• Tidak ada hasil yang ditemukan

dalam Fiqih Siyasah).

BAB IV : Hasil penelitian, berisikan Gambaran Umum Lokasi Penelitian (Monografi Kabupaten Pasaman Provinsi Sumatera Barat dan Profil Komisi Pemilihan Umum (KPU) Kabupaten Pasaman,

Faktor Penyebab Munculya Calon Tunggal pada Pilkada Tahun 2020 Kabupaten Pasaman, Analisis Fikih Siyasah Tentang Calon Tunggal pada Pemilihan Bupati dan Wakil Bupati Tahun 2020 di Kabupaten Pasaman menurut PKPU Nomor 13 Tahun 2018 (Pemilihan Bupati dan Wakil Bupati Dengan Satu Pasangan Calon Menurut PKPU No 13 Tahun 2018 dan Tinjauan Fikih Siyasah Tentang Calon Tunggal pada Pemilihan Bupati dan Wakil Bupati Tahun 2020 di Kabupaten Pasaman menurut PKPU Nomor 13 Tahun 2018).

BAB V : Penutup, yang berisikan kesimpulan dan saran.

20

BAB II

PEMILU DI INDONESIA

A. Pengertian, Tujuan dan Dasar Hukum Pemilu di Indonesia 1. Pengertian Pemilu

Ada banyak pengertian Pemilu di Indonesia, diantaranya pengertian Pemilu menurut UU Pemilu dan pengertian Pemilu menurut Para Ahli. Untuk lebih rincinya akan dijelaskan sebagai berikut:

a. Pengertian Pemilu Menurut UU Pemilu

Pemilu adalah sarana kedaulatan rakyat untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat, anggota Dewan Perwakilan Daerah, Presiden dan Wakil Presiden, dan untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah yang dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945.20

b. pengertian Pemilu menurut para Ahli

Ada beberapa pengertian pemilu menurut para ahli diantaranya, sebagai berikut:

1) Menurut Jimly Ashiddiqie

20 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2007 tentang Pemilihan Umum Bab 1 Pasal 1

Jimly Asshiddiqie menyatakan bahwa “Pemilu merupakan cara yang diselenggarakan untuk memilih wakil-wakil rakyat secara demokratis”. Wakil rakyat itu bertindak atas nama rakyat, dan wakil-wakil rakyat itulahyang menentukan corak dan cara bekerjanya pemerintahan, serta tujuan apa yang hendak dicapai baik dalam jangka panjang maupun dalam jangka waktu yang relatif pendek. Agar wakil-wakil rakyat benar-benar bertindak atas nama rakyat dan wakil-wakil itu harus ditentukan sendiri oleh rakyat yaitu melalui Pemilu (General Election).21

2) Dahlan Thaib

Menurut Dahlan Thaib Pemilu adalah “suatu proses pergantian kekuasaan secara damai yang dilakukan secara berkala sesuai dengan prinsip-prinsip yang digariskan konstitusi”. Prinsip-prinsip pemilu seperti Langsung,Umum, Bebas, Rahasia serta Jujur dan Adil merupakan prinsip dasar pemilu yang sudah seharusnya digariskan oleh konstitusi, sehingga orang-orang yang terpilih melalui pemilu untuk menjalankan pemerintahan dapat melaksanakannya berdasarkan prinsip pemerintahan yang demokratis.22

3) Ali Maertopo

Menurut Ali Maertopo, Pemilu adalah sarana yang tersedia bagi rakyat untuk menjalankan kedaulatannya sesuai dengan asas yang bermaktub dalam pembukaan UUD 1945.23

21 Fajlurrahman Jurdi, Pengantar Hukum Pemilihan Umum, cet. ke-1, (Jakarta: Prenada Media, 2018), 3

22 Ibid.

23 Ibid.,6

22

2. Tujuan Pemilu

Ada lima Tujuan Pemilihan Umum (Pemilu) berdasarkan Undang-Undang Republik Indonesia No.7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum yangterdapat di dalam Bab 2 Pasal 4 yaitu Pengaturan Penyelenggaraan Pemilu yang bertujuan untuk:24 a. Memperkuat sistem ketatanegaraan yang demokratis.

b. Mewujudkan Pemilu yang adil dan berintegritas.

c. Menjamin konsistensi pengaturan sistem Pemilu.

d. Memberikan kepastian hukum dan mencegah duplikasi dalam pengaturan Pemilu.

e. Mewujudkan Pemilu yang efektif dan efisien.

