• Tidak ada hasil yang ditemukan

WARONG KUPI GEUCHIK MA’E* Sehat Ihsan Shadiqin

Beragam model warung kopi yang muncul di Banda Aceh belakangan ini tidak membuat warung kopi tradisional mati. Masing-masing ada peminatnya. Warung kopi baru menyajikan kopi dengan beragam jenis olahan. Dari hanya menggunakan kain saringan biasa hingga pakai mesin canggih senilai ratusan juta rupiah. Belum lagi beragam varian kopi hasil racikan baru yang mengundang selera, terutama anak muda. Nama varian sajian kopi baru ini juga dibuat nampak keren: menggunakan bahasa asing. Selain dari sisi jenis kopi, warkop baru juga memanjakan pelanggan mereka dengan fasilitas wi-fi, koran, dan televisi layar lebar. Nyaris tiak ada orang yang duduk di warkop hanya untuk minum kopi. Kebanyakan mereka minum kopi sambil menikmati aneka fasilitas yang disediakan di sana. Perubahan drastis dalam “dunia perwarung kopian” di Banda Aceh tetap menyisakan ruang untuk eksistensi warung kopi gaya lama. Warung kopi lama ditandai dengan jenis sajian kupi sareng dan beberapa variannya. Warung kopi ini eksis sejak lama di Aceh. Beberapa catatan buku sejarah kerap menyertakan cerita pertemuan di warung kopi, membuktikan eksistensinya di masa lalu. Salah satu

warung kopi lama yang masih mempertahankan ciri khas tradisionalnya adalah Warung Kopi Geuchik Ma’e. Terletak hanya 100 meter dari masjid utama Gampong Lambhuk, Kecamatan Ulee Kareng, kemungkinan, ini adalah warung kopi tertua yang masih ada di Banda Aceh di mana warung, pendiri, dan pekerjanya masih sama sejak tahun 1961! Saya yakin, anda yang membaca tulisan ini pasti belum lahir, saat warung kopi ini didirikan dan Gauchik Ma’e mulai berjualan. Kalau berkunjung ke sana, anda tidak akan menemukan sebuah nama yang ditempel di muka pintu toko atau apalagi sebuah neon box warna warni di pinggir jalan. Warga mengenal dan menyebut warung ini dengan Warung Kopi Geuchik Ma’e karena pemilik sekaligus pekerjanya adalah H. Ismail, atau dikenal dengan panggilan Gauchik Ma’e. Beliau lahir tahun 1928 dan mendapatkan gaji pensiunan veteran karena ikut serta dalam pembebasan Medan Area tahun 1947. Pada 1959, ia terpilih menjadi Geuchik Gampong Lambhuk dan tidak pernah tergantikan hingga mengundurkan diri tahun 1996. Atau kira-kira setelah 37 tahun memimpin, lima tahun labih lama dari Suharto. Tapi dari bocoran yang saya terima dari beberapa kenalan di Gampong Lambhuk, Gauchik Mae sebenarnya bukan mengundurkan diri namun “dipaksa mundur” karena tidak bersedia menjadi juru kampanye Golkar yang teramat berkuasa saat itu. Apalagi kampung yang ia pimpinnya tidak pernah sekalipun menempatkan Golkar di urutan puncak dalam pemilihan umum. Geuchik Ma’e sangat fanatik

52 -- Dari Serambi Mekkah ke Serambi Kopi

dengan PPP (Partai Persatuan Pembangunan) dan meyakini partai ini di masa lalu merepresentasikan suara umat Islam. Kalau kita masuk ke warung kopi ini segera kita tahu kalau warung ini sesepuh usia pemiliknya. Banyak bagian dinding warung sudah menghitam dimakan usia. Sarang laba-laba ada di mana-mana. Bahkan sebagian besar sudah berwarna hitam terkena asap. Dapur di mana ia menanak air untuk menyeduh kopi juga nampak kusam karena puluhan tahun dibakar api. Di langit-langit, dinding, sudut toko, banyak barang-barang tua yang tidak terpakai lagi, sisa tahun-tahun awal warung kopi ini didirikan. Ada sebuah lampu petromaks yang sudah penuh dengan debu dan laba-laba di gantung di langit-langit toko bagian deban. Sepertinya lampu itu sudah ada di sana sejak tahun 1960-an ketika semua daerah di Banda Aceh dialiri listrik.

Di warung kopi inilah Geuchik Ma’e yang saat ini sudah berusia hampir 90 tahun menjadi pekerja sejak warung didirikanya lebih setengah abad silam. Setiap hari beliau bangun jam 04.00 pagi, merapikan warungnya, menghidupkan api menggunakan kayu bakar, dan kemudian melaksanakan shalat Subuh. Tidak banyak yang harus disiapkan. Ia hanya perlu memanaskan air, membuka sekaleng susu, dan menyiapkan bubuk kopi yang akan diseduk dengan saring untuk hari ini. Ia juga menyapu lantai, mengelap meja, menyiapkan air untuk mencuci gelas, dan merapikan segala sesuatu yang ada di sana. Sebab sesaat

setelah shalat Subuh di masjid selesai, “jamaah” warung kopi itu akan mulai berdatangan.

