• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB III : Tinjauan Umum Mengenai Wanprestasi dalam Perjanjian Pada Perusahaan

C. Force Majeure dalam Perjanjian Konstruksi

Dalam Pasal 1244 KUH Perdata Force Majeure atau yang sering diterjemahkan sebagai “keadaan memaksa” merupakan keadaan dimana seorang debitur terhalang untuk melaksanakan prestasinya karena keadaan atau peristiwa yang tidak terduga pada saat dibuatnya kontrak, keadaan atau peristiwa tersebut tidak dapat dipertanggungjawabkan kepada debitur, sementara si debitur tersebut tidak dalam keadaan beritikad buruk.41

Dalam hal ini, kejadian-kejadian yang merupakan Force Majeure tersebut tidak pernah terduga oleh para pihak sebelumnya akan adanya peristiwa tersebut, maka seyogyanya hal tersebut harus sudah dinegosiasi diantara para pihak. Sungguhpun Pasal 1244 dan juga Pasal 1245 KUH Perdata hanya mengatur masalah Force Majeure dalam hubungan dengan pergantian biaya rugi dan bunga       

41

saja, akan tetapi perumusan pasal-pasal ini dapat digunakan sebagai pedoman dalam mengartikan Force Majeure pada umumnya. Lebih lengkapnya, Pasal 1244 dan Pasal 1245 KUH Perdata menentukan sebagai berikut :

Pasal 1244

“Debitur harus dihukum untuk mengganti biaya, kerugian dan bunga, bila dia tidak dapat membuktikan bahwa tidak dilaksanakannya perikatan itu atau tidak tepat waktu dalam melaksanakan perikatan itu disebabkan oleh suatu hal yang tidak terduga, yang tidak dapat dipertanggungjawabkan kepadanya, walaupun tidak ada itikad buruk padanya.”

Pasal 1245

“Tidak ada pergantian biaya, kerugian dan bunga, bila dalam keadaan memaksa atau karena hal yang terjadi secara kebetulan, debitur terhalang untuk memberikan atau berbuat sesuatu yang diwajibkan, atau melaksanakan suatu perbuatan yang terlarang baginya.”

Seperti telah dijelaskan bahwa dari rumusan-rumusan dalam pasal KUH Perdata seperti tersebut di atas maka dapat dilihat bentuk-bentuk Force Majeure menurut KUH Perdata, yaitu sebagai berikut : 42

1. Force Majeure karena sebab-sebab yang tidak terduga.

Dalam hal ini, menurut Pasal 1244 KUH Perdata, jika terjadi hal-hal yang tidak terduga (pembuktiannya dipihak debitur) yang menyebabkan terjadinya kegagalan dalam melaksanakan kontrak, hal tersebut bukan termasuk dalam kategori wanprestasi kontrak, melainkan termasuk ke dalam kategori Force Majeure, yang pengaturan hukumnya lain sama sekali. Kecuali jika debitur beritikad jahat, dimana dalam hal ini debitur tetap dapat dimintakan tanggung jawabnya.

2. Force Majeure karena keadaan memaksa.       

42

Sebab lain mengapa seseorang debitur dianggap dalam keadaan Force Majeure sehingga dia tidak perlu bertanggung jawab atas tidak dilaksanakannya kontrak adalah jika tidak dipenuhinya kontrak tersebut disebabkan oleh keadaan memaksa.

3. Force Majeure karena perbuatan tersebut dilarang.

Dalam Pasal 1245 KUH Perdata apabila ternyata perbuatan (prestasi) yang harus dilakukan oleh debitur ternyata dilarang (oleh perundang-undangan yang berlaku), maka kepada debitur tersebut tidak terkena kewajiban membayar ganti rugi.43

Selanjutnya jika dilihat dari segi kemungkinan pelaksanaan prestasi dalam kontrak, suatu Force Majeure dapat dibeda-bedakan ke dalam beberapa jenis, yaitu :

1. Force Majeure yang absolut

Yang dimaksud dengan Force Majeure yang absolut adalah suatu Force Majeure yang terjadi sehingga prestasi dari kontrak sama sekali tidak mungkin dilakukan. Misalnya barang yang merupakan objek dari kontrak musnah. Dalam hal ini kontrak tersebut “tidak mungkin” untuk dilaksanakan.

