• Tidak ada hasil yang ditemukan

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.5 Fermentasi Starter Saccharomyces cerevisiae

Khamir dapat dibedakan atas dua kelompok berdasarkan sifat metabolismenya yaitu bersifat fermentatif dan oksidatif. Jenis fermentatif adalah khamir yang dapat melakukan fermentasi alkohol yaitu memecah gula (glukosa) menjadi alkohol dan gas contohnya Saccharomyces cerevisiae pada pembuatan produk roti. Sedangkan oksidatif (respirasi) adalah khamir yang dapat mengoksidasi gula menjadi karbondioksida dan air (Fardiaz, 1992).

Saccharomyces cerevisiae atau ragi berperan penting dalam industri fermentasi dan mampu memfermentasi berbagai karbohidrat. Kemampuan Saccharomyces cerevisiae tumbuh pada pH rendah, mendegradasi pati dan menghasilkan alkohol membuat mikroba ini banyak digunakan dalam industri pangan (Kustyawati et al., 2013). Saccharomyces cerevisiae dalam bentuk ragi dapat langsung digunakan sebagai inokulum pada proses fermentasi sehingga tidak diperlukan penyiapan inokulum secara khusus (Purwanto, 2012). Menurut Hatmanti (2000),

Saccharomyces cerevisiae mempunyai enzim α-amilase dan glukoamilase yang mempercepat penguraian pati menjadi maltosa dan glukosa. α-Amilase

menghidrolisis ikatan α-1,4 glikosidik menjadi maltosa dan glukosa, hasil

hidrolisis tersebut diteruskan oleh enzim glukoamilase yang memiliki kemampuan dalam menghidrolisis ikatan α-1,4 glikosidik dan juga ikatan α-1,6 glikosidik

19 menghasilkan glukosa (Nurdianti, 2007). Selain itu, khamir juga dapat

menghasilkan enzim protease yang dapat menghidrolisis protein menjadi asam amino, enzim invertase dan maltase yang dapat mengubah maltosa menjadi heksosa (Hidayat, 2006).

Khamir mempunyai keadaan lingkungan tempat hidup yang spesifik. Kisaran suhu optimal untuk kebanyakan khamir sama dengan kapang, yaitu pada 25-30 °C. Khamir lebih, menyukai tumbuh pada keadaan asam, yaitu pada pH 4-5, dan tidak dapat tumbuh dengan baik pada medium alkali, kecuali jika telah

beradaptasi. Khamir tumbuh baik pada kondisi aerobik, tetapi yang fermentatif dapat tumbuh secara anaerobik meskipun lambat. Saccharomyces cerevisiae merupakan organisme fakultatif anaerob yang dapat menggunakan baik sistem aerob maupun anaerob untuk memperoleh energi dari pemecahan glukosa. Saccharomyces cerevisiae dapat menghasilkan alkohol dalam jumlah yang besar (Elevri dan Putra, 2006).

Menurut Purba et al. (2012), ubi jalar yang difermentasi dengan menggunakan ragi Saccharomyces cerevisiae menghasilkan rendemen tepung sebesar 28 %, warna tepung lebih cerah, dan kandungan protein sebesar 4,67 %. Hal ini

disebabkan ragi Saccharomyces cerevisiae sebagai kultur fermentasi cukup efektif dalam merombak sel atau jaringan ubi jalar. Selain itu asam laktat yang

dihasilkan saat proses fermentasi dapat digunakan oleh Saccharomyces cerevisiae dan dirombak menjadi metabolit sekundernya yaitu alkohol. Sehingga saat proses fermentasi berlangsung pH tidak cenderung menurun yang akan berpengaruh terhadap rasa yang akan dihasilkan pada mie ubi jalar. Ketika tepung ini

20 digunakan untuk membuat mie basah, menghasilkan sensori mendekati mie basah dari tepung terigu serta meningkatkan penerimaan konsumen.

2.6 Mie

Mie merupakan salah satu produk pangan yang menggunakan bahan baku utama tepung terigu. Mie salah satu jenis olahan pangan yang sangat digemari oleh masyarakat Indonesia, dan cenderung meningkat setiap tahunnya (Sumardiyono dan Tini, 2013). Tingginya peningkatan konsumsi mie meningkatkan volume impor gandum sebagai bahan baku utama dalam pembuatan tepung terigu, yang merupakan bahan baku utama produk mie. Oleh karena itu diupayakan substitusi terigu dengan tepung lain dalam pembuatan produk mie seperti tepung jagung, tepung ubi jalar, tepung kentang, tepung tapioka, dan tepung mocaf. Tepung campuran antara tepung terigu dengan salah satu tepung pensubstitusi biasanya disebut tepung komposit / tepung substitusi.

