• Tidak ada hasil yang ditemukan

Fokus Masalah

Dalam dokumen T E S I S. Oleh. Hubari Gulo NIM (Halaman 32-200)

BAB I. PENGANTAR

1.2. Fokus Masalah

Dalam penelitian ini, penulis terlebih dahulu menentukan beberapa hal yang menjadi fokus permasalahan agar penelitian ini lebih terarah. Adapun fokus kajian yang sekaligus menjadi batasan tulisan ini adalah :

1.2.1 Bagaimanakah fungsi penyajian Hoho Faluaya sebagai bentuk tradisi musik lisan dalam konteks ritual adat masyarakat di Nias Selatan;

1.2.2 Bagaimanakah struktur teks Hoho Faluaya dalam konteks ritual adat masyarakat di Nias Selatan;

1.2.3 Bagaimanakah struktur musikal Hoho Faluaya yang meliputi tangga nada (scale), jumlah pemakaian nada, wilayah nada (range), jarak antar nada (interval), pola-pola kadens dan kontur serta analisis yang menjadi fenomena musikal.

17

1.3 Tujuan dan Manfaat Penelitian

Adapun penelitian ini bertujuan untuk :

1.3.1 Menjelaskan fungsi penyajian Hoho Faluaya sebagai bentuk tradisi musik lisan dalam konteks ritual adat masyarakat di Nias Selatan;

1.3.2 Menjelaskan struktur teks Hoho Faluaya dalam konteks ritual adat masyarakat di Nias Selatan;

1.3.3 Menjelaskan struktur musikal Hoho Faluaya yang meliputi tangga nada (scale), jumlah pemakaian nada, wilayah nada (range), jarak antar nada (interval), pola-pola kadens dan kontur.

Adapun manfaatnya adalah sebagai bahan rujukan bagi masyarakat dan pemerintah dalam usaha pelestarian seni budaya Nias, dan melengkapi perbendaharaan musik Nias dalam masyarakat luas khususnya tentang Hoho Faluaya. Dan sebagai bahan dokumentasi tradisi sastra dan musik lisan yang akhirnya dapat dibaca pada perpustakaan perguruan tinggi dan sebagai upaya memperlihatkan kepada masyarakat Nias khususnya dan Indonesia umumnya dalam memahami nilai-nilai budaya yang luhur sebagai bentuk kearifan lokal dari Hoho Faluaya.

1.4 Tinjauan Pustaka

Sebelum melakukan kerja lapangan terlebih dahulu penulis melakukan studi kepustakaan, yakni dengan mempelajari literatur (buku, skripsi, artikel, makalah, majalah) tentunya yang berkaitan dengan obyek pembahasan yang akan

18

diteliti yakni “Tradisi Lisan Hoho Faluaya Dalam Masyarakat Nias di Desa Bawömataluo Kecamatan Fanayama Kabupaten Nias Selatan: Analisis Teks dan Struktur Musik”.

Kenyataan yang ada pada kebudayaan tradisi lisan masyarakat Nias, di Sumatera Utara. Sebagaimana umumnya tradisi lisan yang ada di Indonesia, tradisi lisan Nias yang memiliki unsur musik (vokal) juga memadukannya dengan gerak dan disebut Hoho Faluaya secara fungsional sangat terkait langsung dengan berbagai upacara adat tradisi yang telah dianut secara turun temurun oleh etnis Nias. Perlu ditegaskan bahwa sepanjang pengetahuan penulis sampai saat ini, buku yang secara khusus berintikan tentang Tradisi Lisan Hoho Faluaya Nias Selatan belum pernah ditemukan. Oleh karena itu, buku-buku yang berkaitan dengan kebudayaan musik Nias secara umum, dan pada bagian tertentu dalam buku tersebut juga berisi tentang Hoho Faluaya, layak untuk dipertimbangkan.

Tinjauan terhadap buku-buku yang membahas tentang teks hoho, penulis mengunjungi tulisan Hammerle (1986), dalam bukunya “Famatö Harimao” yang menuliskan bagaimana deskripsi dari pesta harimau, fondrakhö börönadu dan kebudayaan lainnya di wilayah Maena Mölö Nias Selatan. Dalam buku ini penulis dapat melihat bagaimana penyajian Faluaya dalam konteks upacara adat.