Sedangkan menurut Teori Prihatmoko, Pemilihan Umum (Pemilu) dalam pelaksanaannya memiliki tiga tujuan yaitu:

a. Sebagai mekanisme untuk menyeleksi para pemimpin pemerintahan dan alternatif kebijakan umum (public policy).

b. Pemilu sebagai pemindahan konflik kepentingan dari masyarakat kepada badan-badan Perwakilan Rakyat melalui wakil-wakil yang terpilih atau partai yang memenangkan kursi sehingga integrasi masyarakat tetap terjamin.

c. Pemilu sebagai sarana memobilisasi, menggerakkan atau menggalang dukungan rakyat terhadap Negara dan pemerintahan dengan jalan ikut serta dalam proses politik.25

24 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum Bab 2 Pasal 4

25 Khoirul Muslimin, Buku Ajar Komunikasi Politik, cet. ke-1 (Yogyakarta: Uninsu Press, 2019), 102.

3. Dasar Hukum Pemilu

Penyelenggaraan Pemilihan Umum (Pemilu) dalam Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, Wali Kota dan Wakil Wali Kota (Pemilihan/Pilkada) didasarkan kepada Undang-Undang. Untuk teknis pelaksanaan secara lebih rinci diatur dalam Peraturan Komisi Pemilihan Umum (KPU). Undang-Undang saat ini yang dijadikan sebagai dasar hukum penyelenggaraan Pemilu adalah Undang-Undang Nomor 7 tahun 2017 tentang Pemilihan Umum serta Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota.

Pemilukada/Pilkada langsung merupakan perwujudan konstitusi dan Undang-Undang Dasar 1945 pada Pasal 18 ayat (a) UUD 1945, Gubernur, Bupati dan Walikota masing-masing sebagai Kepala Daerah Provinsi, Kabupaten dan Kota dipilih dengan cara demokratis. Hal ini telah diatur dalam Undang-Undang No.32 Tahun 2005 tentang pemilihan, pengesahan, pengangkatan, dan pemberhentian Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah.

Selain itu dasar hukum Pemilu Pasca Reformasi di Indonesia antara lain:26 a. Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2007 tentang Penyelenggaraan Pemilu.

26 Muhammad Afied Hambali, Pemilukada Pasca Reformasi di Indonesia, Unsa: jurnal Rechstaat Ilmu Hukum Fakultas Hukum, vol.8, no. 1 (2014), 4-5

24

b. PP Nomor 49 Tahun 2008 tentang Perubahan Ketiga atas PP Nomor 6 Tahun 2005 tentang Pemilihan, Pengesahan, Pengangkatan, dan Pemberhentian Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah.

c. Permendagri Nomor 57 Tahun 2009 Tentang Perubahan atas Permendagri Nomor 44 Tahun 2007 tentang Pedoman Pengelolaan Belanja Pemilu Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah.

d. Peraturan KPU Nomor 61 2009 tentang Pedoman Teknis Penetapan Jumlah dan Tata Cara Pengisian Keanggotaan DPRD Prov atau DPRD Kab/Kota Induk dan DPRD Prov atau DPRD Kab/Kota yang dibentuk setelah Pemilu 2009.

e. Peraturan KPU Nomor 62 Tahun 2009 tentang Penyusunan Tahapan, Program, dan Jadwal Penyelenggaraan Pemilu Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah.

f. Peraturan KPU Nomor 63 Tahun 2009 tentang Pedoman Penyusunan Tata Kerja KPU Prov, KPU Kab/Kota, PPK, PPS, dan KPPS dalam Pemilu Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah.

g. Peraturan KPU Nomor 64 Tahun 2009 tentang Pedoman Pemantauan Pemilu Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah.

h. Peraturan KPU Nomor 65 Tahun 2009 tentang Pedoman Pelaksanaan Sosialisasi dan Penyampaian Informasi Pemilu Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah.

