• Tidak ada hasil yang ditemukan

Analisis akad pembiayaan murabahah terhadap Hotel Natama Padangsidempuan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Analisis akad pembiayaan murabahah terhadap Hotel Natama Padangsidempuan"

Copied!
113
0
0

Teks penuh

(1)

Skripsi

Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Ekonomi Syariah (SE. Sy)

Oleh:

IMAM ABDUL HADI NIM : 106046101638

KONSENTRASI PERBANKAN SYARIAH

PROGRAM STUDI MUAMALAT (EKONOMI ISLAM)

FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA

(2)

Skripsi

Diajukan kepada Fakultas Syariah dan Hukum untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh

Gelar Sarjana Ekonomi Syariah (SE. Sy)

Oleh:

IMAM ABDUL HADI NIM : 106046101638

Di Bawah Bimbingan

Prof. Dr. H. Muhammad Amin Suma, SH, MA, MM NIP : 195505051982031012

KONSENTRASI PERBANKAN SYARIAH

PROGRAM STUDI MUAMALAT

FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA

(3)

Skripsi berjudul ANALISIS AKAD PEMBIAYAAN MURABAHAH TERHADAP HOTEL NATAMA PADANGSIDIMPUAN telah diujikan dalam Sidang Munaqasyah Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta pada 2 September 2010. Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Ekonomi Islam (SE.Sy) pada Program Studi Muamalat (Ekonomi Islam).

Jakarta 2 September 2010S

Mengesahkan,

Dekan Fakultas Syariah dan Hukum

Prof.DR.H.Muhammad Amin Suma,SH,MA,MM NIP.195505051982031012

PANITIA UJIAN

1. Ketua : Euis Amalia,M.Ag (………..)

NIP. 197107011998032002

2. Sekretaris : Ah.Azharuddin Lathif,M.Ag (……...)

NIP. 197407252001121001

3. Pembimbing I : Prof.DR.H.Muhammad Amin Suma,SH,MA,MM (………..)

NIP. 195505051982031012

4. Penguji I : Ah.Azharuddin Lathif,M.Ag (………..)

NIP. 197407252001121001

5. Penguji II : Wiwi Ma’sum,M.A (………..)

(4)

KATA PENGANTAR

ﻢﻴﺣﺮﻟا

ﻦﻤﺣﺮﻟا

ﷲا

ﻢﺴﺑ

Alhamdulillahi rabbil ‘alamin, yang Maha Mengetahui apa yang ada di langit

dan di bumi. Puji dan syukur hanya kepada-Mu ya Allah SWT, yang telah

melimpahkan nikmat dan rahmat serta hidayah kepada hamba untuk menikmati

indahnya ilmu dan pengetahuan yang Kau berikan. Dengan izin dan rahmat-Mu

hamba dapat menyelesaikan penulisan skripsi ini.

Sholawat dan salam kepada Nabi besar Muhammad SAW yang membawa

al-Qur’an dan hadis kepada ummatnya, untuk menjadi tuntunan hidup dalam mencapai

kebaikan di dunia dan di akhirat.

Perkenankan penulis mengucapkan terimakasih kepada pihak-pihak yang

telah membantu penulis dalam menyelesaikan tulisan ini, berkat masukan, bimbingan

dan dorongan semangat kepada penulis, akhirnya penulis dapat menyelsaikan skripsi

ini, diantaranya:

1. Prof. Dr. H. Muhammad Amin Suma, SH, MA, MM, Dekan Fakultas Syariah dan

Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta serta Dosen Pembimbing yang telah

meluangkan waktu untuk memberikan arahan dan bimbingan serta nasihat kepada

penulis.

2. Dr. Euis Amalia, M.Ag., Ketua Program Studi Muamalat dan H. Ah. Azharuddin

Lathif, M.Ag MH., Sekretaris Program Studi Muamalat.

(5)

3. Seluruh Dosen serta segenap Civitas Akademi Fakultas Syariah dan Hukum UIN

Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah memberikan ilmu dan pengetahuan yang

semoga berguna dan bermafaat bagi penulis dan masyarakat.

4. Pimpinan serta staff Perpustakaan Fakultas Syariah dan Hukum dan Perpustakaan

Utama UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

5. Bapak Ali Hasyim Siregar, SE sebagai manager hotel Natama Padangsidimpuan,

Ibu Deliani, dan seluruh staf, karyawan Natama Hotel Padangsidimpuan yang

telah memberikan dukungan dan bantuan dalam penulisan skripsi ini.

6. Kepada Ayahanda (Drs. H. Ahmad Syaukani) dan Ibunda (Hj. Farida Hanum

Mtd) tercinta yang telah memberikan segala kasih dan sayang kepada penulis,

memberikan dukungan moril maupun materil serta do’anya yang selalu

mengiringi setiap langkah penulis, hingga dapat menyelesaikan skripsi ini,

terimakasih Ayah, terimaksih Umak.

7. Untuk kakakku Sri Ramadhani, abangku Yasir Ahmadi, serta adik-adikku

tersayang Nur Akmal Hayati dan Ati Naili Azmi. Terimakasih atas dukungan dan

doanya selama ini.

8. Untuk dinda tersayang, terimakasih atas setiap dorongan semangat dan selalau

mengingatkan penulis, hingga akhirnya skripsi ini dapat selesai.

9. Untuk Uak Basrah dan keluarga, Fuad, Fadli, nantulang dan nenek tersayang

terimakasih atas segala doa, dukungan dan bantuannya.

(6)

iii

10.Untuk teman-teman di kos-kosan, Bang Dirman, Bang Rosyid, Bang Anwar,

Cheppy, Lukman, Suharto, Fai, yang selalu memberi semangat. Dan teman-teman

di IKA-DM Jakarta, Zul Hamdi, Rifai, dkk, tetap semangat dan kompak.

11.Untuk Korps tercinta Menwa Wira Dharma UIN Jakarta, para senior,

teman-teman satu Angkata Mahakam, Hafiz, Mahatir dan Tety yang sama-sama

menajalani hari-hari indah di kesatrian. Serta adik-adik yang akan melanjutakan

perjuangan korps kedepannya.

12.Untuk teman-teman di PS A 2005, Syarif, Erhans, Dadi, Keny, Ridho, Rizki,

Armis, Saumi, Ishak, dkk. Terimakasih atas bantuan dan semangat

persaudaraannya selama ini.

13.Untuk teman-teman di Rental ex-tention, tetap semangat dan kompak, Lalith,

Daus, Achong, Furqo, Irfan, ubay, didin, bu evha, febri, santi, dkk trimaksih

teman.

Jakarta, Juli 2010

(7)

KATA PENGANTAR ... i

DAFTAR ISI ... iv

BAB I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah... 1

B. Pembatasan dan Perumusan Masalah ... 4

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ... 4

D. Tinjauan Kajian Terdahulu ... 5

E. Kerangka Teori dan Konseptual ... 7

F. Metode Penelitian ... 9

G. Sistematika Penulisan ... 12

BAB II. LANDASAN TEORI A. Akad Menurut Hukum Islam ... 14

B. al-Murabahah ... 34

C. Dasar Hukum Murabahah Pada Perbankan Syariah ... BAB III. GAMBARAN UMUM NATAMA HOTEL DAN PT. BANK SYARIAH MANDIRI. A. Gambaran Umum Natama Hotel Padangsidimpuan ... 62 B. Gambaran Umum Bank Syariah Mandiri ...

(8)

v

MANDIRI DENGAN HOTEL NATAMA PADANGSIDIMPUAN

A. Bentuk Pembiayaan Murabahah terhadap Hotel Natama

Padangsidimpuan ... B. Isi Akad Murabahah... C. Analisis Proses Pencapaian Akad Murabahah ... D. Analisi Isi Akad Murabaha ... BAB V. PENUTUP

(9)

A. Akad

1. Pengertian Akad

Akad (al-‘aqd, jamaknya al-‘Uqud) secara bahasa berarti al- Rabth: “ikatan, mengikat ”

و

ه

ﻓﺮ

و

ﻦﻴ

ه

و

ا

ه

ﺎﺑ

آ

و

ﺣا

ﺪة

.

al-Rabth, yaitu menghimpun atau mengumpulkan dua ujung tali dan mengikatkan salah satu pada yang lainnya hingga keduanyan bersambung dan

menjadi seperti seutas tali yang satu.” 1

Selain itu al-qur’an juga menggunakan kata ‘aqd (jamaknya al-uqud) dengan pengertian sumpah seperti terdapat pada surat al-Nisa ayat 33.

Dalam terminologi Hukum Islam akad di defenisikan dengan:

ا

ر

طﺎ

ا

بﺎ

لﻮ

و

عو

ا

Artinya: “akad adalah pertalian antara ijab dengan qobul yang dibenarkan secara syara’ yang menimbulkan akibat hukum terhadap objeknya”2

1

Ghufron A. Mas’adi, Fiqih Muamalah Kontekstua (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2002), h. 75

2

Mas’adi, Fiqih Muamalah, h. 76

(10)

Kemudian menurut istilah Fuqaha akadialah:

ا

ر

ا

طﺎ

بﺎ

لﻮ

و

عو

ﻟا

ا

ض

Artinya: “Perikatan antara ijab dengan qabul yang dibenarkan secara syara’ yang menetapkan keridhoan kedua belah pihak.”3

Pengertian akad juga dapat dijumpai dalam Peraturan Bank Indonesia

Nomor 10/16/PBI/2008 Perubahan Atas Peraturan Bank Indonesia Nomor

9/19/PBI/2007 tentang Pelaksanaan Prinsip Syariah Dalam Kegiatan

Penghimpunan Dana dan Penyaluran Dana serta Pelayanan Jasa Bank

Syariah. Dalam Ketentuan Pasal 1 ayat 7 dikemukakan bahwa akad adalah

Kesepakatan tertulis yang memuat ijab (penawaran) dan qabul (penerimaan) antara bank dengan pihak lain yang berisi hak dan kewajiban masing-masing

pihak sesuai dengan prinsip syariah.