2. Force Majeure yang relatif

Sementara itu, yang dimaksud dengan Force Majeure yang bersifat relatif adalah satu Force Majeure dimana pemenuhan prestasi secara normal tidak mungkin dilakukan, sungguh pun secara tidak normal masih mungkin dilakukan. Misalnya terhadap kontrak ekspor-impor dimana setelah kontrak dibuat terdapat larangan impor atas barang itu. Dalam hal ini barang tersebut tidak mungkin lagi diserahkan (diimpor), sungguhpun       

43

dalam keadaan tidak normal masih dapat dilakukan. Misalnya jika dikirim barang dengan jalan penyelundupan. Dalam hal ini sering dikatakan bahwa kontrak masih mungkin (possible) dilaksanakan, tetapi tidak praktis lagi (impracticability).44

Pasal 1237 KUH Perdata, yakni pengaturannya mengenai resiko. Sebagaimana diketahui bahwa akibat penting dari adanya Force Majeure adalah siapakah yang harus menanggung resiko dari adanya peristiwa yang merupakan Force Majeure tersebut.

Pasal 1237 KUH Perdata tersebut selengkapnya, menyatakan :

“dalam hal adanya perikatan untuk memberikan suatu kebendaan tertentu, maka sejak perikatan-perikatan dilahirkan, benda tersebut menjadi tanggungan pihak kreditur.”

Dari ketentuan dalam Pasal 1237 KUH Perdata tersebut di atas jelaslah bahwa jika terjadi Force Majeure atas kontrak sepihak, maka resikonya ditanggung oleh pihak penerima prestasi (kreditur). Kecuali jika pihak debitur lalai dalam memberikan prestasi, dimana sejak kelalaian tersebut menjadi resiko pihak pemberi prestasi (debitur).

Force Majeure juga sangat erat hubungannya dengan masalah ganti rugi dari suatu kontrak. Karena Force Majeure membawa konsekuensi hukum bukan saja hilangnya atau tertundanya kewajiban-kewajiban untuk melaksanakan prestasi yang terbit dari suatu kontrak, melainkan juga suatu Force Majeure dapat juga membebaskan para pihak untuk memberikan ganti rugi akibat tidak terlaksananya kontrak yang bersangkutan.

      

44

Ketentuan KUH Perdata yang mengatur mengenai Force Majeure ini dalam hubungan dengan ganti rugi adalah Pasal 1244 dan Pasal 1245 KUH Perdata. Lebih lengkapnya, Pasal 1244 dan Pasal 1245 KUH Perdata menentukan sebagai berikut :

Pasal 1244

“debitur harus dihukum untuk mengganti biaya, kerugian dan bunga, bila dia tidak dapat membuktikan bahwa tidak dilaksanakannya perikatan itu atau tidak tepat waktu dalam melaksanakan perikatan itu disebabkan oleh suatu hal yang tidak terduga, yang tidak dapat dipertanggung jawabkan kepadanya, walaupun tidak ada itikad buruk padanya.”

Pasal 1245

“tidak ada pergantian biaya, kerugian dan bunga, bila dalam keadaan memaksa atau karena hal yang terjadi secara kebetulan, debitur terhalang untuk memberikan atau berbuat sesuatu yang diwajibkan atau melaksanakan suatu perbuatan yang terlarang baginya.”45

Dari seluruh pasal-pasal dalam KUH Perdata yang mengatur tentang Force Majeure, dapat ditarik kesimpulan bahwa syarat-syarat dari suatu Force Majeure adalah sebagai berikut :

1. Peristiwa yang menyebabkan terjadinya Force Majeure tersebut haruslah “tidak terduga”oleh para pihak (vide Pasal 1244 KUH Perdata).

2. Peristiwa tersebut tidak dapat dipertanggungjawabkan kepada pihak yang harus melaksanakan prestasi (pihak debitur) tersebut (vide Pasal 1244 KUH Perdata).

3. Peristiwa yang menyebabkan terjadinya Force Majeure tersebut di luar kesalahan pihak debitur (vide Pasal 1545 KUH Perdata).

