• Tidak ada hasil yang ditemukan

PENGARUH LAMA FERMENTASI DENGAN STARTER CAMPURAN CAIRAN PIKEL DAN YEAST TERHADAP KARAKTERISTIK MIE UBI JALAR PUTIH. (Skripsi) Oleh.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "PENGARUH LAMA FERMENTASI DENGAN STARTER CAMPURAN CAIRAN PIKEL DAN YEAST TERHADAP KARAKTERISTIK MIE UBI JALAR PUTIH. (Skripsi) Oleh."

Copied!
68
0
0

Teks penuh

(1)

PENGARUH LAMA FERMENTASI DENGAN STARTER CAMPURAN CAIRAN PIKEL DAN YEAST TERHADAP KARAKTERISTIK

MIE UBI JALAR PUTIH

(Skripsi) Oleh Hesti Yulianti FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS LAMPUNG BANDAR LAMPUNG 2017

(2)

ABSTRACT

THE EFFECT OF FERMENTATION TIME WITH MIXED OF PICKLE BRINE AND YEAST STARTER ON CHARACTERISTICS OF WHITE

SWEET POTATO NOODLE By

Hesti Yulianti

ABSTRACT

The aims of this study were to (1) compare the physicochemical characteristics of fermented white sweet potato flour noodle with the addition of mixed of pickle brine – yeast starter and single starter of pickle brine and yeast, (2) figure out the effect of fermentation time (0, 24, 48, 72, 96 hours) on characteristics of white sweet potato noodle, (3) had best combination of starter and fermentation time to produce white sweet potato noodle with the best sensory characteristic. This study was arranged in complete randomized block design (CBRD) with two factors and three replications. The first factor was fermentation starters : (1) pickle brine , (2) yeast and (3) mixed of pickle - yeast and non-fermented fresh sweet potato as the control. The second factor was fermentation time : 24 hours , 48 hours , 72 hours and 96 hours. The homogenity of data was analyzed by Bartlett test and additifity was tested by Tuckey test. ANOVA was used to know the effect of treatments. Data then were further analyzed using orthogonal polynomial at 1% level. The results showed that the fermentation treatment with addition of a mixed pickle brine –yeast starter improved the quality of flour and sweet potato noodle. Longer fermentation time had caused lower pH and whiter color of the flour, lower cooking loss, shorter cooking time of the noodle. Overall the best treatment was found in the mixed pickle brine – yeast starter fermented for 96 hours. The noodle resulted from the best treatment had the characteristics of cooking loss (16,446%),

(3)

Hesti Yulianti cooking time (3,267 minutes), whereas the flour was characterized as having pH (3,720) and color score of 5 (white).

Keywords: fermentation time, fermented white sweet potato flour, mixed starter, noodle

(4)

ABSTRAK

PENGARUH LAMA FERMENTASI DENGAN STARTER CAMPURAN CAIRAN PIKEL DAN YEAST TERHADAP KARAKTERISTIK

MIE UBI JALAR PUTIH

Oleh

Hesti Yulianti

Penelitian ini bertujuan untuk : (1) membandingkan sifat fisikokimia mie tepung ubi jalar putih terfermentasi dengan penambahan starter campuran cairan pikel – yeast dan starter tunggal pikel atau yeast, (2) mengetahui pengaruh lama fermentasi (0, 24, 48, 72, 96 jam) terhadap karakteristik mie ubi jalar putih, (3) mengetahui starter fermentasi dan lama fermentasi yang tepat untuk menghasilkan mie ubi jalar putih dengan karakteristik sensori terbaik. Penelitian disusun dalam Rancangan Acak Kelompok Lengkap (RAKL) dengan dua faktor dan tiga kali ulangan. Faktor pertama adalah jenis fermentasi yaitu dengan (1) starter pikel, (2) starter yeast, (3) campuran starter pikel dan yeast dan sebagai kontrol adalah ubi jalar segar yang tidak difermentasi. Faktor kedua adalah lama fermentasi yaitu 24 jam (L1), 48 jam, 72 jam, dan 96 jam. Data yang diperoleh diuji kesamaan ragamnya dengan uji Bartlett dan keaditifitasan dengan uji Tuckey. Analisis sidik ragam digunakan untuk mengetahui ada tidaknya pengaruh perlakuan, data kemudian diuji lanjut menggunakan uji orthogonal polinominal pada taraf 1%. Hasil penelitian menunjukkan bahwa perlakuan fermentasi dengan penambahan campuran cairan pikel dan starter yeast dapat memperbaiki kualitas tepung dan mie ubi jalar. Semakin lama waktu fermentasi, telah menyebabkan pH yang lebih rendah dan warna tepung yang lebih putih, kehilangan masak yang lebih kecil,

(5)

Hesti Yulianti waktu memasak mie yang lebih singkat. Perlakuan terbaik secara keseluruhan terdapat pada starter campuran cairan pikel dan yeast yang difermentasi selama 96 jam. Mie yang dihasilkan dari perlakuan terbaik memiliki karakteristik cooking loss (16,446%), cooking time (3,267 menit), sedangkan karakteristik tepungnya yaitu pH (3,720) dan skor warna 5 (putih).

Kata Kunci: Lama fermentasi, mie, starter campuran, tepung ubi jalar putih terfermentasi

(6)

PENGARUH LAMA FERMENTASI DENGAN STARTER CAMPURAN CAIRAN PIKEL DAN YEAST TERHADAP KARAKTERISTIK

MIE UBI JALAR PUTIH

Oleh Hesti Yulianti

Skripsi

Sebagai Salah Satu Syarat untuk Mencapai Gelar SARJANA TEKNOLOGI PERTANIAN

Pada

Jurusan Teknologi Hasil Pertanian Fakultas Pertanian Universitas Lampung

FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS LAMPUNG

BANDAR LAMPUNG 2017

(7)
(8)
(9)
(10)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Pringsewu pada tanggal 23 Juli 1995, sebagai anak bungsu dari empat bersaudara, dari pasangan Bapak Hardi Setiawan dan Ibu Husniarty. Pada tahun 2001, penulis menyelesaikan pendidikan taman kanak-kanak di TK PTPN VII Bandar Lampung, kemudian melanjutkan pendidikan dasar di SDN 1 Sepang Jaya dan lulus pada tahun 2007. Pada tahun yang sama, penulis melanjutkan pendidikan menengah di SMPN 8 Bandar Lampung, kemudian pada tahun 2010 penulis melanjutkan pendidikannya ke SMA Al-Azhar 3 Bandar Lampung dan lulus tahun 2013. Penulis diterima sebagai mahasiswa Jurusan Teknologi Hasil Pertanian Fakultas Pertanian Universitas Lampung pada tahun 2013 melalui jalur tes tertulis Seleksi Bersama Masuk Perguruan Tinggi Negeri (SBMPTN).

Pada bulan Januari-Maret 2016, penulis melaksanakan Kuliah Kerja Nyata (KKN) di Desa Agung Jaya, Kecamatan Banjar Margo, Kabupaten Tulang Bawang dengan tema “Implementasi Keilmuan dan Teknologi Tepat Guna dalam Pemberdayaan Masyarakat dan Pembentukan Karakter Bangsa melalui Penguatan Fungsi Keluarga (POSDAYA)”. Pada bulan Agustus 2016, penulis melaksanakan Praktik Umum (PU) di PT. Indofood CBP Sukses Makmur Tbk, Cabang Lampung Lampung Selatan, khususnya dibagian Warehouse dan menyelesaikan

(11)

laporan PU yang berjudul “Mempelajari Proses Penanganan Pengemasan, Penggudangan, serta Distribusi Mie Instan di PT. Indofood CBP Sukses Makmur Tbk, Cabang Lampung”.

(12)

SANWACANA

Puji syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala rahmat dan hidayah-Nya penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Dalam penulisan skripsi ini, penulis banyak mendapatkan bantuan, bimbingan, dan dorongan baik itu langsung maupun tidak langsung dari berbagai pihak. Oleh karena itu, pada kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada:

1. Bapak Prof. Dr. Ir. Irwan Sukri Banuwa, M.Si., selaku Dekan Fakultas Pertanian Universitas Lampung.

2. Ibu Ir. Susilawati, M.Si., selaku Ketua Jurusan Teknologi Hasil Pertanian Fakultas Pertanian Universitas Lampung.

3. Prof. Ir. Neti Yuliana, M.Si., Ph.D., selaku pembimbing pertama skripsi sekaligus sebagai Dosen Pembimbing Akademik yang telah banyak memberikan pengarahan dan bimbingan dalam pelaksanaan perkuliahan, saran, nasihat, motivasi dan kritikan dalam penyusunan skripsi.

4. Dr. Ir. Siti Nurdjanah, M.Sc., selaku pembimbing kedua yang telah banyak memberikan bimbingan, motivasi, pengarahan, saran, nasihat dan kritikan dalam penyusunan skripsi.

5. Dr. Dra. Maria Erna Kustyawati, M.Sc., selaku penguji yang telah memberikan saran dan kritik yang membangun untuk penyempurnaan skripsi ini.

(13)

6. Bapak dan Ibu dosen yang telah memberikan ilmu dan wawasan kepada penulis selama kuliah.

7. Keluargaku tercinta (Bapak, Ibu, Bang Iyan, Bang Teta dan Mbak Lisma) yang telah memberikan dukungan, motivasi, dan yang selalu menyertai penulis dalam doanya untuk melaksanakan dan menyelesaikan skripsi.

Penulis sangat menyadari skripsi ini jauh dari kata sempurna, oleh sebab itu penulis sangat mengharapkan kritik dan saran yang membangun dan dapat memberikan manfaat bagi penulis pribadi dan bagi para pembaca.

