• Tidak ada hasil yang ditemukan

Identifikasi Fenomena ENSO (El Nino-Southern Oscillation) DAN IOD (Indian Ocean Dipole) terhadap Dinamika Waktu Tanam Padi di Daerah Jawa Barat (Studi Kasus Kabupaten Indramayu dan Cianjur)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Identifikasi Fenomena ENSO (El Nino-Southern Oscillation) DAN IOD (Indian Ocean Dipole) terhadap Dinamika Waktu Tanam Padi di Daerah Jawa Barat (Studi Kasus Kabupaten Indramayu dan Cianjur)"

Copied!
184
0
0

Teks penuh

(1)

DINAMIKA WAKTU TANAM PADI

DI DAERAH JAWA BARAT

(Studi Kasus Kabupaten Indramayu dan Cianjur)

ERICA PURWANDINI SEPTICORINI

SEKOLAH PASCA SARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Identifikasi Fenomena ENSO (El Nino-Southern Oscillation) DAN IOD (Indian Ocean Dipole) terhadap Dinamika Waktu Tanam Padi di Daerah Jawa Barat (Studi Kasus Kabupaten Indramayu dan Cianjur) adalah karya saya dengan komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada Perguruan Tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau di kutip dari karya yang diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian tesis ini.

Bogor, Januari 2009

Erica P. Septicorini

NRP G251060041

(3)

ERICA PURWANDINI SEPTICORINI. Identification of ENSO (El Nino-Southern Oscillation) and IOD (Indian Ocean Dipole) to the Dynamical Period of Rice Planting in West Java (A Case study in Cianjur and Indramayu Region). Under supervision of Prof. Dr. Ir. YONNY KOESMARYONO, MS and IDUNG RISDIYANTO, S.Si. M.Sc.

Adjusting agricultural activities to the climate characteristics d IOD using satellite images. The relation of rainfall and regional climate were analyzed by correlation at each rainfall station. Satellite images analysis was done for monitoring, and last the onset delineation related to ENSO and IOD were done to determine which regions that more sensitive to thwas one of an alternative way to minimize climate risk in agriculture. Indonesian climate was affected by ENSO (El Nino Southern Oscillation). In El Nino year, the dry season would be earlier and longer than Normal year. Research objectives were to: (1) Analyze the effect of ENSO and IOD to the West Java rainfall, (2) Analyze the sensitivity and dynamical period of rice planting based on planting calendar; (3) Identify planting period and planting area that were influenced by ENSO ane climate anomaly. Result showed that, Indramayu was more vulnerable to regional climate anomaly than Cianjur especially by ENSO. In Indramayu, the IOD and ENSO anomaly affected in JJA and SON period where the correlations between ENSO and rainfall stations values in JJA was 46,00 % and became greater in SON. Most area in Indramayu were moderately affected by ENSO at the values of 61,30 % in JJA and strongly affected in SON at the values of 49,28 % and moderately affected by IOD at the values of 58,73 %. Contrary, in Cianjur was more affected by IOD. IOD effects occurred in JJA and SON, with the area that was influenced by IOD were 57,26 % and 58,91 % respectively. These indicated that there were shifting period of rice planting in Indramayu and Cianjur for 40 – 60 days and 10-20 days from onset respectively. Based on image monitoring in 1997 as the ENSO and IOD year, it was known that in 1997, 2.26 % of rice planting area were failed to be harvested . In 2001 there was decrement of 45,14 % of rice planting area for the period of July – September which indicated that there were harvested area in Indramayu. While in Cianjur there wasn’t any harvested area in June and July1997, and in 2001 there were harvested about 41,85 % in June - August. This result was appropriate with NDVI values that also indicated the decrement of harvested area in ENSO and IOD years.

(4)

ERICA PURWANDINI SEPTICORINI. Identifikasi Fenomena ENSO (El Nino-Southern Oscillation) DAN IOD (Indian Ocean Dipole Mode) terhadap Dinamika Waktu Tanam Padi di Daerah Jawa Barat (Studi Kasus Kabupaten Indramayu dan Cianjur). Dibimbing oleh Prof. Dr. Ir. YONNY KOESMARYONO, MS dan IDUNG RISDIYANTO, S.Si. M.Sc.

Fluktuasi ketersediaan pangan sangat dipengaruhi variasi iklim dan cuaca. Faktor iklim dan cuaca adalah faktor alam yang sangat sulit dikendalikan sehingga alternatifnya adalah bagaimana untuk menyesuaikan kegiatan pertanian terhadap perilaku iklim dan cuaca tersebut. Kondisi iklim dan cuaca di Indonesia sering dipengaruhi oleh fenomena yang terjadi di Samudera Pasifik Tropik. Fenomena El-Nino akan mempengaruhi periode musim kemarau, dimana pada saat El-Nino musim kemarau dapat datang lebih awal dan dapat terjadi dengan periode yang lebih lama dibandingkan saat kondisi normal. Tujuan penelitian ini adalah: (1) Menganalisis dampak ENSO dan IOD terhadap curah hujan di daerah Jawa Barat; (2) Menganalisis sensitivitas dan dinamika waktu tanam berdasarkan kalender tanam; (3) Mengidentifikasi waktu tanam dan luas tanaman padi yang terpengaruh oleh ENSO dan IOD dengan menggunakan citra satelit.

Analisis hubungan Curah Hujan dengan iklim regional dilakukan dengan korelasi pada masing-masing stasiun hujan untuk mengetahui seberapa besar iklim regional mempengaruhi fluktuasi curah hujan. Korelasi Lag dilakukan untuk melihat maju mundurnya hubungan antara CH dengan iklim regional. Analisis sensitifitas dan dinamika kalender tanam pada stasiun-stasiun dilakukan untuk melihat pola pergeseran onset. Analisis citra dilakukan untuk monitoring. Dan dilakukan deliniasi onset terkait dengan ENSO dan IOD untuk mempermudah dalam menentukan daerah yang sensitif terhadap anomali iklim.

Hasil analisis menunjukkan, Indramayu merupakan kabupaten yang paling rentan terhadap anomali iklim regional terutama oleh ENSO, sifat pola hujannya sangat tegas menunjukkan puncak dan lembah (monsunal) serta curah hujan rata-rata setiap tahunnya relatif rendah (124 mm/bulan) dibandingkan derah Cianjur yang relatif paling sedikit dipengaruhi oleh kedua fenomena tersebut dengan curah hujan sebesar 174 mm/bulan.

(5)

tahun 2001 dari bulan Juli – September terjadi penurunan luas tanaman karena panen sebesar 45,14%. Untuk wilayah Cianjur, pada tahun 2001 mengalami penurunan luas tanam dari bulan Juni sampai Agustus yaitu sebesar 41,85%. Sedangkan pada tahun 1997, pada bulan Juni sampai Juli belum terjadi pemanenan. Pada wilayah Cianjur, tidak telihat adanya panen pada bulan Juni-Juli (1997) dan pada bulan Juni-Agustus terpantau luas panen sebesar 41,85% (2001). Hal tersebut menjelaskan dampak adanya ENSO dan IOD mempengaruhi luas panen, dimana diketahui bahwa pada tahun kejadian ENSO dan IOD mengalami penurunan luas tanam dan panen tanaman padi.

Daerah Jawa Barat bagian utara dipengaruhi oleh ENSO dan IOD. Daerah Selatan Jawa Barat hanya dipengaruhi oleh IOD. Pengaruh dari iklim regional tersebut tampak jelas pada JJA dan SON. Sensitivitas dan dinamika kalender tanam pada wilayah utara Jawa Barat (Indramayu) terdapat pergeseran sekitar 4-6 dasarian, sedangkan untuk daerah selatan Jawa Barat yaitu Cianjur mengalami pergeseran 1-2 dasarian. Melalui pemantauan citra, dampak adanya fenomena ENSO dan IOD tersebut menyebabkan terjadinya penurunan luas tanam dan panen tanaman padi.

(6)

© Hak Cipta milik IPB, Tahun 2009

Hak Cipta dilindungi Undang – Undang

1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumber

a. Pengutipan karya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah

b. Pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB

(7)

DINAMIKA WAKTU TANAM PADI

DI DAERAH JAWA BARAT

(Studi Kasus Kabupaten Indramayu dan Cianjur)

ERICA PURWANDINI SEPTICORINI

Tesis

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada

Program Studi Agroklimatologi

SEKOLAH PASCA SARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2009

(8)

Kasus Kabupaten Indramayu dan Cianjur) Nama : Erica Purwandini Septicorini

NRP : G251060041

Disetujui

Komisi Pembimbing

Prof. Dr. Ir. Yonny Koesmaryono, MS. Idung Risdiyanto, S.Si M.Sc.

Ketua Anggota

Diketahui

Ketua Program Studi Dekan Program Pascasarjana

Agroklimatologi

Dr. Ir. Sobri Effendi, M.Si. Prof. Dr. Ir. Khairil Anwar Notodipuro, M.Si

(9)

Penguji luar komisi : Ir. Yayan Apriyana, M.Sc

(10)

Penulis dilahirkan di Jember Jawa Timur pada tanggal 1 September 1982 sebagai anak dari pasangan Bapak Marikin, SP. MM. dan Ibu Tien Kastinah, Spd. Penulis merupakan anak pertama dari tiga bersaudara.

Pendidikan Sarjana ditempuh di Institut Pertanian Bogor, Fakultas Kehutanan, Program Studi Budidaya Hutan, pada tahun 2001 dan lulus tahun 2006. Pada tahun yang sama penulis diterima menjadi mahasiswi Institut Pertanian Bogor, Sekolah Pasca Sarjana, Program Studi Agroklimatologi.

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister IPB, Penulis melakukan penelitian dengan judul Identifikasi Fenomena ENSO (El

Nino-Southern Oscillation) dan IOD (Indian Ocean Dipole) terhadap Dinamika

(11)

DINAMIKA WAKTU TANAM PADI

DI DAERAH JAWA BARAT

(Studi Kasus Kabupaten Indramayu dan Cianjur)

ERICA PURWANDINI SEPTICORINI

SEKOLAH PASCA SARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(12)

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Identifikasi Fenomena ENSO (El Nino-Southern Oscillation) DAN IOD (Indian Ocean Dipole) terhadap Dinamika Waktu Tanam Padi di Daerah Jawa Barat (Studi Kasus Kabupaten Indramayu dan Cianjur) adalah karya saya dengan komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada Perguruan Tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau di kutip dari karya yang diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian tesis ini.