4. Peristiwa yang menyebabkan terjadinya Force Majeure tersebut bukan kejadian yang tidak disengaja oleh debitur. Ini merupakan perumusan yang kurang tepat. Sebab yang semestinya tindakan tersebut “diluar       

45

kesalahan” para pihak, bukan “tidak disengaja”. Sebab kesalahan para pihak baik yang dilakukan dengan sengaja ataupun yang tidak disengaja, yakni dalam bentuk “kelalaian” (negligence).

5. Para pihak debitur tidak dalam keadaan itikad buruk (vide Pasal 1244 KUH Perdata).

6. Jika terjadi Force Majeure, maka kontrak tersebut menjadi gugur, dan sedapat mengkin para pihak dikembalikan seperti seolah-olah tidak pernah dilakukan (vide Pasal 1545 KUH Perdata).

7. Jika terjadi Force Majeure, maka para pihak tidak boleh menuntut ganti rugi (vide Pasal 1244 juncto Pasal 1245, juncto Pasal 1553 ayat (2) KUH Perdata). Akan tetapi, karena kontrak yang bersangkutan menjadi gugur karena adanya Force Majeure tersebut, maka untuk menjaga terpenuhinya unsur-unsur keadilan, pemberian restitusi atau quantum merit tentu masih dimungkinkan.

8. Resiko sebagai akibat dari Force Majeure, beralih dari pihak kreditur kepada pihak debitur sejak saat seharusnya barang tersebut diserahkan (vide Pasal 1545 KUH Perdata). Pasal 1460 KUH Perdata mengatur hal ini secara tidak tepat (di luar sistem).46

Dari pengaturan-pengaturan yang sudah dijelaskan di atas yang mengatur mengenai Force Majeure secara umum, maka Force Majeure dalam Perjanjian Konstruksi juga memiliki pengaturan yang hampir sama. Force Majeure yang terdapat dalam suatu perjanjian konstruksi pada umumnya adalah disebabkan oleh beberapa faktor yaitu :

1. Bencana alam seperti hujan terus menerus, banjir, gempa bumi, kebakaran, peperangan, longsor, gunung meletus, huru-hara, pemberontakan dan epidemik.

      

46

2. Kebijakan Pemerintah yang menyebabkan keterlambatan pelaksanaan dan/atau penyelesaian kerja. ( berdasarkan beberapa perjanjian konstruksi yang terdapat di PT. Gapeksindo Hutama Kontrindo)

Perjanjian konstruksi biasanya dibedakan menjadi dua jenis, yaitu:

1. Dimana pihak pemborong atau kontraktor diwajibkan memberikan bahannya untuk pekerjaan tersebut.

2. Dimana si pemborong atau kontraktor hanya akan melakukan pekerjaannya saja.

Kedua jenis pekerjaan konstruksi itu dibedakan karena mempunyai pengaruh terhadap tanggung jawab kontraktor atas hasil yang diperjanjikan. Apabila pihak kontraktor yang diwajibkan memberi bahan dan pekerjaanya kemudian musnah dengan cara bagaimanapun sebelum diserahkan kepada pihak yang memborongkan, maka segala kerugian adalah atas tanggungan pihak kontraktor. Namun apabila pihak pengguna jasa telah menerima hasil pekerjaan itu dan kemudian lalai maka pihak kontraktor tidak bertanggung jawab atas kerugian yang ditimbulkan.

Apabila pihak kontraktor hanya diwajibkan melakukan pekerjaan saja sedangkan bahannya berasal dari pihak pengguna jasa atau pihak lainnya kemudian pekerjaannya musnah, maka ia hanya bertanggung jawab untuk kesalahannya ( Pasal 1605 dan 1606 ). Namun apabila pihak pengguna jasa dapat membuktikan bahwa pihak kontraktor yang bersalah, misalnya bahan tersebut telah sampai ke tangan pihak kontraktor tapi pihak kontraktor tidak menjaga dengan baik sehingga bahannya hilang maka pihak pengguna jasa dapat melimpahkan tanggung jawab atas kerugian yang timbul kepada pihak kontraktor.47

Kemudian apabila pihak kontraktor hanya diwajibkan melakukan pekerjaannya saja, oleh Pasal 1607 KUH Perdata dituturkan bahwa jika       