Berikutnya Hammerle (1995), bukunya “Hikaya Nadu” telah mengumpulkan hoho dari beberapa daerah di Nias yang berhubungan dengan berbagai jenis patung yang disembah dan dipuja oleh masyarakat Nias. Masih Hammerle (1990),

“Omo Sebua” membangun rumah adat yang diekspresikan melalui hoho.

Selanjutnya Hammerle (1990), “Asal Usul Masyarakat Nias” Suatu Interpretasi,

19

dimana banyak pandangan dari masyarakat Nias sendiri tentang asal usul hadirnya orang Nias di Pulau Nias.

Sadieli (2006), dalam bukunya “Representasi Budaya Nias Dalam Tradisi Lisan”, dimana beliau melihat fungsi dan makna dari hoho yang berkaitan dengan mitos asal usul kejadian (MAUK). Pengertian, bentuk, dan jenis-jenis hoho penulis jadikan pendekatan untuk melihat Hoho Faluaya.

Secara umum di Nias beberapa contoh musikal baik vokal maupun instrumen sudah pernah didokumentasikan oleh Japp Kunt (1939), dalam bukunya

“Music In Nias” selanjutnya penulis jadikan pendekatan dalam menganalisis struktur musik vokal (Hoho Faluaya).

Tujuan studi kepustakaan ini agar penulis memperoleh konsep, teori dan informasi yang dapat menjadi bahan acuan atau bandingan bagi penulis untuk mengupas permasalahan. Studi kepustakaan ini juga sebagai landasan bagi penulis dalam penelitian, dan buku-buku tersebut dapat dilihat di bagian daftar pustaka dari tesis ini.

1.5 Konsep dan Teori 1.5.1 Konsep

Konsep maupun pengertian, merupakan unsur pokok dari sebuah penelitian. Bila masalahnya serta kerangka teoritisnya sudah jelas, maka dengan mudah dapat diketahui pula fakta mengenai gejala-gejala yang merupakan pusat perhatian. Defenisi konsep itu sendiri secara singkat berarti sekelompak fakta atau

20

gejala (Koentjaraningrat 1981:32). Seperti yang dikatakan oleh R.Merton bahwa konsep adalah definisi dari apa yang perlu diamati. Konsep menentukan antara variabel-variabel mana kita ingin menentukan adanya hubungan empiris (ibid 1981:32).

Tradisi Lisan adalah semua kesenian, pertunjukan atau permainan yang menggunakan tuturan atau disertai ucapan lisan dalam konvensi budaya masyarakat (Sibarani, 2000). Selanjutnya disebutkan bahwa jika suatu kesenian, pertunjukan atau permainan tidak menggunakan atau tidak disertai tuturan atau ucapan lisan, maka itu tidak termasuk tradisi lisan. Sebaliknya, jika suatu cerita tidak lagi ditradisikan (dipertunjukkan atau dibiasakan dihadapan masyarakat pendukungnya) maka itu tidak lagi termasuk ke dalam tradisi lisan meskipun itu dahulu termasuk tradisi lisan, dan meskipun itu pada suatu saat potensial menjadi tradisi lisan.

Tradisi lisan tidak hanya dimaksudkan sebagai bagian dari informasi atau komunikasi untuk diteliti, didokumentasikan, dan untuk kepentingan sendiri melainkan harus menjadi yang pertama dan utama untuk memahami secara kontekstual keterhubungan struktur sosial (Chamarik, 1999). Tradisi lisan merupakan perangkat pengetahuan dan pembelajaran tentang budaya masa lalu dan fakta kehidupan manusia. Tradisi lisan juga menjadi sumber kekuasaan.

