HOHO FALUAYA
TRADISI LISAN MASYARAKAT NIAS
DI DESA BAWÖMATALUO, KECAMATAN FANAYAMA, KABUPATEN NIAS SELATAN, SUMATERA UTARA:
ANALISIS TEKS DAN STRUKTUR MUSIK
T E S I S
Oleh Hubari Gulo NIM. 097037004
PROGRAM STUDI
MAGISTER (S2) PENCIPTAAN DAN PENGKAJIAN SENI FAKULTAS ILMU BUDAYA
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA M E D A N
2 0 1 1
HOHO FALUAYA
TRADISI LISAN MASYARAKAT NIAS
DI DESA BAWÖMATALUO, KECAMATAN FANAYAMA, KABUPATEN NIAS SELATAN, SUMATERA UTARA:
ANALISIS TEKS DAN STRUKTUR MUSIK
T E S I S
Untuk memperoleh gelar Magister Seni (M.Sn.) dalam Program Studi Magister (S2) Penciptaan dan Pengkajian Seni pada Fakultas
Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara
Oleh Hubari Gulo NIM. 097037004
PROGRAM STUDI
MAGISTER (S2) PENCIPTAAN DAN PENGKAJIAN SENI FAKULTAS ILMU BUDAYA
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA M E D A N
2 0 1 1
ii
Judul Tesis : HOHO FALUAYA TRADISI LISAN MASYARAKAT NIAS DI DESA BAWÖMATALUO, KECAMATAN FANAYAMA, KABUPATEN NIAS SELATAN, SUMATERA UTARA: ANALISIS TEKS DAN STRUKTUR MUSIK
Nama : Hubari Gulo Nomor Pokok : 097037004
Program Studi : Magister (S2) Penciptaan dan Pengkajian Seni
Menyetujui
Komisi Pembimbing,
Prof. Dr. Robert Sibarani, M.S.
NIP. 196402121987031004
Drs. Irwansyah, M.A.
NIP. 19621221199970311001
Program Studi Magister (S2) Fakultas Ilmu Budaya Penciptaan dan Pengkajian Seni Dekan,
Ketua,
Drs. Irwansyah Harahap, M.A. Dr. Syahron Lubis, M.A.
NIP. 196212211997031001 NIP. 195110131976031001
iii
Tanggal lulus: 16 Agustus 2011 Telah diuji pada
Tanggal 16 Agustus 2011
PANITIA PENGUJI UJIAN TESIS
Ketua : Drs. Irwansyah Harahap, M.A. ( _________________ )
Sekretaris : Drs. Torang Naiborhu, M.Hum. ( _________________ )
Anggota I : Drs. Kumalo Tarigan, M.A. ( _________________ )
Anggota II : Drs. Irwansyah Harahap, M.A. ( _________________ )
Anggota III : Prof. Dr. Robert Sibarani, M.S. ( _________________ )
iv
ABSTRACT
This research learns Hoho Faluaya in the context ritual of title nobility ceremonies at Bawömataluo village, District Fanayama, South Nias regency, North Sumatra Province. The study was conducted to provide a understanding of the Hoho Faluaya as an inherited form of oral tradition’s society in Nias that very exotic where Hoho Faluaya used as a media to convey ideas, thoughts or feelings in an effort for understanding the values that give culture insight. The existence of language elements (text), musical elements (vocal music), as well as the elements of movement (dance), a major review of this research in looking at the function, the meaning of texts, and musical structure of the Hoho Faluaya consist of Fanguhugö (Hugö), Hivfagö, Hoho Fualö, Hoho Fadölihia, and Hoho Siöligö.
There is some approaching that has be done is an interdisciplinary approach with qualitatively methods of inquiry, which is based on field investigations. Some of the theories are used in support of this research include Functional Theory, Semiotic Theory, Transcription Theory, Weighted Scale Theory.
The results of this research indicate that the Hoho Faluaya is an important role because inherent functions in Hoho Faluaya. Those functions are implementation function of the traditional feast, the function as a symbol of strength, reinforcing the function of social status, the adhesive function of social life, the function as communication and telling message, the function of aesthetic values, the function of entertainment and thanksgiving, the function of dance accompaniment, and the function as a cultural defense.
The result of text analysis indicate the presence of connotative intention of the text Hoho Faluaya consist of Fohuhugö (Hugö) text which is a calling of approve, Hivfagö is an calling for confirmation of the Hugö and there are 3 (three) types of hoho structures in it, that is: (1) Hoho Fu ' alö is a hymn that be inciter preparation and burning the zeal of the soldiers war or war dancers, (2) Hoho Fadölihia is the as a way of hoho group for extolling the greatness of their village, and (3) Hoho Siöligö have the meaning for unity and integrity for the sake of prosperity of the village.
The results of musical analysis, Hoho Faluaya has a pentatonic characteristic in using the scale, the musical structures have styles as call response, counters motifs and counter phrases and using the typical of vocal techniques in their presentation calls "gözö" or vibrate the base of the tongue in the throat area. This is a local wisdom that is only had by the people of Nias, especially in South Nias.
Keyword: Hoho, Faluaya, function, text, musicstructure.
v
INTISARI
Penelitian ini mengkaji Hoho Faluaya dalam konteks upacara adat pengukuhan gelar bangsawan di Desa Bawömataluo, Kecamatan Fanayama, Kabupaten Nias Selatan, Propinsi Sumatera Utara. Kajian ini dilakukan untuk memberikan pemahaman secara menyeluruh tentang Hoho Faluaya sebagai bentuk warisan tradisi lisan masyarakat Nias yang sangat eksotik dimana Hoho Faluaya digunakan sebagai media menyampaikan ide, pikiran atau perasaan dalam upaya pemahaman nilai-nilai yang memberikan wawasan budaya. Adanya unsur bahasa (teks), unsur musikal (musik vokal), serta unsur gerak (tarian), menjadi kajian utama penelitian ini dalam melihat fungsi, makna teks, dan struktur musikal dari Hoho Faluaya yang terdiri dari Fanguhugö (Hugö), Hivfagö, Hoho Fualö, Hoho Fadölihia dan Hoho Siöligö.
Adapun pendekatan yang dilakukan adalah dengan pendekatan interdisiplin dengan metode penyelidikan kualitatif yang bertumpu pada penyelidikan lapangan. Beberapa teori yang digunakan dalam mendukung penelitian ini diantaranya teori fungsional, teori semiotik, teori transkripsi, dan teori weighted scale.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa Hoho Faluaya berperan penting karena fungsi-fungsi yang melekat pada Hoho Faluaya. Fungsi-fungsi tersebut adalah fungsi pelaksanaan pesta adat, fungsi sebagai simbol keperkasaan, fungsi penguat status sosial, fungsi perekat kehidupan masyarakat, fungsi komunikasi dan penyampaian pesan, fungsi nilai-nilai estetis, fungsi hiburan dan ucapan syukur, fungsi pengiring gerakan tarian, dan berfungsi sebagai pertahanan budaya.
Hasil analisis teks menunjukkan adanya makna konotatif dari teks Hoho Faluaya yang terdiri dari teks Fohuhugö (Hugö) yang merupakan seruan persetujuan, Hivfagö seruan penegasan terhadap Hugö dan 3 (tiga) jenis struktur hoho yang ada di dalamnya, yakni: (1) Hoho Fu’alö yang menjadi nyanyian persiapan pembangkit dan pembakar semangat para prajurit perang atau penari perang, (2) Hoho Fadölihia sebagai cara para kelompok hoho mengagung- agungkan kebesaran desa mereka, dan (3) Hoho Siöligö bermakna menjalin persatuan dan kesatuan demi kemakmuran desa.
Hasil analisis musikal Hoho Faluaya memiliki ciri pentatonik dalam penggunaan tangganadanya, struktur musikal bergaya call respons, counter frase dan counter motif serta menggunakan tehnik vokal yang khas dalam penyajiannya yakni “gözö” atau menggetarkan pangkal lidah di daerah tenggorokan. Hal ini merupakan sebuah kearifan lokal yang hanya dimiliki oleh masyarakat Nias, khususnya Nias Selatan.
Keyword: Hoho, Faluaya, fungsi, teks, struktur musik.
vi
PRAKATA
Segala puji dan syukur bagi Allah Bapa di Surga atas kasih dan pertolongan-Nya, akhirnya penelitian ini dapat selesai hingga dituangkan dalam bentuk tulisan ilmiah.
Oleh karena itu, ucapan terima kasih dan penghargaan yang sebesar- besarnya penulis sampaikan kepada :
1. Bapak Prof. Dr. dr. Syahril Pasaribu, DTM&H, M.Sc (CTM), Sp.A(K) selaku Rektor Universitas Sumatera Utara dan Bapak Dr. Syahron Lubis, M.A.
selaku Dekan Fakultas Ilmu Budaya yang telah mengizinkan dan memberi fasilitas serta sarana pembelajaran sehingga penulis dapat menuntut ilmu di kampus Universitas Sumatera Utara dalam kondisi yang nyaman.