47

musnahnya pekerjaan itu terjadi di luar suatu kelalaian dari pihaknya kontraktor, sebelum pekerjaan itu diserahkan, sedang pihak yang memborongkan tidak telah lalai untuk memeriksa dan menyetujui pekerjaannya, maka pihak kontraktor tidak berhak atas harga yang diperjanjikan kecuali musnahnya pekerjaan itu diakibatkan oleh cacad dari bahannya. Dalam hal di atas tersebut belum jelas membahas tentang force majeure, disana hanya dikatakan mengenai musnahnya pekerjaan akibat kelalaian maupun diluar kelalaian. Paragraph di atas bermaksud menjelaskan apabila pihak kontraktor yang hanya diwajibkan untuk melakukan pekerjaan saja maka harus menjaga kondisi hasil pekerjaanya dalam keadaan baik sampai diserahkan kepada pihak pengguna jasa tetapi apabila pihak kontraktor dapat membuktikan bahwasanya kerusakan atau musnahnya pekerjaan yang dilakukan akibat dari bahan yg disediakan pihak pengguna jasa cacad maka pihak pengguna jasalah yang bertanggung jawab atas kerugian yang ditanggung oleh pihak kontraktor.48

Dalam hal Perjanjian Konstruksi memang agak jarang ditemukan kasus Force Majeure ini, namun juga pasti pernah terjadi. Akibat dari Force Majeure ini, dalam Perjanjian Konstruksi untuk membangun suatu bangunan, jembatan, tanggul dan lain sebagainya bisa menyebabkan bangunan yang sedang dibangun itu hancur semuanya atau hancur sebagian atau tidak memungkinkan untuk dilanjutkan. Hal ini memengaruhi dalam hal ganti rugi yang akan terjadi pada kedua belah pihak baik kontraktor maupun pemberi tugas atau bouwheer.

Dalam hal ini, apabila terjadi Force Majeure maka pihak kontraktor akan melaporkan kepada Pemberi Pekerjaan bahwasanya telah terjadi Force Majeure, kemudian pemberi tugas akan mengkonfirmasi akan menerima keadaan itu atau menolaknya. Biasanya laporan terjadi Force Majeure ini dilakukan dalam waktu 3 x 24 jam ( tiga kali dua puluh empat jam ). Dan apabila pihak pemberi tugas tidak memberi tanggapan atas hal itu maka pihak kontraktor akan menganggap bahwa pihak pemberi tugas menyetujui kondisi yang pihak kontraktor berikan.

      

48

Pengaturan-pengaturan secara lebih terperinci mengenai Force Majeure ini sebenarnya terdapat dalam kontrak yang dibuat oleh kedua belah pihak sendiri yaitu pihak kontraktor dan pemberi tugas. Dalam perjanjian konstruksi terdapat satu pasal yang secara detail membahas mengenai Force Majeure. Dalam bab selanjutnya akan dibahas lebih mendalam lagi mengenai Force Majeure pada suatu perjanjian konstruksi.

BAB IV

ANALISIS YURIDIS TENTANG FORCE MAJEURE TERHADAP

WANPRESTASI DALAM PERJANJIAN PADA PT GAPEKSINDO

HUTAMA KONTRINDO

A. Uraian Singkat Mengenai PT Gapeksindo Hutama Kontrindo

PT Gapeksindo Hutama Kontrindo merupakan perusahaan konstruksi dengan struktur perusahaan yaitu:

1. Direktur Utama : Simson Bangun

2. Direktur : Henry Yudika Tua Purba 3. Komisaris : Eduscha Lumban Tobing

PT Gapeksindo Hutama Kontrindo ini, berdomisili di Jalan Air Bersih Komplek Dirjen Anggaran Nomor 12, Kelurahan Sudirejo I Kecamatan Medan Kota dan didirikan pada tanggal 31 Agustus 2009 dimana didaftarkan melalui akta yang di buat oleh Notaris sekaligus Pejabat Pembuat Akta Tanah yang bernama Binsar Simanjuntak, SH, yang berkantor di Jalan Saudara Nomor 12 Medan.