Tepung sorghum, tepung apel pomace, tepung kentang, tepung ubi jalar, dan tepung ubi jalar fermentasi umumnya dapat menstubstitusi tepung terigu pada pembuatan mie berturut-turut sebanyak 10 % (Beta dan Corke, 2001) dan (Yadav dan Gupta, 2014), 20 % (Chen et al., 2006) dan (Ali dan Fortuna, 2009), 40 % (Purba et al., 2012) (Tabel 4).

21 Tabel 4. Karakteristik berbagai mie komposit

No Komposisi Tepung Alternatif

Karakteristik Mie Sumber Referensi 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 10 % tepung sorghum dan 90 % terigu 20 % tepung kentang dan 80 % terigu

20 % tepung ubi jalar dan 80 % terigu

20 % tepung ubi jalar dan 80 % terigu

80 % tepung jagung dan 20 % tepung jagung HMT

40 % tepung ubi jalar fermentasi dan 60 % terigu

10 % tepung apel pomace dan 90 % Terigu

Elastis, agak kenyal, cooking loss rendah, daya serap air tinggi

Cooking loss rendah, cooking time 3,5 menit ,lebih lembut dan elastis

Cooking loss rendah, cooking time 3,7 menit, miekuat, dan agak elastis

Warna agak gelap, kurang elastis, kekenyalan sedang, kurang disukai konsumen Warna agak cerah, amylose leaching rendah, kelengketan rendah, mie agak elastis Rendemen tepung 28 %, warna mie lebih cerah, dapat diterima konsumen Warna agak gelap, cooking loss rendah, cooking time 4,5 menit, taste seperti mie umumnya

Beta dan Corke (2001)

Chen et al. (2006)

Chen et al. (2006)

Ali dan Fortuna (2009)

Kusnandar (2009)

Purba (2012)

Yadav dan Gupta (2013)

Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Mutu/ Kualitas Mie :

1. Cooking time adalah waktu yang dibutuhkan untuk menghilangkan titik putih di bagian tengah dalam untaian mie pada saat proses pemasakan (Basman dan Yalcin, 2011). Menurut Miskelly (1996), kriteria kualitas mie yang baik yaitu cooking time rendah pada mie kering umumnya sekitar 3 hingga 4 menit. Konsumen umumnya menyukai waktu pemasakan mie yang relatif singkat.

22 2. Cooking loss adalah jumlah substansi padatan yang hilang bersama air hasil

pemasakan mie (Basman dan Yalcin, 2011). Mie yang diinginkan adalah mie yang memberikan cooking loss minimum, sehingga tidak banyak padatan yang terbuang saat pemasakan (Kim et al., 1996). Menurut Miskelly (1996), kriteria kualitas mie yang baik yaitu cooking loss yang dihasilkan rendah.

3. Kecerahan warna suatu produk biasanya ditentukan dengan pengukuran menggunakan teori L,a,b. L (Lightness). Hasil pengukurannya dengan lightness dinyatakan dengan skala antara 0 (hitam) -100 (putih) yang berarti semakin rendah nilainya maka produk tersebut semakin gelap sehingga dapat menurunkan mutu mie karena warna mie pada umumnya yaitu berwarna kuning cerah (Basman dan Yalcin, 2011).

4. Daya putus (Tensile strenght) merupakan nilai gaya yang diperlukan untuk memutus untaian mie. Tensile strength sangat cocok digunakan sebagai parameter kekuatan dari mie. Semakin tinggi nilai gaya (N) yang diperoleh menunjukkan mie tidak mudah putus (Chansri et al., 2005). Menurut Hou (2010), mie dengan bahan tinggi amilosa memiliki nilai tensile strength yang besar sehingga dapat meningkatkan mutu mie.

5. Volume pengembangan menunjukkan besarnya tingkat pengembangan mie akibat proses pemasakan. Semakin tinggi presentase volume pengembangan maka menunjukkan bahwa mie tersebut mudah mengembang. Mie yang diinginkan adalah mie yang mengembang, namun tidak terlalu besar (Leach, 1965).

6. Water absorption adalah kemampuan produk dalam menyerap air secara maksimal. Artinya semakin besar presentase water absorption nya maka

23 semakin besar pula air yang diserap (Jatmiko dan Estiasih, 2014). Water

absorption mie merupakan salah satu parameter yang menentukan kualitas mie, semakin sedikit kemampuan menyerap air mie menunjukkan mie memiliki tekstur yang kuat. Kriteria kualitas mie yang baik menghasilkan water absorption rendah (Kaushal dan Sharma, 2013).