i. Peraturan KPU Nomor 66 Tahun 2009 tentang Penetapan Norma, Standar, Prosedur dan Kebutuhan Pengadaan serta Pendistribusian Perlengkapan Penyelenggaraan Pemilu Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah.

j. Peraturan KPU Nomor 67 Tahun 2009 tentang Pedoman Tata Cara Pemuktahiran Data dan Daftar Pemilih dalam Pemilu Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah.

k. Peraturan KPU Nomor 68 Tahun 2009 Pedoman Teknis Tata Cara Pencalonan Pemilu Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah.

l. Peraturan KPU Nomor 69 Tahun 2009 tentang Pedoman Teknis Kompanye Pemilu Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah.

m. Peraturan KPU Nomor 72 Tahun 2009 Pedoman Tata Cara Pelaksanaan Pemungutan Suara dan Perhitungan Suara Pemilu Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah di TPS.

n. Peraturan KPU Nomor 73 Tahun 2009 tentang Pedoman Tata Cara Pelaksanaan Rekapitulasi Hasil Perhitungan Suara dalam Pemilu Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah oleh PPK, KPU Kab/Kota, dan KPU Prov, serta Penetapan Calon Terpilih, Pengesahan, Pengangkatan dan Pelantikan.

Beberapa aturan Kepemiluan yang pernah berlaku di Indonesia, diantaranya:

a. UUD RI Tahun 1945

Konstitusi atau UUD RI Tahun 1945 telah mengatur secara jelas mengenai penyelenggaraan pemilu. Dalam Pasal 22 E NRI Tahun 1945 berbunyi:

a) Pemilihan Umum dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil setiap lima tahun sekali.

26

b) Pemilihan Umum diselenggarakan untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Presiden dan Wakil Presiden dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.

c) Peserta pemilihan umum untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah adalah parti politik.

d) Peserta pemilihan umum untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Daerah adalah persseorangan.

e) Pemilihan umum diselenggarakan oleh suatu Komisi Pemilihan Umum yang bersifat nasional, tetap dan mandiri.27

b. UU Nomor 7 Tahun 1953

UU Nomor 7 Tahun 1953 tentang Pemilihan Anggota Konstituante dan Aggota Dewan Perwakilan Rakyat yang ditetapkan pada 4 April 1953 merupakan undang-undang pertama yang mengatur tentang pemilu di Indonesia. Di dalam diktum dinyatakan” bahwa untuk pemilihan anggota Konstituante dan Dewan Perwakilan Rakyat perlu diadakan peraturan Undang-undang. Undang-undang Nomor 7 Tahun 1953 mengatur mengenai:

a) Hak Pilih.

b) Daftar pemilih.

c) Daerah pemilihan dan daerah pemungutan suara.

d) Badan-badan penyelenggaran pemilihan.

27 Fajlurrahman Jurdi, Pengantar Hukum., 35

e) Jumlah penduduk warga negara Indonesia, pemnetapan jumlah anggota untuk seluruh Indonesia dan untuk masing-masing daerah pemilihan.

f) Pencalonan.

g) Daftar Calon.

h) Pemungutan suara dan penghitungan suara.

i) Penetapan hasil pemilihan.

j) Pengumuman hasil pemilihan dan pemberitahuan kepada terpilih.

k) Penggantian.

l) Permulaan keanggotaan.

m) Pasal-pasal pidana.

n) Pasal-pasal penutup dan peralihan.

Dengan Undang-Undang inilah pemilu pertama di Indonesia diselenggarakan, dimana pengaturan terhadap kontennya sangat baik. Karena itu, Pemilu Tahun 1955 dianggap sebagai pemilu yang sangat baik dan demokratis. Hasilnya adalah para negarawan yang menjadi anggota konstituante dan anggota DPR pada masa itu.

e. UU Nomor 3 Tahun 1999

Pemilihan Umum merupakan sarana demokratis guna mewujudkan sistem pemerintahan negara yang berkedaulatan rakyat. Pemerintahan negara yang dibentuk melalui pemilihan umum itu adalah yang berasal dari rakyat, dijalankan sesuai dengan kehendak rakyat dan diabadikan untuk kesejahteraan rakyat. Di dalam diktum Undang-Undang Pemilihan Umum merupakan sarana untuk mewujudkan kedaulatan rakyat

