• Tidak ada hasil yang ditemukan

Bacillus dan Pseudomonas sebagai kelompok PGPR merupakan genus yang paling banyak diteliti dan berpotensi tinggi sebagai agens pengendali penyakit tanaman (Compant et al. 2005). Keduanya dilaporkan mampu menekan patogen secara langsung dengan mengeluarkan senyawa antibiotik dan induksi ketahanan sistemik pada tanaman.

Genus Pseudomonas adalah bakteri yang dapat ditemukan pada hampir semua media alami dan tahan terhadap senyawa yang bersifat menghambat

11

pertumbuhan bakteri lain sehingga mudah diisolasi. Bakteri ini mampu mendominasi daerah rizosfer dan berkembang sangat cepat, bersifat gram negatif, motil, aerob/fakultatif anaerob (Pelczar dan Chan 1986). Pseudomonas sp. banyak dilaporkan sebagai penghasil fitohormon dalam jumlah besar khususnya Indole Acetic Acid (IAA). IAA merupakan hormon pertumbuhan kelompok auksin yang berguna untuk merangsang pertumbuhan tanaman. Auksin berfungsi untuk meningkatkan pertumbuhan sel batang, menghambat proses pengguguran daun, merangsang pembentukan buah, serta merangsang pertumbuhan kambium dan menghambat pertumbuhan tunas ketiak (Tjondronegoro et al. 1989). Pseudomonas sp. juga diketahui dapat memproduksi asam salisilat yang mampu mengendalikan virus nekrotik tembakau (Tobacco Necrotic Virus/TNV) pada tembakau (Maurhofer et al. 1994).

Genus Bacillus merupakan kelompok bakteri yang sering diteliti untuk pengembangan secara komersial karena dapat menghasilkan endospora yang mampu bertahan dalam waktu lama dan toleran terhadap suhu dan pH ekstrim (Blackman et al. 1997 dalam Zehnder et al. 2000). Bakteri ini dimasukkan kedalam divisi Bakteria, klas Shizomycetes, ordo Eurobakteria dan famili Bacilliaceae (Hadioetomo 1985). Sifat bakteri ini adalah berbentuk batang, bersifat gram positif, motil, mampu membentuk endospora, menghidrolisa karbohidrat, mampu tumbuh pada suhu 5°C-55°C dan pH 5.6. Keunggulan Bacillus jika dibandingkan dengan bakteri antagonis lain adalah bakteri ini mampu menghasilkan endospora yang tahan terhadap suhu yang tinggi dan rendah, pH yang ekstrim, dan waktu penyimpanan yang lama. Menurut (Zehnder et al 2000) B. pumilis strain INR-7 dapat mengurangi gejala layu bakteri pada tanaman mentimun. Timmusk et al. ( 1999) melaporkan bahwa Bacillus sp. dapat menghasilkan hormon kelompok sitokinin. Sitokinin dapat memacu pembelahan sel, mendorong diferensiasi tajuk pada kultur jaringan, mendorong pertumbuhan tunas samping dan perluasan daun, perkembangan kloroplas, menunda penuaan daun, dan bersama IAA, sitokinin dapat merangsang pembelahan sel secara cepat (Tjondronegoro et al. 1989). Banyak dilaporkan juga bahwa Bacillus sp. dapat memfiksasi nitrogen dan melarutkan fosfat serta memproduksi antibiotik (Kloeper et al. 2004).

Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian dilaksanakan dari bulan Februari hingga November 2009 di lahan petani yang terletak di Desa Cibatok I, Kecamatan Cibungbulang, Kabupaten Bogor. Deteksi dan diagnosis penyakit dilakukan di Laboratorium Mikologi Tumbuhan dan Laboratorium Virologi Tumbuhan Departemen Proteksi Tanaman, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor.

Bahan

Bahan utama yang digunakan dalam penelitian ini adalah isolat bakteri P.

fluorescens PG01 dan B. polymixa BG25 yang merupakan koleksi Klinik Tanaman

Departemen Proteksi Tanaman. Bahan tanaman uji yang digunakan adalah cabai besar IPB C5, cabai rawit IPB C10 yang berasal dari Laboratorium Pemuliaan

Tanaman Departemen Agronomi dan Hortikulturadan cabai keriting varietas Kopay

yang didapat dari petani Payakumbuh, Sumatera Barat.

