• Tidak ada hasil yang ditemukan

III. KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN

3.4. Kondisi Biologi

3.4.2. Fauna

Ekosistem Ulu Masen memiliki keanekaragaman fauna yang tinggi. Berbagai jenis satwaliar yang dapat dijumpai diantaranya mamalia, burung, dan reptil. Jenis mamalia yang dapat dijumpai antara lain orangutan (Pongo abeli),

serudung (Hylobathes lar), kedih (Presbytis thomasi), siamang (Hylobathes syndactylus), linsang (Prionodon linsang), kukang (Nycticebus coucang), kucing emas (Cathopuma teminckii), pulusan (Artconyx collaris), bajing terbang (Lariscus insignis), harimau sumatera (Panthera tigris sumatrae), badak sumatera (Dicerorhinus sumatrensis), gajah sumatera (Elephas maximus sumatrensis), ajag (Cuon alpinus), macan dahan (Neofelis nebulosa), beruang madu (Helarctos malayanus), rusa sambar (Cervus unicolor), kambing hutan (Capricornus sumatraensis), babi jenggot (Sus barbatus), pelanduk (Tragulus napu). Jenis burung, yaitu kuntul kerbau (Bubulkus ibis), kuntul (Egretta sp), itik liar (Cairina sp), rajawali kerdil

(Microhierax spp), rangkong papan (Buceros bicornis), rangkong badak (buceros rhinoceros), julang ekor abu-abu (Annorhius gaeleritus), julang emas

(Rhiticeros undulatus), kangkareng (Anthracoceros convextus) dan beo nias

(Gracula religiosa). Untuk jenis reptil antara lain kura-kura gading (Orlitia bornensis) dan buaya sinyulong (Tomistoma sp).

IV. METODE PENELITIAN

4.1. Lokasi dan Waktu Penelitian

Lokasi penelitian dilakukan di kawasan hutan Blangraweu – ekosistem Ulu Masen, Kabupaten Pidie dan Pidie Jaya, Propinsi Aceh. Penelitian ini dilaksanakan pada tanggal 30 November 2009 – 28 Mei 2010.

Gambar 1. Peta lokasi penelitian 4.2. Alat dan Bahan

Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah :

Global Positioning System (GPS) Garmin 7.6, kompas, Field guide mamalia, Camera Reconnyx tipe 55 & 45 color IR 3,1 megapixel, memory card 2GB dan 4GB, kamera digital Olympus 5 megapixel, meteran, alat pencatat waktu (jam), alat tulis, dan program software Arc GIS versi 9.2, software ERDAS 9.1, dan program software CAPTURE (Rexstad & Burnham, 1991).

Bahan yang digunakan dalam objek penelitian adalah peta kerja 1:50.000, alkohol 70%, battere Alkalin dan Energizer, silica gel, tambang plastik, pita ukur dan kawasan hutan Blangraweu sebagai habitat harimau sumatera dan satwa mangsa.

4.3. Metode Pengumpulan Data

Dalam pengumpulan data terdapat beberapa tahap, yaitu : 4.3.1. Kegiatan Pendahuluan

Kegiatan pendahuluan meliputi :

a. Kajian pustaka meliputi buku teks, laporan, makalah, jurnal, dan skripsi yang bertujuan mendapatkan informasi yang tepat tentang harimau sumatera yang berkaitan dengan potensi populasi dan habitat harimau sumatera.

b. Orientasi lapangan dan wawancara dengan masyarakat mengenai kondisi kawasan hutan yang menjadi informasi penting.

4.3.2. Data yang dikumpulkan

Adapun jenis data yang dikumpulkan meliputi : a. Hasil foto yang diperoleh dari kamera trap.

b. Struktur dan komposisi vegetasi (analisis vegetasi).

c. Ketersediaan satwa mangsa, sumber airdan cover (lindungan).