Terdapat pula pakar yang mendefenisikan akad sebagai suatu

perbuatan yang sengaja dibuat oleh dua orang berdasarkan kesepakatan atau

kerelaan bersama.4

Dalam Hukum Islam istilah kontrak tidak dibedakan dengan

perjanjian, keduanya identik disebut akad. Sehingga dalam hal ini penulis

membuat kesimpulan bahwa akad merupakan kesepakatan bersama baik lisan,

isyarat ataupun tulisan dua pihak atau lebih dengan kata lain mempertemukan

antara ijab yang di nyatakan salah satu pihak dengan kabul dari pihak lainnya

3

Hasbi, Pengantar Fiqih Muamalah, h. 33

4

(11)

yang sesuai dengan syara’ yang menimbulkan akibat hukum terhadap objeknya.

2. Asas-asas Akad

Asas berasal dari bahasa Arab “asasun” yang berarti dasar, basis, dan fondasi. Dalam kamus “al-Mawrid”, ususun diartikan dengan fundamentals, basic,5 Secara terminologi, asas adalah dasar atau sesuatu yang menjadi tumpuan berpikir atau berpedapat,6 yaitu kebenaran yang menjadi pokok

dasar berpikir, bertindak, dan sebagainya.7 Mohammad Daud Ali,

mengartikan asas apabila dihubungkan dengan kata hukum adalah kebenaran yang dipergunakan sebagai tumpuan berpikir dan alasan pendapat, terutama,

dalam penegakan dan pelaksaan hukum.8

Kaitannya dengan Hukum Perikatan Islam, dalam perjanjian ada

beberapa asas yang melandasi akad, yaitu:

a. Asas Ibahah (Mabda’ al-Ibahah)

Asas ibahah adalah asas umum hukum Islam dalam bidang

muamalat secara umum. Asas ini dirumuskan dalam kaidah fiqih dalam

bidang muamalat “Pada asasnya segala sesuatu itu boleh dilakukan

5

Rohi Baalbaki, al-Mawrid. (Lebanon: Dar El-ILM Lilmalayin, 1991) h.80

6

Departemen Pendidikan Nasional. Kamus BesarBahasa Indonesia,ed. 3. (Jakarta: Balai Pustaka.2002) h. 70

7

Ibid., h. 896

8

(12)

sampai ada dalil yang melarangnya.”9 Asas ini merupakan kebalikan dari asas yang berlaku dalam masalah ibadah. Dalam hukum Islam, untuk

tindakan-tindakan ibadah berlaku asas bahwa bentuk-bentuk ibadah yang

sah adalah bentuk-bentuk yang disebutkan dalam dalil-dalil Syariah.

Bila kita kaitkan dengan tindakan hukum, khususnya perjajian,

maka ini berarti bahwa tindakan hukum dan perjanjian apa pun dapat

dibuat sejauh tidak ada larangan khusus mengenai perjajian itu.

b. Asas Kebebasan Berakad (Mabda’ Hurriyah at-Ta’aqud)

Hukum Islam mengakui kebebasan berakad, yaitu suatu prinsip

hukum yang menyatakan bahwa setiap orang dapat membuat akad jenis

apapun, bentuk dan isi akad tersebut dapat dibuat sesuai dengan

kebutuhan dan kehendak pihak-pihak yang berakad. Apabila akad tersebut

telah disepakati bentuk dan isinya maka perjanjian tersebut mengikat

pihak-pihak yang telah bersepakat dan harus dilaksanakan segala hak dan

kewajibannya. Namun kebebebasan ini tidak mutlak, sepanjang tidak

bertentangan dengan syariat Islam, maka perjajian itu dapat dilaksanakan.

Menurut Fathurrahman Djamil bahwa “Syariat Islam memberikan

kebebasan pada setiap orang yang melakuakan akad sesuai dengan yang

diinginkan, tetapi yang menentukan syarat sahnya adalah ajaran agama”.10

9

Syamsul Anwar, Hukum Perjanjian Syariah, h. 84

10

(13)

Asas kebebasan dalam berakad dalam hukum Islam antara lain

barlandaskan pada QS: al-Maidah ayat 1

)

ةﺪﺋﺎﻤﻟا

:

(

Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, penuhilah aqad-aqad itu...

Kemudian pada Sabda Nabi Saw., “Orang-orang Muslim itu senantiasa setia kepada syarat-syarat (janji-janji) mereka.”11

Hadis ini menunjukkan bahwa syarat-syarat atau janji-janji apa

saja dapat dibuat dan wajib dipenuhi. Terhadap hadis ini al-Kasani (w.

587/1190) memberi penjelasan, zahir hadis ini menyatakan wajibnya

memenuhi setiap perjanjian selain yang dikecualikan oleh suatu dalil,

karena hadis ini menuntut setiap orang untuk setia kepada janjinya, dan

kesetiaan kepada janji itu adalah dengan memenuhi janji tersebut. Asasnya

adalah bahwa setiap tindakan hukum seseorang terjadi menurut yang ia

kehendaki apabila ia adalah orang yang cakap untuk melakukan tindakan

tersebut, objeknya dapat menerima tindakan dimaksud, dan orang

bersangkutan mempunyai kewenangan dalam tindakan itu.

c. Asas Konsensualisme (Mabda’ ar-Radhaiyyah)

Asas Konsensualisme adalah asas yang menyatakan bahwa segala

transaksi yang dilakukan harus berdasarkan kerelaan antara

11

(14)

masing pihak, tidak boleh ada tekanan, paksaan, penipuan, dan mis-statement.

Salah satu dasar hukum adanya asas Konsensualisme yaitu

al-Qur’an Surat an-Nisa ayat 29:

)

ءﺎﺴ ﻟا

:

٢

(

Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang Berlaku dengan rela sama rela di antara kamu...”

Kata “rela sama rela” menunjukkan bahwa dalam bertransaksi

harus dilandasi dengan kerelaan dan kesepakatan. Selain itu dapat pula

dilihat dalam pasal 1320 ayat (1) KUH Perdata. Dalam pasal tersebut

ditentukan bahwa salah sau syarat sahnya suatu perjanjian yaitu adanya

kesepakatan kedua belah pihak.

d. Asas Janji itu Mengikat

Dalam al-Qur’an dan hadis terdapat banyak perintah agar

memenuhi janji. Dalam kaidah usul fikih, “perintah itu pada asasnya menunjukkan wajib”. Ini berarti bahwa janji itu mengikat dan wajib dipenuhi. Di antara ayat dan hadis dimaksud adalah QS: al-Isra, ayat 34 ,

(15)

janji itu akan dimintakan pertanggung jawabannya”). Begitu pula pada

hadis Nabi Saw yang menegaskan bahwa (“seorang muslim itu terikat

kepada janji-janjinya (klausul-klausulnya) kecuali perjanjian yang mengharamkan yang halal atau menghalalkan yang haram”).

ﻟا

ﻤﻟا

ﻤﻴ

إ

م

أ

و

أ

اﺮ

و

ﻤﻟا

ن

و

إ

م

أ

و

أ

اﺮ

.

)

ﺮ ﻟا

اور

فﻮ

ﻦﺑ

وﺮﻤ

يﺬـ

(

Artinya: “ Perdamaian dapat dilakukan di antara kaum muslimin kecuali perdamaian yang mengharamkan yang halal atau menghalalkan yang haram; dan kaum muslimin terikat dengan syarat-syarat mereka kecuali syarat yang mengharamkan yang halal atau menghalalkan yang haram.”

e. Asas Keseimbangan (Mabda’ at-Tawazun fi al-Mu’awadah)

Meskipun secara faktual jarang terjadi keseimbangan antara para

pihak dalam bertransaksi, namun hukum perjanjian Islam tetap

menekankan perlunya keseimbangan itu, baik keseimbangan antara apa

yang diberikan dengan apa yang diterima maupun keseimbangan dalam

memikul resiko.

f. Asas Kemaslahatan (Tidak Memberatkan)

Pada dasarnya asas kemaslahatan dimaksudkan agar akad yang

dibuat oleh para pihak bertujuan untuk mewujudkan kemaslahatan bagi

(16)

terjadi suatu perubahan keadaan yang tidak diketahui sebelumnya serta

membawa kerugian yang fatal bagi pihak yang bersangkutan sehingga

memberatkannya, maka kewajiban dapat diubah kepada batas yang masuk

akal.12

g. Asas Kejujuran dan Kebenaran (Ash-Shidq)

Yang dimaksud dengan asas ini, ialah dimana setiap pihak memiliki

iktikad baik dalam bertransaksi dengan pihak lainnya dan tidak dibenarkan

salah satu pihak mengeksploitasi ketidak tahuan mitranya. Jika kejujuran

ini tidak diterapkan dalam perikatan, maka akan rusak legalitas perikatan

itu sediri.13 Selain itu, bila ada ketidak jujuran dalam suatu perikatan maka

dapat menimbulkan perselisahan diantara para pihak yang berakad.

Berkaitan dengan kejujuran dan kebenaran Allah SWT berfirman

dalam QS. Al-Ahzab (33): 70

)

باﺰﺣﻷا

:

٠

(

Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kamu kepada Allah dan Katakanlah Perkataan yang benar.”

Ayat ini menjukkan perintah bagi kita untuk selalu

menyampaikan perkataan yang benar, dan memberikan informasi dengan

lengkap, tanpa ada hal yang ditutupi dalam bertransaksi untuk mengabil

keuntungan sepihak, dengan memanfaatkan ketidak tahuan orang lain.