Tradisi lisan adalah sumber asli pembelajaran dan oleh karena itu memungkinkan pengembangan nilai-nilai sehingga menjadi penghubung keberadaannya. Tradisi lisan merupakan ekspresi gaya hidup yang tidak tertulis (unletterd) yang dapat

21

digunakan untuk merekonstruksi kehidupan masyarakat saat sekarang. (Periksa Sadieli, 2006: 31)

Hoho adalah salah satu jenis tradisi lisan masyarakat Nias berbentuk syair-syair yang biasa diturturkan dalam berbagai peristiwa sosial-budaya di kalangan masyarakat Nias. Hal ini sejalan dengan pendapat Hammerle (1999: 25) bahwa hoho dalam berbagai versi merupakan salah satu tradisi lisan Nias yang dapat dijadikan rujukan dalam memahami kebudayaan lama mereka. Hoho ini telah berurat berakar dalam kehidupan mereka sehari-hari. Seluruh kehidupan masyarakat Nias pada zaman dahulu diatur oleh hoho yang dituturkan ini. Itulah sebabnya mereka sering membedakan antara agama, pemerintah, dan adat. Istilah yang sering terdengar yaitu sara lala agama, sara fareta, sara lala hada (lain cara agama, lain cara pemerintah, dan lain cara adat).

Hoho Faluaya merupakan salah satu bagian dari beberapa jenis hoho yang ada pada masyarakat Nias, dan khusus hanya ada di daerah Nias Selatan.

Hoho jenis ini disajikan untuk merefleksikan suatu kekuatan yang dimiliki masyarakat Nias Selatan dalam mempertahankan wilayah mereka dari serangan musuh. Faluaya mempunyai pengertian gerakan atau tarian perang, dimana dalam penyajiannya dilakukan sambil menyanyikan apa yang dituturkan (di-hoho-kan).

Di dalam penyajian Hoho Faluaya terdapat tiga jenis hoho yakni, Hoho Fu’alö, Hoho Fadölihia, dan Hoho Siöligö.

Dalam menganalisis teks penulis mengkaji gaya bernyanyi yang ada, gaya bahasa, dan melihat makna-makna yang terkandung di dalamnya. Konsep

22

teks yang penulis maksudkan hanya tertuju pada teks hoho yang diciptakan dan dinyanyikan oleh penyaji hoho (sondroro hoho).

Adanya teks lagu atau syair, dan melodi dalam Hoho Faluaya menunjukkan bahwa Hoho Faluaya merupakan bagian dari suatu kegiatan kesenian yang dinikmati oleh manusia dengan telinga yang disebut seni suara (Koentjaraningrat 1980:395-396)

Analisis stuktur musik dapat dikonsepkan sebagai bagian-bagian dari suatu komposisi musik yang terintegrasi menjadi satu bentuk yang estetik (lihat Kamus Besar Bahasa Indonesis 1998). Struktur musik yang penulis maksudkan di sini adalah mencakup aspek melodi dan ritme dari kelima jenis musikal (fohuhugö, hivfagö, hoho fu’alö, hoho fadölihia dan hoho siöligö) yang ada pada penyajian Hoho Faluaya. Kedua besar pokok ini didukung oleh tangga nada, nada dasar, wilayah nada, persebaran nada-nada, interval, pola-pola kadensa, kontur, dan lainnya (Malm 1997).

Masyarakat Nias yang penulis maksudkan adalah sekelompok orang atau manusia yang diikat oleh hukum adat yang disepakati bersama dan telah menjadi salah satu etnis di Indonesia. Dan dalam penelitian ini penulis mengkhususkan kepada etnis Nias yang berdomisili di Desa Bawömataluo Kecamatan Fanayama Nias Selatan.

23

1.5.2 Landasan Teori

Untuk mengkaji sebuah fenomena alam fisik atau sosial, dengan latar belakang masalah tertentu, ada yang relatif sederhana dan ada pula yang kompleks, maka para ilmuwan biasanya menggunakan teori-teori. Teori menurut pendapat Marckward et al., memiliki tujuh pengertian, yaitu: (1) sebuah rancangan atau skema yang terdapat dalam pikiran saja, namun berdasar pada prinsip-prinsip verifikasi dengan cara eksperimen atau pengamatan; (2) sebuah bentuk prinsip dasar ilmu pengetahuan atau penerapan ilmu pengetahuan; (3) abstrak pengetahuan yang selalu dilawankan dengan praktik; (4) penjelasan awal atau rancangan hipotesis untuk menangani berbagai fenomena; (5) spekulasi atau hipotesis, sebagai ide atau yang mengarahkan seseorang; (6) dalam matematika berarti sebuah rancangan hasil atau sebuah bentuk teorema, yang menghadirkan pandangan sistematis dari beberapa subjek; dan (7) ilmu pengetahuan tentang komposisi musik, yang membedakannya dengan seni yang dilakukan atau seni yang dieksekusi (Marckward et al. 1990:1302).

