• Tidak ada hasil yang ditemukan

membran ulttrafiltrasi 42 15 Histogram bilangan asam proses degumming dan netralisasi

SNI 01-2901-1992 FFA sebagai asam palmitat (%)

Kadar Air (%) Bilangan Iod (wijs)

Bilangan Peroksida (mg O/100 g) Bilangan Penyabunan

Fraksi Tak tersabunkan (%) Phospor (%) Beta Karoten (ppm) Besi (Fe) 1,1 0,035 25,555 0,625 225 0,455 0,14 93,25 Tidak terdeteksi Max 5 0,45 - - - - - -

Berdasarkan hasil karakterisasi sampel CPO menunjukkan bahwa minyak yang digunakan dalam penelitian ini mempunyai mutu yang bagus karena telah memenuhi standar mutu minyak menurut SNI 01-291-1992. Hal ini dapat dilihat dari nilai parameter asam lemak bebas (FFA) yang dihitung sebagai persen asam palmitat yang merupakan asam lemak dominan. Hasil pengukuran kadar FFA dari sampel adalah 1,1 persen yang berarti sudah memenuhi persyaratan yang diizinkan yaitu maksimal 5 persen. Demikian juga dengan nilai parameter kadar air. Dua parameter ini sangat penting untuk menentukan mutu dari sampel dikarenakan FFA merupakan asam lemak yang tidak terikat dalam lemak menyebabkan ketengikan dan rendemen minyak akan menurun dan kadar air yang tinggi akan menyebabkan proses hidrolisa pada minyak dimana proses hidrolisa ini akan membentuk FFA ..

Fluks Minyak-IPA

Penentuan fluks minyak-IPA membran ultrafiltrasi dilakukan dengan cara melihat pengaruh lama filtrasi pada berbagai operasi tekanan dengan konsentrasi

36

yang berbeda. Perlakuan lima operasi tekanan pada membran ultrafiltrasi adalah 2 bar (T1), 3 bar (T2), 6 bar (T3), 9 bar (T4) dan 10 bar (T5) dengan konsentrasi 25 % (M1), 50% (M2) dan 75% (M3).

Kurva hubungan antara fluks minyak-IPA terhadap lama filtrasi pada kondisi tekanan dan konsentrasi yang diberikan dapat dilihat pada Gambar 9

0 100 200 300 400 500 600 1 5 10 15 20 25 Waktu (menit) Fluks (l/ m 2 .jam ) M3T1 M3T2 M3T3 M3T4 M33T5 M2T1 M2T2 M2T3 M2T4 M2T5 M1T1 M1T2 M1T3 M1T4 M1T5

Gambar 9. Kurva hubungan Fluks minyak-IPA terhadap waktu filtrasi pada membran Ultrafiltrasi.

Fluks minyak – IPA pada membran ultrafiltrasi pada tiap tekanan mencapai keadaan tunak pada menit ke-15. Penurunan fluks lebih nyata pada awal waktu filtrasi dibandingkan pada akhir waktu filtrasi cenderung disebabkan oleh lapisan gel (Cheryan, 1996; Pagliero et at. 2001) dan karena adanya fenomena polarisasi konsentrasi lebih berperan yang merupakan proses terbentuknya gradien konsentrasi pada lapisan pembatas permukaan membran akibat akumulasi zat-zat terlarut yang tertahan oleh membran. Lapisan gel sendiri merupakan bagian dari lapisan polarisasi konsentrasi yang diduga berasal dari makromolekul (fosfolipid) dan terjadi pada saat kelarutan kritis tercapai (Toyomota and Higuchi 1992). Pada tekanan tinggi lapisan gel-polarisasi yang terbentuk dari makromolekul yang terejeksi menumpuk pada permukaan membran menyebabkan aliran proses menjadi sangat tergantung pada konsolidasi lapisan tersebut.