28

dalam rangka keikutsertaan rakyat dalam penyelenggaraan pemerintahan negara. Karena itu , Pemilihan Umum bukan hanya bertujuan untuk memilih wakil-wakil rakyat yang akan duduk dalam lembaga Permusyawaratan /Perwakilan, melainkan juga merupakan suatu sarana untuk mewujudkan penyusunan tata kehidupan negara yang dijiwai semangat Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia.28

Penyelenggaraan pemilihan umum dilakukan secara demoktratis dan transparan, jujur dan adil, dengan mengadakan pemberian dan pemungutan suara secara langsung, umum, bebas, dan rahasia. Dengan prinsip tersebut, diharapkan kematangan demokrasi dapat tercipta dengan baik dan kekuasaan dapat melakukan peremajaan dan sukses secara fair.29

B. Sistem Pemilu di Indonesia

Bangsa Indonesia telah menyelenggarakan Pemilu (Pemilihan Umum) sejak zaman kemerdekaan. Semua Pemilihan Umum itu tidak diselenggarakan dengan kondisi yang vakum, tetapi berlangsung dalam lingkungan yang turut menentukan hasil Pemilihan Umum tersebut. Dari Pemilu yang diselenggarakan juga dapat diketahui adanya usaha untuk menemukan sistem Pemilu yang sesuai untuk diterapkan di Indonesia:

1. Zaman Demokrasi Parlementer (1945-1959)

28 Ibid.

29 Ibid., 49

Pada masa ini Pemilu diselenggarakan oleh kabinet BH-Baharuddin Harahap (1955). Pada Pemilu ini pemungutan suara dilaksanakan dua kali yaitu yang pertama untuk memilih anggota Dewan perwakilan Rakyat pada bulan September dan yang kedua untuk memilih anggota Konstituante pada bulan Desember. Sistem yang diterapkan pada Pemilu ini adalah sistem pemilu proporsional.

Pelaksanaan Pemilu pertama ini berlangsung dengan demokratis dan khitmad, tidak ada pembatasan partai politik dan tidak ada upaya dari pemerintah mengadakan intervensi atau campur tangan terhadap partai politik dan kampanye berjalan dengan menarik. Pemilu ini diikuti oleh 27 partai dan 1 perorangan. Akan tetapi, stabilitas politik yang begitu diharapkan tidak tercapai. Kabinet Ali (I dan II) yang terdiri atas koalisi tiga besar: NU, PNI, Masyumi terbukti tidak sejalan dalam menghadapi beberapa masalah terutama yang berkaitan dengan konsepsi Presiden Soekarno zaman Demokrasi Parlementer berakhir.

2. Zaman Demokrasi Terpimpin (1959-1965)

Setelah pencabutan Maklumat Pemerintah pada November 1945 tentangan keleluasaan untuk mendirikan partai pilitik, Presiden Soekarno mengurangi jumlah partai politik menjadi 10 parpol. Pada periode Demokrasi Terpimpin tidak diselanggarakan pemilihan umum.

3. Zaman Demokrasi Pancasila (1965-1998)

Setalah turunnya era Demokrasi Terpimpin yang semi-otoriter rakyat berharap bisa merasakan sebuah sistem politik yang demokratis dan stabil. Upaya yang ditempuh untuk mencapai keiginan tersebut diantaranya melakukan berbagai forum diskusi

30

membicarakan tentang sistem distrik yang terdengar baru di telinga bangsa Indonesia.

Pendapat yang dihasilkan dari forum diskusi ini menyatakan bahwa sistem distrik dapat menekan jumlah partai politik secara alamiah tanpa paksaan, dengan tujuan partai-partai kecil akan merasa berkepentingan untuk bekerjasama dalam upaya meraih kursi dalam sebuah distrik. Berkurangnya jumlah partai politik diharapkan akan menciptakan stabilitas politik dan pemerintah akan lebih kuat dalam melaksanakan program-programya terutama di bidang ekonomi.