Bogor, Januari 2009

Erica P. Septicorini

NRP G251060041

(13)

ERICA PURWANDINI SEPTICORINI. Identification of ENSO (El Nino-Southern Oscillation) and IOD (Indian Ocean Dipole) to the Dynamical Period of Rice Planting in West Java (A Case study in Cianjur and Indramayu Region). Under supervision of Prof. Dr. Ir. YONNY KOESMARYONO, MS and IDUNG RISDIYANTO, S.Si. M.Sc.

Adjusting agricultural activities to the climate characteristics d IOD using satellite images. The relation of rainfall and regional climate were analyzed by correlation at each rainfall station. Satellite images analysis was done for monitoring, and last the onset delineation related to ENSO and IOD were done to determine which regions that more sensitive to thwas one of an alternative way to minimize climate risk in agriculture. Indonesian climate was affected by ENSO (El Nino Southern Oscillation). In El Nino year, the dry season would be earlier and longer than Normal year. Research objectives were to: (1) Analyze the effect of ENSO and IOD to the West Java rainfall, (2) Analyze the sensitivity and dynamical period of rice planting based on planting calendar; (3) Identify planting period and planting area that were influenced by ENSO ane climate anomaly. Result showed that, Indramayu was more vulnerable to regional climate anomaly than Cianjur especially by ENSO. In Indramayu, the IOD and ENSO anomaly affected in JJA and SON period where the correlations between ENSO and rainfall stations values in JJA was 46,00 % and became greater in SON. Most area in Indramayu were moderately affected by ENSO at the values of 61,30 % in JJA and strongly affected in SON at the values of 49,28 % and moderately affected by IOD at the values of 58,73 %. Contrary, in Cianjur was more affected by IOD. IOD effects occurred in JJA and SON, with the area that was influenced by IOD were 57,26 % and 58,91 % respectively. These indicated that there were shifting period of rice planting in Indramayu and Cianjur for 40 – 60 days and 10-20 days from onset respectively. Based on image monitoring in 1997 as the ENSO and IOD year, it was known that in 1997, 2.26 % of rice planting area were failed to be harvested . In 2001 there was decrement of 45,14 % of rice planting area for the period of July – September which indicated that there were harvested area in Indramayu. While in Cianjur there wasn’t any harvested area in June and July1997, and in 2001 there were harvested about 41,85 % in June - August. This result was appropriate with NDVI values that also indicated the decrement of harvested area in ENSO and IOD years.

(14)

ERICA PURWANDINI SEPTICORINI. Identifikasi Fenomena ENSO (El Nino-Southern Oscillation) DAN IOD (Indian Ocean Dipole Mode) terhadap Dinamika Waktu Tanam Padi di Daerah Jawa Barat (Studi Kasus Kabupaten Indramayu dan Cianjur). Dibimbing oleh Prof. Dr. Ir. YONNY KOESMARYONO, MS dan IDUNG RISDIYANTO, S.Si. M.Sc.

Fluktuasi ketersediaan pangan sangat dipengaruhi variasi iklim dan cuaca. Faktor iklim dan cuaca adalah faktor alam yang sangat sulit dikendalikan sehingga alternatifnya adalah bagaimana untuk menyesuaikan kegiatan pertanian terhadap perilaku iklim dan cuaca tersebut. Kondisi iklim dan cuaca di Indonesia sering dipengaruhi oleh fenomena yang terjadi di Samudera Pasifik Tropik. Fenomena El-Nino akan mempengaruhi periode musim kemarau, dimana pada saat El-Nino musim kemarau dapat datang lebih awal dan dapat terjadi dengan periode yang lebih lama dibandingkan saat kondisi normal. Tujuan penelitian ini adalah: (1) Menganalisis dampak ENSO dan IOD terhadap curah hujan di daerah Jawa Barat; (2) Menganalisis sensitivitas dan dinamika waktu tanam berdasarkan kalender tanam; (3) Mengidentifikasi waktu tanam dan luas tanaman padi yang terpengaruh oleh ENSO dan IOD dengan menggunakan citra satelit.

Analisis hubungan Curah Hujan dengan iklim regional dilakukan dengan korelasi pada masing-masing stasiun hujan untuk mengetahui seberapa besar iklim regional mempengaruhi fluktuasi curah hujan. Korelasi Lag dilakukan untuk melihat maju mundurnya hubungan antara CH dengan iklim regional. Analisis sensitifitas dan dinamika kalender tanam pada stasiun-stasiun dilakukan untuk melihat pola pergeseran onset. Analisis citra dilakukan untuk monitoring. Dan dilakukan deliniasi onset terkait dengan ENSO dan IOD untuk mempermudah dalam menentukan daerah yang sensitif terhadap anomali iklim.

Hasil analisis menunjukkan, Indramayu merupakan kabupaten yang paling rentan terhadap anomali iklim regional terutama oleh ENSO, sifat pola hujannya sangat tegas menunjukkan puncak dan lembah (monsunal) serta curah hujan rata-rata setiap tahunnya relatif rendah (124 mm/bulan) dibandingkan derah Cianjur yang relatif paling sedikit dipengaruhi oleh kedua fenomena tersebut dengan curah hujan sebesar 174 mm/bulan.

(15)

tahun 2001 dari bulan Juli – September terjadi penurunan luas tanaman karena panen sebesar 45,14%. Untuk wilayah Cianjur, pada tahun 2001 mengalami penurunan luas tanam dari bulan Juni sampai Agustus yaitu sebesar 41,85%. Sedangkan pada tahun 1997, pada bulan Juni sampai Juli belum terjadi pemanenan. Pada wilayah Cianjur, tidak telihat adanya panen pada bulan Juni-Juli (1997) dan pada bulan Juni-Agustus terpantau luas panen sebesar 41,85% (2001). Hal tersebut menjelaskan dampak adanya ENSO dan IOD mempengaruhi luas panen, dimana diketahui bahwa pada tahun kejadian ENSO dan IOD mengalami penurunan luas tanam dan panen tanaman padi.

Daerah Jawa Barat bagian utara dipengaruhi oleh ENSO dan IOD. Daerah Selatan Jawa Barat hanya dipengaruhi oleh IOD. Pengaruh dari iklim regional tersebut tampak jelas pada JJA dan SON. Sensitivitas dan dinamika kalender tanam pada wilayah utara Jawa Barat (Indramayu) terdapat pergeseran sekitar 4-6 dasarian, sedangkan untuk daerah selatan Jawa Barat yaitu Cianjur mengalami pergeseran 1-2 dasarian. Melalui pemantauan citra, dampak adanya fenomena ENSO dan IOD tersebut menyebabkan terjadinya penurunan luas tanam dan panen tanaman padi.

(16)

© Hak Cipta milik IPB, Tahun 2009

Hak Cipta dilindungi Undang – Undang

1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumber

a. Pengutipan karya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah

b. Pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB

(17)

DINAMIKA WAKTU TANAM PADI

DI DAERAH JAWA BARAT

(Studi Kasus Kabupaten Indramayu dan Cianjur)

ERICA PURWANDINI SEPTICORINI

Tesis

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada

Program Studi Agroklimatologi

SEKOLAH PASCA SARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2009

(18)

Kasus Kabupaten Indramayu dan Cianjur) Nama : Erica Purwandini Septicorini

NRP : G251060041

Disetujui

Komisi Pembimbing

Prof. Dr. Ir. Yonny Koesmaryono, MS. Idung Risdiyanto, S.Si M.Sc.

Ketua Anggota

Diketahui

Ketua Program Studi Dekan Program Pascasarjana

Agroklimatologi

Dr. Ir. Sobri Effendi, M.Si. Prof. Dr. Ir. Khairil Anwar Notodipuro, M.Si

(19)

Penguji luar komisi : Ir. Yayan Apriyana, M.Sc

(20)

Penulis dilahirkan di Jember Jawa Timur pada tanggal 1 September 1982 sebagai anak dari pasangan Bapak Marikin, SP. MM. dan Ibu Tien Kastinah, Spd. Penulis merupakan anak pertama dari tiga bersaudara.

Pendidikan Sarjana ditempuh di Institut Pertanian Bogor, Fakultas Kehutanan, Program Studi Budidaya Hutan, pada tahun 2001 dan lulus tahun 2006. Pada tahun yang sama penulis diterima menjadi mahasiswi Institut Pertanian Bogor, Sekolah Pasca Sarjana, Program Studi Agroklimatologi.

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister IPB, Penulis melakukan penelitian dengan judul Identifikasi Fenomena ENSO (El

Nino-Southern Oscillation) dan IOD (Indian Ocean Dipole) terhadap Dinamika

(21)

Puji dan syukur ke hadirat yang Maha Agung Allah SWT atas rahmat dan hidayah-Nya Shalawat serta salam tercurah kepada Nabi dan Rasul Muhammad SAW besrta keluarganya, sehingga penulis dapat menyelesaikan Tesis ini yang berjudul Identifikasi Fenomena ENSO (El Nino-Southern Oscillation) dan IOD (Indian Ocean Dipole Mode) terhadap Dinamika Waktu Tanam Padi di Daerah Jawa Barat (Studi Kasus Kabupaten Indramayu dan Cianjur) dapat terselesaikan dengan baik.

Dalam penelitian dan penyusunan Tesis ini penulis telah banyak dibantu dan dibimbing oleh berbagai pihak. Oleh karena itu, penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada :

1. Bapak Prof. Dr. Ir. Yonny Koesmaryono, MS dan Bapak Idung Risdiyanto, S.Si. M.Sc selaku dosen pembimbing yang telah berkenan meluangkan waktu, memberikan banyak arahan dan bimbingan dari awal sampai selesainya Tesis ini.

2. Papa, Mama, Mbah Putri dan segenap keluarga yang selalu senantiasa memberikan doa, kasih sayang, kebahagiaan dan restu.

3. Badan Peneliti dan Pengembangan Departemen Pertanian yang telah membantu pendanaan penelitian ini melalui program KKP3T.

4. Bapak Ir. Yayan Apriyana, M.Sc sebagai penguji dari Balai Penelitian dan Klimatologi, sekaligus banyak memberikan bimbingan dan arahan dari awal penelitian hingga selesainya Tesis ini.

