• Tidak ada hasil yang ditemukan

DAFTAR LAMPIRAN

2.1. Fenomena ENSO di Samudera Pasifik

Samudera Pasifik tropik memiliki mode variabilitas iklim yang unik dan hingga saat ini mendapat perhatian yang mendalam dari para peneliti di bidang Oseanografi dan Iklim. Mode variabilitas tersebut dikenal dengan istilah ENSO (El Nino-Southern Oscillation). Istilah ENSO digunakan untuk menyatakan adanya suatu fenomena interaksi antara lautan dan atmosfer, dengan El Nino dinyatakan sebagai fenomena lautan dan Southern Oscillation sebagai fenomena atmosfer.

Hujan di Indonesia memang dipengaruhi oleh ENSO (El Nino-Southern Oscillation), tetapi besar kecilnya pengaruh itu beragam dari satu tempat ke tempat yang lain. Pengaruh itu sangat besar pada daerah yang memiliki pola hujan monsun, kecil pada daerah yang memiliki pola hujan ekuatorial serta tidak jelas pada daerah yang memiliki pola lokal (Boer, 2002).

El Nino merupakan salah satu bentuk penyimpangan iklim di Samudera Pasifik yang ditandai dengan kenaikan SST (Sea Surface Temperature) di daerah katulistiwa bagian tengah dan timur. Sebagai indikator untuk memantau kejadian El Nino, biasanya digunakan data pengukuran SPL di zona Nino3.4 (170oBB - 120oBB, 5oLS - 5oLU), dimana anomali positif mengindikasikan terjadinya El Nino. Kenaikan anomali SST Nino3.4 diikuti dengan melemahnya angin pasat (trade winds) yang mengakibatkan pergeseran daerah konveksi pembentukan awan-awan hujan. Pada kondisi normal, daerah konveksi berada di daerah barat Samudera Pasifik. Namun, pada kondisi El Nino, zona konveksi bergeser ke tengah-tengah Samudera Pasifik. Kondisi ini biasanya terjadi menjelang akhir tahun, sehingga akibatnya bagi Indonesia dapat kita tebak. Musim penghujan yang biasanya terjadi di akhir tahun akan diganti dengan kemarau karena pengaruh El Nino. Jejak terakhir El Nino yang terekam dari data SPL di zona Nino3.4 adalah terjadi pada akhir tahun 2002/2003 (Iskandar, 2007).

Jika El Nino mengakibatkan kekeringan, maka lain halnya dengan La Nina. Bertolak belakang dengan El Nino, fenomena La Nina ditandai dengan menurunnya SPL di zona Nino3.4 (anomali negatif), sehingga sering juga disebut sebagai fase dingin. Karena sifatnya yang dingin ini, kedatangannya juga dapat

menimbulkan petaka di berbagai kawasan kathulistiwa, termasuk Indonesia. Curah hujan berlebihan yang menyertai kedatangan La Nina dapat menimbulkan banjir dan tanah longsor di berbagai wilayah di Indonesia (Iskandar, 2007).

Dalam seratus tahun terakhir, sedikitnya telah terjadi El Nino sekitar 25 kali dengan intensitas sedang sampai kuat, dan terdapat kecenderungan meningkatnya frekuensi El Nino dalam kurun waktu 20 tahun terakhir, yaitu dengan kejadian tahun 1977/1978, 1982/1983, 1987, 1991/92/93/94 dan 1997/1998 (Pawitan, 1998).

2.1.1. Sea Surface Temperature (SST)

SST merupakan salah satu indikator utama keberadaan penyimpangan iklim. Penyimpangan iklim memerlukan pengukuran dan prediksi secara teratur dan benar. Indikator yang benar yang digunakan untuk melihat seberapa besar pengaruh penyimpangan iklim (El Nino dan La Nina) dengan intensitas curah hujan adalah anomali pola tahunan suhu permukaan laut (SST) yang diperoleh dari teknik penginderaan jauh. Nilai SST menggambarkan proses interaksi antara lautan dan atmosfer. Secara umum nilai SST yang tinggi menandakan daerah tersebut lebih konvektif dan merupakan daerah dengan udara yang renggang sehingga daerah tersebut dapat dikatakan sebagai daerah sasaran pergerakan angin (Philander et al., 1990).