Bandar Lampung, Mei 2017

(14)

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR TABEL ... viii

DAFTAR GAMBAR ... xi I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang ... 1 1.2 Tujuan ... 4 1.3 Kerangka Pemikiran... 4 1.4 Hipotesis ... 7

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Ubi Jalar ... 8

2.2 Tepung Ubi Jalar... 11

2.3 Fermentasi Bakteri Asam Laktat ... 14

2.4 Fermentasi Starter Pikel... 16

2.5 Fermentasi Starter Saccharomyces cerevisiae ... 18

2.6 Mie ... 20

III. BAHAN DAN METODE 3.1 Tempat dan Waktu Penelitian ... 26

3.2 Bahan dan Alat... 26

3.3 Metode Penelitian ... 27

3.4 Pelaksanaan Penelitian ... 28

3.4.1 Penyiapan Starter ... 28

a. Starter Yeast... 28

(15)

iii

c. Larutan Gula-Garam ... 28

3.4.2 Proses Fermentasi Ubi Jalar... 29

a. Fermentasi Ubi Jalar dengan Starter Cairan Pikel... 29

b. Fermentasi Ubi Jalar dengan Starter Yeast... 29

c. Fermentasi Ubi Jalar dengan Starter Campuran Cairan Pikel dan Yeast... 29

3.4.3 Penepungan... 30

3.4.4 Pembuatan Mie... 30

3.5 Pengamatan... 31

3.5.1 Pengamatan Tepung Ubi Jalar ... 31

a. Derajat Keasaman (pH) ... 31

b. Warna Tepung ... 31

c. Uji Iodin... 31

3.5.2 Pengamatan Mie Ubi Jalar ... 32

a. Cooking Time ... 32

b. Cooking Loss... 33

c. Uji Sensori... 34

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Hasil Analisa Fisikokimia Tepung Ubi Jalar ... 37

4.1.1 pH Ubi Jalar ... 37

4.1.2 Warna Tepung Ubi Jalar ... 39

4.1.3 Uji Iodin Tepung Ubi Jalar ... 43

4.2 Hasil Analisa Mie Ubi Jalar... 48

4.2.1 Uji Cooking Time... 48

4.2.2 Uji Cooking Loss... 51

4.2.3 Sensori Mie Ubi Jalar... 53

4.2.3.1 Uji Skoring dan Uji Hedonik... 53

a. Sensori Elastisitas Mie Ubi Jalar... 53

b. Sensori Tekstur dan Aroma Mie Ubi Jalar... 54

c. Sensori Warna Mie Ubi Jalar... 56

d. Sensori Penerimaan Keseluruhan Mie Ubi Jalar... 58

(16)

iv V. KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan ... 62

B. Saran ... 62

DAFTAR PUSTAKA ... 63

(17)

DAFTAR TABEL

Tabel Halaman

1. Kandungan gizi pada ubi jalar putih per 100 gram ... 9

2. Komposisi kimia dan sifat fisik tepung ubi jalar tanpa fermentasi dan tepung ubi jalar fermentasi ... 12

3. Berbagai perlakuan kombinasi starter terhadap hasil fermentasi ubi jalar ... 13

4. Karakteristik berbagai mie komposit... 21

5. Kriteria kualitas mie yang baik... 23

6. Syarat mutu mie basah... 24

7. Perbandingan formula pembuatan mie tepung ubi jalar dalam 100 gram.. ... 30

8. Kuesioner uji sensori mie ubi jalar.. ... 34

9. Nilai warna uji iodin tepung ubi jalar kontrol dan fermentasi... 44

10. Berbagai penelitian mengenai cooking time mie dengan substitusi beragam jenis tepung... 50

11. Berbagai penelitian mengenai cooking loss mie dengan substitusi beragam jenis tepung... 52

12. Hasil rekapitulasi data parameter terbaik... 61

13. Derajat keasaman (pH) tepung ubi jalar putih... 74

14. Uji kehomogenan (kesamaan) ragam (Bartlett’s Test) derajat keasaman (pH) tepung ubi jalar putih... 74

(18)

ix 16. Uji lanjut ortogonal polinomial-ortogonal contras derajat

keasaman (pH) tepung ubi jalar... 76 17. Cooking time mie ubi jalar putih... 77 18. Uji kehomogenan (kesamaan) ragam (Bartlett’s Test)

cooking time Mie ubi jalar putih... 77 19. Analisis ragam cooking time mie ubi jalar putih... 78 20. Uji lanjut ortogonal polinomial-ortogonal contras cooking

time mie ubi jalar... 79 21. Cooking loss mie ubi jalar... 80 22. Uji kehomogenan (kesamaan) ragam (Bartlett’s Test) cooking

loss mie ubi jalar putih... 80 23. Analisis ragam cooking loss mie ubi jalar putih... 81 24. Uji lanjut ortogonal polinomial-ortogonal contras cooking loss

mie ubi jalar putih... 82 25. Elastisitas mie ubi jalar... 83 26. Uji kehomogenan (kesamaan) ragam (Bartlett’s Test)

elastisitas mie ubi jalar putih... 83 27. Analisis ragam elastisitas mie ubi jalar putih... 84 28. Uji lanjut ortogonal polinomial-ortogonal contras elastisitas

mie ubi jalar putih ... 85 29. Tekstur mie ubi jalar... 86 30. Uji kehomogenan (kesamaan) ragam (Bartlett’s Test) tekstur

mie ubi jalar putih... 86 31. Analisis ragam tekstur mie ubi jalar putih... 87 32. Uji lanjut ortogonal polinomial-ortogonal contras tekstur mie

ubi jalar putih... 88 33. Aroma mie ubi jalar ... 89 34. Uji kehomogenan (kesamaan) ragam (Bartlett’s Test) aroma

(19)

x 35. Analisis ragam aroma mie ubi jalar putih... 90 36. Uji lanjut ortogonal polinomial-ortogonal contras aroma mie

ubi jalar putih ... 91 37. Warna mie ubi jalar ... 92 38. Uji kehomogenan (kesamaan) ragam (Bartlett’s Test) warna

mie ubi jalar putih ... 92 39. Analisis ragam warna mie ubi jalar putih ... 93 40. Uji lanjut ortogonal polinomial-ortogonal contras warna mie

ubi jalar putih... 94 41. Penerimaan keseluruhan mie ubi jalar... 95 42. Uji kehomogenan (kesamaan) ragam (Bartlett’s Test)

penerimaan keseluruhan mie ubi jalar putih... 95 43. Analisis ragam penerimaan keseluruhan mie ubi jalar... 96 44. Uji lanjut ortogonal polinomial-ortogonal contras penerimaan

keseluruhan mie ubi jalar putih... 97 45. Hasil rekapitulasi data sensori mie ubi jalar... 98

(20)

DAFTAR GAMBAR

Gambar Halaman

1. Ubi jalar putih... 10

2. Waktu cooking time fermentasi pikel ... 32

3. Waktu cooking time fermentasi pikel dan yeast ... 32

4. Waktu cooking time fermentasi yeast ... 33

5. Waktu cooking time kontrol ... 33

6. Penurunan pH tepung secara linier selama fermentasi ... 39

7. Pengamatan warna tepung fermentasi ubi jalar starter pikel pada lama fermentasi ( 24, 48, 72, 96) jam... 40

8. Warna tepung fermentasi ubi jalar starter yeast ( a,b,c) dan starter campuran cairan pikel dan yeast (d,e,f) selama fermentasi (24, 48, 72, 96) jam... 41

9. Pengamatan uji iodin dari berbagai jenis tepung (a) tepung jagung dan (b) tepung beras... 44

10. Pengamatan warna tepung fermentasi ubi jalar starter pikel pada lama fermentasi ( 24, 48, 72, 96) jam... 45

11. Pengamatan warna tepung fermentasi ubi jalar starter yeast pada lama fermentasi ( 24, 48, 72, 96) jam... 46

12. Pengamatan warna tepung fermentasi ubi jalar starter campuran pikel dan yeast pada lama fermentasi ( 24, 48, 72, 96) jam. ... .. 47

13. Penurunan cooking time mie secara linier selama fermentasi .... 49

(21)

xii 15. Peningkata dan penurunan sensori elastisitas mie secara linier

selama fermentasi ... 53

16. Penurunan sensori tekstur mie secara linier selama fermentasi.. 55

17. Penurunan sensori aroma mie secara linier selama fermentasi.. 55

18. Peningkatan sensori warna mie secara linier selama fermentasi. 57 19. Peningkatan penerimaan keseluruhan mie secara linier selama fermentasi ... 59

20. Alat pembuat untaian mie... 99

21. Ubi jalar putih... 99

22. Pengecilan ukuran ubi jalar dengan slicer ... 99

23. Proses fermentasi ubi jalar (24, 48, 72, 96 jam)... 99

24. Pencucian ubi jalar... 99

25. Pengovenan ubi jalar... 99

26. Penepungan ubi jalar... 100

27. Pengecilan ukuran 80 mesh... 100

28. Pengemasan tepung ubi jalar... 100

29. Proses pencetakan mie... 100

30. Mie ubi jalar... 100

31. Pengujian cooking time mie... 100

32. Proses sentrifuse pengujian cooking loss mie... 101

33. Hasil sentrifuse berupa cairan supernatan dan endapan ... 101

34. Endapan hasil sentrifuse di oven sampai berat konstan... 101

35. Uji sensori mie ubi jalar... 101

(22)

I. PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Ubi jalar (Ipomoea batatas L.) tergolong tanaman umbi-umbian yang berumur pendek namun memiliki kandungan nutrisi yang tinggi seperti karbohidrat (pati dan serat pangan), vitamin, serta mineral (kalium dan fosfor). Ubi jalar dapat dimanfaatkan sebagai bahan baku dalam pembuatan tepung terfermentasi. Pengolahan ubi jalar menjadi tepung dapat memberikan beberapa keuntungan seperti meningkatkan daya simpan dan praktis dalam pengangkutan serta penyimpanan serta dapat diolah menjadi beraneka ragam produk makanan salah satu nya yaitu mie. Mie termasuk produk pangan populer karena disukai dan cara penyajiannya mudah serta cepat. Produk mie pada umumnya dibuat dari tepung terigu padahal tingkat kebutuhan terigu di Indonesia semakin meningkat setiap tahunnya (Winarno, 1999).

Indonesia telah mengimpor gandum pada tahun 2012 sebesar 468 juta ton, dan mengalami peningkatan sebesar 708 juta ton pada tahun 2013 (Pusdatin, 2014). Selain itu, harga terigu yang tersedia di pasaran semakin meningkat pula. Oleh karena itu diperlukan penelitian menggunakan bahan baku lain yang dapat mensubstitusi terigu salah satunya adalah tepung ubi jalar.

(23)

2 Menurut Sugiyono et al. (2011) mie yang dibuat dari tepung ubi jalar tanpa

fermentasi menghasilkan mie dengan warna yang kurang disukai. Selain itu tekstur mie mudah patah / elastisitasnya rendah (Chen, 2006) dan substitusi tepung ubi jalar sebanyak 20% pada pembuatan mie kering menghasilkan mie dengan rasa yang masih kurang disukai (Ali dan Fortuna, 2009). Untuk memperbaiki sifat tersebut maka perlu dilakukan modifikasi tepung ubi jalar untuk memperbaiki karakteristiknya yang pada penelitian ini dipilih dengan fermentasi asam laktat.

Bakteri asam laktat akan memproduksi enzim dan asam organik yang mendegradasi sebagian pati menjadi polimer yang lebih pendek rantainya sehingga memperbaiki sifat fungsional tepung seperti naiknya viskositas, kemampuan gelasi, daya rehidrasi dan kemudahan melarut (Sholikhah, 2011). Starter bakteri asam laktat dapat diperoleh secara komersil dari laboratorium atau dari starter cairan pikel yang ditambahkan sejumlah garam (Yuliana dan

Nurdjanah, 2009). Pikel adalah hasil pengolahan buah atau sayuran dengan menggunakan garam dan diawetkan secara asam, dengan atau tanpa penambahan gula dan rempah-rempah sebagai bumbu (Vaughn, 1982).