4.3.3. Cara Pengumpulan Data 4.3.3.1. Metode Perangkap Kamera

Metode penelitian yang digunakan adalah menggunakan perangkap kamera. Data pada kamera mencetak foto dengan waktu, suhu dan tanggal kejadian. Kamera dipasang sebanyak 19 unit di 18 titik lokasi dengan jarak antar kamera rata-rata 1 gride atau 3 – 4 km pada peta. Kamera trap dipasang pada batang pohon dengan ketinggian rata-rata 40 cm di atas tanah, posisi kamera menghadap ke jalur pada jarak 2,5 meter (Karanth & Nichols, 2000). Setiap unit diprogram untuk merekam gambar satwa dengan selang waktu 1 detik dan beroperasi selama 24 jam/hari. Pengecekan kamera dilakukan satu kali dalam

periode 2 minggu untuk penggantian memory card, battere, silica gel dan sebagainya.

Perangkap kamera di tempatkan di lapangan tidak secara random tetapi berdasarkan probabilitas optimum untuk mendapatkan foto harimau (Karanth et al. 2002; McClurgh et al., 2000; Silver 2004). Pembagian waktu periode sampling digunakan sebagai ulangan (occassion) captures (Karanth 1995; Karanth & Nichols 1998; 2000) untuk mengestimasi jumlah populasi suatu jenis pada suatu lokasi dan waktu tertentu. Pembagian waktu periode sampling dibagi per 10 hari kamera aktif.

4.3.3.2. Metode Garis Berpetak

Untuk mengetahui struktur dan komposisi vegetasi dilakukan dengan cara analisis vegetasi. Analisis vegetasi dilakukan dengan cara sampling pada lokasi penelitian. Metode yang digunakan adalah metode garis berpetak yaitu dengan membuat petak contoh disepanjang jalur pengamatan. Ukuran petak adalah 20 m x 20 m untuk tingkat pertumbuhan pohon. Dalam petak dibuat sub-plot berukuran 2 m x 2 m untuk tingkat pertumbuhan semai, 5 m x 5 m untuk tingkat pertumbuhan pancang dan 10 m x 10 m untuk tingkat pertumbuhan tiang. Data yang dikumpulkan untuk tingkat pertumbuhan pohon dan tiang adalah jenis pohon, diameter setinggi dada, tinggi bebas cabang dan tinggi total. Untuk tingkat pertumbuhan pancang dan semai meliputi jenis tumbuhan dan jumlah individu setiap jenis (Soerianegara dan Indrawan, 1998).

Gambar 2. Bentuk jalur pengamatan vegetasi Keterangan: A = Petak pengamatan tingkat semai dan herba

B = Petak pengamatan tingkat pancang

10m 10m A B C D A B C D Lint asan pengamat an 20m 1000m

C = Petak pengamatan tingkat tiang D = Petak pengamatan tingkat pohon 4.3.4. Analisis Data

4.3.4.1. Analisis Foto Untuk Identifikasi Individu Harimau

Harimau diidentifikasi berdasarkan jenis kelamin dan ciri-ciri morfologis seperti pola loreng dibagian perut dan ukuran tubuh yang mendasar (bentuk kepala, panjang tubuh). Pengembangan data dasar dilakukan untuk memilih foto-foto harimau yang bermutu, sehingga terlihat gambar harimau yang telah diidentifikasi dari arah kanan dan kiri, dan mungkin juga dari arah depan dan belakang serta penunjuk waktu. Setelah individu harimau benar-benar telah teridentifikasi maka semua foto individu harimau dapat diklasifikasikan secara tepat (Franklin et al., 1999). Data yang diperoleh dianalisis dengan menggunakan program software CAPTURE (Rexstad & Burnham, 1991), Arc GIS 9.3 dan ERDAS 9.1.

Beberapa istilah penting yang sering ditemukan dalam analisis foto akan dideskripsikan untuk standarisasi istilah yaitu:

1. Trap night merupakan lama hari aktual camera trap beroperasi selama 24 jam per hari mulai saat pemasangan hingga akhir periode sampling pada suatu lokasi kamera dengan memperhitungkan camera trap yang tidak beroperasi baik karena hilang atau rusak.

2. Trap night effective merupakan lama hari aktual camera trap aktif beroperasi selama periode sampling pada suatu lokasi. Waktu camera trap yang tidak beroperasi akibat rusak dan hilang tidak diperhitungkan.