Metode Pembuatan Suspensi Bakteri

Biakan murni bakteri diambil sebanyak 1 sampai 3 loop dari stok awal dan

digoreskan pada media untuk diremajakan. Bakteri kelompok Pseudomonas sp.

dibiakkan pada media King’s B dan bakteri kelompok Bacillus sp. dibiakkan pada

media Tryptic Soy Agar (TSA). Bakteri yang telah diremajakan diinkubasi pada suhu

ruangan selama 48 jam. Sebanyak 15 loop biakan murni yang didapat diencerkan dalam 100 ml NaCl 0,85% sehingga didapat suspensi bakteri (stok) dengan kepadatan

rata-rata masing-masing 1012 cfu/ml untuk Bacillus dan 1013 cfu/ml untuk

Pseudomonas (Jamaliah 2005). Setelah diperoleh suspensi stok bakteri, dilakukan pengenceran secara bertingkat sehingga didapat suspensi bakteri dengan kepadatan

13

didapat suspensi kombinasi kedua bakteri tersebut (PG01 dan BG25) dengan kepadatan yang sama.

Persiapan Lahan

Percobaan dilakukan pada lahan seluas 500 m2 di lahan petani Desa Cibatok I. Lahan tersebut dibagi ke dalam tiga kelompok. Dari setiap kelompok dibagi lagi menjadi empat petak utama, sesuai dengan perlakuan bakteri yang digunakan yaitu bakteri P. fluorescens (PG01), B. polymixa (BG25), campuran PGPR (PG01+BG25), dan tanpa perlakuan PGPR. Pengacakan taraf pertama dilakukan untuk menempatkan taraf pemberian suspensi bakteri ke dalam petak utama. Setiap dua belas petak utama (empat petak utama dari tiga kelompok) dibagi kedalam tiga anak petak, sesuai dengan taraf genotipe yang digunakan yaitu IPB C10, IPB C5, dan Kopay. Penempatan taraf faktor genotipe ke dalam setiap petak utama dilakukan secara acak. Tanaman uji yang ditanam pada tiap anak petak terdiri dari 20 tanaman, sehingga terdapat total 720 tanaman uji.

Tahapan yang dilakukan dalam persiapan lahan ini dimulai dengan pengolahan tanah secara konvensional. Pengolahan tanah ini bertujuan untuk mendapatkan tanah yang gembur yang sesuai untuk perkembangan akar tanaman, serta menstabilkan peredaran air, udara, dan suhu di dalam tanah (Prajanta 2002).

Selain pengolahan lahan secara konvensional dilakukan pula penyiapan bedengan dan pemasangan mulsa. Pembuatan bedengan dilakukan dengan cangkul, tali plastik, dan patok agar rapi. Setelah menentukan ukuran bedengan, dilakukan penggalian selokan disekeliling bedengan dan tanah galian tersebut dibuang ke atas bedengan. Tanah tersebut kemudian diratakan. Setelah bedengan rapi, dilakukan pemberian pupuk dasar. Pupuk dasar ini terdiri atas pupuk kandang dan pupuk buatan. Setelah pemupukan dasar dilakukan, bedengan siap ditutup dengan mulsa plastik. Lebar mulsa yang digunakan dalam percobaan sesuai dengan lebar bedengan yaitu 70 x 50 cm. Mulsa yang dipakai adalah mulsa plastik hitam perak. Pemasangan mulsa dimulai pada salah satu ujungnya dengan cara dijepit menggunakan pasak dari

bambu yang dilengkungkan (membentuk huruf U). Setelah pemasangan mulsa selesai maka dilanjutkan dengan pelubangan mulsa. Proses pelubangan dilakukan tiga hari menjelang bibit dipindah tanam. Cara untuk membuat lubang tanam yaitu dengan menggunakan kaleng bekas susu yang salah satu ujungnya telah digunting, kemudian diisi arang yang sudah membara ke dalam kaleng tersebut. Kaleng ditempelkan kepermukaan mulsa plastik yang sudah ditandai untuk lubang tanam.

