• Tidak ada hasil yang ditemukan

FENOMENA NEGERI SERIBU WARUNG KOPI Sara Masroni

Ketua UKM Sumber Post UIN Ar-Raniry

Dikutip dari berbagai sumber, sejarah kopi berawal dari kisah seorang pengembala kambing di Provinsi Kaffa, Abyssinia, Ethiopia pada abad IX. Sang pengembala merasa aneh karena kambing-kambing tidak bisa tidur di malam hari.Usut punya usut ternyata kambing-kambing ini menyukai buah-buahan seperti ceri yang terlihat aneh bagi mereka.

Didorong oleh keingintahuan para ilmuwan, maka diraciklah buah tersebut menjadi minuman yang mampu memberikan energi tersendiri dan sekarang kita kenal dengan sebutan kopi, (Tribunnews.com, 29/3/2018). Walaupun kopi tumbuh di Ethiopia, namun pertama kali ditanam di Arab atau tepatnya di Yaman pada pertengahan abad XV.

Minuman ini menjadi popular bagi kalangan kaum sufi karena mampu menjaga kantuk saat berzikir di malam hari. Kopi juga dianggap sebagai pengganti wine, karena memiliki memang dalam Islam di larang mengkonsumsi minuman beralkohol.

82 -- Dari Serambi Mekkah ke Serambi Kopi

Berbicara tentang kopi, ada fenomena menarik tentang kopi di Aceh. Tidak sedikit orang-orang asing yang masuk ke Serambi Mekah (baca: Aceh) terheran-heran melihat kondisi ini.

Negeri seribu warung kopi. Ya, begitulah orang-orang menyebut Aceh. Hampir tidak ditemukan lagi di setiap sudut kota utamanya di Kota Banda Aceh yang tidak ada warung kopi. Setelah warung kopi, warung kopi lagi. Bahkan ada warung kopi yang bergandengan dan satu dinding dengan warung kopi lain. Begitulah ramainya warung kopi di Aceh. Sudah seramai itu pun, tetap saja warung kopi tidak pernah sepi. Semakin ramai warung kopi, semakin ramai pula pengunjung. Warung kopi di Aceh hampir tidak kenal batas waktu.

Pagi penuh sebab orang-orang di Aceh punya kebiasaan selepas shalat subuh ke warung kopi. Budaya ngopi pagi bak keude kupi (di warung kopi) dimanfaakan sebagai ajang silaturrahim masyarakat Aceh sebelum menjalani aktivitas masing-masing di hari itu. Selain ngopi pagi, di Aceh juga dikenal dengan sarapannya super murah. Hanya merogo kocek sebesar Rp 5.000 saja, setiap orang sudah dapat menikmati sarapan dengan berbagai jenis pilihan lauk yang telah disediakan di sana. Mungkin ini yang membuat masyarakat Aceh betah berlama-lama bercengkrama di warung kopi.

Belum lagi di siang hari. Bukan malah surut, justeru malah makin ramai. Waktu istirahat para pekerja kantoran biasanya dimanfaatkan di tempat ini. Di waktu yang sama merupakan jam pulang sekolah bagi para pelajar. Warung kopi digunakan sebagai tempat diskusi, mengerjakan tugas atau sekedar bermain game online hingga petang tiba. Hal yang sama juga dilakukan oleh para mahasiswa. Fasilitas wife yang tersedia di hampir setiap warung kopi dimanfaat betul untuk mengakses segala informasi dan data untuk melengkapi tugas kuliah. Terlebih seperti penulis yang notabane-nya juga seorang mahasiswa. Hampir setiap tugas kuliah seperti makalah, diskusi kelompok bahkan membuat laporan praktikum dikerjakan di warung kopi.

Jika dilakukan di rumah atau di kos akan menghabiskan budget yang lebih besar terutama saat mencari referensi dari internet menggunakan kuota yang tidak sedikit jumlah. Berbeda dengan warung kopi di Aceh. Cukup pesan segelas kopi dengan harga minimal Rp 3.000, maka sudah bisa mendapatkan segala fasilitas yang disediakan di sana. Teringat kata Direktur Masyarakat, Informasi dan Teknologi (MIT), Teuku Farhan saat mengisi materi Workshop Literasi Media bersama BNPT Aceh di Hotel Mekkah, 15 Maret 2018 lalu. Farhan berujar, tersedianya jaringan wi-fi gratis di hampir setiap warung kopi di Aceh adalah sesuatu yang langkah di daerah lain. “Kalau di luar Aceh, jaringan wi-fi hanya tersedia di café-café mewah tertentu saja,” ungkap Farhan saat menyampaikan materinya.