12

Syamsul Anwar, Hukum Perjanjian Syariah, h. 90

13

(17)

h. Asas Tertulis (al-Kitabah)

Asas ini didasarkan pada firman Allah SWT dalam QS. al-Baqarah

(2): 282-283 yang didalamnya menganjurakan, hendaknya suatu perikatan

itu dilakukan dengan tertulis, disetai dengan para saksi, dan dengan

tanggung jawab individu kepada para pihak yang melakukan perikatan dan

para saksi. Selain itu dianjurakn pula bila ada transaksi yang dilakukan

tidak tunai, maka suatu benda dapat dipegang untuk dijadikan sebagai

jaminannya.

3. Unsur-unsur Akad

Telah disebutkan sebelumya, bahwa defenisi akad adalah pertalian

antara ijab dan kabul yang dibenarkan oleh syara’ yang menimbulkan akibat hukum terhadap objeknya. Dari defenisi diatas dapat kita ketahui 3 unsur yang

terkandung dalam akad yaitu:

a. Pertalian ijab dan kabul

Menurut az-Zarqa, Ijab adalah pernyataan pertama yang dikemukakan

oleh salah satu pihak, yang mengandung keinginan secara pasti untuk

mengikatkan diri yang mana pelakunya disebut dengan (mujib). Sedangkan kabul adalah pernyataan pihak lain setelah ijab yang

(18)

menyetujui kehendak mujib tersebut oleh pihak lain (qabil).14 Ijab dan kabul ini harus saling berkaitan dan bertalian.

b. Dibenarkan oleh syara’

Akad yang dilakukan tidak boleh bertentangan dengan hukum Islam, atau

hal-hal yang telah diatur oleh Allah SWT dalam al-Qur’an dan Nabi

Muhammad Saw dalam Hadis. Begitu pula dengan pelaksanaa akad,

tujuan akad, maupun objek akad tidak boleh bertentangan dengan

syariah. Jika terdapat hal yang bertentangan dengan syariah di dalam

akad tersebut maka akan mengakibatkan akad tersebut tidak sah.

c. Mempunyai akibat hukum terhadap objeknya

Dalam sebuah akad akan menimbulkan akibat hukum terhadap objek

hukum yang diperjanjikan oleh para pihak dan memberikan konsekwensi

hak dan kewajiban yang mengikat para pihak.15

4. Rukun dan Syarat Akad

Dalam ajaran Islam untuk sahnya suatu akad (perjajian), maka syarat

dan rukun akad tersebut harus dipenuhi. Secara bahasa, rukun adalah “yang

harus dipenuhi untuk sahnya suatu pekerjaan”16 sedangkan syarat adalah

“ketentuan (peraturan, petunjuk) yang harus di indahkan dan dilakukan.”17

14

Nasrun Harun, fiqih Muamalah, h. 98

15

Gemala Dewi, Hukum Perikatan Islam, h. 48

16

Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, h. 966

17

(19)

Dalam Syariah, rukun dan syarat sama-sama menentukan sah atau tidaknya

suatu transaksi. Secara defenisi, rukun adalah “suatu unsur yang merupakan

bagian tak terpisahkan dari suatu perbuatan atau lembaga yang menentukan

sah atau tidaknya perbuatan tersebut dan ada atau tidak adanya sesuatu itu”.

Defenisi syarat adalah “sesuatu yang tergantung padanya keberadaan hukum

syar’i dan ia berada di luar hukum itu sendiri, yang ketiadaannya menyebabkan hukum pun tidak ada.18 Menurut ulama Ushul Fiqih, perbedaan

antara rukun dan syarat adalah dimana rukun termasuk didalam hukum itu

sendiri, sedangkan syarat berada diluar hukum itu sendiri. Sebagai contoh

rukuk dan sujud dalam shalat, ia merupakan rukun shalat dan merupakan

bagian dari shalat itu sendir. Jika rukuk dan sujud tidak ada di dalam shalat

tersebut, maka shalat itu batal, tidak sah. Syarat shalat salah satunya adalah

wudu. Wudu merupakan bagian diluar shalat, tetapi dengan tidak adanaya

wudhu, shalat menjadi tidak sah.

a. Rukun Akad

Dalam penentuan rukun akad terdapat perbedaan dikalangan

ulama, Mazhab Hanafi berpendapat, bahwa rukun akad itu hanya satu

yaitu sighah al-aqd, sedangkan pihak-pihak yang berakad dan objek akad,

18

(20)

tidak termasuk rukun akad, tetapi syarat akad.19 Bagi mazhab Hanafi yang

dimaksud rukun akad adalah unsur-unsur pokok yang membentuk akad.

Akad sendiri adalah pertemuan kehendak para pihak dan kehendak itu

diungkapkan melalui pernyataan kehendak yang berupa ucapan atau

bentuk ungkapan lain dari masing-masing pihak. Oleh karena itu, unsur

pokok yang membentuk akad itu hanyalah pernyataan kehendak

masing-masing pihak berupa ijab dan kabul. Adapun para pihak dan objek akad

adalah unsur luar, tidak merupakan esensi akad, dan karena itu bukan

rukun akad. Namun mazhab ini mengakui bahwa unsur para pihak dan

objek itu harus ada untuk terbentuknya akad. Tetapi unsur-unsur itu

berada diluar akad, sehingga tidak dinamakan rukun.

Menurut jumhur fukaha, rukun akad terdiri dari 3 yaitu: pernyataan

untuk mengikatkan diri (sighah al-aqd), pihak-pihak yang berakad dan

objek akad.

Sedangkan menurut ahli-ahli hukum Islam kontemporer, rukun

yang membentuk akad itu ada empat, yaitu:

1). Para pihak yang membuat akad (al-‘aqidan)

2). Pernyataan kehendak para pihak (shigatul-‘aqd) 3). Objek akad (mahallul-‘aqd), dan

19

(21)

4). Tujuan akad (maudhu’al-aqd)20

Untuk terbentuknya suatu akad, maka unsur-unsur yang disebutkan

diatas harus terpenuhi. Sighah al-aqd merupakan rukun akad yang terpenting, karena melalui Sighah inilah diketahui maksud setiap pihak yang melakukan akad (transaksi). Sighah al-aqd dinyatakan melalui ijab dan kabul akad.21

b. Syarat Akad

Ulama fikih menetapkan beberapa syarat umum yang harus

dipenuhi oleh suatu akad. Di samaping itu, setiap akad juga memiliki

syarat-syarat khusus. Akad jual beli memiliki syarat-syarat tersendiri,

begitu juga akad yang lainnya. Namun, penulis akan mengkaji syarat

umum yang terdapat dalam akad.

Dari masing-masing rukun akad diatas terdapat syarat-syarat yang

harus terpenuhi sehingga rukun akad tersebut dapat berfungsi membentuk

akad. Tanpa adanya syarat-syarat yang dimaksud maka rukun akan tidak dapat

berfungsi dalam membentuk akad. Adapun syarat dari rukun-rukun tersebut

adalah:

1) Syarat bagi para pihak (al-‘aqidain)

20

Syamsul Anwar, Hukum Perjanjian Syariah, h.96.

21

(22)

Para pihak harus memenuhi syarat yaitu telah dipandang mampu

bertindak menurut hukum (mukallaf) dan telah cakap hukum.22 Para

pihak (subjek hukum) dapat berupa individu atau berupa badan hukum.

Sebagai Subjek hukum perorangan lebih rinci dapat kita

kemukakan syarat-syarat berikut:

a) Aqil (berakal)

Orang yang bertransaksi haruslah berakal sehat, bukan orang gila,

terganggu akalnya, ataupun kurang akalnya karena masih dibawah

umur, sehingga dapat mempertanggung jawabkan perbuatannya.

b) Tamyiz (dapat membedakan)

Orang yang bertransaksi haruslah dalam keadaan dapat membedakan

yang baik dan yang buruk, sebagai pertanda kesadarannya sewaktu

bertransaksi.

c) Mukhtar (bebas dari paksaan)

Syarat ini didasakan pada QS. an-Nisaa : 29 dan hadis Nabi

Muhammad SAW yang mengemukakan an-taradhin (rela-sama rela).

Dengan demikian para pihak yang harus bebas dalam bertransaksi,

lepas dari tekanan dan paksaan.

2) Syarat bagi pernyataan kehendak para pihak (shigatul-‘aqd)

22

(23)

Para ulama fiqih mensyaratkan tiga hal dalam melakukan ijab dan

kabul agar memiliki akibat hukum, yaitu sebagai berikut:23

a) Jala’ul ma’na, yaitu tujuan yang terkandung dalam pernyataan itu jelas, sehingga dapat dipahami jenis akad yang dikehendaki;

b) Tawaquf yaitu adanya kesesuaian antara ijab dan kabul; dan

c) Jazmul iradatain, yaitu antara ijab dan kabul menunjukkan kehendak para pihak secara pasti, tidak ragu, dan tidak terpaksa.

Ijab dan kabul dapat dalam bentuk perkataan, isyarat, perbuatan,

dan tulisan. Semua bentuk ijab dan kabul tersebut memiliki kekuatan

hukum yang sama.