“Jamaah’ warung kopi Geuchik Ma’e dalah faktor pembeda antara model warung kopi tradisional ini dengan beragam model warung kopi lain yang ada di Banda Aceh sekarang ini. Jamaah warung Geuchik Ma’e seperti “terdaftar” dalam sebuah buku memori. Setip hari sepanjang tahun yang datang ke sana adalah orang yang sama. Mereka juga duduk di kursi yang sama, tidak pernah bertukar. Kalaupun ada orang asing, itu hanya sesekali saja yang kebetulan “tersesat” masuk ke warung itu. Seperti halnya Geuchik Ma’e, kebanyakan pelanggan warungnya juga sudah berumur. Sekilas saya lihat, tidak ada didantara pelanggannya berusia di bawah 55 tahun. Semua, sepertinya sudah punya cucu.

Bang Bid, misalnya, seorang pedagang. Ia menjual berbagai bumbu dapur khas Aceh yang –katanya- diolah dengan cara tradisional tanpa pengawet. Tgk. Nan, imam desa. Bang Man, seorang peternak sapi. Letnan, pensiunan ABRI yang pernah jadi Danramil di beberapa kecamatan di Aceh Selatan dan Aceh Barat. Mak Ali, pensiunan kantor keuangan di Banda Aceh. Chik Abu, seorang veteran. Chik Lah, juga veteran. Ada Lem Hak, teungku meunasah desa tetangga. Tgk. Ibrahim, dosen di sebuah kampus di Darussalam. Pak Man, kepala bagian di RSUZA. Bang Diah, tukang pangkas. Dan beberapa pelanggan yang lain. Dari

54 -- Dari Serambi Mekkah ke Serambi Kopi

wajahnya jelas kalau mereka sudah berusia lebih setengah abad.

Mereka datang ke sana setelah shalat Subuh. Saat tiba mengucapkan salam. Assalamu’alaikum. Lalu duduk di kursi yang sama setiap hari. Sesaat kemudian Geuchik Ma’e tiba membawa segelas minuman. Pelanggan tidak perlu mengatakan kalau ia hendak minum apa. Geuchik Ma’e juga tidak perlu bertanya apa yang mau diorder pelanggannya. Puluhan tahun bersama, mereka sudah saling mengerti dengan kebutuhan masing-masing. Sesekali pelanggan menggunakan dapur kopi Geuchik Ma’e untuk menghangatkan diri. Api yang membakar kayu mengeluarkan panas lewat celah depan dapurnya. Jika kita duduk di sana terasa badan hangat. Pelanggan yang kebanyakan sudah berusia lanjut ini duduk membelakangi dapur untuk menghangatkan punggung. Meusale, katanya. Selain “fasilitas” meusale, tidak ada fasilitas lain apapun di sana seperti kebanyakan warung kopi baru di kota ini. Tidak ada koran, televisi, apalagi wi-fi. Minuman yang tersedia juga sangat terbatas. Geuchik Ma’e hanya memiliki kopi dan susu. Jadi alternatif minuman adalah: kopi, kopi susu, kopi susu dengan sedikir gula, kopi pahit, susu tok, susu dengan sedikit kopi, atau air putuh dengan gula. Tidak ada teh, juice, minuman saset, apalagi espresso dan capucino, minuman kegemaran anak muda belakangan ini. Di sana juga tidak ada makanan. Ia hanya menyediakan ruti cane yang dibuat salah seorang cucu perempuannya khusus untuk warung

kopi ini. Jumlahnya juga terbatas. Terkadang saat banyak pelanggan datang, mereka tidak kebagian ruti cane. Ruti cane di warung Geuchik Ma’e sudah ada dan sama sejak kedai ini didirikan. Awalnya dibuat oleh istrinya, lalu anak perempuannya yang tertua, dan lalu sekarang diwariri oleh salah seorang cucu perempuannya.

Dalam waktu setengah hingga satu jam, sering terjadi perbincangan ringan khas warung kopi. Meskipun secara usia sudah tua, namun “analisis” yang dibicarakan terkadang sangat dalam, komprehensif, dan sesekali menohok. Celutuk-celutuk pendek yang lucu selalu hadir dari para senior ini. Topiknya sangat beragam. Terkadang mejameun, mengenang bagaimana mereka hidup di masa lalu. Namun tidak jarang membahas, mendiskusikan masalah-masalah kontemporer yang sedang hangat saat ini. Hampir semua orang berpartisipasi dengan cara sendiri. Beberapa nampak sangat serius, namun beberapa menanggapi alakadarnya. Hal yang paling menarik dari diskusi mereka adalah saling “ejek” yang bikin semua terbahak.

Warung ini tutup jam 08.00 pagi. Setelah semua “jamaah” pulang, Geuchik Ma’e segera menutup warungnya, dan akan buka kembali keesokan harinya. Kalau anda mau sesekali merasakan warung kopi Aceh era 60-an, datanglah ke sana. Tapi jangan terlambat. Datanglah sesaat setelah shalat Subuh di masjid selesai dan rasakan bagaimana suasana warung kopi era 60-an hidup di zaman anda.[]

56 -- Dari Serambi Mekkah ke Serambi Kopi

* Tulisan ini pernah dimuat di www.acehkita.com. Dimuat kembali dalam buku ini dengan beberapa tambahan dan perbaikan.

MENYERUPUT KEMESRAAN, ROMANTIKA