Selain starter cairan pikel, yeast seperti Saccharomyces cerevisiae juga dapat diaplikasikan untuk memperbaiki karakteristik tepung. Menurut Purba et al. (2012) ubi jalar yang difermentasi dengan menggunakan Saccharomyces cerevisiae menghasilkan warna tepung lebih cerah. Hal ini disebabkan Saccharomyces cerevisiae sebagai kultur fermentasi dapat merombak sel atau jaringan ubi jalar. Selain itu asam laktat yang dihasilkan saat proses fermentasi

(24)

3 dapat digunakan oleh Saccharomyces cerevisiae dan dirombak menjadi metabolit sekundernya yaitu alkohol. Sehingga saat proses fermentasi berlangsung pH tidak cenderung menurun yang akan berpengaruh terhadap rasa yang akan dihasilkan pada mie ubi jalar. Selain itu pembuatan tepung ubi jalar termodifikasi juga bisa dilakukan dengan fermentasi ubi jalar dengan penambahan starter pikel secara spontan yang dilakukan tanpa penambahan inokulum, namun ditambahkan sejumlah garam (Yuliana dan Nurdjanah, 2009).

Berdasarkan penelitian Martian (2015) dan Nabila (2015), modifikasi tepung ubi jalar dengan starter campuran Lactobacillus plantarum, Leuconostoc

mesenteroides dan Saccaromyces cerevisiae menghasilkan pH, skor warna, skor aroma, pembengkakan granula yang lebih tinggi di sertai kelarutan yang lebih rendah dibanding starter tunggal. Namun, tepung yang dihasilkan belum diketahui efek aplikasinya pada pembuatan mie. Sehingga penelitian ini

difokuskan pada fermentasi menggunakan campuran starter pikel dan yeast serta tepung yang dihasilkan dievaluasi kualitasnya dan digunakan sebagai bahan baku pembuatan mie.

Lama fermentasi merupakan salah satu faktor yang berpengaruh selain

penggunaan starter. Semakin lama proses fermentasi, aktivitas mikroba dalam mendegradasi pati semakin besar sehingga akan meningkatkan viskositas, dan tingkat kelarutan. Disisi lain, semakin lama proses fermentasi akan menyebabkan penurunan sifat fisik yang lain seperti aroma dan cita rasa. Fermentasi ubi hingga ke-96 jam menghasilkan warna tepung semakin putih dan volume pengembangan bagus (Amethy, 2014).

(25)

4 Berdasarkan uraian tersebut maka pada penelitian ini dilakukan fermentasi ubi jalar dengan campuran starter pikel dan yeast pada berbagai kombinasi lama fermentasi yaitu 0, 24, 48, 72 dan 96 jam diharapkan dapat menghasilkan tepung ubi jalar dengan sifat sensori yang terbaik.

1.2 Tujuan

Tujuan pada penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Membandingkan sifat fisikokimia mie tepung ubi jalar putih terfermentasi dengan penambahan starter campuran cairan pikel dan yeast dan starter tunggal pikel atau yeast.

2. Mengetahui pengaruh lama fermentasi (0, 24, 48, 72, 96 jam) terhadap karakteristik mie ubi jalar putih.

3. Mengetahui starter fermentasi dan lama fermentasi yang tepat untuk menghasilkan mie ubi jalar putih dengan karakteristik sensori terbaik.

1.3 Kerangka pemikiran.

Tepung ubi jalar tidak mengandung gluten seperti halnya terigu, sehingga produk olahannya tidak mengembang, tekstur keras dan rapuh. Mie yang dibuat dari tepung ubi jalar tanpa fermentasi menghasilkan mie dengan warna yang kurang disukai (Sugiyono et al., 2011) dan tekstur mie mudah patah / elastisitasnya rendah (Chen, 2006). Sifat karakteristik tersebut dapat diperbaiki dengan dilakukannya modifikasi tepung ubi jalar dan salah satu cara yang relatif mudah dan aman dikonsumsi adalah fermentasi.

(26)

5 Bakteri asam laktat akan memproduksi enzim dan asam organik yang

mendegradasi sebagian pati menjadi polimer yang lebih pendek rantainya sehingga jaringan internal granula pati akan semakin melemah dan mudah menyerap air, selanjutnya granula pati mengembang dan akan meningkatkan pembengkakan granula (swelling power), naiknya viskositas (Odedeji dan Adeleke, 2010). Degradasi oleh enzim yang dihasilkan BAL menghasilkan perubahan kandungan amilosa dan panjang rantai serta distribusi amilopektin dan akan menentukan kualitas mie yang dihasilkan.

Menurut Sandhu dan Singh (2007), proporsi amilopektin rantai pendek yang banyak tidak menguntungkan sebagai bahan pembuatan mie karena kekerasan gel yang rendah, sebaliknya amilopektin rantai panjang diinginkan dalam pembuatan mie karena menghasilkan gel yang kuat. Amilopektin rantai panjang memiliki kekutan gel yang kuat dan campuran antara amilosa rantai pendek menghasilkan kekuatan gel yang kuat jika disimpan dalam suhu ruang (Jane et al., 1999). Mie yang diharapkan adalah mie yang mempunyai gel kuat sehingga tidak mudah putus dan rapuh.

Proses fermentasi diperngaruhi oleh jenis starter dan lama fermentasi. Berbagai jenis starter seperti lactobacillus plantarum, leuconostoc mesenteroides dan saccharomyces cerevisiae dan pikel. Menurut Dewi (2014) fermentasi dengan starter lactobacillus plantarum meningkatkan swelling power dan solubility tepung. Namun proses fermentasi cenderung menurunkan pH tepung karena pada proses fermentasi tersebut menghasilkan asam laktat yang akan menurunkan nilai pH lingkungan pertumbuhannya dan menimbulkan rasa asam.

(27)

6 Menurut Purba et al. (2012), ubi jalar yang difermentasi dengan menggunakan ragi Saccharomyces cerevisiae menghasilkan rendemen tepung sebesar 28 %, warna tepung lebih cerah, dan kandungan protein sebesar 4,67 %. Hal ini disebabkan ragi Saccharomyces cerevisiae sebagai kultur fermentasi dapat merombak sel atau jaringan ubi jalar. Sehingga saat proses fermentasi berlangsung pH tidak cenderung turun dan ketika tepung ubi jalar digunakan untuk membuat mie basah akan menghasilkan sensori mendekati mie basah dari tepung terigu serta meningkatkan penerimaan konsumen. Selain itu pembuatan tepung ubi jalar termodifikasi juga bisa dilakukan dengan fermentasi ubi jalar dengan penambahan starter pikel secara spontan yang dilakukan tanpa

penambahan inokulum, namun ditambahkan sejumlah garam (Yuliana dan Nurdjanah, 2009). Menurut Amethy (2014) dan Setiawan (2012) fermentasi dengan starter pikel menghasilkan tepung dengan volume pengembangan yang bagus dan penerimaan warna secara sensori sesuai parameter.

Berdasarkan penelitian Martian (2015) dan Nabila (2015), modifikasi tepung ubi jalar dengan starter campuran Lactobacillus plantarum, Leuconostoc

mesenteroides dan Saccaromyces cerevisiae menghasilkan pH, skor warna, skor aroma, pembengkakan granula yang lebih tinggi di sertai kelarutan yang lebih rendah dibanding starter tunggal. Namun, tepung yang dihasilkan belum diketahui efek aplikasinya pada pembuatan mie. Sehingga pada penelitian ini campuran starter pikel dan yeast digunakan untuk fermentasi ubi jalar, serta tepung yang dihasilkan dievaluasi kualitasnya dan dimanfaatkan sebagai bahan baku pembuatan mie.

(28)

7 Perbedaan lama fermentasi pada ubi jalar diduga akan menentukan tingkat

degradasi granula pati yang akan mempengaruhi karakteristik tepung yang dihasilkan. Semakin lama proses fermentasi, aktivitas mikroba dalam

mendegradasi pati semakin besar sehingga akan meningkatkan viskositas, dan tingkat kelarutan. Disisi lain, lama fermentasi memberikan pengaruh yang nyata terhadap total asam, pH, total bakteri, rasa, tekstur, aroma, dan warna. Fermentasi ubi hingga ke-96 jam dapat pula menghasilkan warna tepung semakin putih dan volume pengembangan bagus (Amethy, 2014) sedangkan menurut Haryati (2009) fermentasi pada jam ke-36 sudah menghasilkan pati terbaik setelah dilakukan uji organoleptik. Berdasarkan uraian tersebut, pembuatan tepung ubi jalar putih dengan kombinasi starter campuran dan lama fermentasi yang tepat diharapkan dapat menghasilkan tepung ubi jalar putih terbaik untuk bahan baku mie.

1.4 Hipotesis

Hipotesis yang diajukan pada penelitian ini meliputi:

1. Perlakuan fermentasi dengan penambahan starter campuran cairan pikel dan yeast lebih baik daripada fermentasi dengan starter tunggal pikel atau yeast. 2. Lama fermentasi (0, 24, 48, 72 dan 96 jam) berpengaruh terhadap karakteristik

sensori mie ubi jalar putih yang dihasilkan.

3. Fermentasi menggunakan campuran starter pikel dengan penambahan yeast pada lama fermentasi yang tepat menghasilkan mie ubi jalar putih dengan karakteristik sensori terbaik.

(29)

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Ubi Jalar

Ubi jalar (Ipomoea batatas L.) atau ketela rambat atau “sweet potato” diduga berasal dari Benua Amerika. Para ahli botani dan pertanian memperkirakan daerah asal tanaman ubi jalar adalah Selandia Baru, Polinesia, dan Amerika Bagian Tengah. Ubi jalar dapat tumbuh terutama di negara-negara yang beriklim tropika. (Rukmana, 1997). Ubi jalar merupakan tanaman ubi – ubian dan

tergolong tanaman semusim (berumur pendek) yang terdiri dari susunan utamanya yaitu batang, ubi, daun, buah dan biji. Tanaman ubi jalar tumbuh menjalar pada permukaan tanah dengan panjang tanaman dapat mencapai 3 m, tergantung pada kultivarnya. Batang tanaman berbentuk bulat, tidak berkayu, tidak berbuku-buku dan tipe pertumbuhannya tegak atau merambat. Daun berbentuk bulat sampai lonjong dengan tepi rata atau berlekuk dangkal sampai berlekuk dalam, sedangkan bagian ujungnya meruncing (Rukmana, 1997).