5. Bapak Jun, Mas Wahyu terimakasih atas semua bantuannya.

6. Teman – teman Agroklimatologi 2006: Ira, Mba Ni’ma, Pak Wawan, Ibu Popi, Pak Yayan, Pak Syakur, Pak Muji (Alm).

7. Teman – teman proyek KKP3T 2008: Gia, Rini dan Siska atas segala kerjasamanya.

8. Teman – teman dan sahabat terbaik yang tidak mungkin disebut satu persatu , semoga Allah SWT mencatatnya sebagai kebaikan disisi-Nya. 9. Seluruh Dosen, Staf Pengajar dan Tata Usaha Departemen Geofisika dan

(22)

menyempurnakan Tesis ini, selain itu juga penulis mengharapkan hasil yang tertuang dalam Tesis ini dapat bermanfaat, Amin.

Bogor, Februari 2009

(23)

Halaman DAFTAR TABEL ... ii DAFTAR GAMBAR ... iii DAFTAR LAMPIRAN ... v I. PENDAHULUAN ... 1

1.1. Latar Belakang ... 1 1.2. Tujuan Penelitian ... 3 1.3. Manfaat Penelitian ... 3 II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Fenomena ENSO di Samudera Pasifik ... 4 2.2. Fenomena Dipole Mode di Samudera Hindia ... 7 2.3. Curah Hujan ... 9 2.4. Tanaman Padi ... 10 2.5. Musim Tanam ... 11 2.6. Produksi Pangan Nasional ... 12 2.7. Normalizad Difierence Vegetation Index (NDVI)... 12 2.8. Kondisi Umum Kabupaten Indramayu ... 15 2.9. Kondisi Umum Kabupaten Cianjur ... 15 III. METODE PENELITIAN

3.1. Lokasi dan Waktu Penelitian ... 17 3.2. Bahan dan Alat... 17 3.3. Metode Penelitian ... 17 IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1. Analisis Pengaruh ENSO dan IOD terhadap Curah Hujan ... 26 4.1.1. Pola Distribusi Curah Hujan ... 26 4.1.2. Distribusi Stasiun Hujan yang Dipengaruhi oleh ENSO dan

IOD ... 28 4.1.3. Bentuk Spasial Koefisien Korelasi antara Curah Hujan

dengn ENSO dan IOD... 30 4.2. Dinamika Waktu dan Luas Tanam terhadap ENSO dan IOD ... 35 4.2.1. Hubungan dampak ENSO dan IOD terhadap Luas Tanam .... 35 4.2.2. Dinamika Kalender Tanam terhadap Fenomena ENSO

dan IOD ... 39 4.8. Monitoring Citra ... 42 4.8. Deliniasi Onset dan Sensitifitasnya terhadap ENSO dan IOD ... 49 V. KESIMPULAN DAN SARAN

(24)

DAFTAR TABEL

Halaman 1. Tingkat Anomali SST berdasarkan Kekuatan El Nino ... 6 2. Kriteria Tahun Basah, Normal dan Kering ... 9 3. Nilai NDVI dan Tingkat Kehijauan Tanaman ... 13 4. Onset Kalender Tanam untuk Tanaman Padi Sawah ... 22 5. Luas Wilayah yang Terpengaruh oleh ENSO dan IOD di Kabupaten Indramayu ... 31 6. Luas Wilayah yang Terpengaruh oleh IOD di Kabupaten Cianjur ... 34 7. Luas Kenampakan Tanaman Padi pada Citra ... 47 8. Luas Sawah yang Terpengaruh oleh ENSO dan IOD di Kabupaten Indramayu ... 48 9. Luas Sawah yang Terpengaruh oleh ENSO dan IOD di

(25)

DAFTAR GAMBAR

Halaman 1. Struktur laut Samudera Pasifik pada saat El Nino dan La Nina ... 6

2. Pola spasial anomali suhu permukaan laut (SPL) dan medan angin permukaan pada saat Dipole Mole ... 8 3. Grafik Hubungan Tingkat Kehijauan (NDVI) dengan Umur

Tanaman Padi Sawah ... 13 4. Posisi Daerah Nino3.4 di Samudera Pasifik ... 18 5. Lokasi Fenomena Dipole Mode di Samudera Hindia ... 19 6. Diagram Alir Tahap Penelitian ... 25 7. Fluktuasi Curah Hujan Bulanan dan Anomali di Kabupaten Indramayu

Periode Tahun 1997 - 2007 ... 27 8. Fluktuasi Curah Hujan Bulanan dan Anomali di Kabupaten Cianjur

Periode Tahun 1997 - 2007 ... 27 9. Distribusi Stasiun yang Dipengaruhi oleh Iklim Regional di Kabupaten

Indramayu ... 29 10. Distribusi Stasiun yang Dipengaruhi oleh Iklim Regional di Kabupaten

Cianjur ... 29 11. Koefisien Korelasi antara CH dengan ENSO pada Periode JJA

di Kabupaten Indramayu (interval kontur 0.1) ... 31 12. Koefisien Korelasi antara CH dengan ENSO pada Periode SON

di Kabupaten Indramayu (interval kontur 0.1) ... 32 13. Koefisien Korelasi antara CH dengan IOD pada Periode SON

di Kabupaten Indramayu (interval kontur 0.1) ... 32 14. Koefisien Korelasi antara CH dengan IOD pada Periode JJA

di Kabupaten Cianjur (interval kontur 0.1) ... 33 15. Koefisien Korelasi antara CH dengan IOD pada Periode SON

di Kabupaten Cianjur (interval kontur 0.1) ... 33 16. Luas Tanam di Kabupaten Indramayu yang Terkena dampak ENSO .... 35 17. Luas Tanam di Kabupaten Indramayu yang Terkena dampak IOD ... 35 18. Fluktuasi ENSO dan Luas Tanam Padi Sawah di Kabupaten

Indramayu ... 36 19. Fluktuasi IOD dan Luas Tanam Padi Sawah di Kabupaten

(26)

21. Fluktuasi IOD dan Luas Tanam Padi Sawah di Kabupaten

Cianjur ... 38 22. Distribusi Waktu Tanam pada Wilayah yang dipengaruhi ENSO

di Kabupaten Indramayu ... 39 23. Distribusi Waktu Tanam pada Wilayah yang dipengaruhi IOD

di Kabupaten Indramayu ... 40 24. Distribusi Waktu Tanam pada Wilayah yang Signifikan dan

Non Signifikan terhadap IOD di Kabupaten Cianjur ... 40 25. Hasil Analisis NDVI Bulan Juli dan September Tahun 1997 di Kabupaten Indramayu ... 43 26. Hasil Analisis NDVI Bulan Juli, Agustus dan September Tahun 2001

di Kabupaten Indramayu ... 44 27. Hasil Analisis NDVI Bulan Juni dan Juli Tahun 1997 di Kabupaten

Cianjur... 45 28. Hasil Analisis NDVI Bulan Juni dan Agustus Tahun 2001 di

(27)

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman 1. Onset setiap Kecamatan di Kabupaten Indramayu ... 56 2. Onset setiap Kecamatan di Kabupaten Cianjur ... 57 3. Nilai korelasi antara Curah Hujan dengan DMI dan Nino 3.4 di

Kabupaten Indramayu ... 58 4. Nilai korelasi antara Curah Hujan dengan DMI dan Nino 3.4 di

Kabupaten Cianjur ... 59 5. Luas Tanam Rata-rata (ha) di Kabupaten Indramayu ... 60 6. Luas Tanam Rata-rata (ha) pada kecamatan yang terpengaruh oleh IOD

(28)

1.1. Latar Belakang

Kebutuhan pangan masyarakat dari tahun ke tahun akan terus meningkat seiring dengan laju pertumbuhan penduduk. Sektor pertanian dituntut agar dapat meningkatkan produksi pangan dan dapat menyediakan pangan secara berkesinambungan. Fluktuasi ketersediaan pangan sangat dipengaruhi variasi iklim dan cuaca. Faktor iklim dan cuaca adalah faktor alam yang sangat sulit dikendalikan sehingga alternatifnya adalah bagaimana untuk menyesuaikan kegiatan pertanian terhadap perilaku iklim dan cuaca tersebut.

Kondisi iklim dan cuaca di Indonesia sering dipengaruhi oleh fenomena yang terjadi di Samudera Pasifik Tropik. Di beberapa wilayah seperti di Jawa, Lampung dan Bali, pengaruh kejadian ENSO (El Nino-Southern Oscilation) terhadap curah hujan sangat nyata, terutama pada musim kering. Pada tahun El-Nino, curah hujan pada Musim Kemarau II (Juli sampai Oktober) dapat turun sampai 57% curah hujan tahun normal Sebaliknya pada tahun La-Nina, curah hujan MK II dapat meningkat sampai 152% curah hujan normal (Las et al., 2007). Pada tahun El-Nino 1982, awal musim kemarau di wilayah Indonesia bagian tengah dan timur terjadi lebih awal 20 hari dari normal sedangkan akhir musim kemarau mundur 30-40 hari dari normal (Las et al., 2007).

(29)

merupakan kejadian IOD positif yang terjadi bersamaan dengan ENSO. Sebaliknya apabila IOD negatif yang bersamaan dengan ENSO akan mengurangi dampak ENSO.

Menurut Las et al. (2007), pada masa-masa mendatang perubahan iklim diperkirakan akan meningkat baik durasi maupun frekuensinya, sehingga terjadinya perubahan pola distribusi dan intensitas hujan yang terjadi akibat fenomena ENSO dan IOD tersebut akan mengakibatkan implikasi yang serius pada tanaman pangan. Fluktuasi, frekuensi dan intensitas anomali iklim yang makin meningkat, sangat nyata pengaruhnya terhadap produksi padi, sebagai akibat dari penurunan luas tanam, luas panen, dan hasil pada saat terjadi anomali iklim. Anomali iklim berdampak juga terhadap perubahan pola tanam, baik di lahan sawah irigasi maupun lahan tadah hujan.

Seperti yang dikemukan oleh Viet et al. (2001) bahwa untuk keberlanjutan pertanian akibat adanya perubahan iklim perlu dilakukan perubahan baik kalender tanam, pola tanam, maupun rotasi penanaman untuk setiap zone agroekologi. Kajian tentang pengaruh fenomena ENSO di Samudera Pasifik dan IOD di Samudera Hindia terhadap pola distribusi dan intensitas hujan, prakiraan musim, maupun terhadap peristiwa kekeringan sudah banyak dilakukan baik yang dilakukan oleh para pakar di dalam maupun di luar negeri, namun sampai sejauh mana pengaruh kedua fenomena tersebut terhadap pola tanam tananam pangan, terutama padi, masih memerlukan pengkajian yang lebih mendalam.