3. Deteksi (detection) adalah kehadiran jenis berdasarkan foto pada suatu waktu dan lokasi. Nilai deteksi suatu jenis adalah satu (1) dan nilai nondeteksi suatu jenis adalah nol (0).

4. Frame adalah jumlah foto dalam satu nomor film. Film yang digunakan memiliki isi 36 frame.

5. Occassion merupakan ulangan berdasarkan trap night dengan pembagi waktu (t).

6. Periode sampling (sampling period) merupakan total lama waktu camera trap beroperasi pada satu blok penelitian di lokasi studi.

7. Capture history harimau merupakan matriks deteksi individu harimau pada suatu lokasi dan occassion tertentu.

8. Independent photo (foto independen) adalah foto yang terekam secara berurutan/sekuel pada satu frame foto dalam satu nomor film yang telah disaring berdasarkan waktu. Dapat dikatakan foto independen (nilai 1) bila memenuhi syarat-syarat sebagai berikut: 1). Foto yang berurutan/sekuel dari individu berbeda atau spesies berbeda pada satu nomor film. 2). Foto berurutan/sekuel dari individu yang sama (spesies sama) pada satu nomor film dengan rentang waktu lebih dari 1 jam atau foto berurutan/sekuel dari individu berbeda bila dapat dibedakan dengan jelas. 3). Foto individu yang sama atau jenis sama yang tidak berurutan/sekuel pada satu nomor film. Kriteria foto independen ini merujuk pada O’Brien et al., (2003).

4.3.4.2. Kepadatan Absolut Harimau

Analisis kepadatan absolut harimau (harimau/100 km 2

) digunakan dengan mengetahui jumlah individu yang telah diidentifikasi. Data hasil identifikasi foto dapat digunakan untuk memperkirakan populasi (N-hat). Estimasi kepadatan harimau menurut Karanth (2002) sebagai berikut :

Keterangan :

D : Estimasi kepadatan harimau (individu/100 km2) N : Jumlah individu yang telah diidentifikasi AW : Efektif sampling area (100 km2)

Luas efektif sampling area diperoleh dengan menghubungkan titik koordinat kamera terluar hingga membentuk poligon (A) kemudian ditambahkan dengan lebar garis batas (W ) (Karanth & Nichols, 1998) yang didapatkan dari ½ Mean Maximum Distance Move (½MMDV) yaitu dengan menghitung rataan jarak perpindahan maksimum setiap individu harimau yang tertangkap kamera lebih dari sekali dan pada dua lokasi berbeda (Linkie, 2005).

Keterangan :

W : Lebar garis batas

m : Jumlah recapture individu

d : Rata-rata jarak individu recapture di : Jarak dari tiap individu recapture ke-i

4.3.4.3. Kepadatan Satwa Mangsa

Analisis kepadatan satwa mangsa (/100 km2) dapat menggunakan jumlah foto independent dari satwa yang telah teridentifikasi. Estimasi kepadatan satwa mangsa menurut Hutchinson & Waser (2007) sebagai berikut :

y = 2rtvD Keterangan :

y : Jumlah kontak satwa r : Jari-jari zona deteksi t : Waktu

v : Kecepatan satwa D : Kepadatan

4.3.4.4. Tingkat Perjumpaan (Encounter Rate/ER) Harimau dan Mangsa Tingkat perjumpaan (jumlah foto/100 hari) didapat dari perhitungan total jumlah foto dibagi total hari kamera aktif dikali 100. Faktor pembagi 100 hari untuk menyamakan waktu satuan usaha yang digunakan (Lynam, 2000).