Dari gambar diatas menujukkan hubungan antara waktu dan fluk larutan minyak–IPA dengan konsentrasi yang berbeda. Fenomena yang diberikan oleh

masing-masing kurva hampir sama, dimana fluks permeat menghasilkan penurunan yang sangat kecil seiring dengan bertambahnya waktu operasi. Penurunan harga fluks yang sangat kecil ini dan kelihatan konstan mengindikasikan bahwa interaksi pertikel terlarut pada membran ultrafiltrasi keramik cukup stabil.

Konsentrasi Umpan

Berdasarkan sidik ragam menunjukkan bahwa konsentrasi sangat berpengaruh terhadap besarnya harga fluks permeat (Lampiran 2 ). Setelah diuji lanjut dengan uji BNJ 5% diperoleh bahwa rata-rata perlakuan konsentrasi berbeda nyata. Peningkatan konsentrasi cenderung menurunkan fluks permeat Hal ini dikarenakan semakin rendah konsentrasinya berarti semakin renggang jarak antara molekul minyak

0 100 200 300 400 500 25% 50% 75% Konsentrasi Flu k s ( l/m 2 .j a m ) 2 bar 3 bar 6 bar 9 bar 10 bar

Gambar 10. Kurva Konsentrasi Minyak – IPA vs Fluks permeat pada Membran Ultrafiltrasi.

Dari gambar kurva diatas, kemungkinan terjadinya fouling menjadi lebih tinggi pada perlakuan M1 dikarenakan konsentrasinya lebih tinggi. Semakin tinggi konsentrasi umpan, maka peluang terjadinya konsentrasi polarisasi dipermukaan membran lebih besar. Untuk konsentrasi yang lebih rendah (M1) perbedaan nilai fluks permeat tersebut lebih besar dibandingkan dengan konsentrasi yang lebih tinggi (M3), hal ini menunjukkan lapisan fouling/polarisasi konsentrasi lebih dominan menentukan harga fluks tersebut.

38

Tekanan Operasi

Berdasarkan sidik ragam (Lampiran 2), menunjukkan bahwa tekanan operasi sangat berpengaruh terhadap besarnya harga fluks permeat. Setelah diuji lanjut dengan uji BNJ 5% diperoleh bahwa tekanan 9 bar (T4) dan 10 bar (T5) memberikan nilai fluks permeat yang tidak berbeda nyata (Lampiran 2). Hal ini menunjukkan bahwa nilai fluks permeat yang dihasilkan dimulai pada tekanan 6 bar (T3) sudah tidak meningkat secara tajam namun cenderung konstan.

0 100 200 300 400 500 2 3 6 9 10 Tekanan (bar) F lu k s (l/ja m 2 .ja m ) 25% 50% 75%

Gambar 11. Kurva tekanan vs Fluks Minyak-IPA pada Membran Ultrafiltrasi

Secara umum fluks meningkat dengan meningkatnya tekanan, tetapi peningkatan tekanan tidak selamanya dapat meningkatkan fluks. Diatas tekanan 6 bar (T3), fluks mulai konstan dengan meningkatnya tekanan. Mulder (1996) mengemukakan bahwa dalam padatan yang terlarut, ketika tekanan dinaikkan sampai batas tertentu akan menaikkan fluks tetapi setelah mencapai tekanan tertentu fluks tidak akan meningkat. Peristiwa meningkatnya tekanan yang tidak disertai kenaikan fluks ini sering dijelaskan dengan teori gel. Teori gel tersebut mengatakan bahwa kenaikan tekanan akan meningkatkan konsolidasi partikel – partikel yang membentuk lapisan fouling sehingga tahanan perpindahan juga meningkat akibat meningkatnya konsentrasi lapisan fouling (Wenten, 1999)

Rejeksi Fosfolipid

Mulder (1996) mengemukakan bahwa pada air murni semakin tinggi tekanan yang diberikan maka fluks air murni juga akan meningkat. Lain halnya dalam padatan terlarut, ketika tekanan dinaikkan sampai batas tertentu akan menaikkan fluks tetapi setelah mencapai tekanan tertentu fluks tidak akan meningkat. Ditambahkan pula bahwa rejeksi dapat tinggi pada proses pemisahan dengan menggunakan larutan campuran makromolekul dimana polarisasi konsentrasi sangat berpengaruh tehadap selektivitas. Molekul dengan berat molekul yang lebih tinggi akan tertahan seluruhnya dan menimbulkan lapisan dinamis seperti membran yang dapat menahan partikel padatan dengan berat molekul rendah.