Menurut Soemartono (1984), berdasarkan warna daging umbi, ubi jalar dibedakan menjadi tiga golongan yaitu ubi jalar putih, ubi jalar kuning dan ubi jalar ungu. Ubi jalar berwarna kuning atau oranye mengandung betakaroten tinggi dari pada

(30)

9 ubi lainnya. Sementara varietas ubi jalar yang digunakan untuk pangan

berdasarkan tekstur daging ubi jalar dapat dibedakan dalam dua golongan, yaitu umbi berdaging lunak karena banyak mengandung air tidak berserat (agak berair, berdaging manis) dan umbi berdaging keras karena banyak mengandung pati dan serat (banyak mengandung tepung) (Sarwono, 2005). Jumlah kandungan gizi ubi jalar dalam 100 g bahan yang dapat dimakan dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1. Kandungan gizi pada ubi jalar putih per 100 gram

Komponen Ubi jalar putih

Air (g) Kalori (kal) Protein (g) Lemak (g) Karbohidrat (g) Kalsium (mg) Fosfor (mg) Zat besi (mg) Vitamin A (IU) Vitamin B1 (mg) Vitamin C (mg)

Bagian yang dapat dimakan (g)

68,5 123 1,8 0,7 27,9 30 49 0,7 60 0,09 22 86 Sumber: Rukmana (1997)

Menurut Rukmana (1997), diluar negeri khususnya di negara-negara maju, ubi jalar dijadikan makanan mewah dan bahan baku industri, seperti industri fermentasi, tekstil, lem, kosmetika, farmasi dan sirup. Ubi jalar di Jepang dijadikan makanan tradisonal yang publisitasnya setaraf dengan pizza atau hamburger sehingga aneka makanan olahan dari ubi jalar banyak dijual ditoko-toko sampai restoran-restoran bertaraf Internasional. Produk ubi jalar di Amerika Serikat dijadikan bahan pengganti (subtitusi) kentang, dan 60% - 70%

diantaranyan digunakan sebagai makanan manusia. Menurut Widodo (1995), harga ubi jalar di Jepang lebih tinggi dan dapat mencapai empat kali lipat

(31)

10 dibanding padi, karena ubi jalar di Jepang digunakan untuk beraneka ragam

industri dari pangan (mie, permen, roti, dan lain-lain), minuman (sake, es krim) hingga kosmetik.

Gambar 1. Ubi Jalar Putih (dokumen pribadi)

Ubi jalar dapat dijadikan bahan pangan alternatif yang menggantikan beras dan jagung di daerah pedesaan yang miskin (Juanda dan Cahyono, 2004). Konsumsi ubi jalar sebagai pangan, sebagian besar dilakukan dengan cara disantap dari pemasakan ubi segar. Keragaman pangan lainnya dilakukan dengan perubahan bentuk atau penambahan bumbu seperti ubi rebus, ubi goreng, kolak dan keripik. Filipina telah mengembangkan produk olahan ubi jalar menjadi berbagai produk seperti manisan, asinan, selai, sari buah dan berbagai jenis minuman pada tingkat komersial. Ubi jalar yang berwarna putih lebih diarahkan untuk pengembangan tepung dan pati karena umbi yang berwarna cerah cenderung lebih baik kadar patinya dan warna tepung lebih menyerupai terigu (Rosmarkam dan Yuwono, 2002).

(32)

11 Menurut Nurdjanah et al. (2013), ampas pati ubi jalar berpotensi sebagai sumber pektin yang bermetoksil rendah sehingga bagus untuk makanan rendah kalori karena dapat membentuk pudding tanpa adanya gula.

2.2 Tepung Ubi Jalar

Tepung dan pati ubi jalar mempunyai potensi untuk dikembangkan sebagai komoditas komersial, dalam bentuk tepung, bahan pangan ini lebih luwes diolah menjadi berbagai produk makanan yang menunjang diversifikasi pangan

(Damardjati dan Widowati, 1993). Tepung ubi jalar dibuat melalui tahap pengepresan, pengeringan dan penggilingan. Sebagai larutan perendam dapat dipakai larutan Na-bisulfit 0,3% (Iriani dan Meinarti, 1996).

Tepung ubi jalar selain dibuat secara langsung, dapat dibuat dengan modifikasi fermentasi. Tepung modifikasi fermentasi merupakan salah satu produk tepung yang diproses menggunakan prinsip memodifikasi sel ubi secara fermentasi oleh mikroba sperti bakteri asam laktat yang mendominasi selama berlangsungnya fermentasi tersebut. Mikroba yang tumbuh menghasilkan enzim pektinolitik dan selulolitik yang dapat mendegradasi dinding sel ubi jalar sedemikian rupa, sehingga terjadi pembebasan granula pati yang menyebabkan perubahan

karakteristik dari tepung yang dihasilkan berupa naiknya viskositas, kemampuan gelasi, daya rehidrasi, dan kemudahan melarut (Zubaidah dan Irawati, 2013).

Teknik produksi tepung ubi jalar dengan cara yang tepat akan mempengaruhi kualitas tepung ubi jalar, terutama terhadap kadar air, densitas kamba, warna, sifat mikroskopis granula pati, serta sifat amilografi tepung (Syamsir, 2009). Kadar

(33)

12 serat pangan yang tinggi pada tepung ubi jalar (4,72 %) menyebabkan warna tepung tidak putih (Zuraida dan Supriati, 2001). Warna tepung ubi jalar yang tidak putih berpengaruh pada warna produk yang dihasilkan. Komposisi tepung ubi jalar tanpa fermentasi dan tepung ubi jalar fermentasi spontan disajikan pada Tabel 2 dan beberapa penelitian mengenai tepung ubi jalar fermentasi dapat dilihat pada Tabel 3.

Tabel 2. Komposisi kimia dan sifat fisik tepung ubi jalar tanpa fermentasi dan tepung ubi jalar fermentasi

Komponen dan sifat fisik Tepung Ubi Jalar* Tepung Ubi Jalar Fermentasi** Air (%) 7,00 7,62 Protein (%) 2,11 3,29 Lemak( %) 0,53 0,71 Karbohidrat (%) 84,74 78,48 Abu (%) 2,58 1,98 Derajat Putih (%) 74,43

-Waktu Gelatinisasi (menit) 32,5

-Suhu Gelatinisasi (°C) 78,8 74,13

Waktu Granula Pecah (menit) 39,5

-Suhu Granula Pecah (°C) 90,0 88,1

Viskositas Puncak (BU) 1815 222,8

(34)

13 Tabel 3. Berbagai perlakuan kombinasi starter terhadap hasil fermentasi ubi jalar

No Perlakuan Hasil Referensi

1. Starter campuran lactobacillus plantarum, leuconostoc mesenteroides dan saccharomyces cerevisiae pada fermentasi jam ke 72 pH 4,27; pembengkakan granula, kemudahan melarut, persentase nilai transmitan hari ke-5 3,00%; skor warna 3,90 (putih ), skor aroma 2,90 (netral) dan untaian mie utuh 93,10%.

(Nabila, 2015) 2. 3. 4. 5. 6. 7. Starter campuran lactobacillus plantarum, leuconostoc mesenteroides dan yeast pada fermentasi jam ke 48 Starter lactobacillus plantarum, leuconostoc mesenteroides pada fermentasi jam ke 96 Starter lactobacillus plantarum pada lama fermentasi 7 hari

Starter pikel pada fermentasi 96 jam Starter pikel pada lama fermentasi 12 hari Starter saccharomyces cerevisiae fermentasi selama 36 jam

Menurunkan kelengketan, cooking time, cooking loss, solid loss, soluble loss, swelling indeks, dan water absorption serta meningkatkan sifat sensori mie (kecerahan warna,

memperbaiki aroma, rasa, kekenyalan, tekstur, dan penerimaan keseluruhan)

Pengembangan adonan dan derajat putih terbaik.

Swelling power dan solubility tepung yang tinggi

Volume pengembangan yang bagus

Penerimaan warna secara sensori sesuai parameter

Pati terbaik setelah dilakukan uji organoleptik (Novianti, 2016) (Martian, 2015) (Dewi, 2014) (Amethy, 2014) (Setiawan, 2012) (Haryati, 2009)

(35)

14 2.3 Fermentasi Bakteri Asam Laktat

Fermentasi asam laktat merupakan salah satu proses fermentasi yang melibatkan bakteri asam laktat dan dicirikan oleh akumulasi asam-asam organik terutama asam laktat dan asam asetat, dengan indikasi terjadinya penurunan pH (Kongo, 2013). Bakteri asam laktat (BAL) adalah kelompok bakteri Gram positif,

berbentuk bulat atau batang tidak membentuk spora, suhu optimum ± 40 °C, pada umumnya tidak motil, bersifat anaerob, katalase negatif dan oksidase positif, dan dapat mengubah karbohidrat menjadi asam laktat (Korhenen, 2010). Sifat-sifat khusus bakteri asam laktat adalah mampu tumbuh pada kadar gula, alkohol, dan garam yang tinggi, mampu memfermentasikan monosakarida dan disakarida (Salminem dan Wright, 1993). Bakteri asam laktat memiliki peranan yaitu asam laktat yang dihasilkan memberikan rasa dan aroma serta mampu berperan sebagai diversifikasi pengolahan pangan sebab bakteri asam laktat mempunyai

kemampuan mendegradasi gula yang terkandung dalam media pertumbuhannya menjadi gula sederhana serta mendegradasi protein dan peptida menjadi asam amino. Menurut Salminem dan Wright (1993), BAL menghasilkan enzim-enzim yang dapat menghidrolisis pati (enzim amylase), mendegradasi protein dan peptida (enzim protease), dan menghidrolisa lemak menjadi asam lemak (enzim lipase). Selain itu beberapa BAL juga menghasilkan enzim pektinolitik dan sellulolitik yang dapat mendegradasi dinding sel yang mengandung pektin dan sellulosa (Kongo, 2013).

Bakteri asam laktat dibedakan menjadi dua kelompok berdasarkan hasil fermentasinya yaitu bakteri homofermentatif dan bakteri heterofermentatif. Produk yang dihasilkan dari fermentasi BAL akan berbeda tergantung pada jenis

(36)

15 bakteri asam laktatnya apakah homofermentatif atau heterofermentatif (Daulay dan Rahman, 1992). Bakteri homofermentatif adalah glukosa difermentasi menghasilkan asam laktat sebagai satu-satunya produk, sedangkan bakteri

heterofermentatif adalah glukosa difermentasikan selain menghasilkan asam laktat juga memproduksi senyawa-senyawa lainnya sepereti etanol, asam asetat dan CO2. Menurut Salminen dan Wright (1993) yang termasuk bakteri asam laktat adalah Lactobacillus, Leuconostoc, Pediococcus dan Streptococcus. Proses fermentasi dapat dilakukan oleh bakteri asam laktat (BAL). BAL akan

memfermentasi bahan pangan untuk menghasilkan perubahan yang diinginkan dan yang terutama adalah terbentuknya asam laktat yang akan menurunkan nilai pH lingkungan pertumbuhannya dan menimbulkan rasa asam. Hal ini juga berakibat menghambat pertumbuhan dari beberapa jenis mikroorganisme patogen lainnya. Enzim-enzim yang dihasilkan oleh BAL akan mendegradasi bahan fermentasi dan membentuk metabolit seperti asam organik, asam volatile, karbondioksida, dan alkohol (Fardiaz, 1992).