2. Bapak Drs. Irwansyah Harahap, M.A, selaku Ketua Program Studi Magister (S2) Penciptaan dan Pengkajian Seni Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara, sekaligus selaku Pembimbing Ketua yang telah memberikan bimbingan, arahan dan pertolongan, serta selaku Penguji yang telah memberi masukan dari materi yang belum sempurna hingga akhir penyelesaian tesis.
3. Bapak Drs. Torang Naiborhu, M.Hum, selaku Sekretaris Ketua Program Studi Magister (S2) Penciptaan dan Pengkajian Seni Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara, dan selaku Penguji yang telah memberi masukan dari materi serta tehnik penulisan yang belum sempurna hingga akhir penyelesaian tesis.
vii
4. Bapak Prof. Dr. Robert Sibarani, M.S, selaku Pembimbing Anggota yang telah memberi masukan, arahan dan menolong dalam memperbaiki penulisan yang belum sempurna hingga akhir penyelesaian tesis.
5. Bapak Drs. Kumalo Tarigan, M.A, selaku Penguji yang telah memberi masukan dan pandangan-pandangan dari materi yang belum sempurna hingga akhir penyelesaian tesis.
6. Bapak Drs. Muhammad Takari, M.Hum, Ph.D, selaku Dosen dan mantan Ketua Program Studi Penciptaan dan Pengkajian Seni Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara, telah memberikan perhatian dan semangat dari awal hingga akhir penyelesaian tesis.
7. Bapak Drs. Ponisan, selaku pegawai administrasi Program Studi Magister (S2) Penciptaan dan Pengkajian Seni Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara, yang telah banyak mendukung kelancaran proses administrasi penulis.
8. Seluruh dosen yang telah membuka mata penulis akan kekayaan khazanah budaya bangsa dan menambah wawasan cakrawala ilmu pengetahuan.
9. Teman-teman seangkatan, sebagai teman senasib-sepenanggungan ikut memberi sumbangan pemikiran.
10. Pimpinan dan staff perpustakaan dan museum Yayasan Pusaka Nias yang penulis kunjungi telah memberikan sambutan yang hangat.
11. Bapak Hikayat Manaö, selaku informan utama penulis dan pemimpin sanggar Baluseda di desa Bawömataluo Nias Selatan, telah memberikan informasi dalam penelusuran penyelesaian permasalahan penelitian ini.
viii
12. Bapak Dasa Manaö, S.Sn dan keluarga di Teluk Dalam Nias Selatan, yang telah bermurah hari mengizinkan penulis untuk menginap dirumahnya selama proses penelitian dan berkenan mengantarkan penulis dengan sepeda motornya menuju lokasi penelitian.
13. Semua pihak yang telah terlibat secara langsung ataupun tidak langsung, yang telah memberikan bantuan serta pertolongan yang terlihat ataupun tidak terlihat, yang namanya tidak dapat disebutkan dalam halaman yang terbatas ini, penulis ucapkan terima kasih yang tidak terhingga atas semua kasihnya.
14. Ayahanda F. Gulö, BA dan ibunda Missiani, ibu mertua Ny. H.L.Ginting br.
Sembiring, abangda Simon Ginting, adinda Ida Sudarti Gulö, Handoko Gulö dan Andreas Ginting, serta istri tercinta Susi Berlianna br. Ginting, terlebih kepada anak-anakku Cakra Pratama Gulö dan Deron Eiffel Zhou Gulö, atas dukungan doa selama penulisan tesis ini.
Akhirnya, kiranya Damai Sejahtera Allah yang melampaui segala akal, akan dilimpahkan kepada kita semua. Allah yang sumber kasih, Dialah kiranya yang akan membalaskan dengan berkat-berkat melimpah. Amin!
Medan, 16 Agustus 2011 Penulis
Hubari Gulo
ix
DAFTAR RIWAYAT HIDUP
Nama : Hubari Gulo
Tempat/Tanggal Lahir : Pematang Siantar / 21 Juni 1972 Alamat : Jl. HOS. Cokroaminoto No. 66 Medan
Agama : Kristen Protestan
Jenis Kelamin : Laki-laki
Pekerjaan : - Dosen, Departemen Etnomusikologi FIB USU Medan - Dosen, Fak. Sastra Universitas Darma Agung Medan - Guru Seni Budaya, SMK Telkom S. Putra Medan - Guru Seni Musik, Methodist 5 Medan
Pendidikan : 1. Sarjana Seni (S.Sn) dari Fakultas Sastra Universitas Sumatera Utara, Jurusan Etnomusikologi, lulus tahun 1997
2. Akta Mengajar IV dari IKIP UDA Medan, lulus tahun 2009
Pada tahun akademi 2009/2010 diterima menjadi mahasiswa pada Program Studi Magister (S2) Penciptaan dan Pengkajian Seni Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Sumatera Utara, dan menyelesaikannya pada 16 Agustus 2011.
x
PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa dalam tesis ini tidak terdapat karya yang pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu Perguruan Tinggi, dan sepanjang pengetahuan saya juga tidak terdapat karya atau pendapat yang pernah ditulis atau diterbitkan oleh orang lain, kecuali yang secara tertulis diacu dalam naskah ini dan disebutkan dalam daftar pustaka.
Medan, 16 Agustus 2011
Hubari Gulo e NIM: 097037004
xi
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ... i
HALAMAN PENGESAHAN... ii
ABSTRACT ... iv
INTISARI v PRAKATA ... vi
HALAMAN PERNYATAAN ... x
DAFTAR ISI ... xi
DAFTAR TABEL ... xvi
DAFTAR GAMBAR ... xviii
BAB I. PENGANTAR ... 1
1.1. Latar belakang ... ... 1
1.2. Fokus Masalah ... ... 16
1.3. Tujuan & Manfaat Penelitian ... ... 17
1.4. Tinjauan Pustaka ... ... 17
1.5. Konsep dan Teori ... ... 19
1.5.1 Konsep ... ... 19
1.5.2 Landasan Teori ... ... 23
1.5.2.1 Teori Fungsionalime ... ... 24
1.5.2.2 Teori Semiotik ... ... 29
1.5.2.3 Teori Transkripsi ... ... 33
1.5.2.4 Teori Weighted Scale ... ... 33
1.6. Metode penelitian ... ... 34
1.6.1 Rancangan Penelitian ... ... 34
1.6.2 Lokasi dan Perjalanan Penelitian ... ... 35
1.6.3 Informan Kunci ... ... 40
1.6.4 Jenis dan Sumber Data ... ... 43
1.6.5 Instrumen Penelitian ... ... 44
1.6.6 Teknik Pengumpulan Data Penelitian ... ... 44
1.6.6.1 Observasi ... ... 45
1.6.6.2 Wawancara ... ... 46
1.6.6.2 Dokumen dan Studi Pustaka ... ... 47
1.6.7 Analisis Data ... ... 48
1.6.8 Penyajian Analisis Data ... ... 49
1.7. Kerangka Penyajian ... ... 50
BAB II. GAMBARAN UMUM BUDAYA MASYARAKAT NIAS ... ... 52
2.1. Identifikasi Penduduk ... ... 52
2.2. Mitologi ... ... 58
2.3. Penelitian Arkeologi ... ... 60
2.4. Pola Menetap ... ... 60
2.5. Sistem Mata Pencaharian Hidup ... ... 63
2.6. Sistem Kekerabatan ... ... 65
2.7. Sistem Kemasyarakatan... ... 67
2.8. Agama dan Religi... ... 69
2.8.1 Lani dan Langi ... ... 69
2.8.1 Agama Asli Orang Nias ... ... 70
2.9. Bahasa dan Kesenian ... ... 72
xii
2.9.1 Seruan Ya’ahowu ... ... 72
2.9.2 Bahasa ... ... 73
2.9.3 Kesenian ... ... 75
2.9.3.1 Sekilas Tarian Faluaya ... ... 75
2.9.3.2 Atraksi Lompat Batu ... ... 79
2.9.3.3 Alat-alat Musik ... ... 82
2.10. Dokumentasi Sejarah Dalam Gambar ... ... 84
BAB III. TRADISI LISAN HOHO DALAM MASYARAKAT NIAS ... ... 90
3.1. Pengertian Hoho... ... 90
3.2. Bentuk Hoho ... ... 92