Suhu muka laut di wilayah perairan Indonesia, wilayah bagian barat lautan Pasifik, relatif tidak berubah dengan suhu laut rata-rata 29oC. Suhu laut sekitar di wilayah Indonesia bagian timur (laut Arafura, laut Timor dan laut Flores) dapat lebih rendah 1oC pada saat terjadi El Nino. Hanya saja suhu muka laut yang hanya 0.5oC saja dapat berpengaruh sangat besar terhadap curah hujan di wilayah tersebut. Sebaliknya suhu muka laut yang wajar antara 22-24oC, di wilayah Pasifik bagian timur dapat naik menjadi 26-29oC pada saat terjadi El Nino. Untuk memantau El Nino, lautan Pasifik di bagi menjadi empat wilayah. Iklim di Indonesia dan Australia umumnya sangat berkaitan erat dengan wilayah Nino 3 dan Nino 4 (Prabowo et al., 2002).

Selama perkembangan El Nino, struktur permukaan laut Samudera Paisifk seperti pada Gambar 1. menunjukkan adanya air hangat di lapisan dalam yang tidak normal dan meningkatnya kedalaman termoklin di sepanjang Pasifik tropis bagian timur, sehingga kemiringan (slope) berkurang sepanjang basin tersebut.

Pada episode El Niño yang sangat kuat, termoklin secara nyata menjadi datar di seluruh Pasifik tropis untuk waktu beberapa bulan. Kondisi ini diikuti dengan adanya sea level yang lebih tinggi dari normalnya di Pasifik bagian timur, yang menghasilkan penurunan kemiringan (slope) ketinggian permukan laut di sepanjang basin tersebut. Evolusi ini terjadi sebaliknya pada episode La Niña (Philander et al., 1990).

Gambar 1.Struktur laut Samudera Pasifik pada saat El Nino dan La Nina (sumber : http://www.cpc.ncep.noaa.gov)

Menurut Haryanto (1998), yang dimaksud dengan tahun El Nino adalah periode dimana kondisi anomali SST di kawasan ekuator samudera pasifik bagian tengah dan timur > 1oC dari rata-rata kurun waktu tertentu dan kondisi global anomali SOI berada pada kisaran rata-rata di bawah -10. Tabel menunjukkan besar tingkat anomali SST, maka tingkat kekuatan El Nino di bagi dalam empat kategori :

Tabel 1. Tingkat anomali SST berdasarkan kekuatan El Nino Anomali SST (oC) Kondisi > 3 Sangat kuat 2.5 – 3 Kuat 1.5 – 2.5 Lemah 0 – 1.5 Sangat lemah Sumber : Haryanto (1998)

Dupe et al. (2002) telah melakukan analisis visual terhadap grafik data SST dan anomali SST untuk seluruh daerah pengamatan El Nino, menunjukkan bahwa daerah Nino 3-4 memperlihatkan distribusi yang lebih berpola, sehingga dapat dikategorikan bahwa daerah Nino 3-4 adalah daerah yang lebih representatif untuk mendefinisikan El Nino.

2.1.2. Southern Oscillation Indek (SOI)

SOI yang mengacu pada perbedaan tekanan atmosfer antara Tahiti (di Timur pasifik bagian ekuator) dan Darwin (di pantai utara Australia). Semakin negative nilai SOI berarti semakin kuat kejadian panas (El-Nino), sebaliknya semakin positif nilai SOI semakin kuat kejadian dingin (La-Nina) (Boer, 1999).

Dokumen terkait