Perlakuan PGPR

Benih cabai yang sebelumnya telah dicuci kemudian dimasukkan ke dalam suspensi bakteri dengan kepadatan 106cfu/ml dan dibiarkan selama 10 jam pada suhu ruang. Sebagai perlakuan kontrol, benih cabai direndam dalam 10 ml NaCl 0,85% selama 10 jam.

Benih yang telah direndam disebar pada baki semai yang berisi media tanam berupa campuran tanah dan pupuk kandang dengan perbandingan 1:2 (v/v). Empat minggu setelah sebar bibit dipindah tanam ke lahan.

Satu minggu setelah tanam (MST), dilakukan penyiraman suspensi bakteri dengan kepadatan 109cfu sebanyak 100 ml per tanaman. Penyiraman dilakukan kembali pada 1,3, dan 6 minggu setelah tanam (MST). Pemupukan dilakukan pada saat tanaman berumur lima minggu dengan pupuk majemuk NPK (15-15-15) dengan dosis 5 g/tanaman.

Pengamatan Pertumbuhan, Produksi Tanaman, dan Kejadian Penyakit

Peubah pengamatan terkait pertumbuhan vegetatif, yaitu: tinggi tanaman, jumlah cabang, dan jumlah daun, diukur mulai 1 hingga 8 MST. Peubah pengamatan terkait produksi tanaman, yaitu bobot buah/tanaman dan jumlah buah/tanaman diukur pada 13 MST.

Pengamatan tinggi tanaman dilakukan setiap minggu, dengan cara mengukur tinggi tanaman mulai dari kotiledon sampai pucuk tertinggi. Jumlah cabang diukur dengan menghitung cabang utama yang berada di atas batang utama dan cabang sekunder yang berada di atas cabang utama. Pengamatan tersebut dilakukan bersamaan dengan pengukuran tinggi tanaman.

15

Laju pertambahan jumlah daun, jumlah cabang, dan tinggi tanaman dihitung dengan rumus :

Laju pertambahan = P(n+1)-P(n) Keterangan :

P = jumlah daun, jumlah cabang, tinggi tanaman N = waktu pengamatan minggu ke-1,2,…

Pengamatan penyakit penting (layu bakteri, antraknosa, mosaik dan belang) dilakukan dengan menghitung kejadian penyakit. Kejadian penyakit dihitung berdasarkan proporsi tanaman yang terinfeksi patogen dalam suatu populasi tanaman, tanpa memperhitungkan berat atau ringannya tingkat serangan dengan rumus:

KP = n/N x 100% Keterangan :

KP = Kejadian penyakit (%)

n = jumlah tanaman yang terinfeksi penyakit N = jumlah seluruh tanaman atau buah

Deteksi dan Isolasi Cendawan dan Bakteri

Isolasi penyebab penyakit yang disebabkan oleh bakteri dan cendawan masing-masing menggunakan media yang berbeda. Isolasi cendawan menggunakan media potato dextrose agar (PDA) sedangkan isolasi bakteri menggunakan media TSA. Isolasi cendawan dari buah yang menunjukkan gejala dilakukan untuk memastikan adanya infeksi Colletotrichum. Buah cabai yang menunjukkan gejala antraknosa di bersihkan dengan alkohol 70% hingga merata, kemudian dipotong jaringannya. Potongan tersebut dicelupkan kedalam larutan sodium hipoklorit 75%, lalu dikeringkan diatas tissue atau kertas serap steril, selanjutnya potongan tersebut diletakkan ke dalam cawan petri yang telah berisi media PDA. Setelah kurang lebih 2 hari, diamati pertumbuhan miselia, selanjutnya miselia yang terdapat dalam media diambil koloninya untuk diamati dibawah mikroskop.