(30)

1.2. Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah:

a) Menganalisis dampak ENSO dan IOD terhadap curah hujan di Daerah Jawa Barat.

b) Mengetahui pengaruh ENSO dan IOD terhadap dinamika waktu dan luas tanam padi.

c) Mengidentifikasi waktu tanam dan luas tanaman padi yang terpengaruh oleh ENSO dan IOD dengan menggunakan citra satelit.

1.3. Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini adalah:

a) Menjadi referensi dalam penentuan potensi waktu tanam tanaman Padi di daerah menjadi studi kasus penelitian.

(31)

2.1. Fenomena ENSO di Samudera Pasifik

Samudera Pasifik tropik memiliki mode variabilitas iklim yang unik dan hingga saat ini mendapat perhatian yang mendalam dari para peneliti di bidang Oseanografi dan Iklim. Mode variabilitas tersebut dikenal dengan istilah ENSO (El Nino-Southern Oscillation). Istilah ENSO digunakan untuk menyatakan adanya suatu fenomena interaksi antara lautan dan atmosfer, dengan El Nino dinyatakan sebagai fenomena lautan dan Southern Oscillation sebagai fenomena atmosfer.

Hujan di Indonesia memang dipengaruhi oleh ENSO (El Nino-Southern Oscillation), tetapi besar kecilnya pengaruh itu beragam dari satu tempat ke tempat yang lain. Pengaruh itu sangat besar pada daerah yang memiliki pola hujan monsun, kecil pada daerah yang memiliki pola hujan ekuatorial serta tidak jelas pada daerah yang memiliki pola lokal (Boer, 2002).

El Nino merupakan salah satu bentuk penyimpangan iklim di Samudera Pasifik yang ditandai dengan kenaikan SST (Sea Surface Temperature) di daerah katulistiwa bagian tengah dan timur. Sebagai indikator untuk memantau kejadian El Nino, biasanya digunakan data pengukuran SPL di zona Nino3.4 (170oBB - 120oBB, 5oLS - 5oLU), dimana anomali positif mengindikasikan terjadinya El Nino. Kenaikan anomali SST Nino3.4 diikuti dengan melemahnya angin pasat (trade winds) yang mengakibatkan pergeseran daerah konveksi pembentukan awan-awan hujan. Pada kondisi normal, daerah konveksi berada di daerah barat Samudera Pasifik. Namun, pada kondisi El Nino, zona konveksi bergeser ke tengah-tengah Samudera Pasifik. Kondisi ini biasanya terjadi menjelang akhir tahun, sehingga akibatnya bagi Indonesia dapat kita tebak. Musim penghujan yang biasanya terjadi di akhir tahun akan diganti dengan kemarau karena pengaruh El Nino. Jejak terakhir El Nino yang terekam dari data SPL di zona Nino3.4 adalah terjadi pada akhir tahun 2002/2003 (Iskandar, 2007).

(32)

menimbulkan petaka di berbagai kawasan kathulistiwa, termasuk Indonesia. Curah hujan berlebihan yang menyertai kedatangan La Nina dapat menimbulkan banjir dan tanah longsor di berbagai wilayah di Indonesia (Iskandar, 2007).

Dalam seratus tahun terakhir, sedikitnya telah terjadi El Nino sekitar 25 kali dengan intensitas sedang sampai kuat, dan terdapat kecenderungan meningkatnya frekuensi El Nino dalam kurun waktu 20 tahun terakhir, yaitu dengan kejadian tahun 1977/1978, 1982/1983, 1987, 1991/92/93/94 dan 1997/1998 (Pawitan, 1998).

2.1.1. Sea Surface Temperature (SST)

SST merupakan salah satu indikator utama keberadaan penyimpangan iklim. Penyimpangan iklim memerlukan pengukuran dan prediksi secara teratur dan benar. Indikator yang benar yang digunakan untuk melihat seberapa besar pengaruh penyimpangan iklim (El Nino dan La Nina) dengan intensitas curah hujan adalah anomali pola tahunan suhu permukaan laut (SST) yang diperoleh dari teknik penginderaan jauh. Nilai SST menggambarkan proses interaksi antara lautan dan atmosfer. Secara umum nilai SST yang tinggi menandakan daerah tersebut lebih konvektif dan merupakan daerah dengan udara yang renggang sehingga daerah tersebut dapat dikatakan sebagai daerah sasaran pergerakan angin (Philander et al., 1990).

Suhu muka laut di wilayah perairan Indonesia, wilayah bagian barat lautan Pasifik, relatif tidak berubah dengan suhu laut rata-rata 29oC. Suhu laut sekitar di wilayah Indonesia bagian timur (laut Arafura, laut Timor dan laut Flores) dapat lebih rendah 1oC pada saat terjadi El Nino. Hanya saja suhu muka laut yang hanya 0.5oC saja dapat berpengaruh sangat besar terhadap curah hujan di wilayah tersebut. Sebaliknya suhu muka laut yang wajar antara 22-24oC, di wilayah Pasifik bagian timur dapat naik menjadi 26-29oC pada saat terjadi El Nino. Untuk memantau El Nino, lautan Pasifik di bagi menjadi empat wilayah. Iklim di Indonesia dan Australia umumnya sangat berkaitan erat dengan wilayah Nino 3 dan Nino 4 (Prabowo et al., 2002).

(33)

Pada episode El Niño yang sangat kuat, termoklin secara nyata menjadi datar di seluruh Pasifik tropis untuk waktu beberapa bulan. Kondisi ini diikuti dengan adanya sea level yang lebih tinggi dari normalnya di Pasifik bagian timur, yang menghasilkan penurunan kemiringan (slope) ketinggian permukan laut di sepanjang basin tersebut. Evolusi ini terjadi sebaliknya pada episode La Niña (Philander et al., 1990).

[image:33.595.167.458.551.643.2]

Gambar 1.Struktur laut Samudera Pasifik pada saat El Nino dan La Nina (sumber : http://www.cpc.ncep.noaa.gov)

Menurut Haryanto (1998), yang dimaksud dengan tahun El Nino adalah periode dimana kondisi anomali SST di kawasan ekuator samudera pasifik bagian tengah dan timur > 1oC dari rata-rata kurun waktu tertentu dan kondisi global anomali SOI berada pada kisaran rata-rata di bawah -10. Tabel menunjukkan besar tingkat anomali SST, maka tingkat kekuatan El Nino di bagi dalam empat kategori :

Tabel 1. Tingkat anomali SST berdasarkan kekuatan El Nino Anomali SST (oC) Kondisi

> 3 Sangat kuat

2.5 – 3 Kuat

1.5 – 2.5 Lemah

0 – 1.5 Sangat lemah

Sumber : Haryanto (1998)

(34)

2.1.2. Southern Oscillation Indek (SOI)

SOI yang mengacu pada perbedaan tekanan atmosfer antara Tahiti (di Timur pasifik bagian ekuator) dan Darwin (di pantai utara Australia). Semakin negative nilai SOI berarti semakin kuat kejadian panas (El-Nino), sebaliknya semakin positif nilai SOI semakin kuat kejadian dingin (La-Nina) (Boer, 1999).

2.2. Fenomena Dipole Mode di Samudera Hindia

Pada Samudera Hindia, bentuk penyimpangan iklim yang menyerupai El Nino dan La Nina, yang dikenal dengan istilah Indian Ocean Dipole (IOD). Mode Dipole India atau dikenal sebagai IOD yang merupakan anomali temperatur permukaan laut India dapat juga memberi kontribusi pada kekeringan di Indonesia. IOD mempunyai sirkulasi berbeda dari ENSO. Sebagai contoh, El Nino sering mencapai puncaknya dari Desember-Januari, sedangkan fase pematangan IOD terjadi pada Oktober (Saji et. al., 1999).

IOD sebagai gejala penyimpangan iklim yang dihasilkan oleh interaksi laut dan atmosfer di Samudera Hindia di sekitar kathulistiwa. Interaksi ini menghasilkan tekanan tinggi di Samudera Hindia bagian timur (bagian Selatan Jawa dan Barat Sumatra) yang menimbulkan aliran massa udara yang berhembus ke barat. Hembusan angin ini akan mendorong massa air di depannya dan mengangkat massa air dari bawah ke permukaan. Akibatnya, SPL di sekitar pantai Selatan Jawa dan pantai Barat Sumatra akan mengalami penurunan yang cukup drastis, sementara di dekat pantai timur Afrika tejadi kenaikan SPL. Perbedaan SPL ini (anomali positif di sebelah barat dan anomali negatif di sebelah timur) membentuk dua kutub, positif dan negatif, di Samudera Hindia yang kemudian disebut sebagai Dipole Mode Event (DME) atau IOD (Iskandar, 2007).

(35)

nIOD memiliki sifat yang sama dengan La Nina, yaitu meningkatkan curah hujan (Iskandar, 2007).

Saji et al. (1999) mencatat bahwa pada kejadian IOD, anomali SST yang dingin pertama kali tampak di sekitar selat Lombok pada periode Mei-Juni, disertai angin tenggara Samudera Hindia tropik. Pada bulan berikutnya, anomali dingin bersifat intensif dan nampak berpindah menuju ekuator sepanjang garis pantai Indonesia, sementara Samudera Hindia tropik barat mulai menghangat. Anomali angin zona sepanjang ekuator dan anomali angin sepanjang pantai dekat samudera menjadi intensif bersamaan dengan adanya dipol SST. Puncak tertinggi terjadi secara dramatis terjadi di bulan Oktober dan diikuti penurunan yang cepat di bulan selanjutnya. Pola spasial anomali SST dan medan angin di Samudera Hindia pada saat DM tahun 1961, 1994, dan 1997 ditunjukkan pada Gambar 2.

Gambar 2. Pola spasial anomali suhu permukaan laut (SPL) dan medan angin permukaan pada saat Dipole Mode (sumber : Saji et.al, 1999).