Karena gagal menyederhanakan jumlah partai politik melalui sistem pemilu Presiden Soeharto melakukan beberapa tindakan untuk menguasai kehidupan kepartaian. Tindakan pertama yang dijalankan adalah mengadakan visi atau penggabungan diantara partai politik, mengelompokkan partai-partai menjadi tiga golongan yakni Golongan Karya (Golkar), Golongan Nasional (PDI), Golongan Spritual (PPP). Pemilu tahun 1977 diadakan dengan menyertakan tiga partai, dan hasilnya perolehan suara terbanyak selalu diraih oleh Golkar.

4. Zaman Reformasi (1998-Sekarang)

Pada masa Reformasi 1998, terjadilah Liberasasi di segala aspek kehidupan, berbangsa dan bernegara. Politik Indonesia merasakan dampak serupa dengan diberikannya ruang bagi masyarakat untuk merepresentasikan politik mereka dengan memiliki hak mendirikan partai politik. Banyak sekali parpol yang berdiri di era reformasi. Pada pemilu 1999 partai politik yang lolos verifikasi dan berhak mengikuti pemilu ada 48 partai. Jumlah ini tentu sangan jauh berbeda dengan jumlah Orba.

Pada tahun 2004 peserta pemilu berkurang dari 48 menjadi 24 parpol saja. Ini disebabkan telah diberlakukannnya ambang batas (Electoral Threshold) sesuai dengan UU Nomor 3 1999 tentang Pemilu yang mengatur bahwa partai politik yang berhak mengikuti pemilu selanjutnya adalah parpol yang meraih sekurang-kurangnya 2% dari jumlah kursi DPR. Partai politik yang tidak mencapai ambang batas boleh mengikuti pemilu selanjutnya dengan cara bergabung dengan partai lainnya dan mendirikan parpol baru. Untuk partai politik baru persentase Threshold dapat dinaikkan jika dirasa perlu seperti persentase Electoral Threshold 2009 menjadi 3% setelah sebelumnya pemilu 2004 hanya 2%. Begitu juga selanjutnya pemilu 2014 ambang batas bisa juga dinaikkan lagi atau diturunkan.

Didalam buku yang dikarang oleh Ni’matul Huda dan Imam Nasef sistem pemilu di Indonesia dijelaskan Sebelum dilakukan perubahan UUD 1945 ketentuan tentang pemilihan hanya dikembangkan dari: (i) Pasal 1 ayat (2) UUD 1945 yang menyatakan ”Kedaulatan ada ditangan rakyat dan dilakukan sepenuhnya oleh MPR’.

Syarat kedaulatan rakyat adalah pemilihan umum. (ii) Pasal 7 UUD 1945 yang menyatakan, “Presiden dan Wakil Presiden memegang jabatannya selama lima tahun dan sesudahnya dapat dipilih kembali”. (iii) Penjelasan Pasal 3 uud 1945 yang menyatakan” Sekali dalam lima tahun Majelis memperhatikan segala hal yang terjadi.Dari penjelasan Pasal-pasal tersebut dapat dikembangkan bahwa pemilu di Indonesia melaksanakan sekali dalam 5 (lima) tahun. (iv) Pasal 19 UUD 1945, susunan DPR ditetapkan dengan undang-undang. Undang-undang yang dimaksud berarti

32

mengatur pemilihan umum.30 Setelah diadakannya perubahan UUD 1945 oleh MPR pada sidangTahunan 2001, masalah sebagai berikut:

1. Pemilihan umum dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adilsetiap lima tahun sekali.

2. Pemilihan umum diselenggarakan untuk memilih anggota DPR, DPD, Presiden dan Wakil Presiden, dan DPRD.

3. Peserta pemilihan umum untuk untuk memilih anggota DPR dan DPRD adalah partai politik.

4. Peserta pemilihan umum untuk memilih anggota adalah perseorangan.

5. Pemilihan umum diselenggarakan oleh suatu komisi pemilihan umum yang bersifat nasional, tetap dan mandiri.

6. Ketentuan lebih lanjut tentang pemilihan umum diatur dengan undang-undang.31 Untuk konteks Indonesia, banyak sekali orang yang mencampuradukkkan antara electoral laws dengan electoral proceses. Didalam ilmu politik yang disebut dengan electoral laws menurut Douglas Rae, adalah sistem pemilihan dan aturan yang menata bagaimana pemilu dijalankan serta distribusi hasil pemilihan umum, Sementara electoral proceses adalah mekanisme yang dijalankan di dalam pemilihan umum, seperti mekanisme penentuan calon, dan cara berkompanye.