3) Syarat bagi objek akad (mahallul-‘aqd)

Mahallu-‘aqd adalah sesuatu yang dijadikan objek dari suatu akad, dan terhadap objek tersebut akan terkena akibat hukum yang ditimbulkan

dari transaksi tersebut. Bentuk objek dapat berupa barang, seperti, mobil,

rumah, maupun benda-benda yang tidak berwujud, sperti manfaat. Dalam

hal ini terdapat pula syarat sehingga objek tersebut dianggap sah, yakni

sebagai berikut:

a) Objek perikatan telah ada ketika akad dilangsungkan, oleh karena itu

perikatan yang objeknya tidak ada adalah batal, seperti menjual hewan

yang masih di dalam perut induknya. Alasannya ialah, sebab hukum

dan akibat akad tidak mungkin bergantung terhadap sesuatu yang

23

(24)

belum ada. Namun hal ini terdapat pengecualian dalam akad tertentu,

seperti salam, ishtisna, dan musyaqah.

b) Objek perikatan harus dibenarkan oleh syariah. Pada dasarnya

benda-benda yang menjadi objek akad haruslah memikili manfaat dan nilai

bagi manusia, jika objek tersebut bertentangan dengan syariah maka

akad tersebut batal, misalnya objek tersebut harus suci, atau meskipun

terkena najis dapat dibersihkan kembali. Oleh sebab itu, akad tidak sah

bila diberlakukan terhadap objek yang najis secara dzati.24

c) Objek akad harus jelas dan dikenali. Suatu benda yang menjadi objek

akad haruslah jelas segala sesuatunya, hal ini bertujuan untuk

menghindari terjadinya kesalah pahaman para pihak yang dapat

menimbulkan sengketa. Jika objek tersebut berupa jasa maka harus

jelas sejauh mana kemampuan, keterampilan dan kepandaian pihak

yang memiliki keahlian tersebut. Agar masing-masing pihak

memahaminya. 25

d) Objek dapat diserah terimakan. Benda yang menjadi objek perikatan

harus dapat diserah terimakan pada saat akad terjadi atau pada waktu

yang disepakati. Tidak sah menjual barang yang tidak ada, atau ada

tetapi tidak bisa diserahterimakan. Karena yang demikian itu termasuk

24

Salah ash-Shawi dan Abdullah al-Mushlih, Fikih Ekonomi Keuangan Islam (Jakarta: Darul Haq, 2004), h.27-28.

25

(25)

gharar, dan itu dilarang.26 Jika objek berupa manfaat, maka pihak yang memiliki kewajiban harus melaksanakan jasa yang manfaatnya

dapat dirasakan oleh pihak yang lainnya, sesuai kesepakatan.

4) Syarat bagi tujuan akad (maudhu’ al-aqd)

Maudhu’ al-Aqd adalah tujuan dan hukum suatu akad disyariatkan untuk tujuan tersebut. Dalam hukum Islam, tujuan akad ditentukan oleh

Allah SWT dalam al-Qur’an dan Nabi Muhammad SAW dalam Hadis.27

Selama tujuan akad tersebut tidak bertentangan dengan syariah maka

akad tersebut dianggap sah.

Ahmad Azhar Basyir menentukan syarat-syarat yang harus

dipenuhi agar suatu tujuan akad dipandang sah dan mempunyai akibat

hukum, yaitu sebagai berikut:28 a) Tujuan akad tidak merupakan

kewajiban yang telah ada atas pihak-pihak yang bersangkutan tanpa akad

yang diadakan, b) tujuan akad harus berlangsung adanya hingga

berakhirnya pelaksanaan akad, dan c) tujuan akad harus dibenarkan

syariah.

26

Salah as-Shawi, Fikih Ekonomi, h. 28.

27

Gemala Dewi, Hukum Perikatan Islam, h.62

28

(26)

5. Macam-macam Akad

Ulama fikih mengemukakan bahwa akad dibagi dari berbagai segi.

Apabila dilihat dari segi keabsahannya menurut syarak, maka akad terbagi

dua.

a. Akad sahih, yaitu akad yang telah memenuhi rukun dan syaratnya.29

Hukum dari akad sahih ini adalah berlakunya seluruh akibat hukum yang

ditimbulkan akad tersebut dan mengikat bagi para pihak yang berakad.

Akad sahih ini dibagi lagi oleh ulama Mazhab Hanafi dan Mazhab Maliki

menjadi dua macam, yaitu:30

1) Akad yang nafiz (sempurna untuk dilaksanakan), yaitu akad yang dilangsungkan dengan memenuhi rukun dan syaratnya dan tidak ada

penghalang untuk melaksanakannya.

2) Akad mauquf, yaitu akad yang dilakukan seseorang yang cakap bertindak hukum, tetapi ia tidak memilki kekuasaan untuk

melangsungkan dan melaksanakan akad tersebut, seperti akad yang

dilakukan oleh anak kecil yang telah mumayyiz. Dalam kasus seperti

ini akad tersebut baru sah secara sempurna dan memiliki akibat hukum

apabila jual beli itu diizinkan oleh wali anak kecil tersebut.

29

M. Ali Hasan, Berbagai Macam Transaksi, h.110.

30

(27)

Lebih lanjut, jika dilihat dari sisi mengikat atau tidaknya akad sahih

tersebut, ulama fikih membaginya kepada dua macam, yaitu:31

1) Akad yang bersifat mengikat bagi pihak-pihak yang berakad, sehingga

salah satu pihak tidak boleh membatalkan akad tersebut tanpa seizin

pihak lain, seperti aka jual beli dan sewa-menyewa.

2) Akad yang tidak bersifat mengikat bagi pihak-pihak yang melakukan

akad, seperti dalam akad al-wakalah, ariah, dan al-wadi’ah.

b. Akad yang tidak sahih, yaitu akad yang terdapat kekurangan pada rukun

atau syaratnya, sehingga seluruh akibat hukum akad itu tidak berlaku dan

tidak mengikat para pihak yang berakad. Kemudian ulama Mazhab Hanafi

membagi akad yang tidak sahih ini menjadi dua macam, yaitu akad yang

batil dan akad yang fasid. 32

1) Akad batil. Suatu akad dikatakan batil apabila akad itu tidak

memenuhi salah satu rukunnya atau larangan langsung dari syarak.

Misalnya, terdapat unsur penipuan dll.

2) Akad fasid yaitu akad yang pada dasarnya disyariatkan, tetapi sifat

yang diakadkan itu tidak jelas. Misalnya, menjual kenderaan dengan

tidak menunjukkan tipe, jenis, dan merek kenderaan yang dijual,

sehingga menimbulkan perselisihan antara penjual dan pembeli. Jual

31

M. Ali Hasan, Berbagai Macam Transaksi, h.111.

32

(28)

beli seperti ini dapat dianggap sah apa bila unsur-unsur yang

menyebabkan fasidnya itu dihilangkan.

6. Berakhirnya Akad

Ulama Fikih menyatakan bahwa suatu akad dapat berakhir apabila

terjadi hal-hal berikut:33

a. Berakhirnya masa berlaku akad itu, apabila akad itu memiliki tenggang

waktu.

b. Dibatalkan oleh pihak-pihak yang berakad, apabila akad itu sifatnya tidak

mengikat.

c. Dalam akad yang bersifat mengikat, suatu akad dapat diaggap berakhir

jika: 1) akad itu fasid, seperti terdapat unsur-unsur tipuan salah satu rukun

atau syaratnya tidak terpenuhi; 2) berlakunya khiar syarat, khiar aib, atau

khiyar rukyah; 3) itu tidak dilaksanakan oleh salah satu pihak; dan 4)

tercapainya tujuan akad tesebut secara sempurna.

d. Wafatnya salah satu pihak yang berakad. Tetapi ulama fikih menyatakan

bahwa tidak semua akad otomatis berakhir dengan wafatnya salah satu

pihak yang melaksanakan akad. Akad yang dapat berakhir dengan

wafatnya salah satu pihak yang melaksanakan akad di antaranya adalah

akad sewa-menyewa, rahn, kafalah, syirkah, dll.

33

(29)

B. al-Murabahah 1. Pengertian

Secara bahasa, murabahah adalah bentuk mutual (bermakna: saling) dari kata ribh yang artinya keuntungan.34 Menurut terminologi, murabahah adalah akad jual beli barang dengan menyatakan harga perolehan dan

keuntungan (margin) yang disepakati oleh penjual dan pembeli. Dalam Kodifikasi Produk Perbankan Syariah, Murabahah adalah “Jual beli barang sebesar harga pokok barang ditambah dengan margin keuntungan yang disepakati”.

Akad ini merupakan salah satu bentuk natural certainty contracts, karena dalam murabahah ditentukan berapa required rate of profit-nya (keuntungan yang ingin diperoleh). 35

2. Rukun dan Syarat Murabahah

Sebelumnya penulis telah menjelaskan rukun dan syarat akad secara

umum, namun masing-masing akad memiliki syarat dan rukun yang khusus.

Pada akad murabahah rukunnya adalah:

a. Pelaku (penjual dan pembeli)

b. Shigat (lafal ijab dan kabul) c. Objek akad (barang dan harga)

34

Shalah ash-Shawi dan Abdullah al-Muslih, Fikih Ekonomi Keuangan Islam,

35

(30)

Adapun syarat yang menyangkut dengan rukun murabahah diatas tidak

jauh berbeda dengan syarat pada rukun akad secara umum, namun ada

beberapa syarat khusus yang harus dipenuhi akad murabahah antara lain:

a. Mengetahui Harga pokok

Harga beli awal (harga pokok) harus diketahui oleh pembeli kedua, karena

mengetahui harga merupakan salah satu syarat sahnya jual beli yang

menggunakan prinsip murabahah. Mengetahui harga merupakan syarat sahnya akad jual beli. Bila harga pokok tidak diketahui oleh pembeli maka

akad jual beli menjadi fasid (tidak sah). Pada praktek perbankan syariah, Bank dapat menunjukkan bukti pembelian obyek jual beli murabahah kepada nasabah, sehingga dengan bukti pembelian tersebut nasabah

mengetahui harga pokok Bank.

b. Mengetahui Keuntungan

Keuntungan seharusnya juga diketahui karena ia merupakan bagian dari harga. Keuntungan atau dalam praktek perbankan syariah sering disebut

dengan margin murabahah dapat dimusyawarahkan antara bank sebagai penjual dan nasabah sebagai pembeli, sehingga kedua belah pihak,

terutama nasabah dapat mengetahui keuntungan bank.

c. Harga pokok dapat dihitung dan diukur

Harga pokok harus dapat diukur, baik menggunakan takaran, timbangan

(31)

menggunakan ukuran awal, ataupun dengan ukuran yang berbeda, yang

penting bisa diukur dan di ketahui.

d. Jual beli murabahah tidak bercampur dengan transaksi yang mengandung riba.

e. Akad jual beli pertama harus sah. Bila akad pertama tidak sah maka jual

beli murabahah tidak boleh dilaksanakan. Karena murabahah adalah jual beli dengan harga pokok ditambah keuntungan, kalau jual beli pertama

tidak sah maka jual beli murabahah selanjutnya juga tidak sah. C. Dasar Hukum Murabahah dalam Perbankan Syariah

a. Fatwa Dewan Syariah Nasional

Salah satu sumber rujukan hukum tentang Undang-undang dan

Peraturan Perbankan Syariah adalah Fatwa DSN-MUI yang biasanya

digodok dan dikeluarkan oleh Dewan Syariah Nasional MUI (DSN MUI).