Fermentasi asam laktat dipengaruhi oleh beberapa faktor diantaranya garam dan lama fermentasi. Garam dapat berperan sebagai penyeleksi mikroorganisme yang diperlukan. Jumlah garam yang ditambahkan berpengaruh pada populasi dan jenis mikroorganisme yang dapat tumbuh (Desrosier, 2008). Konsentrasi garam dapat menentukan mutu hasil fermentasi bersama-sama dengan jenis substrat, mikroorganisme yang tumbuh, suhu, waktu, pH, dan jumlah oksigen (Pederson, 1970). Faktor lain yang mempengaruhi hasil fermentasi adalah lama fermentasi. Selama fermentasi, bakteri asam laktat akan tumbuh menghasilkan asam-asam organik seperti asam laktat, asam asetat, dan sebagainya yang akan berpengaruh

(37)

16 terhadap total asam dan pH akhir yang dihasilkan, semakin lama fermentasi maka konsentrasi asam meningkat terutama asam laktat sehingga pH akan turun

(Subagio, 1996).

2.4 Fermentasi Starter Pikel

Pikel adalah hasil pengolahan buah atau sayuran dengan menggunakan garam dan asam, dengan atau tanpa penambahan gula dan rempah-rempah sebagai bumbu (Vaughn, 1982). Terdapat 2 jenis pikel yaitu pikel jadi dan pikel setengah jadi (Koswara, 2009). Pikel jadi adalah buah-buahan atau sayuran yang diawetkan dalam vinegar (larutan cuka), baik dengan maupun tanpa penambahan rempah-rempah. Pikel jadi terbagi menjadi dua yaitu pikel yang dibuat tanpa fermentasi dan dengan fermentasi. Pikel jadi tanpa fermentasi banyak diterapkan dalam pembuatan pikel skala industri. Menurut Andress et al. (2015), pikel tanpa terfermentasi akan memiliki rasa lebih baik jika didiamkan selama beberapa minggu setelah ditutup. Keuntungan dari pikel jadi tanpa fermentasi adalah proses pembuatannya yang cepat (hanya dalam beberapa jam), rasa asam lebih tajam, tidak perlu pengawasan lebih dalam pembuatannya, dan peluang kegagalan dalam proses produksi dapat diminimalisir (Andress et al., 2015).

Menurut Archuleta (2009), pikel dapat diklasifikasikan menjadi empat yaitu : 1. Pikel yang difermentasi (fermented pickles), sering disebut brine pickles, difermentasi dan diawetkan sekitar 3 minggu.

2. Fresh pack, pikel yang dibuat secara cepat, tidak diasinkan atau diasinkan hanya untuk beberapa jam, kemudian dikeringkan dan dikombinasikan dengan

(38)

17 cuka buah dan bumbu-bumbu.

3. Pikel buah (fruit pickes), buah dipanaskan dalam sirup yang diasamkan dengan cuka buah atau jus lemon.

4. Relishes, potongan atau hancuran buah atau sayuran diberi bumbu dan dimasak dengan cuka buah.

Menurut Brock dan Brock (1988), fermentasi pikel secara umum dibagi menjadi 3 tahap yaitu: tahap awal 2-3 hari kebanyakan tumbuh bakteri, jamur, dan ragi; tahap intermediet L. mesenteroides yang merupakan BAL heterofermentatif lebih dominan, mikroba yang tak diinginkan mulai berkurang dan ketika total asam naik, pH turun, tumbuh lebih banyak BAL homofermentatif, tahap akhir lebih didominasi oleh Lactobacillus dengan total asam 0,5-1% dan pH ± 3,5. BAL yang biasa ditemukan dalam pikel adalah Leuconostoc mesentroides,

Lactobacillus plantarum, Pediococcus cereviceae dan Enterococcus faecalis (Robinson, 2000). Faktor yang dapat mempengaruhi mutu pikel salah satunya yaitu konsentrasi garam.

Garam merupakan salah satu faktor yang mengontrol berhasil tidaknya proses pembuatan pikel. Konsentrasi garam berperan penting dalam proses pembuatan pikel seperti menyeleksi mikroorganisme yang diinginkan untuk tumbuh dan menghambat mikroorganisme yang tidak diinginkan. Kadar garam yang biasa dipakai adalah 5-8%. Penambahan garam 3% sampai 10% dalam kondisi anaerob akan merangsang pertumbuhan bakteri asam laktat (Buckle et al., 1987).

Penambahan garam 2-2,5% pada fermentasi menyebabkan bakteri proteolitik dan bakteri pembusuk tidak toleran terhadap media (Winarno dan Fardiaz, 1984).

(39)

18 Konsentrasi garam yang terlalu rendah juga dapat menyebabkan mikroorganisme yang tidak diinginkan dapat tumbuh, menyebabkan kerusakan pada pikel seperti menyebabkan warna pikel menjadi gelap dan bau tidak enak. Konsentrasi garam yang terlalu tinggi dapat membunuh bakteri asam laktat (Voughn, 1985).

2.5 Fermentasi Starter Saccharomyces cerevisiae

Khamir dapat dibedakan atas dua kelompok berdasarkan sifat metabolismenya yaitu bersifat fermentatif dan oksidatif. Jenis fermentatif adalah khamir yang dapat melakukan fermentasi alkohol yaitu memecah gula (glukosa) menjadi alkohol dan gas contohnya Saccharomyces cerevisiae pada pembuatan produk roti. Sedangkan oksidatif (respirasi) adalah khamir yang dapat mengoksidasi gula menjadi karbondioksida dan air (Fardiaz, 1992).

Saccharomyces cerevisiae atau ragi berperan penting dalam industri fermentasi dan mampu memfermentasi berbagai karbohidrat. Kemampuan Saccharomyces cerevisiae tumbuh pada pH rendah, mendegradasi pati dan menghasilkan alkohol membuat mikroba ini banyak digunakan dalam industri pangan (Kustyawati et al., 2013). Saccharomyces cerevisiae dalam bentuk ragi dapat langsung digunakan sebagai inokulum pada proses fermentasi sehingga tidak diperlukan penyiapan inokulum secara khusus (Purwanto, 2012). Menurut Hatmanti (2000),

Saccharomyces cerevisiae mempunyai enzim α-amilase dan glukoamilase yang mempercepat penguraian pati menjadi maltosa dan glukosa. α-Amilase

menghidrolisis ikatan α-1,4 glikosidik menjadi maltosa dan glukosa, hasil

hidrolisis tersebut diteruskan oleh enzim glukoamilase yang memiliki kemampuan dalam menghidrolisis ikatan α-1,4 glikosidik dan juga ikatan α-1,6 glikosidik

(40)

19 menghasilkan glukosa (Nurdianti, 2007). Selain itu, khamir juga dapat

menghasilkan enzim protease yang dapat menghidrolisis protein menjadi asam amino, enzim invertase dan maltase yang dapat mengubah maltosa menjadi heksosa (Hidayat, 2006).

Khamir mempunyai keadaan lingkungan tempat hidup yang spesifik. Kisaran suhu optimal untuk kebanyakan khamir sama dengan kapang, yaitu pada 25-30 °C. Khamir lebih, menyukai tumbuh pada keadaan asam, yaitu pada pH 4-5, dan tidak dapat tumbuh dengan baik pada medium alkali, kecuali jika telah

beradaptasi. Khamir tumbuh baik pada kondisi aerobik, tetapi yang fermentatif dapat tumbuh secara anaerobik meskipun lambat. Saccharomyces cerevisiae merupakan organisme fakultatif anaerob yang dapat menggunakan baik sistem aerob maupun anaerob untuk memperoleh energi dari pemecahan glukosa. Saccharomyces cerevisiae dapat menghasilkan alkohol dalam jumlah yang besar (Elevri dan Putra, 2006).

Menurut Purba et al. (2012), ubi jalar yang difermentasi dengan menggunakan ragi Saccharomyces cerevisiae menghasilkan rendemen tepung sebesar 28 %, warna tepung lebih cerah, dan kandungan protein sebesar 4,67 %. Hal ini

disebabkan ragi Saccharomyces cerevisiae sebagai kultur fermentasi cukup efektif dalam merombak sel atau jaringan ubi jalar. Selain itu asam laktat yang

dihasilkan saat proses fermentasi dapat digunakan oleh Saccharomyces cerevisiae dan dirombak menjadi metabolit sekundernya yaitu alkohol. Sehingga saat proses fermentasi berlangsung pH tidak cenderung menurun yang akan berpengaruh terhadap rasa yang akan dihasilkan pada mie ubi jalar. Ketika tepung ini

(41)

20 digunakan untuk membuat mie basah, menghasilkan sensori mendekati mie basah dari tepung terigu serta meningkatkan penerimaan konsumen.

2.6 Mie

Mie merupakan salah satu produk pangan yang menggunakan bahan baku utama tepung terigu. Mie salah satu jenis olahan pangan yang sangat digemari oleh masyarakat Indonesia, dan cenderung meningkat setiap tahunnya (Sumardiyono dan Tini, 2013). Tingginya peningkatan konsumsi mie meningkatkan volume impor gandum sebagai bahan baku utama dalam pembuatan tepung terigu, yang merupakan bahan baku utama produk mie. Oleh karena itu diupayakan substitusi terigu dengan tepung lain dalam pembuatan produk mie seperti tepung jagung, tepung ubi jalar, tepung kentang, tepung tapioka, dan tepung mocaf. Tepung campuran antara tepung terigu dengan salah satu tepung pensubstitusi biasanya disebut tepung komposit / tepung substitusi.

Tepung sorghum, tepung apel pomace, tepung kentang, tepung ubi jalar, dan tepung ubi jalar fermentasi umumnya dapat menstubstitusi tepung terigu pada pembuatan mie berturut-turut sebanyak 10 % (Beta dan Corke, 2001) dan (Yadav dan Gupta, 2014), 20 % (Chen et al., 2006) dan (Ali dan Fortuna, 2009), 40 % (Purba et al., 2012) (Tabel 4).