Untuk mendeteksi penyebab penyakit layu bakteri tahapan kerja yang dilakukan dimulai dengan : mengambil bagian tanaman yang menunjukkan gejala

layu. Bagian yang diisolasi yaitu batang yang dekat dengan bagian akar tanaman. Setelah dibersihkan dengan alkohol 70% bagian jaringan tersebut dipotong kecil-kecil. Selanjutnya potongan tersebut diletakkan kedalam cawan petri yang telah berisi media TSA. Setelah 28 jam media TSA yang telah ditumbuhui oleh koloni bakteri diamati bentuk dan warna koloninya.

Deteksi Virus dengan Metode Double Antibody Sandwich - Enzyme Linked Immunosorbent Assay (DAS-ELISA)

Deteksi virus pada tanaman cabai uji dilakukan dengan metode DAS- ELISA (Clark dan Adams 1997). Tahapan deteksi diawali dengan mengambil secara individual daun kedua, ketiga dan keenam dari tiap-tiap tanaman uji sebanyak 0,1 g. Selanjutnya, daun dimasukkan ke dalam plastik gerus dan disimpan dalam lemari pendingin (-80oC) sampai siap untuk pengujian.

Antiserum dipersiapkan dan dicampur dengan coating buffer (pH 9,6). Antiserum yang digunakan adalah ChiVMV (1:1000), CMV (1:1000), dan TMV (1:100). Tiap sumuran diisi dengan antiserum 100 µl. Plat ELISA yang telah terisi diinkubasi selama satu malam pada suhu 4oC. Setelah itu plat dicuci dengan menggunakan phosphate buffer saline tween (PBST) sebanyak 5 kali. Selanjutnya sumuran diisi dengan 100 µl sap tanaman terinfeksi dicampur dengan general extract buffer (pH 7,4) dengan perbandingan 1:5 (b/v). Plat ELISA diinkubasi selama satu malam, kemudian dicuci kembali dengan PBST sampai 5 kali.

Setiap sumuran kemudian diisi dengan enzim konjugat (alkaline phosphate conjugate, sigma) sebanyak 100 µl dengan perbandingan 1:1000 (v/v) dan diinkubasi selama 2-4 jam pada suhu 37oC. Plat ELISA kembali dicuci seperti sebelumnya.

Setiap sumuran selanjutnya diisi dengan 100 µl larutan PNP (para nitriphenil phosphate) dan diinkubasi pada suhu ruang selama 30-60 menit sambil diamati perubahan warna yang terjadi yaitu berubah warna menjadi kuning. Apabila larutan telah berwara kuning maka reaksi dihentikan dengan menambahkan 50 µl NaOH 3 M untuk tiap sumuran. Analisis hasil ELISA secara kuantitatif dilakukan dengan menggunakan ELISA reader dengan spektrofotometer pada panjang gelombang 405 nm. Hasil analisis kuantitatif dengan ELISA reader, digunakan sebagai penentuan

17

reaksi positif dan negatif. Jika nilai absorbansi sampel yang diperoleh lebih besar atau sama dengan 2 kali kontrol negatif maka hasil uji tersebut dinyatakan positif.

Rancangan Percobaan

Percobaan disusun dalam rancangan petak terbagi (split plot design) secara acak kelompok dengan perlakuan bakteri sebagai petak utama dan genotipe sebagai anak petak. Empat taraf petak utama yaitu perlakuan PGPR isolat PG01, BG25, PG01+BG25, dan perlakuan tanpa PGPR sebagai pembanding. Tiga taraf anak petak yaitu IPB C10, IPB C5, dan Kopay. Pada percobaan terdapat 12 kombinasi perlakuan, masing-masing perlakuan terdiri dari tiga ulangan, sehingga terdapat 36 satuan percobaaan. Masing-masing satuan percobaan terdiri dari 20 tanaman, dengan jumlah keseluruhan adalah 720 tanaman uji.

Analisis Data

Data yang diperoleh dari pengamatan dianalisis dengan menggunakan program SAS for Windows v 9.1melalui Analisys of Variance (ANOVA). Apabila data menunjukkan pengaruh nyata maka dilanjutkan dengan uji lanjut DMRT (Duncan Multiple Range Test) pada taraf 5% (ά = 0,05).