3.3. Jenis-Jenis Hoho ... ... 95
3.3.1 Hoho Dalam Pesta Adat ... ... 97
3.3.2 Hoho Penyembahan Ritual ... ... 98
3.3.3 Hoho Di Bidang Pertanian dan Peternakan ... ... 100
3.3.4 Hoho Asal Usul Kejadian ... ... 101
3.3.5 Hoho Faluaya ... ... 104
3.4. Sikap Masyarakat Nias Terhadap Hoho ... ... 107
3.4.1 Perilaku Religius ... ... 108
3.4.2 Perilaku Sosial Budaya ... ... 110
BAB IV. FUNGSI HOHO FALUAYA SEBAGAI TRADISI MUSIK LISAN ....115
4.1. Deskripsi Penyajian Pertunjukan Hoho Faluaya ... ... 115
4.2. Fungsi Hoho Faluaya Pada Masyarakat Nias Selatan... ... 125
4.2.1 Fungsi Pelaksanaan Pesta Adat ... ... 126
4.2.2 Fungsi Simbol Keperkasaan ... ... 128
4.2.3 Fungsi Penguat Status Sosial ... ... 130
4.2.4 Fungsi Perekat Kehidupan Masyarakat ... ... 133
4.2.5 Fungsi Komunikasi dan Penyampaian Pesan... ... 133
4.2.6 Fungsi Nilai-Nilai Estetis ... ... 135
4.2.7 Fungsi Hiburan dan Ucapan Syukur... ... 138
4.2.8 Fungsi Pengiring Gerakan Tarian Faluaya ... ... 139
4.2.9 Fungsi Pertahanan Budaya... ... 140
BAB V. ANALISIS TEKS HOHO FALUAYA ... ... 142
5.1. Analisis Semiotik Penyajian Teks Hoho Faluaya... ... 142
5.2. Analisis Teks Hoho Faluaya ... ... 146
5.2.1 Analisis Teks Fohuhugö (Hugö) ... ... 148
5.2.2 Analisis Teks Hivfagö ... ... 150
5.2.3 Hoho Fu’alö ... ... 151
5.2.4 Hoho Fadölihia ... ... 163
5.2.4 Hoho Siöligö ... ... 169
BAB VI. ANALISIS STRUKTUR MUSIK HOHO FALUAYA... ... 178
6.1. Transkripsi dan Notasi... ... 179
6.1.1 Proses Transkripsi ... ... 179
6.1.2 Notasi ... ... 180
6.1.2.1 Pemakaian Durasi Ritmis ... ... 181
xiii
6.1.2.1 Garis Paranada ... ... 182
6.2. Tangga Nada ... ... 182
6.3. Nada Pusat atau Nada Dasar ... ... 184
6.4. Birama ... ... 186
6.5. Analisis Struktur Musik Hoho Faluaya ... ... 187
6.5.1 Analisis Fohuhugö (Hugö) dan Hivfagö... ... 188
6.5.1.1 Wilayah Nada Hugö dan Hivfagö ... ... 192
6.5.1.1.1 Wilayah Nada Hugö ... ... 192
6.5.1.1.2 Wilayah Nada Hivfagö ... ... 193
6.5.1.2 Jumlah Nada-Nada Hugö dan Hivfagö ... ... 194
6.5.1.2.1 Jumlah Nada Hugö ... ... 194
6.5.1.2.2 Jumlah Nada Hivfagö ... ... 195
6.5.1.3 Interval Hugö dan Hivfagö ... ... 195
6.5.1.4 Pola Kadensa Hugö dan Hivfagö ... ... 196
6.5.1.5 Formula Melodi Hugö dan Hivfagö ... ... 197
6.5.1.6 Kontur ... ... 199
6.5.2 Analisis Hoho Fu’alö ... ... 201
6.5.2.1 Wilayah Nada Hoho Fu’alö ... ... 203
6.5.2.2 Jumlah Nada-Nada Hoho Fu’alö ... ... 204
6.5.2.3 Interval Hoho Fu’alö ... ... 205
6.5.2.4 Pola Kadensa Hoho Fu’alö ... ... 205
6.5.2.5 Formula Melodi Hoho Fu’alö ... ... 207
6.5.2.5.1 Kajian Bentuk, Frase Motif Hoho Fu’alö . ....209
6.5.2.6 Kontur ... ... 210
6.5.3 Analisis Hoho Fadölihia ... ... 212
6.5.3.1 Wilayah Nada Hoho Fadölihia... ... 214
6.5.3.2 Jumlah Nada-Nada Hoho Fadölihia ... ... 214
6.5.3.3 Interval Hoho Fadölihia ... ... 215
6.5.3.4 Pola Kadensa Hoho Fadölihia ... ... 216
6.5.3.5 Formula Melodi Hoho Fadölihia... ... 217
6.5.3.5.1 Kajian Bentuk, Frase Motif Hoho Fadölihia .219 6.5.3.6 Kontur ... ... 220
6.5.4 Analisis Melodi Hoho Siöligö ... ... 222
6.5.4.1 Wilayah Nada Hoho Siöligö ... ... 227
6.5.4.2 Jumlah Nada-Nada Hoho Siöligö ... ... 228
6.5.4.3 Interval Hoho Siöligö ... ... 229
6.5.4.4 Pola Kadensa Hoho Siöligö ... ... 230
6.5.4.5 Formula Melodi Hoho Siöligö ... ... 233
6.5.4.5.1 Kajian Bentuk, Frase Motif Hoho Siöligö ....238
6.5.4.6 Kontur ... ... 241
BAB VII. KESIMPULAN DAN SARAN ... ... 244
7.1. Kesimpulan ... ... 244
7.2. Saran ... ... 246
DAFTAR PUSTAKA ... ... 247
DAFTAR INFORMAN ... ... 252
GLOSARIUM ... ... 253
LAMPIRAN GAMBAR ... ... 259
xiv
DAFTAR TABEL
Tabel 5.1 Analisis Teks Hugö ... ... ... 149
Tabel 5.2 Analisis Teks Hivfagö ... ... ... 150
Tabel 5.3 Analisis Teks Hoho Fu’alö - Bait 1 ... ... ... 151
Tabel 5.4 Analisis Teks Hoho Fu’alö - Bait 2 ... ... ... 152
Tabel 5.5 Analisis Teks Hoho Fu’alö - Bait 3 ... ... ... 154
Tabel 5.6 Analisis Teks Hoho Fu’alö - Bait 4 ... ... ... 155
Tabel 5.7 Analisis Teks Hoho Fu’alö - Bait 5 ... ... ... 156
Tabel 5.8 Analisis Teks Hoho Fu’alö - Bait 6 ... ... ... 157
Tabel 5.9 Analisis Teks Hoho Fu’alö - Bait 7 ... ... ... 158
Tabel 5.10 Analisis Teks Hoho Fu’alö - Bait 8 ... ... ... 159
Tabel 5.11 Analisis Teks Hoho Fu’alö - Bait 9 ... ... ... 160
Tabel 5.12 Analisis Teks Hoho Fu’alö - Bait 10 ... ... ... 161
Tabel 5.13 Analisis Teks Hoho Fadölihia - Bait 1-10 ... ... ... 165
Tabel 5.14 Analisis Teks Hoho Siöligö (pembukaan bagian 1) ... ... ... 170
Tabel 5.15 Analisis Teks Hoho Siöligö (pembukaan bagian 2) ... ... ... 171
Tabel 5.16 Analisis Teks Hoho Siöligö bagian Isi – 1 ... ... ... 173
Tabel 5.17 Analisis Teks Hoho Siöligö bagian Isi - 2 ... ... ... 174
Tabel 5.18 Analisis Teks Hoho Siöligö bagian Isi - 3 ... ... ... 176
Tabel 6.1 Daftar Penyajian Hoho yang Digunakan pada Hoho Faluaya ... 179
Tabel 6.2 Pemakaian Metronome Malzel (MM) Dalam Penyajian Hoho Faluaya ... 180
Tabel 6.3 Pemakaian Durasi Ritmis Dalam Penyajian Hoho Faluaya... ... 182
Tabel 6.4 Tanda Birama yang Digunakan Dalam Penyajian Hoho Faluaya186 Tabel 6.5 Distribusi Interval melodi Hugö dan Hivfagö ... ... ... 195
Tabel 6.6 Distribusi Interval melodi Hoho Fu’alö ... ... ... 205
Tabel 6.7 Formula Melodi Hoho Fu’alö ... ... ... 209
Tabel 6.8 Distribusi Interval melodi Hoho Fadölihia ... ... ... 215
Tabel 6.9 Formula Melodi Hoho Fadölihia ... ... ... 219
Tabel 6.10 Distribusi Interval melodi Hoho Siöligö ... ... ... 229
Tabel 6.11 Formula Melodi Hoho Siöligö ... ... ... 238
xv
DAFTAR GAMBAR
Gambar 2.10.1 : Keluarga di desa Bawömataluo, Nias Selatan ... ... ... 84
Gambar 2.10.2 : Jalan sepanjang pantai, Nias, 1930 ... ... ... 84
Gambar 2.10.3 : Prajurit Perang dengan Belanda, Nias Sumatera Utara, 1920... ... 85
Gambar 2.10.4 : Tari Faluaya di Bawömataluo Nias Selatan, 1954... 85
Gambar 2.10.5 : Penarikan batu “Daro-daro” untuk almarhum Saoenigeho dari Bawömataluo Nias Selatan ... . ... ... 86
Gambar 2.10.6 : Patung leluhur batu Pria ... ... ... 86
Gambar 2.10.7 : Bocah di sebelah kursi batu kepala desa Hilisimetanö ... 87
Gambar 2.10.8 : Sekelompok Laki-laki Nias ... ... ... 87
Gambar 2.10.9 : Studio potret dari kelompok perempuan menari dari Nias Selatan ... 88
Gambar 2.10.10 : Pria Nias pada kostum militer ... ... ... 88
Gambar 2.10.11 : Pertempuran palsu ... ... ... 89
Gambar 8.1 : Peta Sumatera Utara ... ... ... 259
Gambar 8.2 : Peta Kepulauan Nias ... ... ... 259
Gambar 8.3 : Peta Desa Bawömataluo ... ... ... 260
Gambar 8.4 : Peta Desa Bawömataluo ... ... ... 260