Perusahaan ini bergerak dalam perencanaan, pelaksanaan, pengawasan konstruksi beserta fasilitas-fasilitasnya termasuk perencanaan pembangunan, mengerjakan pembebasan pembukaan, pengurungan, pemerataan, penjualan dan pembelian bangunan-bangunan rumah, gedung pertokoan, unit-unit apartment, ruangan kantor, kemudian juga menjual bahan-bahan bangunan dan materialnya.

Perusahaan ini bermodal dasar Rp. 1.500.000.000,- (satu milyard lima ratus juta rupiah), terbagi atas 1.500 (seribu lima ratus) saham, masing-masing saham

bernilai nominal Rp. 1.000.000,- (satu juta rupiah), dimana telah ditempatkan dan disetor penuh oleh para pendiri yang telah mengambil bagian saham dengan rincian serta nominal saham.

PT Gapeksindo ini mempunyai beberapa pengalaman yaitu pembangunan gedung milik dana pensiun untuk kantor PLN cabang Lubuk Pakam, Pekerjaan Pemasangan Dinding Luar Gedung dengan Aluminium Composite Gatung Keuangan Negara Medan Tahap II, kemudian proyek peningkatan jalan propinsi jurusan Pulau Rakyat-Bandar Pulau-Batas Tobasa di kabupaten Asahan , ada juga proyek pembangunan Jembatan Aek Simmonggo di PLTA Parlilitan dan juga masih banyak lagi sehingga pengalaman perusahaan ini dalam bidang konstruksi tentunya sudah cukup banyak.49

B. Terjadinya Force Majeure Terhadap Perjanjian Konstruksi pada PT Gapeksindo Hutama Kontrindo

Pemerintah pernah mengeluarkan beberapa ketentuan yang merupakan dasar hukum bagi pelaksanaan pemborongan terhadap proyek-proyek Pemerintah. Sebelum ditentukan pemborong mana yang dipilih untuk mengerjakan proyek-proyek Pemerintah, terlebih dahulu haruslah dilakukan prakualifikasi dan kualifikasi terhadap calon-calon pemborong yang ada. Perbuatan prakualifikasi pemborong ini dimaksudkan untuk mengetahui kemampuan dasar perusahaan, baik yang berbentuk badan hukum, maupun yang tidak berbadan hukum dimana

       . 49

mereka mempunyai usaha pokok berupa pelaksanaan pekerjaan pemborongan, konsultasi, dan pengadaan barang/jasa lainnya. Prakualifikasi diselenggarakan oleh suatu panitia yang ada di daerah dikepalai oleh Gubernur sebagai Kepala Daerah yang bersangkutan.50

Terhadap badan usaha yang telah melalui proses prakualifikasi dan kualifikasi untuk melakukan pekerjaan jasa pemborongan, konsultasi atau pengadaan barang/jasa tersebut disebut “rekanan”. Para rekanan tersebut selanjutnya ditempatkan dalam suatu daftar yang disebut “Daftar Rekanan Mampu,” sering disingkat dengan RDM. Sertifikat tanda lulus yang diberikan kepada mereka yang telah lulus prakualifikasi disebut dengan “Tanda Daftar Rekanan” sering disingkat dengan TDR.51 Selain Daftar Rekanan Mampu tersebut, terdapat pula apa yang disebut dengan “Daftar Rekanan Terseleksi” yang sering disingkat dengan DRT. Yang dimaksud dengan DRT adalah daftar rekanan bidang pemborong yang tercatat dalam Daftar Rekanan Mampu yang masih memiliki Sisa Kemampuan Nyata atau SKN dan perusahaan yang memiliki kualifikasi.

Dewasa ini, Daftar Rekanan Terseleksi terdiri dari 3 golongan sebagai berikut:

1. DRT golongan A, yang disusun dan disahkan oleh Menteri teknis yang bersangkutan dan dipergunakan secara nasional dan dikeluarkan setiap enam bulan sekali.

      

50

Munir Fuady, Kontrak Pemborongan Mega Proyek, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 1998), Hal.170

51 Ibid.,

2. DRT golongan B, yang disusun dan disahkan oleh Kepala Kantor wilayah departemen teknis vertikal daerah bersama-sama dengan dinas terkait berdasarkan petunjuk dari Menteri yang bersangkutan dan dikeluarkan setiap enam bulan sekali.