Fosfolipid termasuk salah satu senyawa yang jika terdispersi didalam air membentuk misel. Jika misel tersebut berada didalam lingkungan pelarut non polar termasuk IPA cenderung membentuk reverse miscelle dengan rata-rata berat molekul 20 000 dalton (18 – 200 nm) (Patterson 1992; Paliegro et.al 2001). Adanya perbedaan berat molekul dengan trigliserida (800 dalton) memungkinkan fosfolipid sebagai retentat dalam proses degumming dengan ultrafiltrasi 10 000 dalton.

Peningkatan kondisi operasi tekanan yang diberikan terjadi peningkatan nilai fluks CPO-IPA. Peningkatan ini tidak akan terus terjadi jika kondisi operasi terus dinaikkan. Mulder (1996) mengemukakan bahwa dalam padatan yang terlarut, ketika tekanan dinaikkan sampai batas tertentu akan menaikkan fluks tetapi setelah mencapai tekanan tertentu fluks tidak akan meningkat. Selama proses filtrasi berlangsung pada membran ultrafiltrasi dapat dilihat bahwa terjadi penurunan permeat fluks pada awal filtrasi dibanding pada akhir filtrasi disebabkan oleh lapisan gel. Hal ini diduga karena dengan semakin tinggi tekanan yang diberikan fenomena polarisasi lebih berperan sedangkan fluks menjadi tidak sensitif lagi dengan tekanan yang diberikan. Fenomena polarisasi adalah proses terbentuknya gradien konsentrasi pada lapisan pembatas permukaan membran akibat akumulasi zat-zat terlarut yang tertahan oleh membran. Lapisan gel sendiri merupakan bagian dari lapisan polarisasi konsentrasi yang diduga berasal dari makromolekul (fosfolipid) dan terjadi pada saat kelarutan kritis tercapai

40

(Toyomota dan Higuchi 1992). Pada tekanan tinggi lapisan gel polarisasi yang terbentuk dari molekul yang terejeksi menumpuk pada permukaan membran menyebabkan aliran proses menjadi sangat tergantung pada konsolidasi lapisan tersebut (Cheryan 1996; Pagliero et al 2001)

Kadar fosfolipid (yang dapat diukur dengan kadar P) berdasarkan sidik ragam (Lampiran 2 Tabel 11), menunjukkan hasil yang tidak berbeda terhadap rata-rata nilai rejeksi Phospor. Rata-rata 60,43% - 81,16% phospor dapat direjeksi oleh membran. Fenomena tidak berpengaruhnya parameter operasi ini lebih banyak dipengaruhi oleh ukuran pori membran Ultrafiltrasi. Menurut Chiang dan Cheryan (1986), nilai koefisien rejeksi ultrafiltrasi dikendalikan terutama oleh ukuran pori dan distribusinya dan hanya sedikit dipengaruhi oleh parameter operasi (tekanan transmembran, laju alir umpan dan suhu).

Respon Permukaan (RSM) Tekanan Operasi dan Konsentrasi pada Membran Ultrafiltrasi

Dari hasil sidik ragam (Lampiran 4) menunjukkan bahwa sumber keragaman dari regresi pada persamaan regresi yang diperoleh berbeda nyata. Berdasarkan uji t menunjukkan koefisien regresi yang berpengaruh adalah x1, x2 dan x3 pada taraf alpha 5%, sehingga dapat disimpulkan bahwa tekanan operasi dan konsentrasi memberikan pengaruh yang nyata terhadap harga fluks.

