat bahwa, bila terjadi perselisihan antara para pihak, terlebih dahulu diselesaikan dengan musyawarah.

b. Peraturan Bank Indonesia

Peraturan Bank Indonesia (PBI) adalah peraturan yang dikeluarkan oleh Bank Indonesia untuk mengawasi dan membina semua bank yang berbadan hukum Indonesia atau beroperasi di Indonesia.37

37

Dalam pasal 7 ayat (4) UU No. 10 Tahun 2004 ditegaskan bahwa peraturan yang dikeluarkan lembaga Negara lain, seperti Bank Indonesia, yang bersifat mengatur mempunyai kekuatan hukum selama diperintahkan oleh peraturan perundang-undangan yang dalam hal ini oleh UUD, UU, Perpu, PP, dan Perpres. Dengan begitu, maka peraturan lembaga Negara, seperti PBI, tidak boleh berdiri sendiri, melainkan harus merujuk atau melasanakan perintah dari salah satu hierarki di atas.

Dengan Pengesahan UU Perbankan Syariah, maka keberadaan PBI yang mengatur Perbankan Syariah semakin kuat, karena diperintahkan oleh UU yang secara khusus mengatur Perbankan Syariah, bukan diperintahkan UU yang mengatur perbankan secara umum sebagaimana terjadi sebelumnya.

Peraturan Bank Indonesia yang berkaitan dengan Pembiayaan Murabahah antara lain:

1) Peraturan Bank Indonesia Nomor: 7/6/PBI/2005 Tentang

Dokumen terkait