(36)

2.3. Curah Hujan

Hujan adalah faktor primer yang menjadi input dalam siklus hidrologi. Hujan berasal dari air yang terdapat diatmosfer dan sebagai hasil akhir dari proses yang berlangsung di atmosfer tersebut. Bentuk jumlah dan daerah hujan dipengaruhi oleh angin, suhu, kelembaban udara dan tekanan atmosfer yang merupakan faktor iklim. Menurut BMG hari hujan adalah hari dengan penerimaan hujan 0,5 mm atau lebih. Setiap tempat yang berbeda maka akan memiliki curah hujan yang berbeda-beda pula, dimana menurut Handoko (1993) curah hujan rata-rata tahunan sangat bervariasi menurut tempat.

Tabel 2. Kriteria Tahun Basah, Normal dan Kering No Sifat Hujan Kriteria Keterangan

1 Tahun Basah >115% Jika nilai perbandingan curah hujan tahunan terhadap rata-ratanya lebih besar dari 115% 2 Tahun Normal 850 -115% Jika nilai perbandingan curah hujan

tahunanan terhadap rata-ratanya antara 85% - 115%.

3 Tahun Kering <85% Jika nilai perbandingan curah hujan tahunanan terhadap rata-ratanya kurang dari 85%.

Sumber: Handoko (1993)

Pola hujan di Indonesia ada 3 tipe, yaitu :

1. Tipe Equatorial adalah tipe hujan yang tidak begitu jelas antara perbedaan musim hujan dan kemaraunya (mempunyai 2 puncak hujan)

2. Tipe Monsoon/Musim adalah tipe hujan yang sangat jelas perbedaan antara musim hujan dan kemarau (berbentuk “V”) Jumlah curah hujan minimum terjadi pada bulan Juni, Juli atau Agustus

3. Tipe Lokal adalah tipe hujan yang mempunyai 1 puncak hujan (kebalikan dari tipe Monsoon) Jumlah curah hujan maksimum terjadi pada bulan Juni, Juli atau Agustus

(37)

Terlihat pada penelitian yang telah dilakukan sebelumnya bahwa untuk daerah-daerah yang memiliki tipe hujan monsunal seperti Sukamandi menghasilkan pola prediksi hujan yang cukup jelas dan mirip dengan rata-ratanya. Sebaliknya, daerah-daerah dengan tipe hujan ekuatorial seperti Kotabangun, pola tersebut tidak nampak jelas (Estiningtyas, 2005). Hal ini disebabkan korelasi antara curah hujan sebagai output dan SST Niño 3.4 sebagai input untuk wilayah ekuatorial lebih rendah dibandingkan dengan wilayah monsunal (Aldrian et al., 2003), sehingga dalam proses pembelajaran model yang menghubungkan kedua parameter tersebut menghasilkan pola yang berbeda.

2.4. Tanaman Padi

Padi (Oryza sativa, L) termasuk golongan Gramineae (rumput-rumputan), yang dapat tumbuh baik di daerah tropika dan sub tropika (Siregar, 1987). Padi merupakan tanaman yang peka terhadap fros dan suhu dingin. Kisaran suhu yang memungkinkan tanaman tumbuh baik yaitu 18 – 35oC. Suhu optimal pertumbuhan padi berkisar antara 20 - 30oC. Suhu yang terlalu dingin menyebabkan biji pada malai menjadi steril (Doorenbos et al., 1979). Di indonesia suhu tidak menjadi kendala karena hampir konstan sepanjang tahun. Tanaman padi dapat tumbuh pada ketinggian 0 – 1500 mdpl. Padi membutuhkan curah hujan rata-rata 200 mm per bulan atau lebih dengan distribusi selama empat bulan. Curah hujan yang dikehendaki per tahun sebesar 1500 – 2500 mm. Secara morfologis, bagian tanaman padi dapat dikelompokkan menjadi dua, yaitu bagian vegetatif yang terdiri dari akar dan daun serta bagian generatif yang terdiri dari malai atau butiran, bunga, buah dan bentuk gabah.

(38)

2.5. Musim Tanam

Permulaan musim terbagi atas permulaan musim hujan dan musim kemarau. Permulaan musim hujan ditandai oleh curah hujan selama satu dasarian jumlahnya lebih atau sama dengan 50 mm, dan diikuti oleh jumlah curah hujan lebih atau sama dengan 50 mm. sedangkan awal permulaan musim kemarau ditandai dengan curah hujan selama satu dasarian jumlahnya kurang dari 50 mm, dan pada beberapa dasarian berikutnya jumlah curah hujan masih kurang dari 50 mm (Suciantini, 2004).

Para petani bercocok tanam dua atau tiga kali setahun tergantung pola curah hujan dan ketersediaan air irigasi pada daerah bersangkutan. Tanaman yang paling penting adalah padi, yang membutuhkan waktu sekitar 100 hari dari awal tanam sampai pemanenan. Musim kedua kemungkinan padi lagi (bila air cukup memadai), kedelai atau kacang hijau, jagung, tembakau atau sayuran. Sedang musim tanam ketiga hampir sepenuhnya tergantung pada air irigasi. Keterkaitan antara musim dengan waktu tanam di Indonesia bagian timur dapat digolongkan menjadi; musim tanam pertama dimulai dari bulan November-Februari, musim tanam kedua dari bulan Maret-Juni, dan musim tanam ketiga dari bulan Juli-Oktober (Syahbuddin et al., 2007).

(39)

2.6. Produksi Pangan Nasional

Statistik pangan nasional memperlihatkan bahwa total produksi padi di Indonesia selama 20 tahun telah mengalami peningkatan karena perbaikan varietas dan cara pengelolaan tanaman. Akan tetapi laju peningkatan ini menurun pada tahun El Nino 1991, 1994, dan 1997. Dari tahun ke tahun pengaruh El Nino terhadap penurunan produksi padi semakin besar. Ini mengindikasikan bahwa teknologi budidaya yang kita gunakan semakin rentan terhadap kejadian iklim ekstrim. Suhu muka laut di kawasan Nino 3 di laut Pasifik membantu terbentuknya ENSO. Produksi padi nasional diperkirakan menurun sebesar 1.5 juta ton jika suhu muka laut nino 3 meningkat 2oC dari normal. Produksi pangan nasional lainnya juga menurun pada tahun El Nino 1982, 1987, 1994 dan 1997 (Boer, 2006).

2.7. Normalizad Difierence Vegetation Index (NDVI)

Indek vegetasi merupakan hasil perkalian nilai secara matematis yang memberikan informasi tentang objek penginderaan jauh, khususnya vegetasi yang didasarkan pada albedo tajuk vegetasi. Indek vegetasi diturunkan dari data albedo pada spektrum merah dan infra merah dekat. Menurut Malingreu (1986), indeks vegetasi mencerminkan tingkat kehijauan vegetasi, yaitu tingkat kehijauan rendah (menggambarkan daerah kering atau non vegetasi), tingkat kehijauan sedang (menggambarkan daerah bervegetasi jarang) dan tingkat kehijauan tinggi (menggambarkan daerah bervegetasi rapat). Indeks vegetasi suatu tanaman nilainya selalu berubah mengikuti perkembangan tanaman tersebut.

NDVI merupakan fungsi yang tidak liniear, bervariasi antara -1 sampai +1, tetapi tidak terdefinisi bila spektrum merah dan infra merah dekat bernilai nol. NDVI akan bernilai negatif umumnya terjadi pada daerah spektrum visibel dibandingkan pada spektrum infra merah, yaitu pada area pemantulan tinggi seperti awan, salju, tanah gundul dan batuan. Sedangkan untuk daerah bervegetasi, NDVI akan bernilai pisitif (Wahyunto et al., 2006).

(40)

Menurut Lillisend et al., 1994, tranformasi NDVI dihitung berdasarkan rasio dari intensitas yang diukur pada band spektral yang berada disekitar warna

merah (R) dan disekitar infra merah (NIR) dengan persamaan sebagai berikut: )

/( )

(NIR red NIR red

NDVI = − +

Kenampakan sawah pada masa awal pengolahan tanah, tanaman padi ditanam (replanting) sampai berumur 4 MST masih didominasi kenampakan air, sehingga mempunyai nilai NDVI yang rendah (bahkan negatif). Seiring dengan umur tanaman, nilai NDVI bertambah tinggi (positif) dan mencapai puncaknya pada fase awal generatif (umur 10 –11 minggu setelah tanam - MST) kemudian akan menurun lagi pada fase pengisian bulir, dan seterusnya sampai fase panen (Wahyunto et al., 2006).

Tabel 3. Nilai NDVI dan Tingkat kehijauan Tanaman Kelas Nilai NDVI Tingkat kehijauan/

kondisi lahan

Umur Tanaman (MST) 1 < -0.03 Tidak bervegetasi/terbuka/air < 3

2 -0.03 s/d 0.15 Kehijauan sangat rendah 3 - 4 3 0.15 s/d 0.25 Kehijauan rendah 4 - 6 4 0.26 s/d 0.35 Kehijauan sedang 6 - 8 5 0.35 s/d 0.61 Kehijauan tinggi 8 - 13

Setelah vegetatif optimum nilai NDVI akan turun sesuai dengan tingkat kematangan bulir

Sumber: Analisis Citra Satelit (LAPAN, 1998) dalam Wahyunto et al. (2006)

Keterangan : Umur tanaman dalam hari

Sumber : Lapan (2000) dan Puslit Tanah dan Agroklimat (2000) dalam

Wahyunto et al. (2006)

(41)

Nilai NDVI dari saat tanaman padi berumur 3 - 4 MST sampai 16 MST menunjukkan bentuk kurva dengan puncaknya saat padi pada umur (fase) vegetatif optimum – padi bunting (umur sekitar 70-80 hari setelah tanam atau sekitar 10-11 MST). Nilai NDVI tanaman padi pada setiap area pewakil bukan merupakan nilai tunggal picture element(=pixel), tetapi nilai rerata dari beberapa pixel di dalam lokasi pewakil (sample areas). Sejalan dengan hasil penelitian yang telah dilakukan Widagdo (2001), menunjukkan bahwa grafik indek vegetasi selama pertumbuhan tanaman padi mulai awal tanam sampai siap dipanen berbentuk parabolik. Pada awal tanam/ pertumbuhannya nilai indeks vegetasi tanaman padi akan negatif (karena didominasi oleh kenampakan air) dan nilai indek akan semakin tinggi seiring dengan bertambahnya umur, kemudian mencapai maksimum pada umur tertentu yaitu pada saat padi bunting (pinnacleinitiation). Selanjutnya nilai indeks vegetasinya semakin menurun selama fase pengisian-pematangan bulir hingga menjelang panen.