Sebagai lembaga yang menghimpun semua organisasi Islam yang ada di

Indonesia, Fatwa MUI dapat menjadi rujukan semua masyarakat muslim

di Indonesia.

Undang-undang Perbankan Syariah menentukan bahwa perincian

mengenai perinsip syariah difatwakan oleh MUI, yang kemudian

diupayakan menjadi PBI setelah melalui penggodokan di Komite

Perbankan Syariah yang dibentuk oleh Bank Indonesia, seperti terlihat

dalam pasal 26 UU Perbankan Syariah bahwa: (1) Kegiatan usaha

(32)

Prinsip Syariah; (2) Prinsip Syariah itu difatwakan oleh MUI; (3) Fatwa

MUI dituangkan dalam PBI; (4) Dalam rangka penyususnan PBI, Bank

Indonesia membentuk Komite Perbankan Syariah.36

Maka penulis menjadikan Fatwa DSN MUI sebagai salah satu

dasar hukum berlakunya Pembiayaan Murabahah pada Perbankan Syariah

Indonesia, antara lain:

1) Fatwa Dewan Syariah Nasional No: 04/DSN-MUI/IV/2000 Tentang Murabahah

Ada beberapa pertimbangan yang mengharuskan DSN-MUI

mengeluarkan fatwa tentang Murabahah, antara lain:

a) Karena kebutuhan ummat akan penyaluran dana dari bank dengan

prinsip jual beli.

b) Bahwa dalam rangka membantu masyrakat guna melangsungkan

dan meningkatkan kesejahteraan dan berbagai kegiatan, bank

syariah perlu memiliki fasilitas murabahah bagi yang

memerlukannya, yaitu menjual suatu barang dengan menegaskan

harga belinya kepada pembeli dan pembeli membayaranya dengan

harga yang lebih sebagai laba.

36

Zubairi Hasan, Undang-undang Perbankan Syariah (Titik Temu Hukum Islam dan Hukum Nasional), (Jakarta: Rajawali Pers, 2009) h. 26.

(33)

Berdasarkan alasan diatas DSN-MUI memandang perlu untuk

mengeluarkan fatwa tentang murabahah untuk dijadikan pedoman oleh

Bank Syariah.

Adapun landasan yang dijadikan acuan fatwa ini adalah:

a) Firman Allah SWT QS. al-Nisa ayat 29

...

)

ءﺎﺴ ﻟا

:

٢

(

Artinya: “ Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang Berlaku dengan suka sama-suka di antara kamu...

Firman Allah SWT QS. al-Baqarah ayat 275

...

...

)

ةﺮ ﻟا

:

٢ ٥

(

Artinya: “...Dan Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba..”

b) Hadist Nabi Muhammad SAW:

ا

ﻴﺪ

ﻟا

ر

ير

ﺿ

ﷲا

أ

ن

ر

لﻮ

ﷲا

و

ﷲا

لﺎ

:

إ

ﻟا

ضا

)

ﻦﺑاو

ﻬﻴ ﻟا

اور

نﺎ ﺣ

ﻦﺑا

و

(

(34)

DSN-MUI menetapkan Ketentuan Umum Murabahah dalam

Bank Syariah:

a) Bank dan Nasabah harus melakukan akad murabahah yang bebas riba.

b) Barang yang diperjualbelikan tidak diharamkan oleh syariah Islam.

c) Bank membiayai sebagian atau seluruh harga pembelian barang yang telah disepakati kualifikasinya.

d) Bank membeli barang yang diperlukan nasabah atas nama bank sendiri, dan pembelian ini harus sah dan bebas riba.

e) Bank harus menyampaikan semua hal yang berkaitan dengan pembelian, misalnya jika pembelian dilakukan secara hutang.

f) Bank kemudian menjual barang tersebut kepada nasabah (pembelian) dengan harga jual senilai harga beli plus kuntungannya. Dalam kaitan ini Bank harus memberitahu secara jujur harga pokok barang kepada nasabah berikut biaya yang diperlukan.

(35)

h) Untuk mencegah terjadinya penyalahgunaan atau kerusakan akad tersebut, pihak bank dapat mengadakan perjanjian khusus dengan nasabah.

i) Jika bank hendak mewakilkan kepada nasabah untuk membeli barang dari pihak ketiga, akad jual beli murabahah harus dilakukan setelah barang, secara prinsip, menjadi milik bank.

Disamping itu DSN-MUI menetapkan ketentuan Murabahah

kepada Nasabah:

a) Nasabah mengajukan permohonan dan janji pembelian suatu barang atau aset kepada bank.

b) Jika Bank menerima permohonan tersebut, ia harus membeli terlebih dahulu aset yang dipesannya asecara sah dengan pedagang.

c) Bank kemudiaan menawarkan aset tersebut kepada nasabah dan nasabah harus menerim (membeli)-nya sesuai dengan janji yang telah disepakatinya, karena secara hukum janji tersebut mengikat, kemudian kedua belah pihak harus membuat kontrak jual beli. d) Dalam jual beli ini bank dibolehkan meminta nasabah untuk

membayar uang muka saat menandatangani kesepakatan awal pemesanan.

(36)

f) Jika nilai uang muka kurang dari kerugian yang harus ditanggung oleh bank, bank dapat meminta kembali sisa kerugiannya kepada nasabah.

g) Jika uang muka memakai kontrak ‘urbun sebagai alternative dari uang muka, maka

a) Jika nasabah memutuskan untuk membeli barang tersebut, ia tinggal membayar sisa harga.

b) Jika nasabah batal membeli, uang muka menjadi milik bank maksimal sebesar kerugian yang ditanggung oleh bank akibat pembatalan tersebut; dan jika uang muka tidak mencukupi, nasabah wajib melunasi kekurangnnya.

Hal-hal tersebut diatas dapat dijadikan sebagai dasar hukum

dalam penerapan pembiayaan murabahah pada Lembaga Keuangan

Syariah.

2) Fatwa DSN-MUI NO: 3/DSN-MUI/IX/2000 tentang Uang Muka dalam Murabahah

Untuk menunjukkan kesungguhan nasabah dalam meminta

pembiayaan murabahah maka LKS dapat meminta uang muka kepada

nasabah.

Demi menjaga agar tidak ada pihak yang dirugikan dalam

(37)

dengan ketentuan Syariah DSN-MUI mengeluarkan Fatwa tetang uang

muka dalam murabahah.

Terdapat 5 (lima) ketentuan umum tentang uang muka dalam

murabahah:

a) Dalam akad pembiayaan murabahah, Lembaga KeuanganSyari’ah (LKS) dibolehkan untuk meminta uang muka apabila kedua belah pihak bersepakat.

b) Besar jumlah uang muka ditentukan berdasarkan kesepakatan. c) Jika nasabah membatalkan akad murabahah, nasabah harus

memberikan ganti rugi kepada LKS dari uang muka tersebut. d) Jika jumlah uang muka lebih kecil dari kerugian, LKS dapat

meminta tambahan kepada nasabah.

e) Jika jumlah uang muka lebih besar dari kerugian, LKS harus mengembalikan kelebihannya kepada nasabah.

Dari fatwa tersebut diketahui bahwa dibolehkan adanya uang

muka pada akad pembiayaan murabahah dengan syarat harus

ditentukan berdasarkan kesepakatan kedua beleh pihak.

3) Fatwa DSN No. 16/DSN-MUI/IX/200 Tentang Diskon dalam Murabahah

Dalam prakek pembiayaan murabahah biasanya bank (penjual)

(38)

Untuk memperoleh kepastian hukum DSN-MUI menetapkan

fatwa tentang diskon tersebut.

Terdapat lima ketentuan umum yang menyangkut diskon

tersebut:

a) Harga (tsaman) dalam jual beli adalah suatu jumlah yang disepakati

oleh kedua belah pihak, baik sama dengan nilai (qîmah) benda yang

menjadi obyek jual beli, lebih tinggi maupun lebih rendah.

b) Harga dalam jual beli murabahah adalah harga beli dan biaya yang

diperlukan ditambah keuntungan sesuai dengan kesepakatan.

c) Jika dalam jual beli murabahah LKS mendapat diskon dari supplier,

harga sebenarnya adalah harga setelah diskon; karena itu, diskon

adalah hak nasabah.

d) Jika pemberian diskon terjadi setelah akad, pembagian diskon

tersebut dilakukan berdasarkan perjanjian (per-setujuan) yang

dimuat dalam akad.

e) Dalam akad, pembagian diskon setelah akad hendaklah diperjanjikan dan ditandatangani.

Dengan demikian dapat kita ketahui bahwa diskon merupakan

hak nasabah dan jika pembagiannnya setelah akad, maka hendaklah

dimuat dalam akad perjanjian tersebut.

(39)

Dalam peraktik pembiayaan murabahah, biasanya pembayaran

dilakukan dengan cicilan atau berdasarkan kurun waktu tertentu yang

disepakati, maka nasabah yang melakukan pembayaran cicillan

dengan tepat waktu dapat diberi penghargaan, sedangkan nasabah

yang mengalami penurunan kemampuan pembayaran cicilan dapat

diberi keringanan.