Pengaruh Perlakuan PGPR dan Genotipe Cabai terhadap Tinggi Tanaman

Bakteri perakaran pemacu pertumbuhan (PGPR) yang diaplikasikan pada tanaman umumnya dapat memberikan pengaruh dalam menginduksi pertumbuhan dan ketahanan tanaman terhadap infeksi patogen. Pengaruh induksi ketahanan ini terlihat pada pengamatan persentase kejadian penyakit pada masing-masing perlakuan dan genotipe cabai. Karakter pertumbuhan tanaman yang mendapat perlakuan PGPR pun secara umum pertumbuhannya lebih baik bila dibandingkan dengan tanaman tanpa perlakuan PGPR. Hal ini dikarenakan PGPR mampu meningkatkan pertumbuhan tanaman secara langsung melalui hormon-hormon pertumbuhan yang dihasilkan seperti Giberelin (GAs) dan indole 3-acetic acid (IAA). Disamping itu PGPR juga mampu mensintesis sitokonin dan beberapa fitohormon lain (Nelson 2004).

Secara umum rata-rata tinggi tanaman yang diberi perlakuan PGPR menunjukkan perbedaan yang nyata dibandingkan perlakuan tanpa PGPR (Lampiran 1). Hal ini mengindikasikan bahwa PGPR mampu meningkatkan pertumbuhan tinggi tanaman cabai. Namun demikian, tidak menunjukkan pengaruh yang berbeda nyata terhadap interaksi antara perlakuan PGPR dan genotipe cabai. Selanjutnya analisis statistik dilakukan secara terpisah untuk perlakuan PGPR dan genotipe cabai. Pengaruh perlakuan PGPR mulai tampak pada 6 MST. Pada umur 6-8 MST semua perlakuan PGPR menunjukkan perbedaan yang nyata dibandingkan dengan perlakuan tanpa PGPR, walaupun perlakuan masing-masing PGPR baik P. fluorescens (PG01), B. polymixa (BG25), maupun campuran keduanya (PG01+BG25) tidak menunjukkan perbedaaan yang nyata terhadap tinggi tanaman cabai (Tabel 1).

19

Tabel 1 Pengaruh perlakuan PGPR terhadap tinggi tanaman cabai Waktu pengamatan

(MST)

Tinggi tanaman (cm) pada tiap perlakuan PGPR PG 01 BG 25 PG01+BG25 Tanpa PGPR

1 8,39ab 8,17ab 8,74a 7,96b

2 17,01ac 17,49ab 17,85a 16,58c

3 28,25ab 29,64a 30,88a 25,64b

4 38,95b 39,63b 44,25a 36,16b

5 49,69ab 50,42ab 55,95a 45,61b

6 60,14a 59,35a 65,48a 52,53b

7 69,45ab 67,88b 74,40a 58,84c

8 78,93ab 75,54b 84,05a 65,97c

*nilai yang diikuti oleh huruf yang sama pada baris yang sama tidak menunjukkan perbedaan yang nyata menurut uji DMRT pada taraf 5%

Masing-masing genotipe (IPB C5, IPB C10, dan Kopay) memiliki potensi yang berbeda untuk sifat tinggi tanaman. Pengaruh genotipe cabai terhadap tinggi tanaman terlihat berbeda nyata mulai 4 MST (Lampiran 1). Di akhir pengamatan genotipe Kopay dan IPB C5 cenderung lebih tinggi dibandingkan dengan dua genotipe lainnya ,IPB C5 dan IPB C10 (Tabel 2).

Tabel 2 Pengaruh genotipe cabai terhadap tinggi tanaman cabai Waktu pengamatan

(MST)

Tinggi tanaman (cm) pada tiap genotipe*

IPB C10 IPB C5 Kopay

1 8,69a 7,65b 8,60a

2 17,13a 16,90a 17,68a

3 27,24b 28,52ab 30,06a 4 36,74b 40,05a 42,45a 5 46,58c 50,60b 54,07a 6 54,59b 60,06a 63,48a 7 62,41b 68,56a 71,95a 8 70,82b 77,32a 80,22a