Dengan demikian jelaslah bahwa yang dimaksud teori itu biasanya mengandung pengertian dalam tahapan yang abstrak. Teori mengarahkan ilmuwan untuk melakukan kerjanya dalam menganalisis permasalahn keilmuan yang ditemuinya.

Dalam rangka penelitian ini, teori yang peneliti pergunakan adalah sebagai berikut :

24

1.5.2.1 Teori Fungsionalime

Dalam upaya melihat fungsi dari Hoho Faluaya sebagai tradisi lisan masyarakat Nias, penulis melakukan pendekatan terhadap ilmu sosiologi dan antropologi melalui teori fungsional yang dikemukakan oleh Lorimer, dimana menurutnya teori fungsionalisme adalah salah satu teori yang digunakan dalam ilmu sosial, yang menekankan kepada kebergantungan institusi dengan kebiasaan pada masyarakat tertentu. Analisis fungsi menjelaskan bagaimana susunan sosial didukung oleh fungsi institusi seperti: negara, agama, keluarga, aliran, dan pasar. Sebagai contoh pada masyarakat yang lebih sederhana, masyarakat tribal, penyertaan dalam upacara keagamaan berfungsi untuk mendukung kesatuan sosial dalam kelompok manusia yang berhubungan dengan kekerabatannya. Teori ini menjadi dasar khususnya bagi Emile Durkheim, fungsionalisme secara nyata berkembang sebagai sebuah teori yang kokoh sejak digunakan oleh Talcott Parsons dan Robert Merton pada tahun 1950-an. Teori ini sangat berpengaruh kepada para pakar sosiologi Angloamerika dalam dasawarsa 1970-an. Bronislaw Malinowski dan A. R. Radcliffe-Brown, mengembangkan teori ini di bidang disiplin antropologi dengan memusatkan perhatian pada masayarakat bukan Barat. Sejak dekade 1970-an, teori fungsionalisme digunakan pula untuk mengkaji dinamika konflik sosial (Lorimer et al. 1991:112-113)

Selanjutnya teori fungsionalisme oleh Bronislaw Malinowski dimana beliau mengembangkan suatu kerangka teori baru untuk menganalisis fungsi dari kebudayaan manusia, yang disebutnya dengan teori fungsional tentang kebudayaan, atau a functiol theory of culture. Konsepnya mengenai fungsi sosial

25

adat, prilaku manusia, dan institusi-institusi sosial menjadi lebih mantap. Ia membedakan fungsi sosial dalam tiga tingkat abstraksi, yaitu: (1) fungsi sosial dari suatu adat, institusi sosial atau unsur kebudayaan pada tingkat abstraksi pertama mengenai pengaruh atau kesannya terhadap adat, prilaku manusia dan institusi sosial yang lain dalam masyarakat; (2) fungsi sosial dari suatu adat, institusi sosial atau unsur kebudayaan pada tingkat abstraksi kedua mengenai pengaruh atau kesannya terhadap keperluan suatu adat atau institusi lain untuk mencapai maksudnya, seperti yang dikonsepsikan oleh warga masyarakat yang terlibat; dan (3) fungsi sosial dari suatu adat atau institusi sosial pada tingkat abstraksi ketiga mengenai pengaruh atau kesannya terhadap keperluan mutlak untuk berlangsungnya secara terintegrasi dari suatu sistem sosial tertentu.

Demikian halnya dengan Arthur Reginald Radcliffe-Brown yang mendasarkan teorinya mengenai prilaku manusia pada konsep fungsionalisme.

Namun berbeda dengan Malinowski, Radcliffe-Brown merasa bahwa pelbagai aspek prilaku sosial, bukanlah berkembang untuk memuaskan keinginan individual, tetapi justru timbul untuk mempertahankan struktur sosial masyarakat.