Dalam menanggapi hal ini, DSN-MUI menetapkan fatwa

tetang potongan pelunasan cicilan murabahah, terdapat tiga ketentuan

tentang hal tersebut:

1) LKS boleh memberikan potongan dari total kewajiban pembayaran kepada nasabah dalam transaksi (akad) murabahah yang telah melakukan kewajiban pembayaran cicilan dengan tepat waktu dan nasabah yang mengalami penurunan kemampuan pembayaran.

2) Besar potongan sebagaimana dimaksud di atas diserahkan kepada kebijakan LKS.

3) Pemberian potongan tidak boleh diperjajikan dalam akad.

5) Fatwa DSN NO. 17/DSN-MU/IX/2000 tetang Saksi Atas Nasabah Mampu yang Menunda-nunda Pembayaran

Banyaknya kebutuhan masyarakat terhadap pembiayaan dari

(40)

nasabah mampu dalam pembayaran cicilan dan tidak menunda-nunda

pembayaran pada waktu yang telah ditentukan sesuai kesepakatan.

Dalam menanggapi permintaan masyarkat dalam hal ini pihak

LKS, DSN menentukan dan menetapkan fatwa tetang sanksi terhadap

nasabah mampu yang menunda-nunda pembayaran sesuai dengan

prinsip syariah.

a) Sanksi yang disebut dalam fatwa ini adalah saksi yang dikenakan LKS kepada nasabah yang mampu membayar, tetapi menunda-nunda pembayaran dengan sengaja.

b) Nasabah yang tidak/ belum mampu membayar disebabkan force majeur tidak boleh dikenakan sanksi.

c) Nasabah mampu yang menunda-nunda pembayaran dan/atau tidak mempunyai kemauan dan itikad baik untuk membayar hutangnya boleh dikenakan sanksi.

d) Sanksi didasarkan pada prinsip ta’zir, yaitu bertujuan agar nasabah lebih disiplin dalam melaksanakan kewajibannya.

e) Sanksi dapat berupa denda sejumlah uang yang besarnya ditentukan atas dasar kesepakatan dan dibuat saat akad ditandatangani.

f) Dana yang berasal dari denda dperuntukkan sebagai dana sosial. 6) Fatwa DSN No. 47/DSN-MUI/II/2005 tentang Penyelesaian

(41)

Dalam menanggapi kasus cicilan yang tidak dapat dilunasi oleh

nasabah tidak mampu, maka DSN-MUI memandang perlu

memberikan kepastian hukum tentang masalah tersebut sesuai dengan

Syariat Islam.

Diantara dasar Hukum yang dipakai DSN-MUI dalam

menetapkan hal ini antara lain:

a) Firman Allah SWT QS. Al-Baqarah ayat 280:

)

ﺮ ﻟا

ة

:

٢ ٠

(

Artinya: “Dan jika (orang berhutang itu) dalam kesukaran, maka berilah tangguh samapai dia berkelapangan. Dan menyedekahkan (sebagian atau semua utang) itu lebih baik bagimu, jika kamu mengetahui.”

b) Hadis Nabi yang diriwatkan oleh Muslim:

ج

آ

ﺑﺔ

آ

ب

ﺪﻟا

ﺎﻴ

،

ج

ﷲا

آ

ﺑﺔ

آ

ب

م

ﻟا

ﺎﻴ

و

،

ﷲا

ن

ﻟا

دﺎ

ما

ﻟا

ن

أ

)

ﻢ ﺴ

اور

(

Artinya: “ Orang yang melepaskan seorang muslim dari kesulitannya di dunia, Allah akan melepaskan kesulitannya di hari kiamat; dan Allah senantiasa menolong hamba-Nya selama ia (suka) menolong saudaranya”.

Dari ayat dan Hadis diatas menerangkan, bahwa betapa

(42)

kesempitan dan kesusahan, sehinga orang yang dalam kesulitan tadi

terbantu.

Dalam Fatwa ini, DSN-MUI menetapkan Ketentuan

Penyelesaian yaitu; “LKS boleh melakukan Penyelesaian murabahah bagi nasabah yang tidak bias menyelesaikan/ melunasi pembiayaannya sesuai jumlah dan waktu yang telah disepakati, dengan ketentuan:

a) Obyek murabahah atau jaminan lainnya dijual oleh nasabah kepada atau melalui LKS dengan harga pasar yang disepakati; b) Nasabah melunasi sisa hutangnya kepada LKS dari hasil

penjualan;

c) Apabila hasil penjualan melebihi sisa hutang maka LKS mengembalikan sisanya kepada Nasbah;

d) Apabila hasil penjualan lebih kecil dari sisa hutang maksa sisa hutang tetap menjadi hutang nasabah;

e) Apabila nasabah tidak mampu membayar sisa hutangnya, maka LKS dapat membebaskannya.”

7) Fatwa DSN No. 48/DSN-MUI/II/2005 tentang Penjadwalan Kembali Tagihan Murabahah

Penurunan kemampuan nasabah dalam pembayaran cicilan

dapat saja terjadi, maka bank dapat memberikan keringan bagi

(43)

Keringan yang akan diberikan oleh bank, harus diwujudkan

dengan cara yang sesuai dengan tuntuan dan prinsip-prinsip ajaran

islam.

Dewan Syariah Nasional menetapkan ketentuan tentang

Penjadwalan Kembali Tagihan Murabahah yaitu, “LKS boleh melakukan Penjadwalan kembali (rescheduling) tagihan murabahah bagi nasabah yang tidak bisa menyelesaikan/melunasi pembiayaannya sesuai jumlah dan waktu yang telah disepakati, dengan ketentuan: a) Tidak menambah jumlah tagihan yang tersisa;

b) Pembebanan biaya dalam proses penjadwalan kembali adalah biaya riil;

c) Perpanjangan masa pembayaran harus berdasarkan kesepakatan kedua belah pihak.”

Sebagai mana disebutkan diatas bahwa nasabah yang mengalami penurunan kemampuan dalam pembayaran cicilan,

sebaiknya diberikan keringan dengan penjadwalan kembali tagihan

yang harus dilunasinya. Bank tidak dapat menentukan biaya atau

panjangan masa pembayaran secara sepihak, tetapi harus merupakan

kesepakatan kedua belah pihak.

(44)

Dalam memberikan keringan bagi nasabah yang mengalami

spenurunan kemampuan pembayaran cicilan dapat juga dilakukan

dalam bentuk konversi dengan membuat akad baru dalam pembayaran

kewajiban;

DSN-MUI menetapkan bahwa “LKS boleh melakukan konversi dengan membuat akad (membuat akad baru) bagi nasabah yang tidak bisa menyelesaikan/melunasi pembiayaan murabahahnya sesuai jumlah dan waktu yang telah disepakati, tetapi ia masih prospektif dengan ketentuan:

a) Akad Murabahah dihentikan dengan cara:

a.1. obyek murabahah dijual oleh nasabah kepada LKS dengan harga pasar;

a.2. Nasabah melunasi sisa hutangnya kepada LKS dari hasil penjualan;

a.3. Apabila hasil penjualan melebihi sisa hutang maka kelebihan itu dapat dijadikan uang muka untuk akad ijarah atau bagian modal dari mudharabah dan musyarakah.

a.4. Apabila hasil penjualan lebih kecil dari sisa hutang maka sisa hutang tetap menjadi hutang nasabah yang cara pelunasannya disepakati antara LKS dan Nasabah.

(45)

b.1. Ijarah Muntahiyah bit Tamlik atas barang tersebut di atas dengan merujuk kepada fatwa DSN No. 27/DSN-MUI/III/2002 tentang al-Ijarah al-Muntahiyah bi al-Tamlik. b.2. Mudharabah dengan merujuk kepada fatwa DSN No.

07/DSN-MUI/IV/2000 Tentang Pembiayaan Mudharabah (Qiradh); atau

b.3. Musyarakah dengan merujuk kepada fatwa DSN No. 08/DSN-MUI/IV/2000 tentang Pembiayaan Musyarakah.”

Pada setiap fatwa yang di keluarkan DSN-MUI, di akhiri

dengan ketentuan penutup “ Jika salah satu pihak tidak menunaikan kewajibannya atau jika terjadi perselisihan di antara para pihak-pihak terkait, maka penyelesaiannya dilakukan melalui Badan Arbitrase Syariah Nasional setelah tidak tercapai kesepakatan melalui musyawarah.” Dari pernyataan ini dapat dilihat bahwa, bila terjadi perselisihan antara para pihak, terlebih dahulu diselesaikan dengan

musyawarah.

b. Peraturan Bank Indonesia

Peraturan Bank Indonesia (PBI) adalah peraturan yang dikeluarkan

oleh Bank Indonesia untuk mengawasi dan membina semua bank yang

berbadan hukum Indonesia atau beroperasi di Indonesia.37

37

(46)

Dalam pasal 7 ayat (4) UU No. 10 Tahun 2004 ditegaskan bahwa

peraturan yang dikeluarkan lembaga Negara lain, seperti Bank Indonesia,

yang bersifat mengatur mempunyai kekuatan hukum selama diperintahkan

oleh peraturan perundang-undangan yang dalam hal ini oleh UUD, UU,

Perpu, PP, dan Perpres. Dengan begitu, maka peraturan lembaga Negara,

seperti PBI, tidak boleh berdiri sendiri, melainkan harus merujuk atau

melasanakan perintah dari salah satu hierarki di atas.

Dengan Pengesahan UU Perbankan Syariah, maka keberadaan PBI

yang mengatur Perbankan Syariah semakin kuat, karena diperintahkan

oleh UU yang secara khusus mengatur Perbankan Syariah, bukan

diperintahkan UU yang mengatur perbankan secara umum sebagaimana

terjadi sebelumnya.