30 Ni’matul Huda dan M.Imam Nasef, Penataan Demokrasi dan pemilu di Indonesia Pasca Reformasi, cet. ke-1 (Jakarta: Prenadamedia Grup, 2017), 42.

31 Ibid.

Menurut Affan Gafar, sistem pemilihan (electoral laes) tidak mempunyai kaitan dengan sistem kepartaian di Indonesia. Proses dan mekanisme pemilihan yang membawa konsekuensi terhadap sistem kepartaian. Ada dua alasan yang mendasari pendapat tersebut; pertama, sejak tahun 1973 Indonesia sudah menganut sistem tiga partai yang meruapkan hasil reformasi sistem kepartaian yang dibuat oleh pemerintah bukan sesuatu yang terjadi secra alamiah.32 Akibatnya karena peraturan yang ada, maka sudah tidak mungkin lagi membentuk partai politik yang baru, kecuali kalau undang-undangnya yang harus diubah. Kedua, mekanisme dan proses Pemilu yang tidak kompetitif telah berhasil membuat partai politik yang hegemonik. Proses pemilihan umum tersebut mencakup rekrutmen calon-calon yang tidak terbuka terutama partai-partai politik yang pemerintah. Didalam proses rekrutmen tersebut partai-partai yang non-pemerinth tidak mempunyai keleluasaan untuk menampilkan calon-calon yang mempunyai kualitas tinggi sehingga mampu menarik massa dukungan yang diharapkan.

Hal itu terjadi besarnya peranan Lembaga Pemilihan Umum dalam menyaring calon-calon partai.33

Ketika situasi politik berubah searah arus reformasi yang ditandai dengan jatuhnya pemerintahan Sueharto Tahun 1998, pelaksanaan Pemilu Tahun 1999 yang disiapkan dalam waktu singkat, terlaksana dengan relatif bebas, jujur dan adil khususnya jika dibandingkan dengan pemilu sebelumnya pada rezim Orde Baru. Meskipun

32 Ibid., 43

33 Mulyana W, Kusumah, dkk, Menata Politik Paska Reformasi, (Jakarta: KIPP Indonesia, 2000), 1-2

34

demikian, Pemilu tahun 1999 baru merupakan pancangan awal menuju ke arah terbentuknya tatanan politik yang demokratis , suatu tatanan politik yang mampu menjamin tegaknya hak-hak politik rakyat sebgai cerminan dari prinsip kedaulatan rakyat.

Pemilu tahun 1999, jelas baru langkah awal dan belum mampu menjadi sarana partisipasi politik rakyat, harusnya Pemilu merupakan aktualisasi nyata demokrasi dimana rakyat bisa menyatakan kedaulatannya terhadap negara dan pemerintahannya.

Melalui Pemilu ini, rakyat menentukan siapa yang menjalankan dan mengawasi jalannya pemerintahan negara. Di sini, rakyat memilih dan melakukan pengawasan terhadap wakil-wakilnya. Hanya saja persiapan Pemilu 1999 perangkat peraturan perundang-undangannya masih memihak status quo dan tidak mencerminkan amanat reformasi.

Sekurang-kuranganya ada dua penjelasan, Pertama, Pemilu dipersiapkan secara tergesa-gesa sehingga tidak memberikan kesempatan kepada partai politik untuk melakukan sosialisasi program kepada masyarakat luas. Kedua, perangkat perundang-undangan yang disiapkan masih biasa kepentingan partai yang Orde Baru.34

Kembali ke soal sistem pengisian anggota badan perwakilan, secara teoretis pada umumnya cara yang bisa dianut melalui pengangkatan atau penunjukan, biasa disebut dengan sistem pemilihan organis dan pemilihan umum yang biasa disebut sistem pemilihan mekanis. Tetapi pelaksanaan kedua sistem tersebut tidak sama disemua

34 Ni’matul Huda dan M.Imam Nasef, Penataan Demokrasi., 45

negara, karena biasanya disesuaikan dengan masing-masing negara. Menurut Wolholf dalam sistem Organisme ” Rakyat dipandang sebagai sejumlah individu yang hidup bersama-sama dalam beraneka warna persekutuan hidup seperti genealogi (rumah tangga), dan teritorial (desa, kota, daerah), fungsional spesial (cabang industri), lapisan-lapisan masyarakat dipandangnya sebagai suatu organisasi yang terdiri dari organ-organ yang mempunyai kedudukan dan fungsi tertentu dalam totaliter organisasi itu.