Gambar 8.5 : Bawömataluo – 87Anak Tangga memasuki Desa Adat 261 Gambar 8.6 : Bawömataluo – Desa Orahili Fau dari Puncak Tangga 261 Gambar 8.7 : Bawömataluo - di teras rumah Hikayat Manaö ... ... ... 262
Gambar 8.8 : Bawömataluo – di rumah Sanoyohi ... ... ... 262
Gambar 8.9 : Bawömataluo – Plank Merk Sanggar Baluseda ... ... ... 263
Gambar 8.10 : Bawömataluo – Ndrölö Halamba’a dari Omo Sebua ... ... 263
Gambar 8.11 : Bawömataluo – Ndrölö Raya, kiri rumah Hikayat Manaö264 Gambar 8.12 : Bawömataluo – Pulang dari Gereja melalui Ndrölö Ana’a/Löu ... 264
Gambar 8.13 : Bawömataluo – Ndrölö Bagoa di kanan rumah Hikayat Manaö ... 265
Gambar 8.14 : Bawömataluo – Bale tempat musyawarah (orahu) adat 265 Gambar 8.15 : Bawömataluo – H.M. memimpin Tari Faluaya dan HohoFualö... 266
Gambar 8.16 : Bawömataluo – H.M. memimpin Tari Faluaya dan HohoFualö... 266
Gambar 8.17 : Bawömataluo –Bohalima melakukan Gerakan Faluaya Zanökhö ... 267
Gambar 8.18 : Bawömataluo – Pertunjukan Hombo Batu ... ... ... 267
Gambar 8.19 : Bawömataluo – Kostum Para Bohalima dan Fanari Mogaele ... 268
Gambar 8.20 : Bawömataluo – Hikayat Manaö sebagai Kafalo Zaluaya ö268 Gambar 8.21 : Gunung Sitoli – Yayasan Pusaka Nias ... ... ... 269
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Keindahan dalam penyampaian ide, pikiran atau perasaan kepada orang lain yang diungkapkan secara simbolik dan puitis merupakan kekayaan budaya yang menggambarkan cita rasa dan kehalusan budi warga masyarakat pendukungnya. Apalagi ungkapan tersebut diekspresikan dengan penuh ketelitian, keahlian, dan kecerdasan melalui bahasa yang dilantunkan sehingga terjalin hubungan (relasi) tekstual, sifat puitik, dan gaya bahasa di dalam struktur nyanyian, terlebih dapat menimbulkan keterpengaruhan (reaksi) terhadap jasmani pelakunya. Keberlangsungan aktivitas seperti ini selalu dilakukan dengan cara mendengar, melihat dan menghafalkan, demikianlah proses pewarisan dari satu generasi ke generasi berikutnya. Ini merupakan salah satu bentuk aktivitas tradisi lisan atau sastra lisan yang hingga kini ‘syukur’ masih dapat kita temui di beberapa wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia, walaupun keadaannya sekarang terus tergerus arus globalisasi.
Tradisi lisan atau sastra lisan merupakan unsur dan ekspresi kebudayaan manusia. Perubahan dan perkembangnya sejalan dengan proses sosial dan budaya, dan didukung oleh suatu kelompok masyarakat tertentu, baik yang homogen ataupun heterogen. Sejarah budaya suatu masyarakat memiliki struktur tertentu
2
yang berfungsi dalam aktivitasnya. Sehingga tak dapat dipungkiri suatu masyarakat tertentu, biasanya mempunyai wilayah/daerah budaya sendiri.
Secara kuantitatif kajian terhadap tradisi lisan atau sastra lisan di Indonesia cukup menggembirakan. Hampir semua sastra daerah (lisan) di Nusantara ini telah diteliti. Pada umumnya, penelitian itu dilakukan oleh Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Balai Bahasa, dan Perguruan Tinggi.
Usaha penelitian ini telah membuahkan hasil berupa dokumen sastra lisan yang dapat dibaca pada berbagai perpustakaan nasional/ daerah dan perguruan tinggi.
Banyak pula yang telah dicetak menjadi buku dan disebarluaskan kepada masyarakat. Upaya penyebarluasan ini ditujukan agar masyarakat Indonesia dapat memahami keragaman nilai-nilai budaya bangsa.
Pemahaman nilai-nilai yang terdapat pada tradisi lisan dari setiap daerah secara tidak langsung membantu masyarakat Indonesia di berbagai tempat mengenal dan memahami kebudayaan pemilik tradisi lisan tersebut. Pemahaman ini memberi wawasan budaya yang semakin variatif bagi masyarakat di seluruh Nusantara ini. Pengetahuan nilai budaya sesama suku bangsa, secara tidak langsung pula akan menumbuhkan sikap saling memahami dan menerima di antara sesama bangsa.
Demikian halnya dengan masyarakat yang mendiami Pulau Nias1, dimana masih dapat kita temui beberapa peninggalan warisan tradisi lisan.
1 Pulau Nias adalah sebuah pulau terbesar di deretan pulau-pulau yang ada di sebelah barat Pulau Sumatera. Nias merupakan daerah kepulauan yang memiliki pulau-pulau kecil sebanyak 27 buah, namun pulau yang dihuni hanya 11 buah. Menurut letak geografisnya Pulau Nias terletak pada garis 0°12’ - 1°32’ Lintang Utara (LU) dan 97° - 98° Bujur Timur (BT) dekat dengan garis khatulistiwa. Luas wilayah Pulau Nias adalah sebesar 3.495,40 km² (4.88% dari luas
3
Penduduk asli pulau ini biasa dikenal dengan sebutan Ono Niha (orang Nias/etnis Nias2). Etnis Nias adalah masyarakat yang hidup dalam lingkungan adat dan kebudayaan yang masih tinggi. Masyarakat Nias kuno hidup dalam budaya megalitik dibuktikan oleh peninggalan sejarah berupa ukiran pada batu-batu besar yang masih ditemukan di wilayah pedalaman pulau ini sampai sekarang. Seperti yang tulis Koentjaraningrat (1995) :
Penduduk dari pulau Nias, yang merupakan pulau terbesar dari seluruh deret, kurang sekali terpengaruh oleh kebudayaan Hindu maupun Islam. Berlandaskan kepada suatu kebudayaan Megalithik, yang rupa-rupa-nya telah mereka bawa dari benua Asia pada jaman perunggu, mereka telah mengembangkan suatu kebudayaan sendiri, ialah kebudayaan megalithik yang bukan berdasarkan alat pengurbanan kerbau melainkan babi. Lama sebelum kedatangan orang Belanda pada tahun 1669, orang Nias sudah banyak berhubungan dengan orang-orang Aceh, Cina, Melayu dan Bugis, yang datang ke sana untuk berdagang, tetapi berbeda dengan penduduk pulau Simalur, mereka kurang terpengarunh oleh agama Islam. Agama yang paling banyak mempengaruhi mereka adalah Kristen Protestan yang masuk disana sejak tahun 1865 mulai dari Gunung Sitoli, sedangkan agama Kristen Katolik datang kemudian dari bagian Selatan. (1995: 40).
Masyarakat Nias (sebagaimana masyarakat lain di nusantara ini) memiliki tradisi lisan seperti mitos, legenda, fabel, dan cerita-cerita lainnya.
Hingga saat ini, tradisi lisan ini belum disusun secara sistematis. Tradisi lisan ini masih “tercecer”, baik dalam bentuk naskah maupun dalam wujud tuturan masyarakat Nias. Para peneliti dari bangsa sendiri masih belum menjangkau tradisi lisan ini.
propinsi Sumatera Utara) sejajar dan berada di sebelah barat Pulau Sumatera serta dikelilingi oleh Samudera Hindia. (sumut.bps.go.id).
2 Etnis Nias adalah kelompok masyarakat yang hidup di pulau Nias. Dalam bahasa aslinya, orang Nias menamakan diri mereka "Ono Niha" (Ono = anak/keturunan; Niha = manusia) dan "Tanö Niha" sebagai sebutan untuk pulau Nias (Tanö = tanah; Niha = manusia).
