• Tidak ada hasil yang ditemukan

P0 9 ± 2,236 c 7,4 ± 1,673 a 2 ± 1,140 a P1 5,4 ± 1,673 b 5,4 ± 1,516 b 0,8 ± 0,447 b P2 4,6 ± 0,548 bc 4,4 ± 2,073 bc 0,6 ± 0,548 bc P3 3,2 ± 1,923 bc 4,2 ± 1,788 c 0,2 ± 0,447 bc P4 2,8 ± 0,836 c 3,4 ± 0,548 c 0 c

Superskrip yang berbeda pada tabel satu kolom menunjukkan perbedaan yang nyata (P<0,05)

Berdasarkan tabel diatas telah dilakukan analisis dengan uji F dan diperoleh Fhitung lebih besar dari Ftabel (0,05) (Lampiran 3,4,5), sehingga dapat disimpulkan bahwa pemberian ekstrak bunga kembang sepatu berpengaruh nyata terhadap penurunan jumlah folikel sekunder, folikel tersier dan folikel de Graaf. Untuk mengetahui apakah tiap-tiap perlakuan mempunyai pengaruh yang bermakna maka dilanjutkan dengan uji BNT dengan taraf nyata 5%.

kelompok perlakuan PI, P2 dan P3 tidak terdapat perbedaan yang nyata, sedangkan kelompok P1 berbeda nyata dengan P4.

Hasil pengamatan folikel tersier menunjukkan P1, P2, P3 dan P4 berbeda nyata (p<0,05) dengan P0 sedangkan antara P2, P3 dan P4 tidak berbeda nyata. Pada kelompok P1 dan P2 tidak berbeda nyata.

Hasil pengamatan folikel de Graaf menunjukkan P1, P2, P3 dan P4 berbeda nyata (p<0,05) dengan P0. Antara P1 dengan P4 terdapat perbedaan nyata, sedangkan antara P2, P3 dan P4 tidak berbeda nyata.

BAB V PEMBAHASAN

Efek antifertilitas ekstrak bunga kembang sepatu terhadap mencit betina dapat diketahui dengan mengamati jumlah folikel sekunder, folikel tersier, dan folikel de Graaf. Pengamatan dan penghitungan terhadap jumlah folikel yang dikehendaki berdasarkan pada ciri-ciri yang dimiliki oleh masing-masing folikel.

Siklus birahi mencit betina menurut aktivitas ovarium dibagi menjadi dua fase yaitu fase folikuler dan fase luteal (Toelihere, 1981). Separuh siklus yang berawal dari saat menstruasi dan terisi dengan perkembangan folikel disebut fase folikuler. Periode setelah ovulasi dimana corpus luteum menjadi fungsional disebut fase luteal (Bevelander dan Ramalay, 1979). Pada penelitian perlakuan diberikan selama 10 hari yaitu dua kali siklus birahi mencit, hal ini dimaksudkan jika ada salah satu fase yang terlewat pada lima hari pertama maka akan ditutupi pada pemberian lima hari yang kedua.

Tahapan perkembangan folikel terjadi pertumbuhan pada waktu hewan betina masih berada di dalam kandungan dan setelah lahir (Partodihardjo, 1992). Dalam tahap ini terjadi folikel primer yang berasal dari satu sel epitel benih yang membelah diri. Folikel primer terdiri dari satu sel telur yang dikelilingi selapis epitel pipih yang berkumpul di bawah kulit ovarium yang tipis disebut tunika albugenia dan sel telurnya tidak terbungkus oleh membran vitellin. Menurut Toelihere (1981) dan Guyton (1996), folikel primer tidak dibentuk dalam kehidupan dewasa betina. Sesudah masa pubertas FSH dan LH dari kelenjar

hipofisa anterior mulai disekresikan dalam jumlah besar sehingga ovarium bersama folikelnya mulai tumbuh. Dari hasil penghitungan jumlah folikel primer menunjukkan tidak ada perbedaan yang nyata antara perlakuan dengan kontrol. Hal ini disebabkan karena folikel primer telah dibentuk pada saat hewan betina baru lahir dan tidak dibentuk lagi pada masa pubertas, disamping itu pembentukan folikel primer tidak terpengaruh oleh FSH dan LH (Guyton, 1996) sehingga pemberian zat yang bersifat antigonadotropin tidak mempengaruhi jumlah folikel primer, hal tersebut yang menjadi alasan untuk tidak melakukan penghitungan terhadap jumlah folikel primer.