84 -- Dari Serambi Mekkah ke Serambi Kopi

Kemudian di malam hari. Waktu yang semestinya perniagaan tutup, di Aceh warung kopi malah ramai seramai-ramainya. Ini adalah waktu paling ramai dibandingkan kedua waktu yang sudah penulis gambarkan di atas. Bagi para penggemar bola disuguhkan proyektor besar untuk memanjakan mata. Di layar raksasa itu mereka bisa menyaksikan dengan puas pertandingan-pertandingan penting atau tim bola papan atas, ketika berlaga. Ada juga yang masih mengerjakan tugas kuliah dan bermain game online di malam hari. Jadi intinya, tidak ada waktu istirahat dan tutup bagi warung kopi di Aceh kecuali menjelang subuh saja.

Mengais Rupiah di Warkop

Di sisi lain, tidak sedikit pula jumlahnya para kaum pekerja media yang memanfaatkan warung kopi sebagai tempat bekerja. Dari warung kopi telah banyak lahir pengais-pengais rupiah dengan pendapatan mencapai jutaan rupiah. Terlebih di era sekarang ini tengah berkembangnya dunia media sosial seperti YouTube hingga Steemit dan lain sebagainya. Hal ini dimanfatkan betul para anak-anak muda kreatif di Aceh untuk mengumpulkan pundi-pundi keuangan mereka.

Uniknya lagi, sebagian orang menjadikan warung kopi di Aceh sebagai kantor. Jika punya waktu luang, coba sekali-kali ngopi di warung kopi Sekber (Sekretaris Bersama) di sekitaran turunan jembatan Pante Pirak Banda Aceh. Tidak perlu heran bila di sana ada banyak alat-alat jurnalistik

seperti kamera, tripod dan ID Card wartawan dibiarkan berserak di atas meja begitu saja. Karena memang warung kopi adalah tempat di mana mendapatkan banyak rekan kerja, kemudahan isu liputan hingga terjalinnya keakraban antar wartawan di sana melebihi sebatas teman kerja semata.

Tak perlu heran pula jika sewaktu-waktu menemukan para pejabat tinggi di sana. Sebut saja wali kota hingga Rektor UIN Ar-Raniry pernah melakukan konferensi pers di warung kopi tersebut.

Kemudian warung kopi di Aceh juga hampir rata-rata menyediakan aula di lantai dua bangunan mereka. Aula tersebut dimanfaatkan sebagai tempat mengadakan berbagai kegiatan seperti workshop hingga konferensi pers dan lain sebagainya. Selain nyaman dan murah, aula warung kopi di Aceh juga dianggap praktis dengan segala fasilitas yang mereka sediakan di sana. Mau makan minum tinggal pesan ke bawah.

Begitulah beragamnya aktivitas yang dilakukan manusia di negeri seribu warung kopi ini di warung kopi. Ada saja yang dikerjakan di sana. yang pasti, tidak ada kata sepi untuk warung kopi di Aceh.

Tak Suka Kopi

Kata “saya tidak suka kopi” menjadi sangat naïf diucapkannya di negeri seribu warung kopi ini. Bukan karena

86 -- Dari Serambi Mekkah ke Serambi Kopi

teman-teman lain akan mengucilkan ketika ada seseorang yang tidak suka kopi. Tetapi lebih kepada sugesti kuat dari hawa negeri seribu warung kopi itu sendiri masuk secara bawah sadar kepada siapapun yang menetap di Aceh, baik jangka pendek maupun jangka panjang.

Pengalaman pribadi penulis sebelum kuliah ke Kota Banda Aceh. Penulis merupakan satu di antara ratusan bahkan ribuan orang yang tidak suka kopi. Namun apalah daya, benci jadi cinta. Sugesti negeri seribu warung kopi menghantam telak penulis tanpa butuh waktu lama. Semuanya berbalik 360 derajat. Kini menjadi seorang kopiers (sebutan saya bagi pecinta kopi) sejati.