(42)

2.7. Kondisi Umum Kabupaten Indramayu

Kabupaten Indramayu merupakan salah satu kabupaten di Propinsi Jawa Barat, dengan luas wilayah 204.011ha yang terdiri dari 302 desa dan 8 kelurahan dan tersebar di 24 kecamatan. Letak geografis Indramayu berada pada 107º52’-108º36’ Bujur Timur dan 6º15’-6º40’ Lintang Selatan. Kabupaten Indramayu berbatasan dengan Kabupaten Subang di sebelah barat, Kabupaten Cirebon dan Laut Jawa sebelah Timur, Kabupaten Sumedang, Majalengka dan Cirebon di sebelah Selatan dan Laut Jawa sebelah Utara.

Ditinjau dari keadaan topografinya, Kabupaten Indramayu berada pada ketinggian 0-100 mdpl, 98,7% berada pada ketinggian 0-3 mdpl. Suhu harian di Kabupaten Indramayu berkisar anatara 26-27oC dengan suhu harian maksimum 30oC dan Minimum 18oC. Curah hujan rata-rata tahunan 1.428 mm, dengan jumlah hari hujan 75 hari. Berdasarkan klasifikasi Schimidt dan Ferguson, wilayah ini termasuk pada tipe D (Iklim sedang). Kecamatan yang mengalami curah hujan yang cukup tinggi antara lain : Kecamatan Anjatan, Cikedung dan Heurgeulis, berturut-turut adalah 2.167 mm/th, 1.869 mm/th dan 1.865 mm/th. Ketiga kecamatan tersebut berada di Indramayu bagian Barat (Kantor Informasi dan Komunikasi Kabupaten Indramayu, 2008).

2.8. Kondisi Umum Kabupaten Cianjur

Sebagian besar wilayah Cianjur adalah pegunungan, berbukit-bukit dan di sebagian pantai selatan berupa dataran rendah yang sempit dengan ketinggian 0 – 2.962 meter di atas permukaan laut. Luas wilayah Kabupaten Cianjur 350.148 hektar. Letak geografis Kabupaten Cianjur berada pada 106º42’-107º25’ Bujur Timur dan 6º21’ - 7º25’ Lintang Selatan.

Secara administratif Pemerintah kabupaten Cianjur terbagi dalam 30 Kecamatan, dengan batas-batas administratif :

1. Sebelah utara berbatasan dengan wilayah Kabupaten Bogor dan Kabupaten Purwakarta.

2. Sebelah barat berbatasan dengan wilayah Kabupaten Sukabumi. 3. Sebelah Selatan berbatasan dengan Samudra Indonesia.

(43)
(44)

3.1. Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian dilaksanakan pada bulan April sampai Desember 2008. Adapun

lokasi penelitian adalah di Jawa Barat studi kasus Kabupaten Indramayu dan

Cianjur. Pengolahan data dilakukan di Balai Penelitian dan Klimatologi dan di

Laboratorium Agrometeorologi, Departemen Geofisika dan Meteorologi FMIPA

IPB, Bogor

3.2. Bahan dan Alat

Bahan dan peralatan yang dibutuhkan untuk melaksanakan kegiatan

penelitian ini, yaitu:

1. Data curah hujan bulanan tahun 1990 – 2007 (Sumber : Stasiun otomatis yang

dikelola Balitklimat, Badan Meteorologi dan Geofísika dan Dinas Pengelolaan

Sumberdaya Alam, dan Dinas Pertanian).

2. Data Nino 3.4 SST dan DMI tahun 1990 – 2007.

3. Data luas tanam dan produksi (Sumber: Dinas Pertanian)

4. Peta-peta pendukung meliputi peta administrasi, peta rupa bumi, peta

topografi dan peta luas baku sawah.

5. Seperangkat komputer dan piranti lunak seperti Micosoft Word, Minitab 14,

Microsoft Excel Ermapper, dan ArcView View Version 3.3.

3.3. Metode Penelitian

Pelaksanaan penelitian berupa kegiatan meliputi analisis data curah hujan,

data ENSO, data DMI, analisis Onset, analisis sensitifitas dan dinamika waktu

tanam. Penelusuran informasi melalui internet dilakukan untuk memperoleh

informasi tentang ENSO dan IOD dengan menggunakan parameter Nino 3.4 dan

DMI. Sedangkan survei lapang meliputi pengumpulan data sekunder, serta untuk

verifikasi lapang di lokasi penelitian. Monitoring citra satelit dilakukan untuk

(45)

3.3.1. Pengumpulan data dan wawancara

Pengumpulan data curah hujan bulanan dari instansi terkait seperti

Balitklimat, BMG, PSDA/PU serta Dinas Pertanian untuk mengetahui kondisi

curah hujan. Pengumpulan data luas tanam, luas lahan, penggunaan lahan, dan

rotasi tanam serta wawancara dengan petani dan narasumber untuk mengetahui

pola dan waktu tanam yang dilakukan petani di sentra produksi tanaman pangan.

Data citra satelit yang didukung oleh data statistik pertanian digunakan untuk

monitoring perubahan luas tanam serta onset pada saat terjadinya korelasi antara

curah hujan dengan ENSO dan IOD.

Pengumpulan data iklim regional (ENSO dan IOD) melalui situs wabsite.

Untuk mengetahui besarnya pengaruh ENSO pada kejadian curah hujan adalah

dengan menggunakan indek ENSO yang diukur dari anomali SST daerah Niño 3.4

yang didefinisikan sebagai perbedaan anomali di Pasifik timur, Tahiti (17,6o LS,

149,6o BB) dengan Pasifik barat di Darwin, Australia (12,4o LS, 130,9o BT).

Posisi daerah Niño 3.4 mencakup sebagian daerah Niño 3 dan sebagian daerah

Niño 4, yang terletak pada 120oBT – 170oBB dan 5oLS – 5oLU (Gambar 4). Data

suhu muka laut di Nino 3.4 biasanya dihitung bulanan dan diperoleh dari situs

internet http://www.cpc.ncep.noaa.gov/.

Gambar 4. Posisi daerah Niño 3.4 di Samudera Pasifik

(sumber :http://www.cpc.ncep.noaa.gov)

Sama halnya dengan ENSO, IOD dinyatakan dalam bentuk indeks yaitu

DMI. DMI dapat didefinisikan sebagai perbedaan antara suhu muka laut di

kawasan barat Samudera Hindia (50°-70°BT, 10°LU-10°LS) dengan suhu muka

laut di kawasan tenggara Samudera Hindia (90°-110°BT, 0°-10°LS). Data IOD

(46)

Gambar 5.Lokasi Fenomena Dipole Mode (DM) di Samudera Hindia

(sumber: Saji et.al., 1999)

3.3.2. Analisis Iklim Regional 3.3.2.1. Analisis Curah Hujan

Data curah hujan yang digunakan adalah data curah hujan sekunder dari

stasiun-stasiun hujan periode tahun 1990 sampai 2007. Stasiun hujan yang

menyebar di provinsi jawa barat sangatlah banyak, namun stasiun yang memiliki

data curah hujan dibawah 10 tahun stasiun tersebut tidak digunakan sehingga

dalam penelitian ini stasiun yang digunakan adalah 346 stasiun. Data yang didapat

masih ditemukan data-data yang kosong (missing data). Untuk mengisi

kekosongan data tersebut digunakanlah data curah hujan interpolasi grid.

Interpolasi grid merupakan analisis dari ArcView yang digunakan untuk interpolasi data hujan di masing-masing stasiun untuk memperoleh grid kontinyu

data hujan yang selanjutnya dapat dibuat peta isohiyet. Seluruh jumlah titik

stasiun yang memiliki nilai curah hujan tertentu, ArcView akan menghitung jarak

dan nilai dari stasiun terdekat atau disekitarnya. Pada dasarnya proses dari metode

ini dilakukan dengan menggabungkan database sinoptik dengan database stasiun

hujan dan membangkitkan data yang kosong dengan ekstrak data grid dari

(47)

3.3.2.2. Analisis Hubungan Curah Hujan dengan ENSO dan IOD

Analisis anomali curah hujan bulanan dihitung tiap stasiun kemudian di

cari anomalinya terhadap nilai rata-rata curah hujan.

Ano CHij = CHij – CHij

CHij =

= n j j CH n i 1

Keterangan: Ano CHij = anomali curah hujan di stasiun ke-i bulan ke-j

Data dibagi berdasarkan penetapan musim yaitu Juni-Juli-Agustus

(JJA/Musim Kemarau), September-Oktober-November (SON/Pancaroba),

Desember-Januari-Februari (DJF/Musim Hujan) dan Maret-April-Mei (MAM/

Pancaroba). Nilai anomali curah hujan ini dikorelasikan dengan nilai SST dan

DMI untuk mengetahui hubungan antara anomali curah hujan yang terjadi di

setiap stasiun hujan dengan nilai anomali Nino dan IOD sebagai indikator

penyimpangan iklim. Pada analisis ini digunakan program Minitab 14 dengan cara

menghitung nilai korelasi (r) yaitu korelasi antara dua variable (Walpole, 1982).

Rumus perhitungan nilai korelasi adalah:

⎥ ⎥ ⎦ ⎤ ⎢ ⎢ ⎣ ⎡ ⎥ ⎥ ⎦ ⎤ ⎢ ⎢ ⎣ ⎡ ⎟⎟ ⎠ ⎞ ⎜⎜ ⎝ ⎛ − ⎥ ⎥ ⎦ ⎤ ⎢ ⎢ ⎣ ⎡ ⎟⎟ ⎠ ⎞ ⎜⎜ ⎝ ⎛ − ⎟ ⎠ ⎞ ⎜ ⎝ ⎛ ⎟ ⎠ ⎞ ⎜ ⎝ ⎛ − =

= = = = = 2 1 2 2 1 2

1 1 1

n i n i i n i n i i n i n i i n i i i y y n x x n y xi y x n r Keterangan: r = korelasi n = jumlah data

x = anomali SST nino 3.4 atau anomali IOD y = anomali curah hujan

Nilai korelasi berkisar antara -1 dan 1 atau ditulis -1≤ r ≥ 1, niai korelasi

yang mendekati -1 atau 1 menunjukkan semakin besar keterikatannya. Tanda

positif atau negative menunjukkan arah korelasinya. Bila korelasi antara x dan y

negatif maka kenaikan variabel x akan menyebabkan penurunan y atau

(48)

3.3.2.3. Korelasi Lagging

Dengan mempertimbangkan faktor lag, untuk melihat maju mundurnya

hubungan antara prediktor dan prediktan sehingga diperoleh informasi korelasi

anomali iklim pada waktu tertentu (Pearson Methode).

dimana: = sample rata-rata untuk variabel pertama

x

s

x = standar deviasi unatuk variabel pertama −

y = sample rata-rata untuk variabel kedua

s

= standar deviasi untuk variabel kedua

y

n = panjang kolom

3.3.2.4. Analisis Hubungan Curah Hujan dengan ENSO dan IOD dalam bentuk Spasial

Bentuk spasial dari nilai korelasi antara CH dengan ENSO dan IOD dapat

lebih menjelaskan daerah mana saja yang dipengaruhi oleh iklim regional

tersebut. Dimana dilakukan pembagian daerah berdasarkan nilai korelasi yaitu

terpengaruh lemah (r≥-0,4), terpengaruh sedang (-0,4>r>-0,5), terpengaruh kuat

(r≤-0,5), dan daerah yang tidak signifikan/tidak terpengaruhi. Metode Interpolasi

grid digunakan dalam menampilkan bentuk spasial dari nilai korelasi antara CH

dengan parameter iklim regional.