Keterangan :

ER : Tingkat perjumpaan (Encounter rate) Σf : Jumlah total foto yang diperoleh Σd : Jumlah total hari operasi kamera

4.3.4.5. Komponen Habitat 4.3.4.5.1. Analisis vegetasi

Analisis vegetasi dilakukan untuk mengetahui komposisi dan dominansi suatu jenis vegetasi pada suatu komunitas sehingga mengetahui preferensi habitat yang sesuai bagi harimau sumatera. Dominansi dapat dilihat dari Indeks Nilai Penting (INP) yang diperoleh dari penjumlahan nilai kerapatan relatif (KR) dan frekuensi relatif (FR) untuk tingkat semai dan pancang serta ditambah nilai dominansi relatif (DR) untuk tingkat tiang dan pohon (Soerianegara dan Indrawan, 1998). Persamaan yang digunakan adalah :

Kerapatan jenis ke-i(Ki) = Jumlah individu suatu spesies Luas seluruh petak

Kerapatan Relatif (KR) =

Kerapatan suatu spesies x 100 % Kerapatan seluruh jenis

Dominansi jenis ke-i(Di) = Luas bidang dasar suatu spesies Luas seluruh petak

Dominansi Relatif (DR) = Dominansi suatu spesies x 100 % Dominansi seluruh jenis

Frekuensi jenis ke-I (Fi) = Jumlah petak terisi suatu spesies Jumlah seluruh petak

Frekuensi Relatif (FR) = Frekuensi suatu spesies x 100 % Frekuensi seluruh jenis Luas bidang dasar suatu spesies = 2

. . 4 1 i d

4.3.4.5.2. Bentuk Cover

Bentuk cover dipelajari dengan cara obervasi langsung di lapangan. Cover dapat dibedakan atas tempat persembunyian (hiding cover) dan tempat penyesuaian terhadap perubahan temperatur (thermal cover). Bentuk cover dibedakan menurut bentuk dan fungsinya, yaitu sebagai tempat berlindung, tempat minum, tempat mengasuh anak, tempat berburu dan tempat beristirahat.

4.3.4.5.3. Ketersediaan Air

Ketersediaan air dapat dilihat dari parameter fisik yang diamati secara langsung di lapangan (permanen atau tidak permanen). Parameter yang diamati adalah : 1) betuk sumber air, 2) lokasi sumber air dan 3) ketersediaan sumber air meliputi ketersediaan air sepanjang tahun serta tidak tersedia air sepanjang tahun.

4.3.4.6. Hubungan Penggunaan Antara Tipe Habitat dengan Jumlah Satwa Parameter yang akan dianalisis menggunakan uji chi kuadrat (chi-square) adalah tipe habitat dengan jumlah satwa baik harimau sumatera maupun satwa mangsa yang ada di kawasan hutan Blangraweu. Langkah pengujian yang dilakukan adalah sebagai berikut:

1. Hipotesis

Ho : Tidak ada perbedaan penggunaan antara tipe habitat dengan jumlah satwa.

H1 : Ada perbedaan penggunaan antara tipe habitat dengan jumlah satwa.

2. Kriteria Pengujian

Jika x2 hitung kurang dari x2 tabel maka terima Ho pada taraf nyata, dengan derajat bebas (v) = (b-) (k-1) diman b dan k masing-masing menyatakan baris dan kolom. Persamaan yang digunakan adalah sebagai berikut :

h (Oi – Ei)2 χ² = Σ

i=1 Ei Keterangan :

Oi = Frekuensi hasil pengamatan ke- i Ei = Frekuensi harapan ke-i(Oi. ai)

Frekuensi harapan = Total kolom x total baris Total pengamatan

4.3.4.7. Gangguan Habitat Harimau Sumatera

Bentuk atau anacaman terhadap harimau sumatera yang terjadi dilapangan yaitu illegal logging, perambahan liar, perburuan liar dan tambang.