Folikel sekunder merupakan perkembangan lebih lanjut dari folikel primer yang terjadi saat hewan betina telah lahir dan menjalani proses pendewasaan tubuh. Ukurannya lebih besar karena sel-sel granulosanya lebih banyak, letaknya agak jauh dari permukaan ovarium. Ovumnya telah mempunyai pembungkus tipis yang disebut membrana vitellin dan terdapat membrana yang lebih tebal yang disebut zona pellucida (Ismudiono, 1999). Dari hasil penghitungan jumiah folikel didapatkan adanya perbedaan antara kelompok kontrol dengan seluruh kelompok yang menerima ekstrak bunga kembang sepatu. Perbedaan nyata terjadi antara kelompok P1, P2, P3 dan P4 (p<0,05) dengan P0, namun antara kelompok P1, P2 dan P3 tidak terdapat perbedaan yang nyata. Sedangkan kelompok P1 berbeda nyata dengan P4.

Folikel tersier ditandai dengan lebih banyaknya sel-sel granulosa sehingga folikel tampak lebih besar, letaknya lebih jauh dari permukaan dan adanya antrum folikuli yang berisi cairan yang disebut liquor folikuli (Toelihere, 198 1). Dari

hasil penghitungan jumlah folikel didapatkan hasil bahwa pada P1, P2, P3 dan P4 berbeda nyata (p<0,05) dengan P0 sedangkan antara P2, P3 dan P4 tidak berbeda nyata. Pada kelompok P1 dan P2 tidak berbeda nyata.

Folikel de Graaf adalah bentuk terakhir dan terbesar pada folikel ovarium yang terjadi beberapa hari menjelang estrus. Ovum dalam folikel de Graaf dibungkus oleh massa sel yang membungkusnya, menonjol ke dalam ruang antrum yang penuh dengan cairan folikel (Partodihardjo, 1992). Dari hasil perhitungan menunjukkan P1, P2, P3 dan P4 berbeda nyata (p<0,05) dengan P0. Antara kelompok P1 dan P4 terdapat perbedaan nyata, sedangkan antara kelompok P2, P3 dan P4 tidak berbeda nyata.

Kegiatan fisiologis kelenjar ovarium sangat tergantung kepada aktivitas kelenjar hipofisa anterior. Hormon gonadotropin dari kelenjar hipofisa anterior memegang peranan penting dalam mengatur aktivitas ovarium dalam suatu siklus birahi. Hormon FSH dan LH mendorong pertumbuhan dan terjadinya ovulasi folikel-folikel yang ada pada ovarium. (Hardjopranjoto, 1995).

Ekstrak bunga kembang sepatu diduga mengandung senyawa steroid sintetis (Sing et al., 1982). Bahan steroid dapat disintesis dari flavonoid, triterpenoid dan saponin. Hormon steroid bisa menekan produksi gonadotropin (Katzung, 1995; Meles, 1997). Oleh karena itu adanya hormon steroid dalam sediaan akan mengakibatkan gangguan sekresi FSH dan LH. Gangguan sekresi FSH dan LH akan berpengaruh terhadap perkembangan folikel, pematangan folikel serta gangguan ovulasi.

Menurut Robinson (1991) flavonoid dan triterpenoid dapat menghambat mono amina oksidase (MAO). Hambatan pada MAO akan mempengaruhi metabolisme norepinefrin yang menyebabkan norepinefrin tidak dapat diubah menjadi asam 3-metoksi 4-hidroksimandelat yang tidak aktif (Granner, 1987). Meningkatnya norepineprin pada ujung saraf simpatis maupun dalam sirkulasi darah akan menekan pelepasan GnRH di hipotalamus yang berperan merangsang produksi hormon gonadotropin. Gangguan pelepasan GnRH akan menghambat sekresi FSH dan LH. Keadaan tersebut akan mengakibatkan terganggunya proses pematangan folikel yang dapat diketahui dengan menurunnya jumlah folikel sekunder, folikel tersier dan folikel de Graaf dibandingkan dengan kontrol.