Koefisien x2 yang negatif (yaitu peubah tekanan) menandakan bahwa pengaruh tekanan berbentuk parabolik, sehingga dapat ditentukan T (tekanan) maksimumnya. Koefisien x4 yaitu variabel M (konsentrasi) juga parabolik, sehingga dapat ditentukan konsentrasi maksimumnya. Secara keseluruhan permukaan respon sudah berbentuk bidang lengkung (ditandai dengan x2, dan x4 yang negatif) seperti pada Gambar 12.

Gambar 12. Respon Permukaan dari peubah Tekanan (T) dan Konsentrasi (M) terhadap fluks (Z).

Gambar 13. Analisa Kontur Respon Permukaan dari peubah Tekanan dan Konsentrasi terhadap fluks .

Dari model diatas (Z= -9,26552 + 92,8529T – 5.9126T2 + 1,5047M – 0,0301M2 + 0,0143 MT) dengan nilai koefisien determinan (R2 = 0,955) didapatkan nilai maksimum tekanan operasi adalah 8 bar pada konsentrasi 44 % dengan nilai fluks 428 l/m2.jam .

Pencucian Membran

Berdasarkan hasil filtrasi CPO dengan proses membran ultrafiltrasi diketahui bahwa fenomena polarisasi konsentrasi terjadi pada membran. Kejadian

42

tersebut menyebabkan kinerja membran menurun ditandai dengan penurunan fluks. Pencucian dengan bahan kimia, dalam penelitian ini yaitu NaOH didasarkan pada pertimbangan bahwa minyak sawit mengandung sejumlah asam lemak yang dapat bereaksi dengan alkali melalui reaksi saponifikasi. Asam lemak (R-COOH) tidak larut pada media asam tetapi larut pada pH alkali. Reaksi safonifikasi (hidrolisis aster) berlangsung sebagai berikut :

C3H5(RCOO)3 + 3 NaOH Æ C3H5(OH)3 + 3 RCOONa

Sabun yang dihasilkan pada reaksi safonifikasi ini membentuk agregat yang hidrofilik (COO- Na+) dapat menggerus asam lemak yang hidrofobik. Sabun ini tidak larut pada kondisi asam. NaOH yang merupakan bahan alkali merupakan bahan yang efektif sebagai bahan penyabun dan juga dapat menetralisasi minyak, namun beberapa kelemahan NaOH adalah kemampuan sebagai penyangga yang terbatas.

Untuk mengetahui fouling pada membran UF dilakukan pengukuran fluks air sebelum (LPO) dan setelah filtrasi (LPL), untuk mendapatkan nilai permeabilitas membran. Permeabilitas membran merupakan parameter karakteristik membran yang sangat penting untuk diketahui. Permeabilitas membran menunjukkan kemampuan membran dalam melewatkan air destilasi. Nilai permeabilitas diperoleh dengan menghitung gradien (slope) grafik hubungan antara tekanan transmembran dengan fluks. Permeabilitas membran ultrafiltrasi dengan variasi tekanan dapat dilihat pada Gambar 14.

y = 93.914x + 112.95 R2 = 0.9984 y = 77.823x + 120.7 R2 = 0.9755 y = 74.405x + 81.387 R2 = 0.9912 0 200 400 600 800 1000 1200 0 2 4 6 8 10 12 Tekanan (bar) F lu k s ( l/m 2 .ja m )

Membran ssebelum penelitian Dicuci dengan NaOH 0,1N

Dicuci dengan NaOH 0,2N

Gambar 14. Kurva Perncucian Membran menggunakan larutan NaOH 0,1N dan 0,2 N pada Membran Ultrafiltrasi

Pada gambar diatas terlihat bahwa, nilai fluks meningkat secara linear dengan semakin meningkatnya tekanan. Pola perilaku fluks permeat tersebut sesuai dengan hukum Darcy yang menyatakan bahwa, fluks permeat pada proses membran kenaikannya sebanding dengan tekanan transmembran yang digunakan (fluks ≈∆PT).