Struktur sosial sebuah masyarakat adalah keseluruhan jaringan dari hubungan-hubungan sosial yang ada (Radcliffe-Brown 1952).

Fungsi komunikasi memperlihatkan arus gerakan yang seiring dengan masyarakat atau individu. Komunikasi berfungsi mengikuti keperluan pengguna atau individu yang berinteraksi. Oleh karenanya fungsi komunikasi boleh dikaitkan dengan ekspresi (emosi), arahan, rujukan, puitis, fatik dan metalinguitik

26

yang berkaitan dengan bahasa (Ajid Che Kob, 1991:16)9. Secara umum fungsi komunikasi terdiri dari empat kategori utama iaitu: (1) fungsi memberitahu, (2) fungsi mendidik, (3) memujuk khalayak mengubah pandangan dan (4) untuk menghibur orang lain.

Dalam etnomusikologi dan atau pertunjukan budaya, ada seorang tokoh fungsionalisme yang sangat penting, dan menjadi rujukan utama jika mengkaji fungsi musik (kesenian atau kebudayaan) dalam konteks masyarakat pendukungnya. Beliau adalah Alan P. Merriam, etnomusikolog dari Amerika Serikat. Dengan tetap bertolak dari teori fungsi, yang kemudian mencoba menerapkannya dalam etnomusikologi, lebih lanjut secara tegas Merriam membedakan pengertian fungsi ini dalam dua istilah, yaitu penggunaan dan fungsi. Menurutnya, membedakan pengertian penggunaan dan fungsi adalah sangat penting. Para ahli etnomusikologi pada masa lampau tidak begitu teliti terhadap perbedaan ini. Jika kita berbicara tentang penggunaan musik, maka kita menunjuk kepada kebiasaan (the ways) musik dipergunakan dalam masyarakat, sebagai praktik yang biasa dilakukan, atau sebagai bagian dari pelaksanaan adat istiadat, baik ditinjau dari aktivitas itu sendiri maupun kaitannya dengan aktivitas-aktivitas lain (1964:210). Lebih jauh Merriam menjelaskan perbedaan pengertian antara penggunaan dan fungsi sebagai berikut.

Music is used in certain situations and becomes a part of them, but it may or may not also have a deeper function. If the lover uses song to w[h]o his love, the function of such music may be analyzed as the continuity and perpetuation of the biological group. When the supplicant uses music to the approach his god, he is employing

9 Disertasi Muhammad Takari Bin Jilin Syahrial. 2010. Fungsi Dan Bentuk Komunikasi Dalam Lagu Dan Tari Melayu Di Sumatera Utara. Jabatan Pengajian Media Fakulti Sastera Dan Sains Sosial Universiti Malaya Kuala Lumpur.

27

a perticular mechanism in conjunction with other mechanism as such as dance, prayer, organized ritual, and ceremonial acts. The function of music, on the other hand, is enseparable here from the function of religion which may perhaps be interpreted as the establishment of a sense of security vis-á-vis the universe. “Use”

them, refers to the situation in which music is employed in human action; “function” concerns the reason for its employment and perticularly the broader purpose which it serves. (1964:210).

Dari kutipan di atas terlihat bahwa Merriam membedakan pengertian penggunaan dan fungsi musik berasaskan kepada tahap dan pengaruhnya dalam sebuah masyarakat. Musik dipergunakan dalam situasi tertentu dan menjadi bagiannya. Penggunaan bisa atau tidak bisa menjadi fungsi yang lebih dalam. Dia memberikan contoh, jika seeorang menggunakan nyanyian yang ditujukan untuk kekasihnya, maka fungsi musik seperti itu dapat dianalisis sebagai perwujudan dari kontinuitas dan kesinambungan keturunan manusia—[yaitu untuk memenuhi keinginan biologis bercinta, kawin dan berumah tangga dan pada akhirnya menjaga kesinambungan keturunan manusia]. Jika seseorang menggunakan musik untuk mendekatkan diri kepada Tuhan, maka mekanisme tersebut behubungan dengan mekanisme lain, seperti menari, berdoa, mengorganisasikan ritual dan kegiatan-kegiatan upacara.