Interpolasi grid merupakan analisis dari ArcView yang digunakan untuk interpolasi data korelasi di masing-masing stasiun untuk memperoleh grid

kontinyu dari data titik shapefile yang selanjutnya dapat dibuat peta isohiyet.

Metode Interpolasi grid yang digunakan yaitu menggunakan rata-rata tertimbang

antara nilai dan jarak terdekat ke sel yang diinterpolasi (IDW) (Nuarsa, 2005).

(49)

3.3.3. Analisis Dinamika Waktu dan Luas Tanam Padi terhadap ENSO dan IOD

Untuk mengetahui dinamika waktu dan luas tanam dilakukan dengan

menganalisis hubungan antara indeks regional dengan luas tanam pada wilayah

onset dalam kalender tanam yang telah dibuat oleh Badan Litbang Pertanian

(Las et.al., 2007). Untuk analisis hubungan data luas tanam dan indeks regional

dilakukan normalisasi data. Normalisasi data dilakukan dengan maksud untuk

menghilangkan bias data dari pengaruh faktor lain seperti tren konversi lahan

pertanian. Metode yang digunakan adalah Z-Score atau Normal Score.

Perhitungan dengan menggunakan persamaan sebagai berikut:

Dimana : x = skor data yang dinormalkan

σ = standar deviasi dari populasi

μ = rata-rata populasi

Jika variable acak dipertimbangkan sebagai rata-rata sample:

maka:

Piranti lunak yang digunakan adalah Minitab Ver 14.

Luas Panen dan Produksi padi dibagi berdasarkan onset, kemudian

dikorelasikan dengan data curah hujan dan dilihat pengaruhnya terhadap ENSO

dan IOD. Dari hasil analisis tersebut maka akan diketahui berapa dasarian

pergeseran waktu tanamnya.

Tabel 4. Onset kalender tanam untuk tanaman padi sawah

Zona Onset 1. Sep I – II

2. Sep III-Okt I 3. Okt II – III

4. Nov I – II

(50)

3.3.3. Analisis Citra untuk Monitoring Waktu Tanam dan Luas Lahan

Citra satelit Landsat TM digunakan untuk melakukan monitoring dan

verifikasi hasil analisis indikator ENSO dan IOD, pada wilayah-wilayah yang

diindikasikan terpengaruh oleh sinyal perubahan suhu muka laut pada berbagai

tingkat kekuatan sinyal tersebut terhadap dinamika curah hujan, pola tanam dan

luas tanam padi.

Analisis Citra:

1. Prepocessing data digital Citra Landsat berupa koreksi geometric citra,

yaitu rektifikasi data citra wilayah jawa barat dengan citra jawa barat yang

telah terkoreksi menggunakan analisis titik control medan (Ground

Control Point/GCP).

2. Koreksi radiometric, berupa koreksi yang bertujuan untuk meminimalisasi

kesalahan yang disebabkan pengaruh detektor satelit atau pengaruh

gangguan atmosfer (Lillesand et al., 1994). Karena dalam penelitian ini

digunakan data lebih dari 1 waktu rekaman (multitemporal), maka

dilakukan koreksi radiometri untuk menyamakan tampilan dan standarisasi

perhitungan/transformasi nilai digital. Salah satu cara yang dilakukan

adalah dengan menyamakan nilai digital untuk objek air laut, dengan

referensi atau acuan nilai digital air laut dipilih citra yang paling clear

(bersih dari awan).

3. Processing data citra landsat:

Penajaman citra dengan teknis histogram equalized stretch untuk

memperoleh kontras yang diinginkan. Kemudian dilakukan pemotongan

citra.

4. Analisis nilai NDVI (Normalized Difference Vegation Index)

Fase pertumbuhan tanaman adalah tanaman pada fase awal

generatif (pinnacle initiation) yaitu pada saat tanaman padi sedang

produksi. Tingkat kehijauan tanaman diperkirakan melalui analisis data

digital citra satelit menggunakan formula NDVI, dihitung secara otomatis

menggunakan paket program Arc View Version 3.3. Tranformasi NDVI

(51)

yang berada disekitar warna merah (R) dan disekitar infra merah (NIR)

dengan persamaan sebagai berikut:

NDVI =(NIRred)/(NIR+red)= (Band 4 – Band 3) / (Band 4 + Band 3)

Dengan mempertimbangkan terjadinya resiko kekeringan maupun

serangan hama dan penyakit, maka padi muda yang berumur kurang dari 5

minggu tidak digunakan untuk perkiraan luas panen.

3.3.4. Deliniasi onset terkait dengan sinyal ENSO dan IOD

Sensitifitas pola tanam menunjukkan variabilitas respon pola tanam

terhadap kondisi klimatis. Sedangkan dinamika pola tanam menunjukkan

pergeseran pola tanam akibat anomali iklim. Peta pengaruh fenomena ENSO dan

IOD terhadap sensitifitas dan waktu tanam tanaman padi disusun berdasarkan

hasil analisis indikator anomali iklim (ENSO dan IOD) dan kalender tanam

potensi awal musim tanam (onset). Kedua layer digital selanjutnya di-overlay-kan

untuk mendapatkan kombinasi data yang memiliki karakteristik iklim yang relatif

homogen. Selanjutnya informasi yang diperoleh dari kedua layer tersebut

kemudian di-overlay-kan juga dengan layer distribusi sawah hasil dari analisis

citra digital. Kemudian pada masing-masing poligon hasil overlay yang seragam

diberi tanda sebagai basis data kalender tanam. Hasil analisis sensitivitas disajikan

secara spasial untuk mempermudah dalam menentukan daerah yang sensitif

(52)

Analisis Sensitifitas dan Dinamika Kalender

Tanam

Dinamika waktu Tanam Tanaman

Pangan

Pengumpulan data ,

Analisis ENSO dan DMI

Identifikasi Citra Satelit

Indeks regional

Basis data luas tanam

- Wilayah-wilayah yang

terpengaruhi ENSO dan IOD

- Perubahan Luas Sawah Kalender Tanam

Litbang Pertanian (eksisting) Basis data dan informasi

Curah Hujan dan indikator Anomali iklim

[image:52.595.114.544.134.560.2]
(53)

4.1. Analisis pengaruh ENSO dan IOD terhadap curah hujan

Pola hujan di Jawa Barat adalah Monsunal dimana memiliki perbedaan yang

jelas antara periode musim hujan dan periode musim kemarau kemudian

dikelompokan dalam Zona Musim (ZOM), tipe curah hujan yang bersifat

unimodial (satu puncak musim hujan, DJF musim hujan, JJA musim kemarau).

Curah hujan yang jatuh pada setiap bulan atau setiap tahun disetiap lokasi di

permukaan bumi tidak selalu sama menurut jumlah dan waktu. Terkadang ada

tahun yang curah hujannya tinggi dan bahkan di tahun berikutnya sangat rendah.

Datangnya musim hujan yang tidak selalu sama, kadang-kadang mendahului atau

terlambat dari waktu rata-rata normalnya. Untuk itu dikatakan bahwa jumlah

hujan dan kedatangan musim hujan adalah variabel yang selalu berubah-ubah

dimana salah satu faktor penyebabnya adalah adanya iklim regional yang

mempengaruhi.

Berdasarkan hasil penelitian Koesmaryono (2008), dampak ENSO dan DMI

pengaruhnya kuat terhadap daerah Jawa Barat dengan tipe curah hujan munsonal.

Oleh karena itu kesiapan sarana dan prasarana bagi penyediaan air irigasi perlu

disiagakan ketika memasuki periode bulan Juni - November. Penelitian ini

dilakukan untuk mengetahui seberapa besar kuat pengaruh hubungan ENSO dan

DMI terhadap curah hujan di Jawa Barat bagian utara yaitu Kabupaten Indramayu

dan bagian Selatan Jawa yaitu Kabupaten Cianjur.

4.1.1 Pola Distribusi Curah Hujan

Berdasarkan hasil analisis terdapat 46 stasiun di Kabupaten Indramayu dan

21 stasiun di Kabupaten Cianjur, terlihat bahwa distribusi curah hujan relatif

beragam. Pada bulan DJF, daerah Indramayu relatif lebih rendah dan penurunan

curah hujan pada bulan MAM lebih cepat terjadi. Memasuki bulan JJA

penurunan curah hujan hampir merata pada kedua kabupaten tersebut. Pada

periode SON, peningkatan curah hujan terjadi di Cianjur sedangkan di Indramayu

curah hujan masih relatif rendah. Terjadi penurunan curah hujan baik untuk

(54)

negatif pada bulan Mei sampai Oktober dalam periode 17 tahun. Hal ini

menunjukkan pada bulan-bulan tersebut mulai memasuki musim kering, dimana

anomali negatif tertinggi terjadi pada bulan pancaroba/peralihan yaitu pada bulan

Agustus (penurunan curah hujan hingga mencapai 110 mm dari curah hujan

rata-ratanya). Indramayu 0 50 100 150 200 250 300 350

Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Agt Sep Okt Nov Des B u l a n

C u ra h Huj a n ( m m )

CH rata-rata = 124,3 mm/bln

Indramayu -150 -100 -50 0 50 100 150 200

Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Agt Sep Okt Nov Des

B u l a n

Cu ra h Hu ja n ( m m ) Cianjur 0 50 100 150 200 250 300

Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Agt Sep Okt Nov Des B u l a n

Cu ra h Hu ja n ( m m )

CH rata-rata = 174 mm/bln

Cianjur -150 -100 -50 0 50 100 150 200

Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Agt Sep Okt Nov Des

B u l a n

[image:54.595.112.520.390.528.2]

Cu ra h Hu ja n ( m m )

Gambar 7. Fluktuasi curah hujan bulanan dan anomalinya di Indramayu periode Tahun 1990-2007.