Permeabilitas membran mengalami penurunan walaupun telah dilakukan pencucian dengan NaOH yaitu dari 93,914 l/m2.jam.bar (sebelum penelitian) menjadi 77,823 l/m2.jam.bar. Berdasarkan uji kesejajaran dua garis regresi menggunakan uji-t (Lampiran 2) antara pemeabilitas membran sebelum proses dan pencucian menggunakan NaOH konsentrasi 0,2 N menunjukkan kedua garis (permeabilitas) tidak berbeda nyata. Demikian juga antara NaOH 0,1N dan NaOH 0,2 N menunjukkan tidak berbeda nyata pada taraf alpha 1 % Hal ini menunjukkan konsentrasi yang lebih tinggi masih dibutuhkan untuk menetralisasi minyak, namun perlu diperhatikan dengan kerusakan membran pada konsentrasi yang ekstrim. Membran dapat mengalami kerusakan baik pada proses fisik maupun kimia, seperti tekanan dan temperatur yang tinggi serta pH yang ekstrim (L.Lin,K.C et.al 1998).

Tabel 11. Pemulihan Kinerja Membran UF Dengan Pencucian Menggunakan NaOH 0,1 N dan 0,2 N Fluks (l/m2.jam.bar) Pemulihan (%)*) 0,1 N 0,2 N Tekanan (bar) LPO LPL LPL 0,1 N 0,2 N 3 394 304 354 77,17 89,73 4 488 379 431 77,57 88,41 6 676 527 587 78,03 86,87 8 864 676 743 78,29 86,00 10 1052 825 898 78,46 85,44 * (LPL/LPO)x100

Berdasarkan tabel diatas, pemulihan kinerja membran berkisar antara 77,17 – 78,46 % untuk 0,1 N dan 85,44 – 89,73% untuk konsentrasi NaOH 0,2N.

44

Bilangan Asam

Asam lemak dinyatakan sebagai bilangan asam. Bilangan asam suatu minyak didefinisikan sebagai jumlah miligram NaOH yang dibutuhkan untuk menetralkan FFA dalam 1 gram minyak (Guenther, 1952)

Asam-asam lemak bebas (FFA) yang terkandung di dalam minyak dapat terbentuk dari proses degradasi ester oleh air. Dalam hal ini asam dapat berfungsi sebagai katalisator yang mempercepat penguraian ester menjadi asam dan alkohol. Selain itu asam dapat pula berasal dari hasil oksidasi alkohol primer menjadi aldehid dan asam karboksilat. Terjadinya proses tersebut dapat dipicu dengan kondisi penyimpanan yang buruk dan umur simpan yang tinggi (Guenther, 1952)

Adanya FFA dalam minyak akan mudah terhidrolisa menjadi ketonik- ketonik yang menyebabkan ketengikan yang disebut hydrolitic rancidity yaitu ketengikan yang terjadi akibat adanya proses hidrolisa. Semakin besar kandungan FFA dalam minyak, semakin besar jumlah alkali yang dibutuhkan untuk menetralisasi, berarti semakin besar bilangan asam dari minyak tersebut. Tingginya nilai bilangan asam merupakan suatu indikasi terjadinya penurunan mutu.

Adanya gum dalam minyak akan mempercepat terjadinya peristiwa hidrolisis dan oksidasi pada minyak yang menyebabkan semakin tingginya kadar asam lemak bebas dalam minyak tersebut. Kandungan air yang terdapat dalam minyak akan menyebabkan terjadinya proses hidrolisis dalam minyak yang menyebabkan semakin tingginya nilai FFA. Pemanasan juga dapat menyebabkan pengurangan jumlah asam lemak bebas karena asam lemak bebas yang mempunyai berat molekul atau jumlah atom karbon pada rantainya kurang dari 14 dapat menguap (Winarno, 1997).

b a c d e 0 5 10 15 20 Bi lang a n A s am ( % ) Kontrol Netralisasi Wet degumming Membran UF

Gambar 15. Histogram Bilangan Asam Proses Degumming dan Netralisasi, balok dengan huruf yang tidak sama adalah berbeda nyata dengan uji BNJ 5%(BNJ= 0,532)

Dari Gambar 15, menunjukkan bahwa pada proses degumming menggunakan H3PO4 terjadi peningkatan bilangan asam, hal ini disebabkan gum-

gum masih tertinggal dan juga pada prosesnya menggunakan metode wet degumming yang melibatkan air yang menyebabkan proses hidrolisis dalam minyak dan akan menyebabkan FFA meningkat. Sedangkan pada proses ultrafiltrasi bilangan asam mengalami penurunan, namun FFA tidak dapat ditahan seluruhnya oleh membran hal ini disebabkan ukuran dan berat molekul FFA jauh lebih kecil dari ukuran pori membran UF.