(42)

21 Tabel 4. Karakteristik berbagai mie komposit

No Komposisi Tepung Alternatif

Karakteristik Mie Sumber Referensi 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 10 % tepung sorghum dan 90 % terigu 20 % tepung kentang dan 80 % terigu

20 % tepung ubi jalar dan 80 % terigu

20 % tepung ubi jalar dan 80 % terigu

80 % tepung jagung dan 20 % tepung jagung HMT

40 % tepung ubi jalar fermentasi dan 60 % terigu

10 % tepung apel pomace dan 90 % Terigu

Elastis, agak kenyal, cooking loss rendah, daya serap air tinggi

Cooking loss rendah, cooking time 3,5 menit ,lebih lembut dan elastis

Cooking loss rendah, cooking time 3,7 menit, miekuat, dan agak elastis

Warna agak gelap, kurang elastis, kekenyalan sedang, kurang disukai konsumen Warna agak cerah, amylose leaching rendah, kelengketan rendah, mie agak elastis Rendemen tepung 28 %, warna mie lebih cerah, dapat diterima konsumen Warna agak gelap, cooking loss rendah, cooking time 4,5 menit, taste seperti mie umumnya

Beta dan Corke (2001)

Chen et al. (2006)

Chen et al. (2006)

Ali dan Fortuna (2009)

Kusnandar (2009)

Purba (2012)

Yadav dan Gupta (2013)

Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Mutu/ Kualitas Mie :

1. Cooking time adalah waktu yang dibutuhkan untuk menghilangkan titik putih di bagian tengah dalam untaian mie pada saat proses pemasakan (Basman dan Yalcin, 2011). Menurut Miskelly (1996), kriteria kualitas mie yang baik yaitu cooking time rendah pada mie kering umumnya sekitar 3 hingga 4 menit. Konsumen umumnya menyukai waktu pemasakan mie yang relatif singkat.

(43)

22 2. Cooking loss adalah jumlah substansi padatan yang hilang bersama air hasil

pemasakan mie (Basman dan Yalcin, 2011). Mie yang diinginkan adalah mie yang memberikan cooking loss minimum, sehingga tidak banyak padatan yang terbuang saat pemasakan (Kim et al., 1996). Menurut Miskelly (1996), kriteria kualitas mie yang baik yaitu cooking loss yang dihasilkan rendah.

3. Kecerahan warna suatu produk biasanya ditentukan dengan pengukuran menggunakan teori L,a,b. L (Lightness). Hasil pengukurannya dengan lightness dinyatakan dengan skala antara 0 (hitam) -100 (putih) yang berarti semakin rendah nilainya maka produk tersebut semakin gelap sehingga dapat menurunkan mutu mie karena warna mie pada umumnya yaitu berwarna kuning cerah (Basman dan Yalcin, 2011).

4. Daya putus (Tensile strenght) merupakan nilai gaya yang diperlukan untuk memutus untaian mie. Tensile strength sangat cocok digunakan sebagai parameter kekuatan dari mie. Semakin tinggi nilai gaya (N) yang diperoleh menunjukkan mie tidak mudah putus (Chansri et al., 2005). Menurut Hou (2010), mie dengan bahan tinggi amilosa memiliki nilai tensile strength yang besar sehingga dapat meningkatkan mutu mie.

5. Volume pengembangan menunjukkan besarnya tingkat pengembangan mie akibat proses pemasakan. Semakin tinggi presentase volume pengembangan maka menunjukkan bahwa mie tersebut mudah mengembang. Mie yang diinginkan adalah mie yang mengembang, namun tidak terlalu besar (Leach, 1965).

6. Water absorption adalah kemampuan produk dalam menyerap air secara maksimal. Artinya semakin besar presentase water absorption nya maka

(44)

23 semakin besar pula air yang diserap (Jatmiko dan Estiasih, 2014). Water

absorption mie merupakan salah satu parameter yang menentukan kualitas mie, semakin sedikit kemampuan menyerap air mie menunjukkan mie memiliki tekstur yang kuat. Kriteria kualitas mie yang baik menghasilkan water absorption rendah (Kaushal dan Sharma, 2013).

Selain faktor diatas, kualitas mie dapat dipengaruhi oleh beberapa hal seperti disajikan dalam Tabel 5 dan kualitas mie basah menurut SNI 01-2987-1992 dapat dilihat pada Tabel 6.

Tabel 5. Kriteria kualitas mie yang baik

Parameter Kriteria Sumber referensi

Sollubility tepung Swelling power tepung Amylose leaching tepung kekenyalan mie

elastisitas mie kelengketan mie elongasi mie kadar air mie Solid loss mie Soluble loss mie Swelling indeks mie

Rendah meningkat terbatas rendah tinggi tinggi rendah tinggi rendah rendah rendah Collado et al. (2001) Collado et al. (2001) Kusnandar (2009)

Eliason dan Gudmunson (1996) Eliason dan Gudmunson (1996) Tam et al. (2004)

Ulfah (2009)

SNI Mie Kering (1996) Baskaran et al. (2011) Baskaran et al. (2011) Kim et al. (1996)

(45)

24 Tabel 6. Syarat mutu mie basah

No. Kriteria Uji Satuan Persyaratan

1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. Keadaan : 1.1 Bau 1.2 Rasa 1.3 Warna Kadar air

Kadar abu (dihitung atas dasar bahan kering)

Kadar protein ((N x 6,25) dihitung atas dasar bahan kering)

Bahan tambahan pangan 5.1 Boraks dan asam borat 5.2 Pewarna 5.3 Formalin Cemaran logam: 6.1 Timbal (Pb) 6.2 Tembaga (Cu) 6.3 Seng (Zn) 6.4 Raksa (Hg) Arsen (As) Cemaran mikroba: 8.1 Angka lempeng total 8.2 E. Coli 8.3 Kapang -% b/b % b/b % b/b -mg/kg mg/kg Koloni/g APM/g Koloni/g Normal Normal Normal 20-35 Maks. 3 Min. 3

Tidak boleh ada Sesuai SNI-0222-M dan Peraturan MenKes

No.

772/Men.Kes/Per/IX/88 Tidak boleh ada

Maks 1,0 Maks 10,0 Maks 40,0 Maks 0,05 Maks 0,05 Maks 1,0 x 106 Maks 10 Maks 1,0 x 104

Proses pembuatan mie basah dimulai dengan cara mencampur bahan

menggunakan mixer. Kemudian diaduk hingga merata sampai terbentuk adonan, kemudian diaduk dan dicetak (Saragih et al., 2007). Tahap pencampuran

bertujuan untuk mendapatkan adonan yang merata dan berbentuk pasta yang homogen. Cara pembuatan dimulai dengan pencampuran tepung terigu, air, garam dan telur hingga merata. Kemudian ditambahkan air sedikit demi sedikit sampai terbentuk adonan. Pengadukan adalah salah satu proses penting dalam pengadonan bahan. Saat proses pengadukan akan terbentuk sifat elastis dari

(46)

25 gluten yang mengikat molekul air. Proses pengadukan memiliki tujuan utnuk memebntuk jaringan gluten yang terdapat dalam terigu. Saat ditambahkan air pada terigu serta mengalami proses pengadukan maka seiring dengan waktu jaringan gluten akan mulai terbentuk. Proses pengadukan akan dihentikan apabila jaringan gluten sudah terbentuk dengan sempurna atau sudah kalis biasanya dilakukan selama 15-20 menit. Kemudian di harapkan struktur akan menghasilkan tekstur dan volume yang maksimal (Priyati et al., 2016).

Adonan dimasukkan pada alat press dan dilakukan pelembaran awal dengan 2,5 mm lalu diulang 3,5 mm dan diulang lagi dengan 5,5 mm. Pelembaran akhir diulang lagi tiga kali dengan ukuran 3,5 mm, 2,5 mm dan 1,5 mm. Kemudian alat pencetak atau pemotong dipasang dan lembaran yang ada dipotong-potong

sepanjang kira-kira 30 cm. Potongan-potongan mie kemudian dikumpulkan untuk diperciki minyak goreng sambil diaduk lalu dikukus selama 10 menit. Mie

kemudian diangkat, ditiriskan dan kemudian ditebarkan diatas meja, lalu mie dianginkan sampai cukup dingin (Koswara, 2009).

(47)

III. BAHAN DAN METODE

3.1 Waktu dan Tempat

Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Pengolahan Hasil Pertanian, Laboratorium Analisis Hasil Pertanian, Ruang Sensori Jurusan Teknologi Hasil Pertanian, Fakultas Pertanian Universitas Lampung dan Laboratorium Penguji, Proses Baristand Industri Bandar Lampung. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Desember-Februari 2017.

3.2 Bahan dan Alat

Bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah ubi jalar putih varietas Ciceh berasal dari daerah Sekincau Liwa yang dibeli di pasar Koga , Bandar Lampung, starter yeast (Saccharomyces cereviceae) dalam bentuk ragi (fermipan), tepung terigu merek cakra, telur, gula merek Gulaku, garam merek Refina, dan minyak goreng merek Filma, serta aquades.

Peralatan yang digunakan antara lain slicer merek Crypto Peerless TRS, vortex merek Thermolyne, hot plate and strirrer merek Cimerec 3, oven merek

Memmert, Disc mill, centrifuge merek Thermo Electron Corporation, mixer , alat pencetak mie merek Nagako model ATL 150, pH meter merek Lovibond, neraca analitik (Shimadzu), pengayak, loyang, pisau stainless steel,

(48)

27 dan alat-alat gelas seperti spatula, toples kaca, tabung reaksi (Pyrex), tabung centrifuge, gelas ukur (Pyrex), erlenmeyer (Pyrex), beaker glass, mikropipet, pipet tip, pipet tetes, bunsen, rak tabung reaksi, termometer, cawan porselen.

3.3 Metode Penelitian

Penelitian disusun dalam Rancangan Faktorial Acak Kelompok Lengkap (RAKL) dengan dua faktor dan tiga kali ulangan. Faktor pertama adalah jenis fermentasi yang terdiri dari empat taraf yaitu (1) fermentasi menggunakan cairan pikel (F1), (2) fermentasi menggunakan starter yeast (F2), (3) fermentasi dengan starter campuran cairan pikel dan yeast (F3) dan sebagai kontrol adalah ubi jalar segar yang tidak difermentasi (F0). Faktor kedua adalah lama fermentasi dengan empat taraf yaitu 24 jam (L1), 48 jam (L2), 72 jam (L3), dan 96 jam (L4).