Perkembangan folikel menjadi masak tergantung adanya hormon FSH dari kelenjar hipofisa anterior. Selama siklus birahi normal, sekresi hormon FSH mendorong folikel tumbuh dan menjadi masak Kegagalan pematangan folikel akan menyebabkan jumlah folikel yang tumbuh lebih sedikit karena banyak folikel yang mengalami degenerasi dan menjadi atretis (Haddopranjoto, 1995). Menurut Junguiera (1998), folikel atresi dapat terjadi pada sembarang tahap perkembangan folikel. Folikel atresi ditandai dengan terhentinya proses mitosis dalam sel-sel granulose, terlepasnya sel granulose dari lamina basal dan matinya oosit. Atresi dianggap abnormal apabila sejumlah besar folikel ikut berdegenerasi. Kejadian atresi salah satunya dapat dipengaruhi oleh hormon eksogen (Toelihere, 1981), dalam hal ini pemberian ekstrak bunga kembang sepatu yang bersifat antigonadotropin.

FSH dan LH merangsang sel target ovarium dengan cara berkombinasi dengan reseptor FSH dan LH yang sangat spesifik pada membran sel. Reseptor yang diaktifkan selanjutnya akan meningkatkan laju kecepatan sekresi dari sel dan meningkatkan pertumbuhan serta proliferasi sel. Efek perangsangan ini dihasilkan dari pengaktifan second messenger yaitu cAMP yang dihasilkan melalui stimulasi adenilat siklase pada ujung reseptor yang menonjol ke bagian dalam sel (Guyton, 1996).

Menurut Harbone (1994), flavonoid dapat menyebabkan penurunan adenilat siklase sehingga produksi cAMP berkurang. Penurunan produksi cAMP ini mengakibatkan penurunan laju sekresi hormon FSH dan LH. Kurang rangsangnya FSH terhadap folikel menyebabkan folikel-folikel berhenti berkembang dan akhirnya mengalami involusi atau degenerasi (Guyton, 1996). Keadaan ini mengakibatkan folikel tidak dapat berkembang menuju tahap pendewasaan membentuk folikel de Graaf. Tidak terbentuknya folikel de Graaf akan menghambat sekresi estrogen sehingga produksi LH terhambat dan mengakibatkan tidak terjadinya ovulasi. Hal tersebut juga membuktikan bahwa kembang sepatu mempunyai sifat sebagai anti estrogenik (Singh et al, 1982). Menurut Nogrady (1992), zat anti estrogen digunakan sebagai penghambat sekresi estradiol. Estradiol mempunyai peranan dalam menyebabkan terjadinya ovulasi (Wodzica et al., 1991).

Flavonoid juga bersifat kompetitif antagonis dengan epinefrin. Hal ini menyebabkan jumlah epinefrin yang berikatan dengan reseptor menjadi berkurang, sehingga akan menghambat proses glikogenolisis. Hambatan pada

proses glikogenolisis menyebabkan hambatan pada proses pemecahan gikogen menjadi glukosa sehingga kadar glukosa dalam sel menjadi rendah. Sedikitnya kadar gula dalam sel akan membuat pertumbuhan folikel ovarium terhambat, karena glukosa adalah satu-satunya bahan makanan yang digunakan sel-sel untuk rnenyuplai energi yang dibutuhkan (Granner, 1987).

Berdasarkan basil penghitungan jumlah folikel sekunder, folikel tersier dan folikel de Graaf pada kelompok kontrol dan kelompok perlakuan, ditemukan adanya penurunan jumlah rata-rata folikel. Dapat disimpulkan bahwa ekstrak bunga kembang sepatu diduga mampu mempengaruhi perkembangan folikel sekunder, folikel tersier dan folikel de Graaf yang selanjutnya akan menghalangi proses ovulasi.

BAB VI

Dokumen terkait