Persekutuan-persekutuan hidup inilah sebagai pengendali hak pilih untuk mengutus wakil-wakil kepada Perwakilan Masyarakat (rakyat).Menurut Wolhof, rakyat dipandang sebagai massa individu-individu yang sama. Individu-individu inilah sebagai sebagai pengendali hak pilih aktif sebagai masing-masing mengeluarkan satu suara dalam tiap pemilihan untuk satu Lembaga Perwakilan. Sistem pemilihan mekanis biasanya dilaksanakan dengan dua sistem pemilihan umum, yaitu: sistem proporsional dan sistem distrik.

Sistem pemilihan Proporsional adalah suatu sistem pemilihan dimana kursi yang tersedia diperlemen dibagikan kepada partai-partai politik (organisasi peserta pemilihan umum) sesuai dengan imbangan perolehan suara yang didapat partai politik /organisasi peserta pemilihan bersangkutan. Karena itu sistem pemilihan umum ini disebut juga dengan sistem berimbang. Dalam sistem proporsional, wilayah negara merupakan satu daerah pemilihan. Akan tetapi, karena luasnya wilayah negara dan jumlah penduduk warga negara yang cukup banyak, maka wilaya itu dibagi atas daerah-daerah pemilihan (misalnya, provinsi menjadi satu daerah pemilihan). Kepada daerah-daerah pemilihan

36

ini dibagikan sejumlah kursi yang harus diperebutkan, luas daerah pemlihan, perimbangan politik, dan sebagainya. Jumlah kursi yang diperebutkan masing-masing daerah pemilihan lebih dari satu, karena itu sistem proporsional ini disebut dengan

“Multi-member constituency”. Sisa suara dari masing-masing peserta pemilihan umum di daerah pemilihan tertentu tidak dapat lagi digabungkan dengan sisa suara di daerah pemilihan lainnya.35

Sedangkan sistem pemilihan Distrik adalah suatu sistem pemilihan dimana wilayah negara dibagi atas distrik-distrik pemilihan yang jumlahnya sama degan kursi yang tersedia diparlemen. Setiap distrik pemilihan hanya memilih satu orang wakil dari calon-calon yang diajukan oleh masing-masing partai politik/organisasipesrta pemilihan umum. Karrena itu sistem ini juga disebut “Single-member constituency”. Yang jadi pemenangnya adalah yang memperoleh suara terbanyak (mayoritas) dalam distrik tersebut.36

Sejarah politik Indonesia menunjukkan bahwa usaha-usaha untuk menggunakan sistem Pemilu pluralitas/mayoritas untuk memilih anggota parlemen atau DPR selalu tida membuahkan hasil yang maksimal. Perubahan Ketiga UUD 1945 Pasal 22 E aayt (3) menyatakan:”Peserta pemilihan umum untuk memilih anggota Dewan perwakilan Rakyat dan anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah adalah partai politik”. Dengan ketentuan bahwa peserta pemilu untuk memilih annggota DPR dan DPRD adalah partai

35 Ibid., 46

36 Bintan R. Saragih, Lembaga Perwakilan dan Pemilihan Umum di Indonesia, (Jakarta: Gaya Media Pratama, 1998), 180

politik, maka dengan sendirinya konstitusi menegaskan bahwa sistem Pemilu yang digunakannya adalah sistem pemilu proporsional.37 Dalam konteks Indonesia, sistem

politik, maka dengan sendirinya konstitusi menegaskan bahwa sistem Pemilu yang digunakannya adalah sistem pemilu proporsional.37 Dalam konteks Indonesia, sistem

Dokumen terkait