4
Setelah enam puluh enam tahun merdeka, tradisi lisan yang dimiliki oleh etnis Nias di Propinsi Sumatera Utara belum banyak dikenal dan dipahami oleh sebagian besar masyarakat Indonesia. Hal ini disebabkan keterbatasan penelitian dan publikasi, baik kepada masyarakat maupun oleh pemerintah dibeberapa Kabupaten yang ada di Nias3. Hingga saat ini, yang lebih banyak melakukan penelitian tentang Nias adalah peneliti asing. Beberapa peneliti dari bangsa Eropa, umumnya misionaris Kristen, telah melakukan pendokumentasian tradisi Nias. Hasil pengkajian mereka ini pada umumnya ditulis dalam bahasa Nias dan juga dalam bahasa asing (Belanda, Jerman dan Inggris). Pada umumnya tujuan para peneliti ini diarahkan pada kepentingan pelayanan keagamaan.
Terhadap tradisi lisan Nias yang telah digambarkan di atas, tampaknya perlu dilakukan penelitian secara sungguh-sungguh dan berkesinambungan. Perlu diungkapkan secara jelas hakikat dan makna dari warisan budaya masa lampau ini. Berdasarkan pemikiran tersebut, salah satu hal yang perlu dikaji secara sistematis dari tradisi lisan yang dimiliki oleh seluruh masyarakat Nias di Pulau Nias ini dikenal dengan sebutan hoho. Tradisi lisan Nias yang berbentuk hoho ini adalah syair yang dilagukan secara puitis untuk mengungkapkan hal-hal yang berhubungan dengan asal usul kejadian, sejarah, hukum adat, dan hal lain yang berkaitan dengan tata kemasyarakatan (Zebua, 1991). Hoho ini tidak dapat dipisahkan dari kehidupan masyarakat Nias. Hoho memiliki peran yang cukup
3 Nias sebagai wilayah administratif bagian dari Propinsi Sumatera Utara sebelumnya hanya terdiri satu Kabupaten yakni Kabupaten Nias namun dengan semangat dan niat untuk memperjuangkan nasib masyarakat Nias agar terlepas dari kemiskinan dan ketertinggalan, maka dilaksanakanlah pemekaran wilayah. Pemekaran ini dilaksanakan bertahap, dimulai dari pemekaran wilayah Kabupaten Nias Selatan (dimekarkan 25 Pebruari 2003) dan dilanjutkan pada 29 Oktober 2008 pemekaran serempak yakni Kabupaten Nias Barat, Kabupaten Nias Utara, dan Kota Gunungsitoli. Kini Pulau Nias terdiri dari empat daerah Kabupaten dan satu Kota.
5
berarti dalam berbagai peristiwa sosial dan budaya (Mendröfa, 1981). Hoho adalah cerita lisan yang berkembang di masyarakat Nias dan diwariskan secara turun-temurun sehingga menyerupai mitos. (Hammerle, 2001). Lewat hoho, para penutur tradisional Nias mampu berkomunikasi dengan masyarakat atau penontonnya dengan baik. Harmoni yang dilahirkan memikat pendengarnya.
Seseorang yang hendak menyampaikan ide, pikiran atau perasaan kepada orang lain, misalnya, biasanya menggunakan syair hoho ini. Tujuannya agar mitra tutur tidak tersinggung. Pada saat seorang pemuda hendak melamar seorang gadis, misalnya, juru bicara dari keluarga pemuda ketika menyampaikan keinginannya kepada keluarga si gadis, pada umumnya menggunakan syair hoho. Dalam hal ini, hoho merupakan alat atau sarana menyampaikan pikiran kepada pihak lain. Selain sebagai tradisi lisan, hoho ini dapat digolongkan sebagai salah satu genre sastra lisan Nias (Harefa, 1985; Zebua, 1991).
Sadieli Telaumbanua4 (2006) dalam wawancaranya dengan Yasato Harefa (salah seorang pemerhati sastra dan budaya Nias) mengatakan hoho sebagai salah satu jenis tradisi dan sastra lisan Nias bermacam-macam bentuk dan jenisnya. Salah satu hoho yang beriskan mitos asal usul kejadian yang hingga saat ini masih diyakini oleh masyarakat Nias adalah hoho börö gotari gotara (Utara, Barat, dan Tengah Nias) dan atau foere (Selatan Nias). Berdasarkan wawancara dengan Yasato Harefa, menurut Sadieli hoho börö gotari gotara ini adalah induk dari semua hoho yang ada di Nias. Artinya, hoho börö gotari gotara
4 Penulis buku “Representasi Budaya Nias Dalam Tradisi Lisan” dengan fokus bahasan terhadap hoho yang berisi Mitos Asal-Usul Kejadian (MAUK).
6
telah menjadi sumber hoho lain yang saat ini berkembang di tengah-tengah masyarakat Nias.
Jaap Kunts, seorang etnomusikolog mengatakan, “Orang Nias bernyanyi pada setiap kesempatan“, dalam catatannya setelah mengadakan suatu kunjungan pada tahun 1930; lalu ia mengeluh, “asalkan misi Rheinische belum menghilangkan sarana untuk menyalurkan perasaan-perasaan mereka secara alami”. Banyak jenis lagu yang diidentifikasi Kunts. Ada yang dinyanyikan secara tunggal (solo): nyanyian menidurkan anak, nyanyian anak-anak, pepatah-pepatah dan nyanyian-nyanyian ratapan, dan nyanyian hiburan lainnya. Tetapi kebanyakan berupa nyanyian-nyanyian kelompok yang dibawakan pada peristiwa-peristiwa seperti perayaan, kematian, dan persiapan untuk berperang. Jika dibandingkan dengan musik vokal, musik instrumental kurang begitu penting artinya dalam kehidupan musikal di Nias. Musik instrumental biasanya dimainkan untuk permainan rakyat, dengan maksud mengumpulkan khalayak ramai, atau sekedar hiburan pribadi si pemain. Di Nias tidak ada ensambel instrumental yang memiliki peranan dan permainan setara dengan ensambel musik instrumental pada orang Karo dan Toba; sebaliknya orang Batak tidak memiliki nyanyian yang bisa disejajarkan dengan nyanyian kelompok dan puisi-puisi yang dilagukan seperti yang ada di Nias. Sebutan umum untuk nyanyian kelompok ini adalah hoho.
Keberagaman jenis dan bentuk hoho yang terdapat di Nias ini, umumnya memiliki beberapa unsur yang menjadikan hoho berciri sama dalam penyajiannya, yakni terdapat unsur bahasa (teks) dan unsur musikal (musik vokal), bahkan ada hoho yang dalam penyajiannya melibatkan unsur gerak (tarian), dalam hal ini
7
properti yang digunakan dalam tarian pun dapat menjadi bagian dari unsur musikal (musik ritmis), proses pembelajaran dari seluruh jenis hoho dari generasi ke generasi di Nias, hingga saat ini masih diwariskan atau disampaikan secara lisan (oral tradition). Hoho merupakan bentuk kearifan lokal yang sekaligus menjadi kekayaan budaya masyarakat Nias khususnya dan bangsa Indonesia umumnya.
Setelah masyarakat Nias mengenal agama modern (Kristen dan Islam) lambat laun hoho ini mengalami pergeseran peran. Terlebih-lebih dengan kemajuan zaman yang sering dipersepsi secara salah kaprah oleh masyarakat.
Seakan-akan nilai-nilai yang pernah menjadi pegangan hidup harus disingkirkan dengan alasan tidak sesuai lagi dengan kemajuan zaman. Padalah, di tengah era globalisasi dewasa ini transformasi kearifan lokal yang telah teruji sangat berguna dalam membentengi nilai-nilai yang akan melunturkan moral manusia.
Sebagaimana diungkapkan oleh Darma (1990) bahwa bangsa yang tidak menggali dan melestarikan nilai-nilai budaya yang pernah menjadi tata nilai dalam masyarakat akan tercabut dari percaturan kebudayaan global. (periksa Sadieli, 2006)
Pemahaman dan pemberlakuan seperti ini telah membawa konsekuensi dalam hampir seluruh tatanan kehidupan masyarakat Indonesia termasuk di Nias.