Gambar 8. Fluktuasi curah hujan bulanan dan anomalinya di Kabupaten Cianjur periode Tahun 1990-2007.

Indramayu merupakan kabupaten yang paling rentan terhadap anomali iklim

regional terutama oleh ENSO, sifat pola hujannya sangat tegas menunjukkan

puncak dan lembah (monsunal) serta curah hujan rata-rata setiap tahunnya relatif

rendah yaitu sebesar 124 mm/bulan (Gambar 7). Cianjur merupakan kabupaten

yang relatif paling sedikit dipengaruhi oleh kedua fenomena tersebut dengan

curah hujan sebesar 174 mm/bulan (Gambar 8), hal tersebut disebabkan daerah

Cianjur lebih dekat dengan pegunungan yang dipengaruhi oleh kondisi iklim

(55)

4.1.2. Distribuís Stasiun Hujan yang dipengaruhi oleh ENSO dan IOD

Hasil korelasi antara nilai SST, DMI dan curah hujan dari tiap-tiap stasiun

hujan memiliki nilai yang beragam (positif dan negatif). Dan berdasarkan nilai

peluangnya (Probability) menunjukkan bahwa tidak semua curah hujan di wilayah

stasiun hujan memiliki hubungan yang nyata dengan SST dan DMI. Hal ini berarti

tidak semua wilayah kajian dipengaruhi oleh penyimpangan iklim regional.

Berikut ini adalah hasil kajian hubungan antara ENSO, IOD dengan CH

pada stasiun-stasiun hujan yang memiliki nilai korelasi negatif pada derajat

kepercayaan 95%, hal tersebut menunjukkan bahwa ketika terjadi ENSO atau

IOD, curah hujan pada setiap stasiun tersebut berkurang. Dari analisis Lagging,

hubungan ENSO dan IOD dengan kejadian curah hujan disetiap stasiun hujan

menunjukkan nilai korelasi yang beragam untuk tiap-tiap lagnya (lag 0-3). Stasiun

hujan yang berkorelasi nyata serta bernilai negatif banyak terdapat pada Lag 0

yang artinya nilai curah hujan pada bulan januari menurun dengan meningkatnya

ENSO atau IOD pada bulan yang sama, sehingga dalam analisis korelasi

digunakan hasil korelasi pada Lag 0.

Wilayah Indramayu, pada bulan DJF maupun MAM, pengaruh iklim

regional terhadap stasiun hujan kurang dari 10% dan hanya terdapat pada

beberapa stasiun saja. Pengaruh ENSO dan IOD baru tampak pada bulan JJA dan

SON. Oleh karena itu, terlihat adanya keterkaitan bahwa terjadinya musim

kemarau yang kering dapat berdampak pada peningkatan curah hujan pada

periode berikutnya (DJF). Pada bulan JJA stasiun yang berkorelasi nyata dengan

fenomena tersebut sebanyak 46%. Pada periode SON pengaruh kedua fenomena

semakin kuat dimana seluruh stasiun terpengaruh oleh fenomena iklim regional

(Gambar 9). Periode ini merupakan masa peralihan musim kemarau ke musim

(56)

0.0 20.0 40.0 60.0 80.0 100.0 120.0

DMI + Nino DMI Nino 3.4 Non

Iklim Regional D is tr ibus i S tas iun ( % ) MAM 0.0 20.0 40.0 60.0 80.0 100.0 120.0

DMI + Nino DMI Nino 3.4 Non

Iklim Regional D ist ri b u si S ta si u n ( % ) DJF 0.0 20.0 40.0 60.0 80.0 100.0 120.0

MI + Nino DMI Nino 3.4 Non

Iklim Regional D is tr ibus i S tas iun ( % ) D JJA 0.0 20.0 40.0 60.0 80.0 100.0 120.0

DMI + Nino DMI Nino 3.4 Non

[image:56.595.111.517.83.319.2]

Iklim Regional D is tr ibus i S tas iun (% ) SON

Gambar 9. Distribusi stasiun yang dipengaruhi oleh iklim regional di Kabupaten Indramayu 0.0 20.0 40.0 60.0 80.0 100.0 120.0

DMI + Nino DMI Nino 3.4 Non

Iklim Regional D is tr ibu s i S tas iu n ( % ) DJF 0.0 20.0 40.0 60.0 80.0 100.0 120.0

DMI + Nino DMI Nino 3.4 Non

Iklim Regional D is tr ibu s i S tas iu n (% ) MAM 0.0 20.0 40.0 60.0 80.0 100.0 120.0

DMI + Nino DMI Nino 3.4 Non

Iklim Regional D is tr ibu s i S tas iun (% ) JJA 0.0 20.0 40.0 60.0 80.0 100.0 120.0

DMI + Nino DMI Nino 3.4 Non

Iklim Regional D is tr ibu s i S tas iu n (% ) SON

Gambar 10. Distribusi stasiun yang dipengaruhi oleh iklim regional di Kabupaten Cianjur

Berbeda pada wilayah Cianjur yang terletak di Selatan Jawa, dimana lebih

terpengaruh oleh IOD dari pada ENSO. Kurang dari 10% stasiun hujan pada

periode DJF maupun MAM terpengaruh oleh IOD. Pengaruh IOD menguat pada

periode JJA dan SON yaitu sebesar 29% (Gambar 10). Hal ini menjelaskan bahwa

[image:56.595.112.517.355.601.2]
(57)

(korelasi yang signifikan dan memiliki korelasi negatif). Berkurangnya wilayah

yang memiliki curah hujan pada periode DJF, menunjukkan adanya pelemahan

pengaruh kedua fenomena tersebut. Hal ini disebabkan karena pada periode ini

kedua fenomena telah mengalami puncaknya diakhir tahun serta telah memasuki

musim hujan.

Terjadinya korelasi yang lemah antara curah hujan dengan ENSO dan IOD

pada saat musim hujan diduga terkait dengan SST perairan Indonesia yang

berubah tanda (terjadi anomali positif) selama peralihan dari musim kemarau ke

musim hujan (dari SON ke DJF). Anomali SST di perairan Indonesia berlawanan

tanda dengan anomali SST di Samudera Pasifik (tengah atau timur) dan Samudera

Hindia bagian barat selama JJA dan SON, tetapi memiliki tanda yang sama pada

saat DJF dan MAM. Perubahan yang cepat pada SST perairan Indonesia yang

terjadi dari musim kemarau ke musim hujan merupakan refleksi dari interaksi

atmosfer-laut di wilayah Indonesia. Anomali SST Samudera Pasifik dan Hindia

akan berperan dalam menggerakkan angin permukaan yang dapat mempengaruhi

SST di perairan Indonesia (Hendon, 2002).

4.1.3. Bentuk spasial koefisien korelasi antara Curah Hujan dengan ENSO dan IOD

Berdasarkan hasil analisis korelasi hubungan antara Curah Hujan dengan

ENSO dan IOD, pada periode DJF dan MAM terjadi peningkatan curah hujan

dibandingkan dengan periode sebelumnya. Pengaruh ENSO dan IOD mulai

berkurang, dimana terjadi perubahan tanda koefisien korelasi yaitu dari negatif

pada SON menjadi positif pada DJF. Melemahnya pengaruh Iklim Regional

tersebut terhadap curah hujan dikarenakan pada periode ini pengaruh ENSO dan

IOD sudah menghilang dan juga merupakan puncak musim hujan di wilayah

Indonesia. Sehingga bentuk spasial hanya dilakukan pada bulan JJA dan SON,

untuk memberikan informasi daerah-daerah mana saja yang terpengaruh kuat,

sedang dan lemah terhadap ENSO dan IOD sehingga dapat menjadi informasi dan

pengambilan kebijakan pola tanam padi dan irigasi bagi pemerintahan daerah

(58)

Di wilayah Indramayu, curah hujan hanya berkorelasi signifikan serta

berkorelasi negatif dengan ENSO pada periode JJA, sedangkan IOD tidak

mempengaruhi intensitas curah hujan. Gambar 11. adalah koefisien korelasi antara

ENSO dengan curah hujan

Gambar

Gambar 1. Struktur laut Samudera Pasifik pada saat El Nino dan La Nina (sumber : http://www.cpc.ncep.noaa.gov)
Gambar 6. Diagram Alir Tahap Penelitian.
Gambar 7. Fluktuasi curah hujan bulanan dan anomalinya di Indramayu periode  Tahun 1990-2007
Gambar 9. Distribusi stasiun yang dipengaruhi oleh iklim regional di Kabupaten Indramayu
+7

Referensi

Dokumen terkait

Database yang akan dibuat adalah database yang berbasis client-server dengan struktur database dari sistem informasi pengolahan Delivery Order yang akan dibuat

Based on these results it can be concluded that the variables of firm size, debt equity ratio, audit complexity, the auditor's opinion, the reputation of

Masyarakat yang merupakan investor pemula tentunya akan bingung dengan prosedur investasi di pasar modal sehingga hal ini bisa saja membuat investor untuk

multikulturalisme ini, sebuah masyarakat (termasuk juga masyarakat bangsa seperti Indonesia) dilihat sebagai mempunyai sebuah kebudayaan yang berlaku umum dalam masyarakat

Menyimak uraian diatas pelaksanaan upacara merupakan tutunan spritual untuk menghargai sumber dari kebahagian hidup yaitu dari Tuhan, manusia dan alam beserta isinya hal

Lebih lanjut, Pemerintah telah mengatur pemberian pinjaman untuk mendukung proyek dengan skema KPBU dan proyek yang mendapatkan pinjaman langsung. Peraturan

Sedangkan penggunaan deiksis persona, penunjuk, dan waktu yang paling dominan dalam novel Sunset Bersama Rosie adalah deiksis waktu khususnya deiksis waktu dengan

Maka didalam implementasi proyek akhir ini, RTL-SDR dapat digunakan sebagai alat untuk menangkap berbagai sinyal radio tergantung jenis modulasi yang kita