“Penggunaan” menunjukkan situasi musik yang dipakai dalam kegiatan manusia; sedangkan “fungsi” berkaitan dengan alasan mengapa si pemakai melakukan, dan terutama tujuan-tujuan yang lebih jauh dari sekedar apa yang dapat dilayaninya. Dengan demikian, selaras dengan Merriam, mengikut penulis penggunaan lebih berkaitan dengan sisi praktis, sedangkan fungsi lebih berkaitan dengan sisi integrasi dan konsistensi internal budaya.

28

Dari kerangka berpikir di atas, selanjutnya Merriam mendeskripsikan bahwa sampai tahun 1964, penelitian yang dilakukan para etnomusikolog tentang fungsi musik dalam kehidupan masyarakat, memperlihatkan adanya 10 fungsi.

Kesepuluh fungsi musik itu adalah: (1) sebagai pengungkapan emosional, (2) sebagai penghayatan estetika, (3) sebagai hiburan, (4) sebagai komunikasi, (5) sebagai perlambangan, (6) sebagai reaksi jasmani, (7) sebagai yang berkaitan dengan norma-norma sosial, (8) sebagai pengabsahan lembaga sosial dan upacara agama, (9) sebagai kesinambungan kebudayaan, dan (10) sebagai pengintegrasian masyarakat (Merriam 1964).

Merriam menyatakan bahwa fungsi musik termasuk genre musik mungkin kurang dari sepuluh fungsinya atau boleh saja meluas lebih dari sepuluh fungsi tersebut.

Selain itu fungsi seni juga dikaji di bidang etnokoreologi (antropologi tari). Soedarsono seorang pakar sejarah seni dan ahli etnokoreologi, yang melihat fungsi seni, terutama dari hubungan praktis dan integratifnya, mereduksi tiga fungsi utama seni pertunjukan, yaitu: (1) untuk kepentingan sosial atau sarana upacara; (2) sebagai ungkapan perasaan pribadi yang dapat menghibur diri dan (3) sebagai penyajian estetika (1995). Pendapat Soedarsono ini sifatnya adalah induktif dan dia menggeneralisasikan berbagai fungsi sosiobudaya seni.

Dalam bidang tari dan teater pula, fungsi tari bisa saja kita lihat sebagai ritual pubertas, sarana memohon hujan turun kepada Tuhan, menunjukkan keberadaan jenis kelamin tertentu, sebagai sarana komunikasi dengan roh-roh nenek moyang atau dunia gaib, sebagai simbol status sosial, sebagai pengiring

29

ritual kelahiran, perkawinan, berkhitan, kematian, sarana perkenalan, ekspresi dorongan seksual, upacara kesuburan perempuan atau tanah, dan masih banyak lagi yang lainnya.

1.5.2.2 Teori Semiotik

Untuk mengkaji makna yang terkandung di dalam kedua hoho di atas, penulis menggunakan teori semiotik. Menurut Encylopedia Brittanica (2007) pengertian semiotika atau semiologi itu adalah kajian terhadap tanda-tanda (sign) serta tanda-tanda yang digunakan dalam perilaku manusia. Definisi yang sama pula dikemukakan oleh salah seorang pendiri teori semiotika, yaitu pakar linguistik dari Swiss Ferdinand de Sausurre. Menurutnya semiotika adalah kajian mengenai “kehidupan tanda dengan masyarakat yang menggunakan tanda-tanda itu.” Meskipun kata-kata ini telah dipergunakan oleh filosof Inggris abad ke-17 yaitu John Locke, gagasan semiotika sebagai sebuah modus interdisiplin ilmu, dengan berbagai contoh fenomena yang berbeda dalam berbagai lapangan studi, baru muncul ke permukaan pada akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20, ketika munculnya karya-karya Sausurre dan karya-karya seorang filosof Amerika Serikat, Charles Sanders Peirce.