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

5.1. Hasil

5.1.1. Potensi Populasi Harimau Sumatera 5.1.1.1. Kepadatan Harimau Sumatera

Berdasarkan hasil pengamatan lapang dengan kamera trap yang dianalisis dengan software program Capture didapat data estimasi kepadatan harimau sumatera di kawasan hutan Blangraweu sebagai berikut :

Tabel 2. Hasil analisis kepadatan harimau sumatera berdasarkan program Capture Progam Capture Hasil perhitungan

Efektif sampling area 211,25 km2 Model yang digunakan Mh

Jumlah individu (Mt+1) 5

Rata-rata (p-hat) 0,33

Peluang capture 0,67

Populasi (N) 5,00

Standar error (SE) 2,43 Populasi CI 95% (individu) 5 – 9

Kepadatan harimau/100 km2 2,36 – 4,07 ekor/100 km2

Berdasarkan tabel lima diketahui bahwa populasi (N) harimau sumatera di kawasan hutan Blangraweu adalah 5 ekor dengan tingkat kepadatan 2,36 – 4,07 ekor/100 km2. Data ini menunjukkan bahwa tingkat kepadatan di hutan Blangraweu tergolong normal. Hasil analisis program Capture menyatakan bahwa kemungkinan rekam kembali (capture probability) (p-hat) sebesar 0,33. Hal ini berarti asumsi yang digunakan adalah asumsi populasi tertutup yaitu tidak ada harimau yang keluar atau harimau baru yang masuk dalam wilayah studi.

Tabel 3. Jumlah foto individu harimau pada masing-masing tipe habitat

No Nama harimau Jumlah sekuen/10 foto

Hutan pegunungan Hutan sub-pegunungan

1 Agam 0 1 (10)

2 Cut 0 4 (40)

3 Ineung 4 (40) 0

4 Mayang 1 (10) 0

5 Rayeuk 0 3 (30)

Pergerakan individu harimau sumatera pada dua tipe habitat yang berbeda-beda menyebabkan sebaran pada tiap lokasi kamera berberbeda-beda pula. Pergerakan

antara harimau jantan dengan betina masing-masing hanya tertangkap di satu kamera trap saja. Pergerakan individu harimau lebih banyak ditipe hutan sub-pegunungan dibandingkan di hutan sub-pegunungan. Lokasi penempatan sebaran kamera trap dan daerah ditemukannya harimau sumatera disajikan pada gambar 3.

Gambar 3. Peta lokasi titik harimau sumatera

Pemasangan kamera trap dilakukan secara mengelompok di 18 gride cell dengan menempatkan 19 kamera trap dengan identitas RC (Reconnyx). 6 kamera trap dipasang di hutan pegunungan yaitu di padang rumput sedangkan 13 kamera trap lainnya dipasang di hutan sub-pegunungan. Harimau sumatera tertangkap kamera di empat titik kamera trap yaitu kamera RC02, RC03, RC07 dan RC11 diperalihan antara hutan dengan padang rumput dengan dua di padang rumput dan tiga di hutan sub-pegunungan. Kondisi ini menandakan bahwa harimau sumatera lebih mudah ditemukan di peralihan antara hutan dengan padang rumput. Di lokasi di peralihan ini aktivitas satwa mangsa lebih tinggi dibandingkan di hutan sub-pegunungan.

(a) (b)

Gambar 4. Harimau sumatera betina yang tertangkap kamera di hutan Blagraweu dengan identitas (a) Cut dan (b) Rayeuk

5.1.1.2. Perbandingan Jenis Kelamin (Sex ratio) Harimau Sumatera

Jenis kelamin (sex ratio) individu harimau sumatera yang tertangkap kamera adalah 1 jantan dan 4 betina. Hasil ini didapat di empat titik kamera trap yang terpasang yang terkonsentrasi di hutan pegunungan yaitu sekitar savana/padang rumput dan peralihan antara savana dengan hutan. Salah satu kamera trap berhasil menangkap dua individu yang berbeda, yaitu individu jantan dan individu betina. Setelah individu harimau selesai diidentifikasi menurut jenis kelaminnya kemudian di beri indentitas (ID) nama harimau, yaitu Agam (jantan), Cut (betina), Ineung (betina), Mayang (betina) dan Rayeuk (betina). Data hasil identifikasi individu harimau sumatera menurut jenis kelamin yang disajikan dalam tabel :

Tabel 4. Individu harimau berdasarkan jenis kelamin pada tipe habitat

No ID harimau Jenis kelamin

Tipe habitat

Hutan pegunungan Hutan sub-pegunungan 1 Agam Jantan -  2 Cut Betina -  3 Ineung Betina  - 4 Mayang Betina  - 5 Rayeuk Betina -  Keterangan :  = ada (-) = tidak ada