Pada proses netralisasi dengan menggunakan NaOH, minyak hasil membran UF menjadi lebih efektif dalam netralisasinya, hal ini ditunjukkan dengan turunnya nilai bilangan asam dibandingkan dengan minyak hasil degumming dengan metode wet degumming. Hal ini disebabkan dengan membran UF, gum yang terdiri dari fosfatida lebih banyak terbuang dibandingkan dengan menggunakan H3PO4.

Bilangan Peroksida (PV)

Bilangan peroksida adalah nilai terpenting untuk menentukan kerusakan pada produk minyak atau lemak. Menurut Roh dan Blaschke (1994), bilangan peroksida merupakan ukuran kesegaran atau keadaan terjadinya autooksidasi lemak/minyak. Penyebab proses autooksidasi pada minyak/lemak adalah adanya

46

prooksidan dalam minyak seperti kandungan asam lemak bebas yang tinggi dan adanya air yang dapat menghidrolisis minyak menjadi asam lemak bebas.

Hasil sidik ragam (Lampiran 2) menunjukkan adanya perbedaaan yang nyata pada bilangan peroksida dan berdasarkan uji BNJ 5% menunjukkan perbedaaan yang nyata antara kontrol dan perlakuan (Lampiran 2). Bilangan peroksida yang relatif kecil selama proses pengolahan kemungkinan disebabkan proses yang dilakukan tidak memakan waktu yang lama sehingga pengikatan oksigen oleh asam lemak tidak jenuh relatif sedikit. Asam lemak tidak jenuh dapat mengikat oksigen pada ikatan rangkapnya sehingga membentuk peroksida. Bilangan peroksida yang merupakan indikator kerusakan pada produk minyak selama proses relatif stabil. Peningkatan jumlah oksigen yang diikat oleh asam lemak tidak jenuh pada minyak relatif kecil selama proses pengolahan.

a c b c bc 0 0,1 0,2 0,3 0,4 0,5 0,6 0,7 Bi la nga n P e rok s ida (m g O /1 0 0 g) Kontrol Netralisasi Wet degumming Membran UF

Gambar 16 . Histogram Bilangan Peroksida Proses Degumming dan Netralisasi, balok dengan huruf yang tidak sama adalah berbeda nyata dengan uji BNJ 5% (BNJ= 0,002)

Djatmiko et.al (1974), menyatakan bahwa minyak cenderung untuk bereaksi dengan oksigen secara autooksidasi, tidak saja tergantung pada komposisi asam lemaknya, tetapi juga pada komponen-komponen yang terkandung didalamnya, seperti adanya bahan yang bersifat antioksidan alami seperti karotenoid dan tokoferol atau beberapa logam berat tertentu seperti tembaga dan besi yang dapat juga bertindak sebagai prooksidan.

Dengan demikian, rendahnya nilai bilangan peroksida pada minyak sawit dapat dihubungkan dengan terkandungnya sejumlah karotenoid dan tokoferol

yang dapat berperan juga sebagai antioksidan, sehingga proses oksidasi lemaknya lebih dapat tercegah.