Dalam karya awal Peirce di lapangan semiotik ini, ia menumpukan perhatian kepada pragmatisme dan logika. Ia mendefinisikan tanda sebagai

“sesuatu yang mendukung seseorang untuk sesuatu yang lain.” Salah satu sumbangan Peirce yang besar bagi semiotika adalah dalam menginterpretasikan bahasa sebagai sistem lambang, tetapi terdiri dari tiga bagian yang saling

30

berkaitan: (1) representatum, (2) pengamat (interpretant), dan (3) objek. Dalam kajian kesenian berarti kita harus memperhitungkan peranan seniman pelaku dan penonton sebagai pengamat dari lambang-lambang dan usaha kita untuk memahami proses pertunjukan atau proses penciptaan. Peirce membedakan lambang-lambang ke dalam tiga kategori: ikon, indeks, dan simbol.

Pengkategoriannya mengenai tanda-tanda ke dalam tiga tipe, yaitu: (a) ikon, yang disejajarkan dengan referennya (misalnya jalan raya adalah tanda untuk jatuhnya bebatuan); (b) indeks, yang disamakan dengan referennya (asap adalah tanda adanya api) dan (c) simbol, yang berkaitan dengan referentnya dengan cara penemuan (seperti dengan kata-kata atau signal trafik). Contoh lain apabila lambang itu menyerupai yang dilambangkan seperti foto, maka disebut ikon. Jika lambang itu menunjukkan akan adanya sesuatu seperti timbulnya asap akan diikuti api, disebut indeks. Jika lambang tidak menyerupai yang dilambangkan, seperti burung garuda melambangkan negara Republik Indonesia, maka disebut dengan simbol. Selanjutnya teori ini digunakan dalam usaha untuk memahami bagaimana makna diciptakan dan dikomunikasikan melalui sistem simbol yang membangun sebuah peristiwa seni. Dua tokoh perintis semiotika adalah Ferdinand de Saussure seorang ahli bahasa dari Swiss dan Charles Sanders Pierce, seorang filosof dari Amerika Serikat. Saussure melihat bahasa sebagai sistem yang membuat lambang bahasa itu terdiri dari sebuah imaji bunyi (sound image) atau signifier yang berhubungan dengan konsep (signified). Setiap bahasa mempunyai lambang bunyi tersendiri.

31

Roland Barthes (1915-1980), dalam teorinya Barthes mengembangkan semiotika menjadi 2 tingkatan pertandaan, yaitu tingkat denotasi dan konotasi.

Denotasi adalah tingkat pertandaan yang menjelaskan hubungan penanda dan petanda pada realitas, menghasilkan makna eksplisit, langsung, dan pasti.

Konotasi adalah tingkat pertandaan yang menjelaskan hubungan penanda dan petanda yang di dalamnya beroperasi makna yang tidak eksplisit, tidak langsung, dan tidak pasti. Barthes mengatakan bahwa “semiotika tidak akan menggantikan penelitian apapun di sini, tetapi sebaliknya, semiotika akan menjadi semacam kursi roda, kartu As, dalam pengetahuan kontemporer sebagaimana tanda merupakan kartu As dalam wacana”. Menurutnya, semiotika mempunyai hubungan dengan science, namun semiotika itu sendiri bukan science. Barthes menciptakan peta mengenai bagaimana tanda bekerja, sebagaimana dijelaskan sebagai berikut10 :

Dari gambaran di atas, terlihat bahwa tanda denotatif (3) terdiri atas penanda (1) dan petanda (2). Akan tetapi, pada saat bersamaan, tanda denotatif adalah juga penanda konotatif (4). Dengan kata lain, hal tersebut merupakan unsur

10 Bahan Perkuliahan Prof. Dr. Robert Sibarani, MS. (Semiotika 2009/2010)

1. Signifier (Penanda)

2. Signified (Petanda) 3. denotative (penanda denotatif) 4. connotative signifier

(penanda konotatif)

5. connotative signified (petanda konotatif) 6. connotative sign (tanda konotatif)

32

material. Hanya jika kita mengenal “singa”, barulah konotasi seperti harga diri, kegarangan dan keberanian menjadi mungkin.

Bagi Peirce dan Barthes, tanda dapat dimaknai secara terbuka, tetapi

Bagi Peirce dan Barthes, tanda dapat dimaknai secara terbuka, tetapi

Dalam dokumen T E S I S. Oleh. Hubari Gulo NIM (Halaman 32-200)

Dokumen terkait