Data yang diperoleh diuji kesamaan ragamnya dengan uji Bartlett dan

kemenambahan model diuji dengan uji Tuckey. Analisis sidik ragam digunakan untuk mendapatkan penduga ragam galat dan uji signifikasi untuk mengetahui ada tidaknya pengaruh perlakuan, kemudian dilakukan uji lanjut menggunakan uji ortogonal polinomial pada taraf 1%. Pengamatan yang dilakukan meliputi pH tepung, warna tepung, uji iodine, cooking time, cooking loss dan uji sensori mie komposit ubi jalar secara skoring (elastisitas) dan hedonik (tekstur, aroma, warna, penerimaan keseluruhan).

(49)

28 3.4 Pelaksanaan Penelitian

3.4.1 Penyiapan Starter

A. Penyiapan Starter Yeast

Aquades sebanyak 250 ml dipanaskan sampai suhu 45 °C, kemudian dimasukkan fermipan sebanyak 2,5 gram lalu dihomogenkan sehingga diperoleh suspensi starter yeast adalah ( 1:100 b/v ) lalu dihomogenkan dan tarter yeast siap digunakan.

B. Penyiapan Starter Cairan Pikel

Proses pembuatan starter pikel ubi jalar mengikuti prosedur Yuliana et al. (2013), yang dimodifikasi jumlahnya. Ubi jalar yang telah dicuci bersih dikupas kulitnya, dipotong-potong dengan bentuk dadu berukuran 1x1x1 cm. Ubi jalar tersebut ditimbang sebanyak 300 g kemudian dimasukkan ke dalam toples berukuran 1 L sebanyak 2 toples. Setelah itu, ditambahkan larutan garam sebanyak 800 ml sehingga perbandingan jumlah ubi dan larutan garam adalah 300 g ubi : 800 ml larutan garam. Toples yang telah berisi ubi jalar dan larutan garam kemudian diblanching selama 10 menit sehingga suhu mencapai 72°C–73°C. Setelah dipasteurisasi, toples tersebut didinginkan hingga mencapai suhu ruang (37°C) dan difermentasi selama 4 hari dalam suhu ruang.

C. Penyiapan Larutan Gula-Garam

Garam ditimbang sebanyak 900 g dan gula sebanyak 600 g dilarutkan dalam 3 L aquades. Larutan garam 3 % dan gula 1 % ini akan digunakan pada fermentasi ubi jalar.

(50)

29 3.4.2 Proses Fermentasi Ubi Jalar

A. Fermentasi Ubi Jalar dengan Starter Cairan Pikel

Ubi jalar dikupas dan dicuci bersih kemudian ditimbang sebanyak 2 kg. Setelah ditimbang, ubi diiris dengan menggunakan slicer, lalu dimasukkan dalam wadah tertutup bervolume 6 L dan ditambahkan larutan gula garam serta starter cairan pikel sebanyak 240 ml dengan konsentrasi sel = 1,51 x 106CFU/ml. Fermentasi dilakukan pada suhu ruang (28-30°C) selama 24 jam (L1), 48 jam (L2), 72 jam (L3), dan 96 jam (L4).

B. Fermentasi Ubi Jalar dengan Starter Yeast

Ubi jalar dikupas dan dicuci bersih kemudian ditimbang sebanyak 2 kg. Setelah ditimbang, ubi diiris dengan menggunakan slicer. Lalu dimasukkan dalam wadah tertutup bervolume 6 L dan ditambahkan larutan gula garam starter yeast

sebanyak 240 ml dengan konsentrsi sel = 5,1 x 106CFU/ml, lalu difermentasi selama 24 jam (L1), 48 jam (L2), 72 jam (L3), dan 96 jam (L4).

C. Fermentasi Ubi Jalar dengan Starter Campuran Cairan Pikel dan Yeast Ubi jalar dikupas dan dicuci bersih kemudian ditimbang sebanyak 2 kg. Setelah ditimbang, ubi diiris dengan menggunakan slicer, lalu dimasukkan dalam wadah tertutup bervolume 6 L dan ditambahkan larutan gula garam serta starter pikel dan yeast masing-masing sebanyak 140 ml sehingga diperoleh perbandingan ubi jalar dan starter 1:1 b/v lalu difermentasi selama 24 jam (L1), 48 jam (L2), 72 jam (L3), dan 96 jam (L4).

(51)

30 3.4.3 Penepungan

Proses penepungan mengikuti prosedur yang dilakukan Novianti (2016). Irisan ubi jalar hasil fermentasi yang telah dicuci dengan air mengalir ditiriskan kemudian dikeringkan dalam oven blower bersuhu 65˚C selama 24 jam, dengan kadar air ±10-11 %. Irisan ubi jalar putih kering lalu digiling menggunakan grinder dan diayak menggunakan ayakan 80 mesh. Tepung halus kemudian dikemas dalam plastik bertutup rapat untuk dilakukan pengujian lebih lanjut.

3.4.4 Pembuatan Mie

Proses pembuatan mie pada penelitian ini mengikuti prosedur Novianti (2016) yang telah dimodifikasi. Mie dibuat dengan formula sebagai berikut:

Tabel 7. Perbandingan formula pembuatan mie tepung ubi jalar dalam 100 gram.

Bahan Perbandingan Persentase

Ubi jalar 50 gram 50 %

Terigu 30 gram 30% Tapioka 15 gram 15% CMC 5,0 gram 5% Telur 10 ml -Garam 2,0 gram -Minyak 5,0 ml -Khi 1,5 ml -Air 40 ml

-Pencampuran semua bahan tepung sedikit demi sedikit kedalam campuran telur dan air sambil diaduk dengan mixer hingga adonan kalis. Kemudian dilakukan pemipihan adonan menggunakan roll pressing (sheeter) hingga terbentuk

(52)

31 lembaran adonan setebal 0,2 cm. Setelah terbentuk lembaran mie maka adonan tersebut dicetak menggunakan noodle maker untuk dibentuk menjadi untaian mie (Gambar 20, Lampiran).

3.5 Pengamatan

3.5.1 Pengamatan Tepung Ubi Jalar

A. Derajat Keasaman (pH)

Pengukuran derajat keasaman (pH) diukur dengan menggunakan pH meter. Sebelum dilakukan pengukuran, pH meter distandarisasi terlebih dahulu dengan menggunakan larutan buffer 7 dan sampel tepung terlebih dahulu dibuat suspensi tepung 10% dengan aquades. Selanjutnya dilakukan pengukuran terhadap sampel dengan mencelupkan elektroda kedalam sampel yang telah disiapkan (AOAC, 1995).

B. Warna Tepung Ubi Jalar

Pengamatan warna tepung ubi jalar dilakukan secara visual. Tepung hasil

fermentasi diletakkan pada wadah kemudian diamati warnanya dan dibandingkan dengan tepung kontrol secara visual.

C. Uji Iodin

Pengujian iodin dilakukan dengan cara penetesan langsung pada tepung ubi jalar terfermentasi. Sampel tepung terlebih dahulu dibuat suspensi 10%, lalu diberi

(53)

32 satu tetes larutan iodin, kemudian perubahan warna diamati secara visual lalu dibandingkan dengan tepung jagung dan tepung beras.

3.5.2 Pengamatan Mie Ubi Jalar

A. Cooking time

Analisis cooking time dilakukan berdasarkan metode Tan et al. (2009), mie basah sebanyak 10 g (panjangnya 2-3 cm), dimasukkan ke dalam 200 ml air mendidih. Setelah 2 menit, setiap 30 detik seuntai sampel mie diambil untuk dicek

kematangannya, dengan cara dicicip dan dipipihkan keantara dua potong kaca. Pemasakan dihentikan ketika hilangnya rasa mentah dan hilangnya warna cream pada mie. Pengamatan cooking time seperti tampak pada Gambar 2, 3, 4, 5.

Gambar 2. Waktu cooking time Gambar 3. Waktu cooking time fermentasi pikel fermentasi pikel dan yeast

(54)

33

Gambar 4. Waktu cooking time Gambar 5. Waktu cooking time

fermentasi yeast perlakuan kontrol

B. Cooking loss

Analisi cooking loss dilakukan berdasarkan metode Purnomo et al. (2015) dengan cara merebus mie dalam air destilata dengan perbandingan (1:10) air : aquades didasarkan pada waktu mie terhidrasi sempurna lalu mi ditiriskan selama 5 menit. Kemudian, sebanyak 45 mL air sisa rebusan pasta disentrifuse dengan kecepatan 4500 rpm selama 10 menit lalu dihasilkan cairan supernantan dan endapan. Cairan supernatan dibuang sedangkan endapan dikeringkan pada suhu 105°C hingga beratnya konstan kemudian ditimbang. Cooking loss dihitung berdasarkan rumus :

Berat kering residu air rebusan x ( volume pemasakan / 25 ) x 100 Cooking loss =

(55)

34 C. Uji Sensori

Uji sensori mie dari fernentasi ubi jalar yang telah direbus mengikuti prosedur yang dilakukan oleh Novianti (2016) dengan melibatkan 25 orang panelis. Pengamatan meliputi: tingkat kekenyalan/elastisitas dan rasa asam (skoring) , sedangkan aroma, warna , tekstur dan penerimaan keseluruhan produk mie ubi jalar (hedonik). Contoh kuesioner yang digunakan dapat dilihat pada Tabel 8.

Tabel 8. Kuesioner uji sensori mie ubi jalar

KUESIONER UJI SENSORI MIE UBI JALAR Nama Panelis :

Tanggal:

Dihadapan saudara disajikan 7 sampel. Saudara dapat memberikan penilaian dengan tanda ceklist (˅) sesuai pengamatan pada kolom yang tersedia dibawah ini. BANDINGKAN DENGAN STANDAR

PENGUJIAN KEKENYALAN/ELASTISITAS Kode sampel 1 Sangat mudah putus 2 Mudah putus 3 Mudah putus sedikit 4 Sedang/ biasa 5 Sedikit elastis 6 Elastis 7 Sangat elastis 121 235 546 271 673 357 428

(56)

35 Kode sampel PENGAMATAN TEKSTUR 1 Sangat tidak suka 2 Tidak suka 3 Sedikit tidak suka 4 Biasa 5 Sedikit suka 6 Suka 7 Sangat suka 121 235 546 271 673 357 428 Kode sampel PENGAMATAN AROMA 1 Sangat tidak suka 2 Tidak suka 3 Sedikit tidak suka 4 Biasa 5 Sedikit suka 6 Suka 7 Sangat suka 121 235 546 271 673 357 428 Kode sampel PENGAMATAN WARNA 1 Sangat tidak suka 2 Tidak suka 3 Sedikit tidak suka 4 Biasa 5 Sedikit suka 6 Suka 7 Sangat suka 121 235 546 271 673 357 428

(57)

36

Mohon diisi komentar

Menurut saudara mie kode berapa yang harus diperbaiki ? Mengapa ? :

---Menurut saudara atribut apa yang sudah dianggap baik ?