Bilangan Iod

Bilangan iod dinyatakan sebagai jumlah gram iod yang diserap oleh 100 g minyak atau lemak. Asam lemak yang tidak jenuh dalam minyak dan lemak mampu menyerap sejumlah iod dan membentuk senyawa yang jenuh. Semakin kecil jumlah ikatan rangkap dalam minyak menyebabkan semakin rendahnya bilangan iod dari minyak tersebut (Ketaren, 1986). Turunnya bilangan iod dapat dijadikan pertanda bahwa sebagian lemak telah mengalami kerusakan terutama disebabkan oleh proses oksidasi. Fosfolipid yang masih tertinggal dalam minyak akan menjadi autokatalis pada proses oksidasi. Proses oksidasi ini menyerang ikatan rangkap dari minyak sehingga menyebabkan jumlah ikatan rangkap minyak semakin berkurang.

Proses oksidasi akan menyerang ikatan rangkap dari minyak sehingga menyebabkan jumlah ikatan rangkap dalam minyak semakin berkurang. Semakin kecil jumlah ikatan rangkap dalam minyak menyebabkan semakin rendahnya bilangan iod dari minyak tesebut (Ketaren 1986). Rendahnya nilai bilangan iod minyak dapat disebabkan karena terjadinya proses oksidasi selama penyimpanan. Proses oksidasi menyerang ikatan tidak jenuh pada rantai asam lemak sehingga membentuk peroksida dan akhirnya terurai menjadi produk-produk asam lemak bebas rantai pendek yang jenuh. Sebaliknya jika semakin banyak asam lemak ikatan rangkap yang menyusun suatu minyak maka nilai bilangan iod akan meningkat.

48 c b b a a 0 10 20 30 40 50 60 Bila nga n Io d

Kontrol Degumming Netralisasi Wet degumming Membran UF

Gambar 17 . Histogram Bilangan Iod (Wijs) Proses Degumming dan Netralisasi, balok dengan huruf yang tidak sama adalah berbeda nyata dengan uji BNJ 5% (BNJ= 1,287)

Dalam proses dengan filtrasi membran peningkatan bilangan iod disebabkan karena tertahannya gum yang menyebabkan peningkatan konsentrasi asam lemak ikatan rangkap yang menyusun suatu minyak menyebabkan peningkatan bilangan iod, demikian juga pada proses wet degumming. Pada proses netralisasi menghasilkan nilai bilangan iod yang tertinggi dibandingkan pada proses degumming namun tidak berbeda nyata antara minyak hasil proses wet degumming dan membrane ultrafiltrasi yaitu antara 55,26 - 55,27. Proses netralisasi menyebabkan hilangnya asam lemak bebas dengan ikatan jenuh. Dari analisa Gas Chromatografi didapatkan peningkatan konsentrasi asam lemak Oleate (C18:1) dan asam lemak Linoleate (C18:2) yang merupakan asam lemak tidak jenuh.

Fraksi Tak Tersabunkan (FTT)

Fraksi tak tersabunkan adalah senyawa-senyawa yang sering terdapat larut didalam minyak dan tidak dapat disabunkan dengan soda alkali. Semua jenis fraksi lipid termasuk fraksi dapat disabunkan (saponifiable fraction) kecuali persenyawan sterol, hidrokarbon, protein, karbohidrat dan pigmen.

Deskriptif rata-rata hasil pengamatan nilai FTT dapat dilihat pada Gambar 18. Tampak pada gambar bahwa dengan menggunakan membran UF

menghasilkan FTT yang lebih besar dibandingkan dengan menggunakan metode konvensional. a ab ab b b 0 0,1 0,2 0,3 0,4 0,5 Fra k s i Ti da k Te rs a b unk a n ( % )

Kontrol Degumming Netralisasi Wet degumming Membran UF

Gambar 18 . Histogram Fraksi Tak Tersabunkan Proses Degumming dan Netralisasi, balok dengan huruf yang tidak sama adalah berbeda nyata dengan uji BNJ 5% (BNJ= 0,216)

Penurunan fraksi tidak tersabunkan disebabkan karena fraksi-fraksi tidak tersabunkan yaitu protein dan karbohidrat sudah ikut terbuang bersama dengan gum dalam proses filtrasi dan demikian juga pada proses konvensional melalui proses pencucian selain itu komponen fraksi tak tersabunkan lain yaitu pigmen (karoten), juga ikut terbuang walaupun dalam jumlah sedikit hal ini dapat dilihat dari penurunan nilai kandungan beta karoten. Walaupun menunjukkan perbedaan yang tidak nyata namun penurunan nilai Fraksi Tak Tersabunkan tersebut juga diikuti pada proses netralisasi yang diduga terjadi pada saat pencucian yang dapat dilihat dari penurunan nilai a pada pengukuran warna (Lampiran 2).