Peraturan Bank Indonesia yang berkaitan dengan Pembiayaan

Murabahah antara lain:

1) Peraturan Bank Indonesia Nomor: 7/6/PBI/2005 Tentang Transfaransi Informasi Produk Bank dan Penggunaan Data Pribadi Nasabah

Segala bentuk informasi dari sebuah produk perbankan

sangatlah penting untuk diketahui nasabah, karena dapat memberikan

kejelasan kepada nasabah tetang manfaat dan resiko yang melekat

(47)

Dalam Peraturan Bank Indonesia No. 7/6/PBI/2005

mengharuskan pihak Bank memberikan informasi yang

selengkap-lengkapnya kapada nasabah.

Pada pasal 4 ayat 1 disebutkan “Bank wajib menyediakan informasi tertulis dalam bahasa Indonesia secara lengkap dan jelas mengenai karakteristik setiap Produk Bank.” Dengan demikian Bank wajib membuat informasi berupa, leaflet, brosur, atau bentuk tertulis

lainnya, tetang produk-produk bank tersebut.

Dipasal 4 ayat 2, di sebutkan bahwa bank wajib menyampaikan informasi secara tertulis dan atau lisan, yang mana

pada ayat ke 3 ditegaskan bahwa “Dalam memberikan informasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2), Bank dilarang memberikan informasi yang menyesatkan (mislead) dan atau tidak etis (misconduct).”

Sebagai mana disebutkan dalam Pasal 5, bahwa Informasi

mengenai karakteristik produk Bank sekurang-kurangnya meliputi:

a) Nama Produk Bank.

b) Jenis Produk Bank .

Maksudnya adalah: Jenis Produk Bank mengacu kepada kegiatan

(48)

perundang-undangan yang berlaku seperti giro, tabungan, deposito, dan

kredit/pembiayaan.

c) Manfaat dan resiko yang melekat pada Produk Bank.

Bank menjelaskan secara terinci setiap manfaat yang dapat

diperoleh Nasabah dari suatu Produk Bank dan potensi risiko yang

dihadapi oleh Nasabah dalam masa penggunaan Produk

Bank.

d) Persyaratan dan tata cara penggunaan Produk Bank.

Persyaratan dan tata cara penggunaan Produk Bank mencakup

antara lain dokumen yang diperlukan, mekanisme dan prosedur

transaksi yang berkaitan dengan Produk Bank.

e) Biaya-biaya yang melekat pada Produk Bank.

Biaya-biaya yang melekat pada Produk Bank antara lain biaya

administrasi, provisi, atau penalti. Perhitungan bunga atau bagi

hasil dan margin keuntungan.

Bagi Bank yang menjalankan kegiatan usaha berdasarkan prinsip

syariah, informasi yang disampaikan mencakup metode

perhitungan bagi hasil untuk Produk Bank yang berupa

penghimpunan dana, dan metode perhitungan margin keuntungan

serta perhitungan bagi hasil untuk Produk Bank yang berupa

penyaluran dana.

(49)

Informasi mengenai jangka waktu mencakup perpanjangan dan

penghentian jangka waktu dan atau manfaat Produk Bank sebelum

jatuh tempo

g) Penerbit (issuer/originator) Produk Bank.

Informasi mengenai penerbit Produk Bank antara lain mencakup

keterangan mengenai siapa penerbitnya (Bank atau lembaga

keuangan bukan bank), hubungan hukum antara penerbit dengan

Bank dan Nasabah, serta hak dan kewajiban masing-masing

pihak.

Bank dilarang mencantumkan informasi dan atau karakteristik

suatu produk bank pada posisi, bentuk yang sulit dilihat, dan sulit

dimengerti. Hal ini sidebutkan dalam pasal 7.

Bank memberikan informasi yang akurat dan

sebenar-benarnya mengenai Produk Bank yang akan dimanfaatkan

Nasabah dengan memenuhi etika penyampaian informasi yang

berlaku umum. Pemberian informasi dianggap menyesatkan

(mislead) apabila Bank memberikan informasi yang tidak sesuai

dengan fakta, misalnya menyebutkan produk reksadana sebagai

(50)

Pemberian informasi dianggap tidak etis (misconduct)

antara lain apabila memberikan penilaian negatif terhadap

Produk Bank lain.

2) Peraturan Bank Indonesia Nomor: 10/16/PBI/2008 Perubahan PBI No. 9/19/PBI/2007 tentang Pelaksanaan Prinsip Syariah Dalam Kegiatan Penghimpuanan Dana dan Penyaluran Dana serta Pelayanan Jasa Bank Syariah

Perkembangan yang pesat di dunia bisnis dan keuangan telah

mendorong berkembangnya inovasi transaksi-transaksi keuangan

syariah. Untuk mengantisipasi timbulnya risiko reputasi atas pesatnya

perkembangan inovasi transaksi keuangan syariah tersebut diperlukan

kesesuaian dengan prinsip syariah secara istiqomah sebagaimana difatwakan oleh Dewan Syariah Nasional. Untuk itu diperlukan

adanya penyesuaian dan penyempurnaan pengaturan yang berlaku

terhadap pelaksanaan prinsip syariah dalam kegiatan penghimpunan

dana dan penyaluran dana serta pelayanan jasa bank syariah dalam

rangka memelihara kepercayaan masyarakat terhadap bank syariah.

Menyangkut pelaksanaan prinsip syariah pada produk

penghimpunan, penyaluran dan pelayanan jasa bank syariah

(51)

dana dan pelayanan jasa bank, Bank wajib memenuhi Prinsip Syariah” kemudian pada ayat 3 di sebutkan “Pemenuhan Prinsip Syariah sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilaksanakan dengan memenuhi ketentuan pokok hukum Islam antara lain prinsip keadilan dan keseimbangan (‘adl wa tawazun), kemaslahatan (maslahah), dan universalisme (alamiyah) serta tidak mengandung gharar, maysir, riba, zalim dan objek haram.”

Adapun bentuk-bentu produk yang ditawarkan bank syariah

adalah:

a) Dalam penghimpunan dana, dengan menggunakan antara lain akad

wadiah dan mudharabah.

b) Dalam kegiatan penyaluran dana, bank dapat menggunakan akad

Mudharabah, Musyarakah, Murabahah, Salam, Istishna’, Ijarah, Ijarah muntahiya bitamlik, dan qord

c) Sedangkan dalam pelayanan jasa dengan menggunakan akad

antara lain akad kafalah, hawalah, dan sharf.

Berkaitan dengan penyelesaian sengketa antara Bank dan

Nasabah diatur dalam Peraturan Bank Indonesia No. 10/16/PBI 2008

(52)

musyawarah dalam penyelesaian setiap perselisihan yang timbul

dalam suatu transaksi.

Namun tak jarang permasalahan tidak bisa selesai dengan

(53)

PT. BANK SYARIAH MANDIRI

A. GAMBARAN UMUM NATAMA HOTEL PADANGSIDIMPUAN 1. Sejarah Perkembangan

Pada awal berdirinya, Hotel Natama hanyalah sebuah losmen dengan nama “Adian Natama” yang dimiliki oleh keluarga Almarhum M.F. Siregar. Sejalan dengan perjalanan waktu, dan seiring dengan meningkatnya permintaan masyarakat akan pelayanan jasa penginapan serta keinginan perusahaan untuk memberikan layanan kepada masayarakat luas akan jasa penginapan yang bersih, nyaman dan aman dengan lokasi yang sangat strategis, maka losmen berkembang dan tumbuh menjadi sebuah hotel dengan nama “Natama Hotel”.

Kepemilikan hotel yang awalnya dimiliki oleh satu keluarga, berubah menjadi gabungan dari 3 (tiga) keluarga bersaudara, yaitu keluarga Almarhum. M. F. Siregar, Keluarga Ibu B.O Surjaatmadja, dan keluarga Bapak Amri Lubis.

Hotel Natama membentuk sebuah Perseroan Terbatas (PT) dengan nama PT. Surya Natama yang berdiri pada tanggal 19 Agustus 2007 sesuai dengan Akte Notaris No.233 dihadapan kandidat noktariat Betty Supartini, S.H. sebagai pengganti dari Notaris Ny Pubaningsih Adi Warsito, S.H.

[image:53.612.114.529.135.502.2]
(54)

Pada tahun 2007 kepemilikan dan pengelolaan Hotel Natama beralih kepada keluarga Almarhum MF. Siregar dibawah naungan PT. Tuara Natama sesuai Akte Notaris No.3 Tanggal 16 Juli 2007 yang diterbitkan oleh Notaris Rumondu Kesuma Lubis, S.H.

Semenjak berdirinya hotel ini, memang telah dikenal masyarakat sebagai hotel yang selalu menjaga nilai-nilai ke-Islaman, moral dan nilai kebudayaan masyarakat setempat, sehingga tidak banyak kendala dalam peralihan hotel ini menjadi hotel syariah.

Semenjak tahun 2007, Natama Hotel dikelola secara syariah. Ada beberapa hal yang melatar belakangi dikonversinya hotel ini ke sistim syariah antara lain:

a. Usaha menegakkan nilai-nilai syariah dalam aktifitas bisnis. b. Pangsa pasar syariah yang cukup besar.

c. Bisnis syariah terasa lebih nyaman, adil dan tentram bagi mayoritas penduduk Indonesia.

d. Aspek transparansi dalam bisnis syariah.