Mengapa ? : ... Kode sampel PENERIMAAN KESELURUHAN 1 Sangat tidak suka 2 Tidak suka 3 Sedikit tidak suka 4 Biasa 5 Sedikit suka 6 Suka 7 Sangat suka 121 235 546 271 673 357 428

(58)

V. KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 KESIMPULAN

Kesimpulan yang diperoleh dari penelitian ini adalah :

1. Perlakuan fermentasi dengan penambahan starter yeast dapat memperbaiki kualitas tepung dan mie ubi jalar. Perlakuan starter campuran cairan pikel dan yeast menghasilkan perlakuan terbaik dibanding starter tunggal pikel atau yeast.

2. Semakin lama waktu ubi jalar difermentasi pH tepung semakin turun (24, 48) jam, warna semakin putih, cooking loss semakin kecil pada lama fermentasi (24, 48, 72, 96) jam, cooking time semakin cepat pada lama fermentasi 96 jam. 3. Kombinasi terbaik antara jenis starter campuran pikel dan yeast dengan lama

fermentasi berdasarkan data hasil penelitian diperoleh tepung campuran starter pada fermentasi 96 jam menghasilkan cooking loss (16,446%), cooking time (3,267menit) , pH (3,720) dan warna tepung yang dihasilkan putih

5.2 SARAN

Penelitian selanjutnya disarankan untuk melakukan pengamatan warna dan tekstur pada mie fermentasi ubi jalar putih menggunakan alat colorimeter dan

(59)

DAFTAR PUSTAKA

Adriani, A. 1995. Pengaruh Konsentrasi Garam NaCl dan Lama Fermentasi terhadap Sifat Kimia dan Organoleptik Pikel Manis Jagung Semi (Zea Mays L). ( Skripsi). Universitas Lampung. Lampung.

Alam, F., A. Siddiqui, Z. Lutfi, dan A. Hasnain. 2009. Effect of different

Hydrocolloids on Gelatinization Behaviour of Hard Wheat Flour. Journal of Sciences. 7 (1): 1-6

Ali, A. dan D. Fortuna. 2009. Substitusi Tepung Terigu dengan Tepung Pati Ubi Jalar (Ipomoea batatas L.) pada Pembuatan Mie Kering. Jurnal SAGU 8(1): 1-4.

Andress, E.L., J. Harrison, dan K. Christian.2015. Preserving Food Pickled Products. UGA Extension. Georgia.

Antarlina, S.S. dan J.S. Utomo. 1997. Proses Pembuatan dan Penggunaan Tepung Ubi Jalar untuk Produk Pangan. Badan Penelitian dan

Pengembangan (Balitkabi) 15: 30-44

Amethy, D. 2014. Pengaruh Starter Bakteri Asam Laktat (BAL) dan Lama

Fermentasi terhadap Sifat Fisik dan Kimia Tepung Ubi Jalar Putih. (Skripsi). Universitas Lampung. Bandar Lampung.

AOAC. 1995. Official Methods of Analysis of The Association of Official Analytical Chemist. Inc. Washington DC.

Archuleta, M. 2009. Preparing and Canning Fermented and Pickled Foods at Home. New Mexico State University. 8 hlm.

Baskaran, D., K. Muthupandian, K. S. Gnanalakshmi, T. R. Pugazenthi, S. Jothylingam and K. Ayyadurai. 2011. Physical Properties of Noodles Enriched with Whey Protein Concentrate (WPC) and Skim Milk Powder (SMP). Journal of Stored Products and Postharvest Research 2(6): 127 – 130.

(60)

64 Basman, A and S. Yalcin. 2011. Quick-Boiling Noodle Production by Using

Infrared Drying. Journal of Food Engineering. 106(3): 245-252 Bennion, M. 2000. The Science of Food. John Wiley & Sons Inc. New York Beta, T. and H. Corke. 2001. Noodle Quality as Related to Sorghum Starch

Properties. Journal of Cereal Chemistry 78(4): 417-420.

Brock, T.D. and K.M. Brock. 1978. Basic Microbiology with Applications. Prentice-Hall. New Jersey. 608 hlm

Buckle, K.A., R.A. Edwards, G.H. Fleet, dan M. Wooton. 1987. Ilmu Pangan. Universitas Indonesia Press. Jakarta.

Chansri, R., C. Puttanlek, V. Rungsadthong, and D. Uttapap. 2005. Characteristic of Clear Noodles Prepared from Edible Canna Starches. Journal of Sensory and Nutritive Qualities of Food. 70(5) : 337-342

Chen, Z., H.A. Schols, and A.G. Voragen. 2006. The Use of Potato and Sweet Potato Starches Affects White Salted Noodle Quality. Journal of Food Science 68(9): 2630-2637

Choy, A., P.D. Morrison,J.G. Hughes,P.J. Marriott, and D.M. Small. 2013.Quality and Antioxidant Properties of Instant Noodles Enhanced with Common Buckwheat Flour. Journal Cereal Science. 57(3): 281-287.

Collado, L.S., L.B. Mabesa, C.G. Oates, and H. Corke. 2001. Bihon Type

Noodles from Heat Moisture Treated Sweet Potato Starch. Journal of Food Science 66(4): 604-609.

Damardjati, D.S. dan S. Widowati. 1993. Pemanfaatan Ubi Jalar dalam Program Diversifikasi Guna Mensukseskan Swasembada Pangan. Buletin AgroBio 4(1):1323.

Daulay, D dan A. Rahman. 1992. Teknologi Fermentasi Sayuran dan Buah-Buahan. Pusat Antar Universitas Pangan dan Gizi IPB. Bogor.

Desroier. 2008. Teknologi Pengawetan Pangan. Diterjemahkan oleh Muljoharjo. UI-Press. Jakarta.614 hlm

Dewi, Y.R. 2014. Kajian Sifat Fisikokimia Tepung Ubi Jalar (Ipomoea batatas) Termodifikasi Fermentasi Asam Laktat dan Aplikasinya dalam Produk Roti Tawar. (Tesis). Jurusan Teknologi Hasil Pertanian. Universitas Lampung. Duarte, P.R., C.M. Mock, and L.D. Satterlee. 1996. Quality of Spaghetti

Containing Buckwheat, Amaranth, and Lupin Flours. Cereal Chemistry 73(3): 381 – 387.

(61)

65 Eliason, A.C. and M. Gudmundsson. 1996. Starch: Physicochemical and

Functional Aspect. dalam: Eliason, A,C. (ed). Carbohydrate in Food. Hal : 431-504. Marcel Dekker. New York

Elevri, P.A. dan S.R. Putra. 2006. Produksi Etanol Menggunakan Saccharomyces cerevisiae yang Diamobilisasi dengan Agar Batang. Akta Kimindo. 1(2):105-114

Fardiaz, S. 1992. Fisiologi Fermentasi. PAU-IPB. Bogor.

Faridah, A. dan S.Bambang. 2014. Penambahan Tepung Porang pada Pembuatan Mie dengan Substitusi Tepung Mocaf (Modified Cassava Flour). Jurnal Teknologi dan Industri Pangan. 25(1):98-105

Febrianto, A., S. Wijana, I.A. Dewi, dan W.I. Putri. 2014. Karakteristik Organoleptik Produk Mie Kering Ubi Jalar Kuning (Ipomoea batatas) (Kajian Penambahan Telur dan CmC). Jurnal Teknologi Pertanian. 15:25-36 Fogarty, W and Kelly, C. (1979). Starch Degrading Enzymes of Microbial Origin.

in: Progress in Industrial.

Frazier, W.C. and D. Westhoff. 1979. Food Microbiology . Third Edition . Mc Graw-HillBook Company. New York.

Gruben, G.J.H. and S. Partohardjono. 1996. Plant Resources of South-East Asia: Cereal. Backhuys Publisher. Leiden. Netherland.

Haryati, T. 2009. Analisis Sifat Fungsional Pati Ubi Kayu yang Difermentasi dengan Saccharomyces cerevisiae. (Skripsi). Universitas Lampung. Bandar Lampung.

Hatmanti, A. 2000. Pertumbuhan Saccharomyces fibuligera dan Saccharomyces cerevisiae pada Fermentasi Etanol Kulit Pisang Cavendish pada pH Awal yang Berbeda. Balitbang Lingkungan Laut, Puslitbang Oseanologi, LIPI. Bogor. Hal: 41-49.

Hidayat, B., Y.R. Widodo, dan C.U. Wirawati. 2006. Pengaruh Jenis Ubi Kayu terhadap Karakteristik Tepung Ubi Kayu (Cassava Flour) yang

Dihasilkan. Laporan Penelitian Hibah Kompetisi Pemerintah Daerah Provinsi Lampung Tahun Anggaran 2006. Politeknik Negeri Lampung Histifarina, D., A. Rachman, D. Rahadian, dan Sukmaya. 2012. Teknologi

Pengolahan Tepung dari Berbagai Jenis Pisang Menggunakan Cara

Pengeringan Matahari dan Mesin Pengering. Jurnal Agroindustri. 16(2): 125-133

Gambar

Gambar 1. Ubi Jalar Putih (dokumen pribadi)
Gambar 2. Waktu cooking time Gambar 3. Waktu cooking time
Gambar 4. Waktu cooking time Gambar 5. Waktu cooking time
Tabel 8. Kuesioner uji sensori mie ubi jalar

Referensi

Dokumen terkait

Pada tahap pembuatan perlu diperhatikan benar berapa besar memori yang akan digunakan, karena terbatasnya memori yang dimiiliki oleh sebuah

Setelah dipertimbangkan dengan beberapa syarat, maka dinyatakan dapat memenuhi untuk diberi keringanan biaya pendidikan bagi mahasiswa Universitas Jenderal Soedirman Tahun

Dari hasil uji regresi yang dilakukan pada hipotesis kedua dapat disimpulkan bahwa kepuasan kerja berpengaruh secara positif dan signifikan terhadap kinerja karyawan.

Handal Pengguna menekan tombol navigasi seminar Menampilkan rumpun ilmu dari seminar yang tersedia dalam portal penelitian ini. Pengujian

Karena terjadi perpendekan elastis beton dan rangkak beton yang dominan yaitu nilai tegangan beton pada c.g.s (f cir ) 2 kali lipat akibat beban gaya (P i .kabel)

Teknik analisis data yang digunakan adalah model analisis interaktif.Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa penerapan model Quantum Teaching dapat meningkatkan

Alat pengatur pencahayaan berdasarkan jumlah orang pada ruang tunggu secara otomatis berbasis logika fuzzy ini adalah alat yang dirancang untuk membuat suatu

Hasil analisis dalam penelitian kualitatif telah ditemukan adanya 18 faktor yaitu faktor sikap petugas BMT jujur, faktor layanannya cepat, faktor produk BMT sesuai