5.1.1.3. Struktur Umur Harimau Sumatera

Hasil identifikasi foto, terdapat 5 individu harimau sumatera. Struktur umur, individu harimau yang tertangkap kamera trap merupakan tingkatan dewasa. Sedangkan anakan (sub-adult) individu harimau tidak tertangkap kamera trap sama sekali. Individu harimau sumatera berdasarkan struktur umur disajikan pada tabel :

Tabel 5. Individu harimau berdasarkan kelas umur pada tipe habitat

No ID harimau Kelas umur

Tipe habitat

Hutan pegunungan Hutan sub-pegunungan 1 Agam Dewasa -  2 Cut Dewasa -  3 Ineung Dewasa  - 4 Mayang Dewasa  - 5 Rayeuk Dewasa -  Keterangan :  = ada (-) = tidak ada

5.1.1.4. Tingkat Perjumpaan (ER) Harimau Sumatera dan Mangsa

Hasil perhitungan terhadap tingkat perjumpaan harimau sumatera di dua tipe habitat menggunakan kamera trap, disajikan dalam diagram batang berikut :

Gambar 5. ER harimau sumatera

0 14,29 2,86 0 5,71 0 11,43 0 0 0 8,57 0 0 0 0 0 0 0 0 0 2 4 6 8 10 12 14 16 ER Harim au Kode kamera

Berdasarkan diagram batang diatas menunjukkan bahwa tingkat perjumpaan (ER) harimau sumatera lebih tinggi di hutan sub-pegunungan dibandingkan di hutan pegunungan. Perhitungan hasil ini didasarkan pada jumlah individu harimau sumatera yang tertangkap kamera trap di 19 titik pemasangan. Dari 19 kamera trap yang terpasang hanya empat kamera trap yang berhasil menangkap aktivitas harimau sumatera dengan kode kamera RC02, RC03, RC07 dan RC11. Kamera RC02 memiliki ER paling tinggi dibandingkan dengan kamera RC lainnya.

Hasil perhitungan terhadap tingkat perjumpaan satwa mangsa di dua tipe habitat menggunakan kamera trap, disajikan dalam tabel dan diagram batang berikut :

Tabel 6. Tingkat perjumpaan satwa mangsa

No Nama Satwa Nama Ilmiah ER

Rata-rata

1 Kijang Muntiacus muntjak 9,47

2 Rusa sambar Cervus unicolor 13,06

3 Kancil Tragulus napu 0,65

4 Beruk Macaca nemestrina 3,84

5 Landak Hystrix brachyura 1,98

6 Beruang madu Helarctos malayanus 0,90

7 Babi jenggot Sus barbatus 0,16

8 Binturong Arctictis binturong 0,45

9 Sempidan sumatera Lophura inormata 0,82 10 Kuau-kerdil sumatera Polyplectron chalcurum 0,98

11 Musang galing Paguma larvata 0,90

Gambar 6. ER satwa mangsa

0 2 4 6 8 10 12 14 ER rat a-rat a

Berdasarkan data diatas menunjukan bahwa tingkat perjumpaan satwa mangsa yang memiliki nilai ER terbesar adalah rusa sambar (Cervus unicolor). Persebaran satwa ini yang luas mulai dari hutan pegunungan dan sub-pegunungan. Hal ini dapat diperjelas dengan teridentifikasi melalui hasil kamera trap di dua tipe habitat tersebut. Ketersediaan sumber pakan dan air yang melimpah terutama di padang rumput kawasan hutan pegunungan sangat membantu untuk perkembangbiakan. Selama penelitian dilapangan mudah untuk melihat secara langsung maupun tidak langsung (jejak) dan sisa aktivitas lainnya. Babi jenggot (Sus barbatus) memiliki nilai ER yang rendah. Selama pemasangan kamera trap, babi jenggot hanya terekam/terfoto beberapa segmen saja. Hal tersebut kecenderungan satwa ini tersingkir oleh populasi rusa sambar dan kijang.

Dokumen terkait