Selain faktor diatas, kualitas mie dapat dipengaruhi oleh beberapa hal seperti disajikan dalam Tabel 5 dan kualitas mie basah menurut SNI 01-2987-1992 dapat dilihat pada Tabel 6.

Tabel 5. Kriteria kualitas mie yang baik

Parameter Kriteria Sumber referensi

Sollubility tepung Swelling power tepung Amylose leaching tepung kekenyalan mie

elastisitas mie kelengketan mie elongasi mie kadar air mie Solid loss mie Soluble loss mie Swelling indeks mie

Rendah meningkat terbatas rendah tinggi tinggi rendah tinggi rendah rendah rendah Collado et al. (2001) Collado et al. (2001) Kusnandar (2009)

Eliason dan Gudmunson (1996) Eliason dan Gudmunson (1996) Tam et al. (2004)

Ulfah (2009)

SNI Mie Kering (1996) Baskaran et al. (2011) Baskaran et al. (2011) Kim et al. (1996)

24 Tabel 6. Syarat mutu mie basah

No. Kriteria Uji Satuan Persyaratan

1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. Keadaan : 1.1 Bau 1.2 Rasa 1.3 Warna Kadar air

Kadar abu (dihitung atas dasar bahan kering)

Kadar protein ((N x 6,25) dihitung atas dasar bahan kering)

Bahan tambahan pangan 5.1 Boraks dan asam borat 5.2 Pewarna 5.3 Formalin Cemaran logam: 6.1 Timbal (Pb) 6.2 Tembaga (Cu) 6.3 Seng (Zn) 6.4 Raksa (Hg) Arsen (As) Cemaran mikroba: 8.1 Angka lempeng total 8.2 E. Coli 8.3 Kapang -% b/b % b/b % b/b -mg/kg mg/kg Koloni/g APM/g Koloni/g Normal Normal Normal 20-35 Maks. 3 Min. 3

Tidak boleh ada Sesuai SNI-0222-M dan Peraturan MenKes

No.

772/Men.Kes/Per/IX/88 Tidak boleh ada

Maks 1,0 Maks 10,0 Maks 40,0 Maks 0,05 Maks 0,05 Maks 1,0 x 106 Maks 10 Maks 1,0 x 104

Proses pembuatan mie basah dimulai dengan cara mencampur bahan

menggunakan mixer. Kemudian diaduk hingga merata sampai terbentuk adonan, kemudian diaduk dan dicetak (Saragih et al., 2007). Tahap pencampuran

bertujuan untuk mendapatkan adonan yang merata dan berbentuk pasta yang homogen. Cara pembuatan dimulai dengan pencampuran tepung terigu, air, garam dan telur hingga merata. Kemudian ditambahkan air sedikit demi sedikit sampai terbentuk adonan. Pengadukan adalah salah satu proses penting dalam pengadonan bahan. Saat proses pengadukan akan terbentuk sifat elastis dari

25 gluten yang mengikat molekul air. Proses pengadukan memiliki tujuan utnuk memebntuk jaringan gluten yang terdapat dalam terigu. Saat ditambahkan air pada terigu serta mengalami proses pengadukan maka seiring dengan waktu jaringan gluten akan mulai terbentuk. Proses pengadukan akan dihentikan apabila jaringan gluten sudah terbentuk dengan sempurna atau sudah kalis biasanya dilakukan selama 15-20 menit. Kemudian di harapkan struktur akan menghasilkan tekstur dan volume yang maksimal (Priyati et al., 2016).

Adonan dimasukkan pada alat press dan dilakukan pelembaran awal dengan 2,5 mm lalu diulang 3,5 mm dan diulang lagi dengan 5,5 mm. Pelembaran akhir diulang lagi tiga kali dengan ukuran 3,5 mm, 2,5 mm dan 1,5 mm. Kemudian alat pencetak atau pemotong dipasang dan lembaran yang ada dipotong-potong

sepanjang kira-kira 30 cm. Potongan-potongan mie kemudian dikumpulkan untuk diperciki minyak goreng sambil diaduk lalu dikukus selama 10 menit. Mie

kemudian diangkat, ditiriskan dan kemudian ditebarkan diatas meja, lalu mie dianginkan sampai cukup dingin (Koswara, 2009).

Dokumen terkait