2. Visi dan Misi Natama Hotel Padangsidimpuan

Natama Hotel Padangsidimpuan memiliki visi menjadi “Hotel Syariah terbaik di Tapanuli Selatan”

(55)

a. Mengembangkan Manajemen Hotel dengan prinsip syariah.

b. Meningkatkan pendapatan dengan memanfaatkan seoptimal mungkin asset yang ada, melakukan efisiensi dan menerapkan prinsip syariah dalam pengelolaan bisnisnya.

c. Memberikan kepuasan dan pelayanan yang optimal terhadap tamu (dhuyuf)

d. Menerima SDI yang terdidik secara Islami, menerapkan azas kejujuran, disiplin, berakhlak mulia, dan menciptakan iklim persaingan yang sehat serta saling menghormati.

e. Meningkatkan kesejahteraan karyawan/ wati.

(56)
[image:56.612.74.570.136.661.2]

3. Struktur Organisasi

Gambar 1 RUPS

MANAGER OPS &

MANAGE R GENERAL

MANAGE R SDM DEWAN DIREKSI:

DIRUT

DIR. KEUANGAN DIR. OPS & UMUM DIR. SDM

DIR. RESEARCH & DEVELOPMENT

REPRESENTAT IVE JAKARTA DEWAN

DPS

DEPT. BO & ADM

DEP T DEP

T FO

DEP T FB

DEP T HK

DEPT SECURI

(57)

1) Dewan Komisaris

Komisaris Utama : Ir. M. Zahir Siregar, MM Komisaris : Ir. Kesuma Machrita 2) Dewan Direksi

Direktur Utama : Hj. Bulang Amrita Lubis Direktur : Dra. Rizni Rosanna H Direktur : Ir. Yuni Saidah Siregar Direktur : Dra Hafni Hafsah Siregar 4. Jasa dan Pelayanan

Sesuai dengan karakter bisnis hotel syariah yang melekat, maka hotel ini memiliki beberapa ciri-ciri khusus antara lain:

a. Semua makanan dan minumam yang di tawarkan halal, tidak menyediakan minuman keras (khamar), makanan yang mengandung serum babi (khinzir), bahkan hotel ini tidak menjual rokok.

b. Tidak menyuguhkan tayangan-tayangan berbau pornografi/aksi, dan pajangan yang ditata di lingkungan hotel hanya berupa pemandangan, tidak ada gambar hewan-hewan atau patung.

c. Setiap kamar hotel disediakan kitab suci al-Qur’an, sejadah dan dilengkapi dengan alat pengeras suara yang akan mengumandangkan azan secara otomatis setiap memasuki waktu shalat.

(58)

e. Adanya kajian rutin tentang akidah, tafsir dan fiqih ibadah yang diadakan setiap hari jum’at yang diperuntukkan kepada karyawan, tamu dan masyarakat, hal ini merupakan salah satu kebijakan pemilik dan pengelola hotel dalam mensyiarkan Islam dan meningkatkan SDI karyawan hotel tersebut. Ada juga program belajar membaca al-qur’an yang diwajibkan kepada seluruh karyawan hotel demi meningkatkan SDI hotel tersebut.

Natama Hotel Padangsidimpuan ini memberikan berbagai macam produk yang ditawarkan kepada masyarakat, selain jasa penginapan yang ditawarkan hotel ini juga menawarkan jasa restaurant, coffeeshop, minishop, Bisnis center,dan penyewaan aula serba guna untuk berbagai macam acara.

Seluruh penawaran yang diberikan Natama Hotel Padangsidimpuan terhadap masyarakat tetap menjaga nilai-nilai keislaman, dan Natama Hotel Padangsidimpuan ini merupakan satu-satunya hotel di Sumatera Utara yang telah memperoleh sertifikasi dari Dewan Syariah Nasional (DSN MUI) sebagai hotel syariah.

(59)

B. GAMBARAN UMUM BANK SYARIAH MANDIRI 1. Sejarah1

Nilai-nilai perusahaan yang menjunjung tinggi kemanusiaan dan integritas telah tertanam kuat pada segenap insan Bank Syariah Mandiri (BSM) sejak awal pendiriannya.

Kehadiran BSM sejak tahun 1999, sesungguhnya merupakan hikmah sekaligus berkah pasca krisis ekonomi dan moneter 1997-1998. Sebagaimana diketahui, krisis ekonomi dan moneter sejak Juli 1997, yang disusul dengan krisis multi-dimensi termasuk di panggung politik nasional, telah menimbulkan beragam dampak negatif yang sangat hebat terhadap seluruh sendi kehidupan masyarakat, tidak terkecuali dunia usaha. Dalam kondisi tersebut, industri perbankan nasional yang didominasi oleh bank-bank konvensional mengalami krisis luar biasa. Pemerintah akhirnya mengambil tindakan dengan merestrukturisasi dan merekapitalisasi sebagian bank-bank di Indonesia.

Salah satu bank konvensional, PT Bank Susila Bakti (BSB) yang dimiliki oleh Yayasan Kesejahteraan Pegawai (YKP) PT Bank Dagang Negara dan PT Mahkota Prestasi juga terkena dampak krisis. BSB berusaha keluar dari situasi tersebut dengan melakukan upaya merger dengan beberapa bank lain serta mengundang investor asing.

1

(60)

Pada saat bersamaan, pemerintah melakukan penggabungan (merger) empat bank (Bank Dagang Negara, Bank Bumi Daya, Bank Exim, dan Bapindo) menjadi satu bank baru bernama PT Bank Mandiri (Persero) pada tanggal 31 Juli 1999. Kebijakan penggabungan tersebut juga menempatkan dan menetapkan PT Bank Mandiri (Persero) Tbk sebagai pemilik mayoritas baru BSB.

Sebagai tindak lanjut dari keputusan merger, Bank Mandiri melakukan konsolidasi serta membentuk Tim Pengembangan Perbankan Syariah. Pembentukan tim ini bertujuan untuk mengembangkan layanan perbankan syariah di kelompok perusahaan Bank Mandiri, sebagai respon atas diberlakukannya UU No. 10 tahun 1998, yang memberi peluang bank umum untuk melayani transaksi syariah (dual banking system).

(61)

Perubahan kegiatan usaha BSB menjadi bank umum syariah dikukuhkan oleh Gubernur Bank Indonesia melalui SK Gubernur BI No. 1/24/ KEP.BI/1999, 25 Oktober 1999. Selanjutnya, melalui Surat Keputusan Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia No. 1/1/KEP.DGS/ 1999, BI menyetujui perubahan nama menjadi PT Bank Syariah Mandiri. Menyusul pengukuhan dan pengakuan legal tersebut, PT Bank Syariah Mandiri secara resmi mulai beroperasi sejak Senin tanggal 25 Rajab 1420 H atau tanggal 1 November 1999.

PT Bank Syariah Mandiri hadir, tampil dan tumbuh sebagai bank yang mampu memadukan idealisme usaha dengan nilai-nilai rohani, yang melandasi kegiatan operasionalnya. Harmoni antara idealisme usaha dan nilai-nilai rohani inilah yang menjadi salah satu keunggulan Bank Syariah Mandiri dalam kiprahnya di perbankan Indonesia. BSM hadir untuk bersama membangun Indonesia menuju Indonesia yang lebih baik.

2. Visi dan Misi2 Visi

Menjadi Bank Syariah Terpercaya Pilihan Mitra Usaha

Misi

• Mewujudkan pertumbuhan dan keuntungan yang berkesinambungan

2

(62)

• Mengutamakan penghimpunan dana konsumer dan penyaluran pembiayaan pada segmen UMKM

• Merekrut dan mengembangkan pegawai profesional dalam lingkungan kerja yang sehat

• Mengembangkan nilai-nilai syariah universal

(63)
(64)

HOTEL NATAMA PADANGSIDIMPUAN

A. Bentuk Pembiayaan Murabahah Terhadap Hotel Natama Padangsidimpuan Natama Hotel Padangsidimpuan mengajukan pembiayaan produktif, yaitu untuk pembelian investasi Hotel Natama Padangsidimpuan kepada Bank Syariah Mandiri, menanggapi permohonan tersebut Bank Syariah Mandiri memberikan fasilitas pembiayaan dengan akad murabahah.1 Natama Hotel merupakan hotel syariah yang dikelola secara Islami, dengan adanya pembiayaan yang diberikan Bank Syariah Mandiri, menunjukkan adanya peran aktif ba

Gambar

GAMBARAN UMUM NATAMA HOTEL PADANGSIDIMPUAN DAN
Gambar 1

Referensi

Dokumen terkait

1) Bank dan nasabah harus melakukan akad murabahah yang bebas riba. 2) Barang yang diperjual-belikan tidak diharamkan oleh syari‟ah Islam. 3) Bank membiayai

Fatwa tersebut antara lain: (1) Bank dan nasabah harus melakukan akad mura- bahah yang bebas riba; (2) Komoditas yang diperjualbelikan tidak dilarang oleh syari

1) Bank dan nasabah harus melakukan akad murabahah yang bebas riba. Sebagai praktik yang di terapkan oleh bank syariah mandiri mengenai poin tersebut bahwa Bank Syariah

diharamkan oleh syariah Islam. c) Bank membiayai sebagian atau seluruh harga pembelian barang yang telah disepakati kualifikasinya. d) Bank membeli barang yang

bebas dari riba. 2.) Barang yang diperjualbelikan tidak bertentangan dengan syariat agama Islam. 3.) Bank yang membiayai sebagian atau seluruh harga pembelian barang

Agar tidak terjadi pihak nasabah Bank Syariah melanggar Isi Akad Pembiayaan Murabahah, maka sebelum menyalurkan dana tersebut, Bank Syariah telah menentukan

1) Bank dan nasabah harus melakukan akad murabahah yang bebas riba. 2) Barang yang diperjualbelikan tidak diharamkan oleh syari‟ah Islam. 3) Bank membiayai

Fatwa Dewan Syariah Nasional DSN Nomor 04/DSN-MUI/IV/2000 tentang ketentuan umum murȃbahah yaitu, bank dan nasabah harus melakukan akad murȃbahah bebas riba, barang yang