Seakan-akan budaya modern yang biasa diidentikkan dengan Barat atau Eropa memiliki nilai-nilai yang lebih unggul dibandingkan dengan nilai budaya milik bangsa sendiri. Dampak dari sikap dan perilaku seperti ini di antaranya, menyingkirkan bahkan melupakan nilai-nilai budaya sendiri yang telah teruji oleh
8
zaman. Nilai-nilai baru dari bangsa lain diserap begitu saja. Hal ini akan membawa akibat yang cukup menyedihkan yaitu memudar atau menghilangnya nilai-nilai budaya milik bangsa sendiri sehingga tidak lagi dikenal oleh generasi berikutnya. (periksa Sadieli, 2006)
Pemahaman masyarakat (termasuk Nias) yang tidak proporsional terhadap nilai budaya sendiri perlu dibenahi melalui pengkajian terhadap sistem nilai yang pernah diyakini oleh nenek moyang sebelumnya. Generasi muda bangsa perlu memiliki pemahaman yang memadai tentang nilai-nilai yang pernah diyakini oleh generasi sebelumnya. Untuk itu penelitian hoho yang dimiliki oleh masyarakat Nias perlu dilakukan agar generasi mereka dapat memahaminya dengan baik. Berdasarkan penelusuran awal, misalnya, hoho di kalangan masyarakat Nias, mengisahkan sejumlah hal seperti (1) asal usul manusia (2) asal usul Pulau Nias, (3) manusia pertama yang “turun” ke Pulau Nias, (4) hukum yang harus ditaati manusia di Pulau Nias dan aspek-aspek lainnya. Di lihat dari bentuknya, hoho ini dapat dikategorikan sebagai salah satu syair atau puisi rakyat.
Danandjaja (1993) menegaskan, kisah mengenai terjadinya mado-mado (marga) di Pulau Nias berupa syair yang disebut hoho. Hoho ini masih tetap dituturkan oleh masyarakat Nias, terutama pada saat pesta besar (owasa), pesta pernikahan, dan pesta adat lainnya. (periksa Sadieli, 2006). Dari sejumlah kerangka berpikir di atas, penulis berpendapat bahwa jenis tradisi lisan dalam bentuk hoho masyarakat Nias perlu dikaji agar hakikat atau esensinya dapat terungkap dengan jelas.
Temuan ini dapat menambah wawasan putra-putri bangsa Indonesia tentang keanekaragaman budaya, bahasa, dan sastra nusantara.
9
Menindaklanjuti wacana hoho di atas, penulis tertarik untuk melihat bentuk dan isi (fungsi, makna teks dan struktur musik) dari jenis hoho yang dalam penyajiannya terdapat unsur bahasa (teks), unsur musikal (musik vokal dan musik ritmis), dan unsur gerak (tarian). Jenis hoho ini dikenal dengan sebutan Hoho Faluaya, istimewanya Hoho Faluaya hanya terdapat di wilayah Kabupaten Nias Selatan5, dahulu hoho ini dapat di jumpai hampir di seluruh wilayah Nias Selatan, namun sekarang searah perkembangan zaman beberapa desa di Nias Selatan tidak lagi mampu mempertahankan tradisi lisan ini, sehingga kini hanya beberapa desa saja yang masih menggunakan Hoho Faluaya sebagai bagian dari aktivitasnya seperti pada peristiwa-peristiwa perayaan kematian golongan bangsawan, persiapan untuk berperang, mengukuhkan gelar bangsawan dan penyambutan tamu kehormatan.
Kabupaten Nias Selatan sejak pemekaran secara administratif kini menjadi 18 daerah Kecamatan6, 354 Desa , dan 2 Kelurahan. Demi fokusnya kajian terhadap bentuk dan isi (makna teks dan struktur musik) dari Hoho Faluaya, penulis memilih desa Bawömataluo7 sebagai lokasi penelitian.
Hoho Faluaya di desa Bawömataluo ini sering hanya disebut Faluaya saja, dibeberapa desa lain mereka terkadang menyebutnya dengan Fatele, Folaya,
5 Kabupaten Nias Selatan berada di bagian barat Provinsi Sumatera Utara. Sebelah Utara berbatasan dengan Kabupaten Nias dan Kabupaten Nias Barat, sebelah Timur dengan Kabupaten Mandailing Natal dan Kabupaten Tapanuli Tengah, sebelah selatan dengan Kepulauan Mentawai, Provinsi Sumatera Barat, dan sebelah barat berbatasan dengan Samudera Hindia.
618 Kecamatan di Kabupaten Nias Selatan: 1) Hibala, 2) Pulau-pulau Batu, 3) Pulau- pulau Batu Timur, 4) Teluk Dalam, 5) Fanayama, 6) Toma, 7) Maniamölö, 8) Mazinö, 9) Amandraya, 10) Aramö, 11) Lahusa, 12) Gomo, 13) Susua, 14) Mazo, 15) Umbunasi, 16) Lölömatua, 17) Lölöwa, dan 18) Hilimegai.
7 Bawömataluo adalah salah satu desa dari 16 desa sejak pemekaran yang berada di Kecamatan Fanayama Kabupaten Nias Selatan.
10
Molaya, Zaluaya, dan Maluaya, dimana pengertiannya hampir sama atau disetarakan dengan “menggelar kekuatan (show force), sekaligus membangkitkan semangat patriotisme para prajurit desa, melakukan gerakan berperang, sikap berperang, dalam kondisi atau seperti dalam situasi berperang”. Sehingga dalam penyajiannya selalu menggunakan properti perang (perlengkapan perang) seperti pakaian perang dan senjata perang. Hoho Faluaya cenderung lebih dimaknai sebagai konteks gerak (tarian). Bila dilihat sebagai produk seni, Hoho Faluaya adalah suatu genre (ragam) kesenian yang terdiri dari unsur seni: sastra, musik dan tari, yang memiliki nilai dan makna yang sangat mendalam. Terlebih belum banyaknya penelitian yang dilakukan dalam konteks nyanyian pemberi semangat (Hoho) kepada prajurit perang yang dilakukan dengan tarian perang (Faluaya).
Oleh karena itu perlu dilakukan pengkajian dengan memanfaatkan teori ilmiah.
Temuan ini akan dapat memperkaya khazanah kebudayaan Indonesia secara umum dan bidang kesastraan, musik serta tari secara khusus.
Dalam penyajian Hoho Faluaya terdapat tiga jenis hoho di dalamnya yang akan dibicarakan pada bab selanjutnya, yakni: Hoho Fu’alö, Hoho Fadölihia, dan Hoho Siöligö. Ketiga jenis hoho ini digunakan pada peristiwa perayaan kematian seorang bangsawan, peristiwa pengukuhan gelar bangsawan, penyambutan tamu kehormatan, serta pada aktivitas persiapan untuk berperang atau perayaan atas kemenangan dalam peperangan antar desa.
Sebagai sebuah karya cipta seni masyarakat zaman lampau dan sebagai salah satu tradisi lisan dari leluhur masyarakat Nias Selatan, perlu dilakukan pendekatan yang dianggap memadai untuk mengkaji Hoho Faluaya ini yakni
11
dengan pendekatan paradigma antropologi sastra, sebuah pendekatan yang memusatkan pengkajian pada tulisan etnografis yang bernilai sastra melihat aspek-aspek budaya masyarakat pemiliknya dan dengan pendekatan etnomusikologis8.
Sejarah perkembangan etnomusikologi khususnya di Eropa dan Amerika ditandai oleh berbagai peristiwa terutama yang berkaitan dengan buku-buku dan tulisan-tulisan yang dikerjakan oleh para ahli, seperti munculnya buku Dictionnaire de Musique karya Jean Jacques Rousseau (1768) sebagai tonggak sejarah yang mendasari berkembangnya etnomusikologi. Selain itu ditandai pula dengan ditemukannya peralatan-peralatan alat ukur frekuensi nada dan rekaman, serta berdirinya organisasi dan arkaif-arkaif yang berfungsi sebagai tempat pendokumentasian dan pengkajian musik bangsa-bangsa.
Sebelum tahun 1950-an para etnomusikolog lebih banyak melakukan aktivitas pencatatan dan pendokumentasian musik bangsa-bangsa yang pembahasannya lebih banyak pada kajian tekstual. Untuk menyalurkan minat para etnomusikolog, menampung, serta berbagi informasi mengenai musik etnis dari berbagai suku bangsa di dunia, maka Masyarakat Etnomusikologi (The Society For Ethnomusicology) yang didirikan tahun 1955 memberi kesempatan kepada
8 “Studi musik di dalam kebudayaan” (Merriam, 1960), adalah suatu yang penting bahwa definisi ini sesungguhnya dapat diterangkan jika ia benar-benar dipahami. Makna implisit yang terkandung dalam asumsi bahwa etnomusikologi adalah dibentuk dari musikologi dan etnologi, dan suara musik merupakan hasil dari proses tata tingkah laku manusia, yang dibentuk oleh berbagai nilai, sikap, dan kepercayaan masyarakatnya yang turut mengisi suatu kebudayaan.
Suara musik tidak akan tercipta, kecuali dari satu orang ke orang lainnya, dan meskipun kita tidak dapat memisahkan dua aspek tersebut secara konseptual, tidak akan diperoleh kenyataan yang lengkap tanpa mau mempelajarinya. Tata tingkah laku manusia menghasilkan musik, tetapi prosesnya adalah suatu yang kontinu; tata tingkah laku itu sendiri membentuk hasil suara musik, dan dengan demikian studi terhadap aspek yang satu tentunya akan melibatkan aliran studi lainnya.