3. DRT golongan C, yang disusun oleh Panitia Pelelangan berdasarkan perhitungan Sisa Kemampuan Nyata (SKN) yang dibuat sendiri oleh rekanan yang disahkan oleh pemimpin proyek/kepala kantor/Satuan Kerja/Pemimpin Proyek/Pemimpin Bagian Proyek.52

Kegiatan-kegiatan yang dilakukan dalam proses prakualifikasi pemborong adalah sebagai berikut :

1. Registrasi

Registrasi merupakan suatu proses pencatatan sekaligus pendaftaran data perusahaan yang meliputi data administrasi, keuangan, personalia, peralatan, perlengkapan, dan pengalaman dalam melaksanakan pekerjaan. Kegiatan pencatatan dan pendaftaran dalam proses registrasi ini dilakukan terhadap data-data mengenai :

a. Data administrasi b. Data keuangan c. Data personalia d. Data peralatan e. Data perlengkapan

f. Data pengalaman dalam melakukan pekerjaan 2. Klasifikasi

      

52

Kegiatan yang disebut “klasifikasi” ini merupakan penggolongan perusahaan menurut bidang, subbidang, dan lingkup pekerjaannya.

3. Kualifikasi

Sementera itu, yang dimaksud dengan kegiatan “kualifikasi” adalah suatu proses penilaian dan penggolongan perusahaan menurut tingkat kemampuan dasarnya pada masing-masing bidang, subbidang, dan lingkup pekerjaannya.

Sedangkan prosedur pelaksanaan prakualifikasi dilaksanakan sebagai berikut. 1. Penetapan panitia prakualifikasi, yang diketuai oleh Gubernur, dengan

sekretaris adalah asisten II Sekda propinsi Bidang Pembangunan, dengan beberapa ketua bidang dan anggota Panitia Prakualifikasi ini mempunyai tugas-tugas sebagai berikut :

a. Mengumumkan seluas-luasnya tentang akan diadakannya prakualifikasi melalui antara lain radio, media cetak, papan pengumuman resmi, Kadin setempat, serta Asosiasi Profesi terkait

b. Menetapkan calon rekanan yang akan masuk dalam DRM c. Menyebarluaskan DRM yang ditetapkan

d. Menerima, meneliti, dan melakukan tindak lanjut atas sanggahan terhadap DRM

e. Mengeluarkan dari DRM rekanan yang tidak memenuhi persyaratan lagi sebagai rekanan atau yang melakukan hal-hal yang bertentangan dengan ketentuan yang berlaku dan mencantumkannya dalam daftar hitam.

f. Mengeluarkan DRM yang disempurnakan setiap tahun. 2. Pengumuman Prakualifikasi

3. Penyiapan Dokumen Prakualifikasi 4. Pengambilan Dokumen Prakualifikasi 5. Pengembalian Dokumen

6. Pemeriksaan Dokumen 7. Penilaian Dokumen

8. Pengesahan Penilaian Dokumen 9. Penetapan hasil prakualifikasi 10. Pemberian kode rekanan

12. Perubahan Klasifikasi dan Kualifikasi Rekanan oleh Rekanan53

Dalam pembangunan suatu proyek, cara memilih pihak kontraktor dapat dilakukan dengan cara-cara yaitu penunjukkan/pemilihan secara langsung, pengadaan secara langsung, pelelangan (tender) umum , pelelangan (tender) terbatas. Untuk itu, akan dijelaskan satu persatu sebagai berikut.

1. Penunjukan secara langsung.

Yang dimaksud dengan penunjukkan secara langsung adalah pemilihan kontraktor tanpa melalui suatu pelelangan umum ataupun pelelangan terbatas, akan tetapi dilakukan dengan memperbandingkan diantara beberapa kontraktor sekurang-kurangnya 3 kontraktor penawar dan langsung melakukan negosisasi teknis ataupun harga, sehingga diperoleh harga yang wajar dan teknis yang dapat dipertanggungjawabkan, yang menurut Keppres tersebut dipilih dari rekanan yang tercatat dalam DRM sesuai bidang usaha, ruang lingkup atau kualifikasi kemampuannya. 2. Pengadaan secara langsung

Untuk memilih kontraktor, di samping dilakukan penunjukan langsung, dilakukan juga dengan cara yang disebut “pengadaan langsung”. Yang dimaksud dengan pengadaan secara langsung adalah pemilihan kontraktor yang dilakukan di antara pihak kontraktor tertentu saja, misalnya di antara kontraktor golongan ekonomi lemah, tanpa melalui suatu pelelangan umum, pelelangan terbatas, dan juga tanpa pemilihan langsung.