Bilangan Penyabunan

Nilai bilangan penyabunan minyak hasil pemurnian dengan filtrasi membran berkisar antara 201-236,5. sedangakan secara konvensional berkisar antara 194,5 – 227,5. Hasil sidik ragam (Lampiran 2) menunjukkan bahwa nilai ini tidak menunjukkan berbeda nyata, namun nilai tersebut cenderung menurun.

50 0 50 100 150 200 250 Bila nga n P e ny a b una n

Kontrol Degumming Netralisasi Wet degumming Membran UF

Gambar 19. Histogram Bilangan Penyabunan Proses Degumming dan Netralisasi, balok dengan huruf yang tidak sama adalah berbeda nyata dengan uji BNJ 5%

Penurunan nilai bilangan penyabunan pada minyak hasil filtrasi disebabkan tertahannya asam lemak yang berukuran besar. Bilangan penyabunan memiliki korelasi dengan bilangan asam dan kekentalan. Penurunan bilangan penyabunan berkorelasi dengan penurunan nilai bilangan asam karena jumlah asam lemak yang terdapat dalam minyak berkurang, juga diikuti penurunan kekentalan, hal ini menunjukkan bahwa kedua proses tersebut yaitu degumming dan netralisasi dapat mengurangi sejumlah senyawa produk sekunder oksidasi seperti aldehid, keton dan asam-asam organik rantai pendek, selain itu proses netralisasi telah menurunkan asam lemak bebas dengan berat molekul rendah sehingga mengakibatkan bilangan penyabunan proses degumming dan netralisasi lebih rendah dari minyak awal.

Kadar Air

Kadar air minyak hasil pemurnian dengan filtrasi membran berkisar antara 0,1 – 0,2% dan konvensional antara 0,02 – 0,08 % (Lampiran 2). Berdasarkan hasil sidik ragam (lampiran tabel 6) menunjukkan bahwa hasil yang berbeda antara perlakuan konvensional dengan filtrasi membran terhadap kadar air. Dari uji lanjut BNJ (Lampiran 2) menunjukkan bahwa kandungan air pada filtrasi membran lebih tinggi dibandingkan dengan cara konvensional.

b ab a b 0 0,02 0,04 0,06 0,08 0,1 0,12 Kad a r ai r (% )

Kontrol Degumming Netralisasi

Wet degumming Membran UF

b

Gambar 20. Histogram Kadar Air Proses Degumming dan Netralisasi. balok dengan huruf yang tidak sama adalah berbeda nyata dengan uji BNJ 5% (BNJ = 0,059)

Hal ini dikarenakan dalam proses pemurnian membran menggunakan air dalam proses pencucian membran, dimana sebagian air ada yang masih tertinggal, baik pada membran ataupun pada pompa akibatnya kadar air menjadi lebih tinggi.

Kekentalan(Viscositas)

Berdasarkan Sidik ragam (Lampiran 2) perlakuan menggunakan membran UF maupun konvensional tidak menunjukkan perbedaan yang nyata. Namun ada kecenderungan penurunan nilai kekentalan pada proses degumming maupun netralisasi. 0 10 20 30 40 50 Kek e nt al an ( C p)

Kontrol Degumming Netralisasi Wet degumming Membran UF

52

Penurunan viskositas ini diduga akibat berkurangnya gum dan lendir pada proses degumming, selain itu diduga hasil pemurnian dengan membran telah mengalami pengurangan asam lemak berantai panjang. Pada proses secara konvensional penurunan kekentalan juga terjadi, hal ini disebabkan pengurangan

Dokumen terkait