Hari-hari diisi dengan kopi. Mengawali pagi dengan kopi. Sebelum kerja (part time) minum kopi. Mengerjakan tugas, minum kopi agar tidak kantuk. Sampai ketemu teman atau diskusi pun, harus minum kopi. Tidak boleh menghindar. Bagaimana mungkin tidak pesan kopi, sebab diskusinya saja di warung kopi. Naif sekali jika tidak pesan. Hari-hari dengan kopi.

Bahkan jika ada yang lancang berani buka tas penulis, salah satu isinya bisa dipastikan sachet kopi. Sampai sebegitu akrabnya dengan kopi. Begitulah dinamika virus kopi menginfeksi setiap followers-nya di Aceh terutama di Kota Banda Aceh.

Kontroversi Warung Kopi

Setelah terciptanya budaya hari-hari bak keude kupi (di warung kopi), maka muncul masalah baru. Mulai dari kaum wanita yang juga ikut nongkrong di warung kopi (sangat bertolak belakang dengan budaya di Aceh dahulu). Kemudian para mahasiswa yang menghabiskan waktu berjam-jam di depan layar smartphone bermain game online di warung kopi, tanpa sedikit pun faedah. Hingga para kepala keluarga yang menghabiskan cang panah (ngobrol tidak jelas) sampai-sampai lupa mencari rezeki untuk keluarganya sendiri di rumah.

Tidak sedikit pro dan kotra di media menanggapi persoalan ini. Hingga beberapa waktu lalu, Rektor UIN Ar-Raniry, Prof. Farid Wajdhi Ibrahim dengan lantang mengatakan warung kopi adalah musibah yang lebih besar melebihi bom atom di Jepang, (Serambinews.com, 21/3/2018).

Tulisan Azwardi berjudul Inong Bak Keude Kupi dimuat di Harian Serambi Indonesia (27/4/2011) salah satunya. Dalam tulisan tersebut ia berpendapat bahwa fenomena ini bertentangan dengan perangai dan spirit Kartini. Dalam tulisan tersebut juga Azwardi mengambarkan bagaimana potret perempuan dan laki-laki mejeng, kongkow, ketawa-ketawa ngakak di warung kopi dengan penuh kebisikan dan asap rokok yang mengepul. Ini menurutnya sungguh melawan kodrat dan bertentangan dengan nilai-nilai luhur.

88 -- Dari Serambi Mekkah ke Serambi Kopi

Selang beberapa hari kemudian, tepatnya 30 April 2011, Jufrizal membalas tulisan tersebut di rubrik dan harian yang sama dengan judul Hikayat Inong Keude Kupi (Catatan untuk Azwardi). Menurut Jufrizal, ungkapan Azwardi tentang perempuan di warung kopi mencederai spirit Kartini adalah sesuatu yang berlebihan.

Dalam tulisan itu, menurutnya saudara Azwardi telah menutup mata bahwa sekelompok laki-laki dan perempuan menjadikan warung kopi sebagai sarana informatif untuk mengakses layanan internet yang sangat murah untuk keperluan pendidikan. Jufrizal juga menyebutkan, pemilik warung kopi menyediakan mushalla sebagai bentuk menjaga adat istiadat di Aceh. Hal ini menurutnya jarang sekali ditemukan di warung kopi atau café di luar Aceh. Terlepas dari kebenaran dua pendapat di atas, memang setiap individu mesti lebih bijak menanggapi fenomena ini. Ya, fenomena negeri seribu warung kopi yang tidak ditemukan di tempat lain. Fenomena di mana warung kopi menjadi sentral dalam berbagai aktivitas sebagian besar masyarakat di Aceh.

Tidak dipungkiri memang segala sesuatu apapun itu tentu memiliki dua sisi. Sisi positif dan sisi negatif. Kelebihan selalu diiringi dengan kekurangan. Yang demikian memang sudah menjadi sunnatullah (aturan alam). Meski begitu, mari menanggapi fenomena ini dengan bijak. Sebab, ini merupakan nikmat Allah Swt yang mesti disyukuri.

Nikmat di mana warung kopi telah memberikan kenyamanan di tengah kepenatan, tempat bercengkrama hingga melahirkan keakraban bahkan sampai kepada tempat mengais rezeki mengisi kebutuhan sehari-hari. Begitulah uniknya warung kopi di Aceh. Daerah yang telah ditabalkan dengan julukan negeri seribu warung kopi, dengan segala pelajaran & manfaat luar biasa yang dapat dipetik dari sana.

90 -- Dari Serambi Mekkah ke Serambi Kopi

GENERASI LEMAH