*nilai yang diikuti oleh huruf yang sama pada baris yang sama tidak menunjukkan perbedaan yang nyata menurut uji DMRT pada taraf 5%

Gambar 1 Pengaruh perlakuan PGPR terhadap laju pertambahan tinggi tanaman cabai

Laju pertambahan tinggi tanaman menunjukkan pola yang sama untuk perlakuan PGPR. Laju pertambahan tinggi tanaman meningkat hingga minggu terakhir pengamatan (8 MST). Berbeda dengan perlakuan PGPR, laju pertambahan tinggi tanaman tanpa PGPR meningkat hingga minggu ke 5 kemudian menurun pada minggu ke 6 dan meningkat lagi pada minggu ke 7. Perlakuan PGPR menyebabkan laju pertambahan tinggi tanaman lebih tinggi dibandingkan perlakuan tanpa PGPR (Gambar 1).

Pengaruh Perlakuan PGPR dan Genotipe Cabai terhadap Jumlah Cabang Perlakuan PGPR pada masing-masing genotipe cabai memberikan pengaruh yang berbeda nyata pada jumlah cabang ( Lampiran 2). Namun tidak ada pengaruh yang nyata untuk interaksi antara perlakuan PGPR dan genotipe terhadap jumlah cabang. Analisis statistik dilakukan secara terpisah untuk mengkaji pengaruh perlakuan PGPR dan genotipe cabai. Perbedaan mulai tampak pada saat tanaman berumur 4 MST (Tabel 3). Jumlah cabang pada perlakuan PGPR baik tunggal maupun campuran, lebih tinggi dibandingkan pada perlakuan tanpa PGPR. Pada akhir pengamatan, tanaman dengan perlakuan PGPR memiliki jumlah cabang mencapai 6.36 untuk PG01, 7.03 untuk BG25, dan 7.30 untuk campuran PGPR (PG01+BG25), sementara tanaman dengan perlakuan tanpa PGPR hanya mencapai 4,87 cabang.

21

Tabel 3 Pengaruh perlakuan PGPR terhadap jumlah cabang tanaman cabai Waktu pengamatan

(MST)

Jumlah cabang pada tiap perlakuan PGPR* PG 01 BG 25 PG01+BG25 Tanpa PGPR

1 1,00a 1,00a 1,00a 1,00a

2 1,00a 1,00a 1,00a 1,00a

3 1,48a 1,48a 1,54a 1,34a

4 3,23b 3,40ab 3,83a 2,62c

5 4,43a 5,00a 5,23a 3,45b

6 6,36a 7,03a 7,30a 4,87b

*nilai yang diikuti oleh huruf yang sama pada baris yang sama tidak menunjukkan perbedaan yang nyata menurut uji DMRT pada taraf 5%

Pengaruh genotipe cabai terhadap jumlah cabang terlihat berbeda nyata mulai 4 MST (Lampiran 9). Jumlah cabang yang dimiliki genotipe IPB C5 dan Kopay tidak berbeda nyata selama 6 minggu pengamatan, tetapi berbeda nyata dengan genotipe IPB C10 (Tabel 4). Diantara ketiga genotipe, IPB C10 memiliki jumlah cabang paling rendah yaitu sebesar 6,09.

Tabel 4 Pengaruh genotipe cabai terhadap jumlah cabang tanaman cabai Waktu pengamatan

(MST)

Jumlah cabang pada tiap genotipe*

IPB C10 IPB C5 Kopay

1 1,00a 1,00a 1,00a

2 1,00a 1,00a 1,00a

3 4,63a 5,01a 4,49a

4 2,98b 3,46a 3,32a

5 4,24b 4,65a 4,61a

6 6,09b 6,52a 6,44a

*nilai yang diikuti oleh huruf yang sama pada baris yang sama tidak menunjukkan perbedaan yang nyata menurut uji DMRT pada taraf 5%

Laju pertambahan jumlah cabang menunjukkan pola yang sama untuk perlakuan PGPR maupun tanpa PGPR. Laju pertambahan jumlah cabang meningkat pesat hingga minggu ke-3 kemudian menurun pada minggu ke-4 dan meningkat lagi pada minggu ke-5. Perlakuan PGPR menyebabkan laju pertambahan jumlah cabang lebih tinggi dibandingkan perlakuan tanpa PGPR (Gambar 2).