12
mereka untuk membahas semuanya itudalam jurnal Ethnomusicology. Sejumlah sarjana aliran komparatif musikologi dari Berlin yang kemudian pindah ke Amerika juga mempunyai peran yang penting dalam perkembangan etnomusikologi di belahan barat, khususnya George Herzog, Miezyslaw Kolonski, dan Wachman. Begitu pula Charles Seeger yang berkebangsaan Amerika telah banyak memberi sumbangan terhadap disiplin ilmu ini di Amerika Serikat.
Trend etnomusikologi setelah tahun 1950-an banyak dipengaruhi oleh disiplin ilmu antropologi, sehingga karya-karya tulis hasil penelitian para etnomusikolog seperti John Blacking, Alan Lomax, Stockmann, Mcallester, Curt Sachs, dll. banyak melakukan studi kontekstual yang melihat persoalan hubungan antara musik dan kebudayaan masyarakatnya. Di Amerika disebut anthropology of music, dimana musik dianggap sebagai bagian dari kebudayaan dan diteliti dalam konteks kebudayaan. Ilmu ini dipopulerkan oleh Alan P. Merriam, BrunoNettle, dan Mantle Hood.
Hingga saat ini etnomusikologi masih sering disebut antropologi musik.
Antropologi memfokuskan ilmunya pada others dan difference, yaitu pemahaman perbedaan termasuk dalam hal etnisitas. Artinya dalam antropologi musik esensinya adalah bagaimana kita menghargai, memahami, dan mengerti perbedaan dalam musik. Ada dua pendekatan dalam mempelajari perbedaan itu, yaitu pertama musik dipelajari sebagai sebuah teks, dan kedua teks itu dipelajari di dalam konteks. Sehingga dapat dikatakan antropologi musik merupakan ilmu yang mempelajari musik di dalam konteksnya, seperti definisi yang dirumuskan
13
oleh Alan P. Merriam bahwa Etnomusikologi adalah ilmu yang mempelajari musik di dalam kebudayaan.
Dengan demikian dasar-dasar yang menjadi perhatian para etnomusikolog dalam mempresentasikan penelitiannya, sekurang-kurangnya terdiri dari tiga aspek, yakni: (1) sifat dasar dari proses-proses terjadinya musik secara teknis; (2) hubungan antara dunia musik dan dunia pembahasannya; dan (3) fungsi dari totalitas musik di dalam totalitas kebudayaan. Oleh karena orientasi studi etnomusikologi setelah tahun 1950 berkembang lebih melebar, maka studi ini menjadi bidang kajian yang multidisiplin karena banyak menggunakan/meminjam pendekatan dari cabang ilmu lain seperti sejarah, antropologi, sosiologi, akustika, dll. dalam membahas fenomena musik bangsa- bangsa yang ada di dunia ini.
Secara etnomusikologis, pentingnya melakukan studi terhadap teks lagu atau nyanyian adalah untuk mengetahui dan memahami karakteristik masyarakat pengguna dan pendukung nyanyian tersebut. Seperti yang dinyatakan oleh Alan Lomax sebagai berikut ini:
A song style, like other human things, is a pattern of learned behavior, common to the people of a culture. Singing is specialized act of communication, akin to speech, but far more formally organized and redundant. Because of its heightened redundancy, singing attracts and holds the attention of group; indeed, as in most primitive societies, it invites group perticipation. Wheter chorally performed or not, however, the chief function of song is to express the shared feelings and hold the joint activities of some human community. It is to be expected, therefore, that the content of the sung communication should be social rather than individual, normative rather than perticular (Lomax, 1968:3).
14
Lomax menyatakan bahwa sebuah gaya nyanyian, pada prinsipnya sama dengan tingkah laku manusia yang menjadi sifat umum masyarakatnya dalam suatu kebudayaan. Nyanyian adalah aksi khusus dari komunikasi, yang berhubungan dengan ujaran bahasa, tetapi lebih jauh dari itu nyanyian ini diorganisasikan dan diwujudkan lebih formal dibandingkan bahasa. Nyanyian mendapat perhatian sekelompok manusia, karena penekanannya pada perwujudan (yang dilebih-lebihkan). Sungguhpun demikian, bagi sebahagian besar masyarakat primitif, nyanyian mengundang perhatian kelompoknya. Apakah disajikan dalam paduan suara atau tidak. Dengan demikian, fungsi utama nyanyian adalah untuk mengekspresikan rasa, dan sekaligus sebagai suatu aktivitas daripada berbagai jenis komunikasi manusia. Nyanyian sangat dibutuhkan oleh masyarakatnya. Selanjutnya isi nyanyian tersebut lebih bersifat komunikasi sosial dibandingkan dengan komunikasi individual, lebih bersifat normatif dibandingkan menjelaskan fakta. Selain itu, teks juga turut berperanan dalam membentuk struktur umum yang menjadi acuan bagi penciptaan nyanyian Hoho Faluaya. Dalam hoho jenis ini, teks memberikan sumbangan besar terhadap garapan struktur musiknya. Dengan demikian teks sangat perlu untuk dianalisis sebagai bahagian dari struktur musiknya.
Pernyataan ini didukung pula oleh pendapat Lomax tentang teks pada nyanyian rakyat (dalam hal ini hoho) seperti berikut:
SCHOLAR [sic.] and enthusiasts in the field of folk song have long believed that the orally transmitted poetry of a people, passed on by them as part of their noncritically accepted cultural heritage, might yield crucial information about their principal concerns and unique world-view. However, in spite of extensive study and
15
collection of folk song texts, little has been done in a systematic way to test this idea. One of the very few such attempts is Sebeok's analysis of Cheremis lore (Sebeok, 1956, 1959, 1964).
The present study develops the hypothesis: that folk song texts, if analyzed in a systematic fashion, give clear expression to the level of cultural complexity, and a set of norms which differentiate and sharply characterize cultures (Lomax, 1968:5).
Menurut Alan Lomax, sarjana dan orang-orang yang menaruh minat yang luar biasa di dalam lapangan nyanyian rakyat, telah lama percaya bahwa transmisi puisi secara oral pada suatu masyarakat, mereka selami sebagai bagian dari penerimaan budaya warisan tanpa kritikan, yang dapat menghasilkan informasi yang penting tentang prinsip yang menjadi perhatian dunia atas pandangan mereka yang unik. Walau dilakukan kajian dan koleksi teks-teks nyanyian rakyat secara luas, hanya sedikit saja yang dilakukan secara sistematik untuk menguji ide ini. Satu dari berbagai usaha ini adalah analisis terhadap cerita masyarakat Cheremis yang dilakukan Sebeok (1956, 1959, 1964). Kajian masa kini mengembangkan hipotesis: bahwa teks nyanyian rakyat, jika dianalisis dengan cara yang sistematik, memberikan ekspresi yang jelas tentang tingkat kompleksitas kebudayaannya, dan memberikan seperangkat norma yang membedakan dan memperjelas karakteristrik berbagai kebudayaan.
Dalam kaitannya dengan penelitian ini, penulis akan melihat sejauh apa penyajian Hoho Faluaya yang merupakan warisan tradisi lisan masyarakat Nias Selatan yang disajikan oleh kelompok hoho (seorang sondroro dan kelompok sanoyohi). Dimana mereka telah memanfaatkan bakat dan kemampuan musikalnya sehingga terpilih dan terseleksi dengan sendirinya oleh masyarakat
16
pendukungnya dan menjadi bagian dalam setiap kegiatan-kegiatan ritual adat masyarakatnya. Hal ini juga berkaitan dengan kreativitas para kelompok hoho mereka dalam mengeksplor bakat dan kemampuannya. Begitu juga dengan menciptakan teks sesuai dengan konteksnya.
Pendekatan kajian tersebut di atas akan penulis pergunakan dalam mendukung kajian utama penulis, seperti yang akan dituangkan pada sub bab di bawah ini.
1.2 Fokus Masalah
Dalam penelitian ini, penulis terlebih dahulu menentukan beberapa hal yang menjadi fokus permasalahan agar penelitian ini lebih terarah. Adapun fokus kajian yang sekaligus menjadi batasan tulisan ini adalah :
1.2.1 Bagaimanakah fungsi penyajian Hoho Faluaya sebagai bentuk tradisi musik lisan dalam konteks ritual adat masyarakat di Nias Selatan;
1.2.2 Bagaimanakah struktur teks Hoho Faluaya dalam konteks ritual adat masyarakat di Nias Selatan;
1.2.3 Bagaimanakah struktur musikal Hoho Faluaya yang meliputi tangga nada (scale), jumlah pemakaian nada, wilayah nada (range), jarak antar nada (interval), pola-pola kadens dan kontur serta analisis yang menjadi fenomena musikal.