3. Pemilihan kontraktor dengan tender terbatas

Yang dimaksud dengan pelelangan tender terbatas adalah pelelangan untuk proyek-proyek tertentu yang diikuti sejumlah minimal kontraktor tertentu, dimana diantara rekanan yang tercatat dalam Daftar Rekanan Mampu (DRM) sesuai dengan bidang usaha atau ruang lingkupnya atau kualifikasi kemampuannya, dengan pengumuman resmi untuk penerangan umum sehingga masyarakat luas dunia usaha dapat mengetahuinya.

4. Pemilihan kontraktor dengan tender umum

Pemilihan kontraktor dengan tender umum adalah pelelangan yang dilakukan secara terbuka dengan pengumuman secara luas melalui media massa, media cetak dan pada papan pengumuman resmi untuk diberitahukan kepada masyarakat luas jika ada di kalangan dunia usaha yang berminat untuk mengikuti tender tersebut dan memenuhi syarat prakualifikasi.54

Pelelangan umum ini dilakukan dengan menempuh prosedur sebagai berikut : 1. Pembentukan panitia pelelangan

      

53

Ibid., hal.171-173 54

2. Pengumuman dan pemberian penjelasan

3. Pengajuan penawaran dan dokumen-dokumennya 4. Pembukaan dokumen penawaran

5. Penetapan calon pemenang 6. Penetapan pemenang 7. Pengumuman pemenang 8. Penunjukan pemenang

9. Pelelangan ulang, jika pelelangan pertama gagal.

Sedangkan penyaringan Pemborong untuk proyek-proyek swasta memiliki prosedur sebagai berikut :

1. Prosedur pemilihan pemborong untuk proyek swasta

Pada prinsipnya, untuk proyek swasta dikenal dua prosedur pemilihan pemborong, yaitu prosedur negosiasi dan prosedur tender, untuk lebih jelasnya akan ditinjau satu persatu sebagai berikut.

a. Pemilihan kontraktor secara negosiasi

Pada prinsipnya, bouwheer swasta bebas menentukan sendiri cara pemilihan kontraktor, apakah melalui suatu tender ataupun melalui negosiasi atau bahkan suatu bentuk kombinasi antara keduanya. Melalui sistem negosiasi, pemilihan kontraktor tidak dilakukan dengan suatu tender tertentu, akan tetapi pihak bouwheer bernegosiasi langsung dengan pihak kontraktor untuk memastikan apakah kontraktor tersebut dapat dipilih untuk mengerjakan proyek yang bersangkutan. Sehingga prosedur negosiasi ini praktis lebih bersifat informal. Dalam hal ini, pihak bouwheer mengkontak satu atau lebih kontraktor yang menurut penilaiannya mampu mengerjakan pekerjaan yang dimaksud, sambil menginformasikan persyaratan-persyaratan untuk itu. Biasanya, pihak bouwheer memintakan pihak kontraktor untuk memasukkan penawarannya kepada pihak bouwheer. Sungguhpun tidak bersifat informal, prosedur negosiasi dalam memilih pihak kontraktor seringkali memerlukan dasar-dasar tertentu yang merupakan framework tertentu untuk memperlancar negosiasi yang dimaksud. Misalnya harus disepakati terlebih dahulu tentang adanya beberapa informasi tertentu yang tidak boleh

didisclose oleh salah satu pihak kepada pihak luar. Ataupun disepakati terlebih dahulu bahwa sebelum ditandatangani suatu kontrak tertulis maka diantara para pihak tidak menimbulkan kewajiban-kewajiban tertentu yang mengikat secara kontraktual. Jika dilakukan negosiasi hanya kepada satu calon kontraktor, maka salah satu persoalan yang perlu dipikirkan oleh para pihak, terutama oleh pihak bouwheer adalah tidak adanya kesempatan bagi pihak bouwheer tersebut

Dokumen terkait