Gambar 2 Pengaruh perlakuan PGPR terhadap laju pertambahan jumlah cabang tanaman cabai

Penurunan laju pertambahan jumlah cabang pada minggu ke empat disebabkan oleh adanya gangguan lingkungan saat di lapangan yang menyebabkan cabang tanaman menjadi patah. Perlakuan campuran PGPR lebih berpengaruh terhadap laju pertambahan jumlah cabang karena adanya kombinasi kedua PGPR. Pseudomonas sp. merupakan penghasil fitohormon dalam jumlah yang besar khususnya IAA untuk merangsang pertumbuhan (Asghar et al. 2004), sedangkan B. polymixa menghasilkan hormon sitokinin (Timmusk et al. 1999), jika bersama IAA, sitokinin dapat merangsang pembelahan sel secara cepat.

Pengaruh Perlakuan PGPR dan Genotipe Cabai terhadap Jumlah Daun

Pengamatan terhadap jumlah daun menunjukkan bahwa perlakuan PGPR tidak memberikan pengaruh yang berbeda nyata dibandingkan perlakuan tanpa PGPR (Lampiran 3). Hal tersebut menunjukkan tidak ada interaksi antara perlakuan PGPR dan genotipe. Walaupun demikian, jumlah daun cenderung lebih tinggi pada tanaman yang diberi perlakuan PGPR (Tabel 5).

23

Tabel 5 Pengaruh perlakuan PGPR terhadap jumlah daun cabai Waktu pengamatan

(MST)

Jumlah Daun pada tiap perlakuan PGPR*

PG 01 BG 25 PG01+BG25 Tanpa PGPR

1 3,47b 5,30ab 4,12ab 6,04a

2 7,409a 7,80a 7,19a 8,34a

3 13,09a 14,76a 15,69a 16,06a

4 31,94a 34,80a 46,38a 31,29a

5 55,07a 49,41a 66,71a 47,47a

6 93,75a 81,15a 93,76a 70,57a

*nilai yang diikuti oleh huruf yang sama pada baris yang sama tidak menunjukkan perbedaan yang nyata menurut uji DMRT pada taraf 5%

Masing-masing genotipe cabai memiliki potensi genetik yang bervariasi untuk sifat jumlah daun. Perbedaan jumlah daun yang nyata antar genotipe terjadi pada 4 MST (Tabel 6). Pada akhir pengamatan (6 MST) genotipe Kopay memiliki jumlah daun tertinggi (93 helai daun) diikuti berturut-turut oleh IPB C5 (85 helai daun) dan IPB C10 (74,81 helai daun).

Tabel 6 Pengaruh genotipe cabai terhadap jumlah daun cabai Waktu pengamatan

(MST)

Jumlah daun pada tiap genotipe*

IPB C10 IPB C5 Kopay

1 4,63b 5,05a 4,52b

2 7,84ab 7,98a 7,22b

3 14,02a 15,28a 15,26a

4 30,45c 36,37b 41,05a

5 46,58b 56,50a 60,19a

6 74,81b 85,82a 93,48a

*nilai yang diikuti oleh huruf yang sama pada baris yang sama tidak menunjukkan perbedaan yang nyata menurut uji DMRT pada taraf 5%

Pola laju pertambahan jumlah daun meningkat pesat pada 2 hingga 3 MST, kemudian pada 4 MST laju pertambahan jumlah daun menurun tetapi jumlah daun meningkat lagi pada 5 MST (Gambar 3). Perlakuan campuran PGPR (PG01+BG25) menyebabkan laju pertambahan jumlah daun yang tertinggi hingga 4 MST. Namun diakhir pengamatan perlakuan PGPR PG01 memiliki laju pertambahan jumlah daun tertinggi.