17
1.3 Tujuan dan Manfaat Penelitian
Adapun penelitian ini bertujuan untuk :
1.3.1 Menjelaskan fungsi penyajian Hoho Faluaya sebagai bentuk tradisi musik lisan dalam konteks ritual adat masyarakat di Nias Selatan;
1.3.2 Menjelaskan struktur teks Hoho Faluaya dalam konteks ritual adat masyarakat di Nias Selatan;
1.3.3 Menjelaskan struktur musikal Hoho Faluaya yang meliputi tangga nada (scale), jumlah pemakaian nada, wilayah nada (range), jarak antar nada (interval), pola-pola kadens dan kontur.
Adapun manfaatnya adalah sebagai bahan rujukan bagi masyarakat dan pemerintah dalam usaha pelestarian seni budaya Nias, dan melengkapi perbendaharaan musik Nias dalam masyarakat luas khususnya tentang Hoho Faluaya. Dan sebagai bahan dokumentasi tradisi sastra dan musik lisan yang akhirnya dapat dibaca pada perpustakaan perguruan tinggi dan sebagai upaya memperlihatkan kepada masyarakat Nias khususnya dan Indonesia umumnya dalam memahami nilai-nilai budaya yang luhur sebagai bentuk kearifan lokal dari Hoho Faluaya.
1.4 Tinjauan Pustaka
Sebelum melakukan kerja lapangan terlebih dahulu penulis melakukan studi kepustakaan, yakni dengan mempelajari literatur (buku, skripsi, artikel, makalah, majalah) tentunya yang berkaitan dengan obyek pembahasan yang akan
18
diteliti yakni “Tradisi Lisan Hoho Faluaya Dalam Masyarakat Nias di Desa Bawömataluo Kecamatan Fanayama Kabupaten Nias Selatan: Analisis Teks dan Struktur Musik”.
Kenyataan yang ada pada kebudayaan tradisi lisan masyarakat Nias, di Sumatera Utara. Sebagaimana umumnya tradisi lisan yang ada di Indonesia, tradisi lisan Nias yang memiliki unsur musik (vokal) juga memadukannya dengan gerak dan disebut Hoho Faluaya secara fungsional sangat terkait langsung dengan berbagai upacara adat tradisi yang telah dianut secara turun temurun oleh etnis Nias. Perlu ditegaskan bahwa sepanjang pengetahuan penulis sampai saat ini, buku yang secara khusus berintikan tentang Tradisi Lisan Hoho Faluaya Nias Selatan belum pernah ditemukan. Oleh karena itu, buku-buku yang berkaitan dengan kebudayaan musik Nias secara umum, dan pada bagian tertentu dalam buku tersebut juga berisi tentang Hoho Faluaya, layak untuk dipertimbangkan.
Tinjauan terhadap buku-buku yang membahas tentang teks hoho, penulis mengunjungi tulisan Hammerle (1986), dalam bukunya “Famatö Harimao” yang menuliskan bagaimana deskripsi dari pesta harimau, fondrakhö börönadu dan kebudayaan lainnya di wilayah Maena Mölö Nias Selatan. Dalam buku ini penulis dapat melihat bagaimana penyajian Faluaya dalam konteks upacara adat.
Berikutnya Hammerle (1995), bukunya “Hikaya Nadu” telah mengumpulkan hoho dari beberapa daerah di Nias yang berhubungan dengan berbagai jenis patung yang disembah dan dipuja oleh masyarakat Nias. Masih Hammerle (1990),
“Omo Sebua” membangun rumah adat yang diekspresikan melalui hoho.
Selanjutnya Hammerle (1990), “Asal Usul Masyarakat Nias” Suatu Interpretasi,
19
dimana banyak pandangan dari masyarakat Nias sendiri tentang asal usul hadirnya orang Nias di Pulau Nias.
Sadieli (2006), dalam bukunya “Representasi Budaya Nias Dalam Tradisi Lisan”, dimana beliau melihat fungsi dan makna dari hoho yang berkaitan dengan mitos asal usul kejadian (MAUK). Pengertian, bentuk, dan jenis-jenis hoho penulis jadikan pendekatan untuk melihat Hoho Faluaya.
Secara umum di Nias beberapa contoh musikal baik vokal maupun instrumen sudah pernah didokumentasikan oleh Japp Kunt (1939), dalam bukunya
“Music In Nias” selanjutnya penulis jadikan pendekatan dalam menganalisis struktur musik vokal (Hoho Faluaya).
Tujuan studi kepustakaan ini agar penulis memperoleh konsep, teori dan informasi yang dapat menjadi bahan acuan atau bandingan bagi penulis untuk mengupas permasalahan. Studi kepustakaan ini juga sebagai landasan bagi penulis dalam penelitian, dan buku-buku tersebut dapat dilihat di bagian daftar pustaka dari tesis ini.
1.5 Konsep dan Teori 1.5.1 Konsep
Konsep maupun pengertian, merupakan unsur pokok dari sebuah penelitian. Bila masalahnya serta kerangka teoritisnya sudah jelas, maka dengan mudah dapat diketahui pula fakta mengenai gejala-gejala yang merupakan pusat perhatian. Defenisi konsep itu sendiri secara singkat berarti sekelompak fakta atau
20
gejala (Koentjaraningrat 1981:32). Seperti yang dikatakan oleh R.Merton bahwa konsep adalah definisi dari apa yang perlu diamati. Konsep menentukan antara variabel-variabel mana kita ingin menentukan adanya hubungan empiris (ibid 1981:32).
Tradisi Lisan adalah semua kesenian, pertunjukan atau permainan yang menggunakan tuturan atau disertai ucapan lisan dalam konvensi budaya masyarakat (Sibarani, 2000). Selanjutnya disebutkan bahwa jika suatu kesenian, pertunjukan atau permainan tidak menggunakan atau tidak disertai tuturan atau ucapan lisan, maka itu tidak termasuk tradisi lisan. Sebaliknya, jika suatu cerita tidak lagi ditradisikan (dipertunjukkan atau dibiasakan dihadapan masyarakat pendukungnya) maka itu tidak lagi termasuk ke dalam tradisi lisan meskipun itu dahulu termasuk tradisi lisan, dan meskipun itu pada suatu saat potensial menjadi tradisi lisan.
Tradisi lisan tidak hanya dimaksudkan sebagai bagian dari informasi atau komunikasi untuk diteliti, didokumentasikan, dan untuk kepentingan sendiri melainkan harus menjadi yang pertama dan utama untuk memahami secara kontekstual keterhubungan struktur sosial (Chamarik, 1999). Tradisi lisan merupakan perangkat pengetahuan dan pembelajaran tentang budaya masa lalu dan fakta kehidupan manusia. Tradisi lisan juga menjadi sumber kekuasaan.
Tradisi lisan adalah sumber asli pembelajaran dan oleh karena itu memungkinkan pengembangan nilai-nilai sehingga menjadi penghubung keberadaannya. Tradisi lisan merupakan ekspresi gaya hidup yang tidak tertulis (unletterd) yang dapat
21
digunakan untuk merekonstruksi kehidupan masyarakat saat sekarang. (Periksa Sadieli, 2006: 31)
Hoho adalah salah satu jenis tradisi lisan masyarakat Nias berbentuk syair-syair yang biasa diturturkan dalam berbagai peristiwa sosial-budaya di kalangan masyarakat Nias. Hal ini sejalan dengan pendapat Hammerle (1999: 25) bahwa hoho dalam berbagai versi merupakan salah satu tradisi lisan Nias yang dapat dijadikan rujukan dalam memahami kebudayaan lama mereka. Hoho ini telah berurat berakar dalam kehidupan mereka sehari-hari. Seluruh kehidupan masyarakat Nias pada zaman dahulu diatur oleh hoho yang dituturkan ini. Itulah sebabnya mereka sering membedakan antara agama, pemerintah, dan adat. Istilah yang sering terdengar yaitu sara lala agama, sara fareta, sara lala hada (lain cara agama, lain cara pemerintah, dan lain cara adat).
Hoho Faluaya merupakan salah satu bagian dari beberapa jenis hoho yang ada pada masyarakat Nias, dan khusus hanya ada di daerah Nias Selatan.
Hoho jenis ini disajikan untuk merefleksikan suatu kekuatan yang dimiliki masyarakat Nias Selatan dalam mempertahankan wilayah mereka dari serangan musuh. Faluaya mempunyai pengertian gerakan atau tarian perang, dimana dalam penyajiannya dilakukan sambil menyanyikan apa yang dituturkan (di-hoho-kan).
Di dalam penyajian Hoho Faluaya terdapat tiga jenis hoho yakni, Hoho Fu’alö, Hoho Fadölihia, dan Hoho Siöligö.
Dalam menganalisis teks penulis mengkaji gaya bernyanyi yang ada, gaya bahasa, dan melihat makna-makna yang terkandung di dalamnya. Konsep