Gambar 3 Pengaruh perlakuan PGPR terhadap laju pertambahan jumlah daun tanaman cabai

Pengaruh Perlakuan PGPR dan Genotipe Cabai terhadap Jumlah dan Bobot Buah Cabai

Umur 13 MST adalah pada saat dilakukan pemanenan. Dari hasil pemanenan dapat dilakukan pengukuran bobot buah dan penghitungan jumlah buah. Pengukuran bobot buah bertujuan untuk mengetahui pengaruh perlakuan pemberian bakteri terhadap buah cabai. Dengan adanya pemberian bakteri diharapkan dapat meningkatkan mutu buah cabai baik dari segi kuantitas maupun kualitas. Penghitungan jumlah buah dilakukan untuk mengetahui jumlah buah dalam bobot buah per tanaman sehingga bisa diketahui kualitas buah cabai.

Perlakuan PGPR tidak memberikan pengaruh yang nyata terhadap bobot buah dan jumlah buah cabai. Hal tersebut menunjukkan tidak ada interaksi antara perlakuan PGPR dan genotipe, sehingga analisis statistik dilakukan secara terpisah untuk mengkaji pengaruh perlakuan PGPR dan genotipe cabai. Walaupun demikian, tanaman yang diberi perlakuan PGPR umumnya mampu memberikan hasil panen yang lebih tinggi dibanding tanaman tanpa perlakuan PGPR (Tabel 7). Bobot dan jumlah buah tertinggi terdapat pada perlakuan PGPR PG01 dengan bobot buah sebesar 129,57 g/tanaman dengan jumlah 25 buah pertanaman. Hal ini

25

dikarenakan P. fluorescens dapat menghasilkan hormon auksin yang dapat merangsang pembentukan buah (Timmusk et al. 1999). Demikian pula dengan perlakuan PGPR campuran (PG01 + BG25), mampu menghasilkan buah dengan bobot dan jumlah yang lebih tinggi dibanding dengan tanpa PGPR. Dapat disimpulkan bahwa perlakuan PGPR mampu mempengaruhi produksi buah.

Tabel 7 Pengaruh perlakuan PGPR terhadap jumlah dan bobot buah cabai

Perlakuan Bobot Buah

(g/tanaman)* Jumlah Buah (buah/tanaman)* PG01 129,57a 25,69a BG25 95,28a 25,21a PG01+BG25 119,69a 25,46a

Tanpa PGPR 103,19a 24,57a

*nilai yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom yang sama tidak menunjukkan perbedaan yang nyata menurut uji DMRT pada taraf 5%

Genotipe memberikan pengaruh yang berbeda nyata terhadap bobot buah dan jumlah buah (Lampiran 21). Genotipe IPB C5 memiliki bobot buah terbesar yaitu 186,88 g/tanaman sedangkan genotipe IPB C10 memiliki bobot buah terkecil yaitu 39,00 g/tanaman. Sebaliknya, jumlah buah yang dihasilkan oleh genotipe IPB C10 memiliki nilai terbesar yaitu 25,90 buah/tanaman, sedangkan genotipe Kopay dan IPB C5 memiliki jumlah buah berturut-turut 25,76 dan 24,03 buah/tanaman (Tabel 8). Adanya perbedaan jumlah dan bobot buah yang dihasilkan oleh tanaman dipengaruhi oleh faktor genotipe dan jenis dari masing-masing genotipe tersebut. Genotipe yang memiliki nilai bobot tertinggi adalah genotipe IPB C5, yang merupakan jenis cabai besar, sedangkan genotipe IPB C10 menghasilkan jumlah buah terbanyak karena IPB C10 adalah genotipe yang termasuk dalam jenis cabai rawit.

Tabel 8 Pengaruh genotipe cabai terhadap bobot dan jumlah buah

Genotipe Bobot Buah

(g/tanaman)* Jumlah Buah (buah/tanaman)* IPB C10 39,00c 25,90a IPB C5 186,88a 24,03b Kopay 109,92b 25,76a

*nilai yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom yang sama tidak menunjukkan perbedaan yang nyata menurut uji DMRT pada taraf 5%

Rendahnya produksi cabai selain disebabkan oleh adanya infeksi patogen, juga disebakan oleh kurang baiknya cara budidaya tanaman yaitu dalam proses

Dokumen terkait