ANA WA KONS Diaju ALISIS YUR ANPRESTA STRUKSI ( ukan Untuk Syarat DEP PRO U RIDIS TEN ASI DALAM
( STUDI KA
k Melengka t Untuk Me
EL N PARTEME OGRAM KE FA UNIVERSI NTANG FO M PERJAN ASUS PAD KONTRIN SKRIP api Tugas-T emperoleh OLEH LDAYANI
NIM : 1002
EN : HUKU EKHUSUS AKULTAS ITAS SUM MEDA 2014 ORCE MA NJIAN PA DA PT GAP
NDO ) PSI Tugas Dala Gelar Sarj H: SIRAIT 200130 UM KEPER SAN : PERD
t-ANALISIS YURIDIS TENTANG FORCE MAJEURE TERHADAP WANPRESTASI DALAM PERJANJIAN PADA PERUSAHAAN KONSTRUKSI ( STUDI KASUS PADA PT GAPEKSINDO HUTAMA
KONTRINDO ) Skripsi
Diajukan Untuk Melengkapi Tugas-Tugas dan Memenuhi Syarat Untuk
Memperoleh Gelar Sarjana Hukum
OLEH:
Eldayani Sirait
100200130
Mengetahui:
Ketua Departemen Hukum Perdata
Dr.H.Hasim Purba, SH.M.Hum
NIP. 19660303198508100
Dosen Pembimbing I Dosen Pembimbing II
KATA PENGANTAR
Puji syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa penulis panjatkan karena atas rahmat dan karunia bagi masa, kesehatan, dan pikiran yang Tuhan berikan kepada penulis-lah sehingga penulisan skripsi ini dapat diselesaikan dengan baik. Adapun penulisan skripsi yang berjudul ANALISIS YURIDIS TENTANG FORCE MAJEURE TERHADAP WANPRESTASI DALAM PERJANJIAN PADA PERUSAHAAN KONSTRUKSI PADA PT GAPEKSINDO HUTAMA KONTRINDO adalah karya tulis yang diajukan sebagai pemenuhan syarat untuk mencapai gelar Sarjana Hukum (SH) di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.
Secara khusus Penulis menempatkan ucapan terimakasih teristimewa kepada Ayahanda J. Sirait dan Ibunda S br Tobing (semoga Tuhan melimpahkan kasih sayang kepada mereka) yang dengan kesabaran dan keikhlasan dalam memberikan kasih sayang, perhatian, ilmu, dan bekal keimanan yang menjadi bekal dan inspirasi Penulis dalam menjalani hidup.
Tak lupa juga penulis ucapkan terima kasih dan penghargaan sebesar-besarnya kepada:
1. Bapak Prof. Dr. Runtung Sitepu, S.H., M.Hum. selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara atas kepemimpinan serta dukungan yang besar terhadap seluruh mahasiswa/i di dalam lingkungan Kampus Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.
2. Bapak Prof. Dr. Budiman Ginting, S.H., M.Hum. selaku Pembantu Dekan I Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.
3. Bapak Syafruddin Hasibuan, S.H., M.H., DFM selaku Pembantu Dekan II Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.
4. Bapak Muhammad Husni, S.H., M.H. selaku Pembantu Dekan III Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.
kasih atas waktu dan kesempatan yang telah Bapak dan Ibu berikan hingga skripsi ini dapat selesai sebagaimana mestinya.
6. Bapak M. Hayat, S.H selaku Dosen Pembimbing I sekaligus Dosen mata kuliah Perancangan Kontrak yang telah memberikan bimbingan dalam penyelesaian skripsi ini. Terima kasih atas ilmu dan nasihat-nasihatnya di sela-sela perkuliahan, semoga banyak hal yang bapak ajarkan dapat saya amalkan dengan baik.
7. Bapak Malem Ginting, SH., M.Hum. selaku Dosen Pembimbing II, terima kasih telah meringankan kesulitan saya dalam penyelesaian skripsi ini dan selalu menyambut baik setiap pertemuan dengan penulis.
8. Bapak Prof. Dr. Tan Kamello, S.H., M.S. selaku Dosen matakuliah Hukum Perdata lanjutan sekaligus Dosen Pembimbing Akademik yang telah membimbing persoalan akademik penulis selama berada di Fakultas Hukum USU, yang telah menjadi “Bapak” bagi kami para mahasiswa bimbingannya. Penulis mengucapkan terima kasih sebesar-besarnya juga atas pengetahuan dan segala bantuannya yang sangat bermanfaat bagi Penulis.
9. Kepada Lidya Susanti Siburian, Febri Sri Utami, Tania Sitio, Imelda Sihite senang bisa bersama kalian semua menjadi bagian dari pertemanan ini. semoga kita bisa memberikan yang terbaik bagi kita dan menjadi orang yang berguna bagi Nusa dan Bangsa.
10. Kepada seluruh teman-teman stambuk 2010 atas tahun-tahun yang penuh kenangan dan kebersamaan dalam menimba ilmu di Fakultas Hukum USU. Terima kasih atas persahabatan dan bantuannya selama ini.
11. Kepada seluruh senioren dan adik-adik junioren Fakultas Hukum USU terima kasih atas bimbingan, pengalaman, dan persahabatan yang terjalin selama ini, semoga tetap membekas di hati kita masing-masing.
nasehatnya. Semoga saya dapat membalasnya dengan memberikan manfaat dan kebaikan kepada orang yang lebih banyak.
Penulis sadari bahwa karya ilmiah yang hadir didepan para pembaca ini adalah jauh dari kesempurnaan, oleh karenanya penulis mengharapkan keringanan dari pembaca untuk menyumbangkan kritikan dan saran sehingga memberikan perkembangan yang lebih baik dari hasil tulisan ini dimasa mendatang. Semoga karya ilmiah ini bermanfaat bagi pembaca bagi penulis. Akhir kata, semoga segala keikhlasan dan bantuan yang diberikan kepada penulis dalam penyelesaian karya ilmiah ini mendapat berkat dari Tuhan Yang Maha Esa.
DAFTAR ISI
ABSTRAKSI………..……….i
KATA PENGANTAR………...…………ii
DAFTAR ISI……….………iv
BAB I : PENDAHULUAN A. Latar Belakang………..………..……...1
B. Perumusan Masalah.………..……….……...7
C. Tujuan Penelitian..……….……….……...7
D. Manfaat Penelitian………...……….…....8
E. Metode Penelitian…….………….……….…...9
F. Keaslian Penulisan………...13
G. Sistematika Penulisan…………...………...14
BAB II : Tinjauan Umum Tentang Perjanjian dan Perseroan Terbatas A. Pengertian Umum Perjanjian………..17
B. Syarat Sahnya Suatu Perjanjian………...23
C. Bentuk-bentuk Umum Perjanjian………...26
D. Pengertian Perseroan Terbatas Secara Umum……….32
E. Dasar Hukum Terbentuknya Perseroan Terbatas………35
F. Pembagian Wewenang dan Tanggung Jawab dalam Perseroan Terbatas…...37
G. Perusahaan Jasa Bidang Konstruksi Pada Umumnya………..42
BAB III : Tinjauan Umum Mengenai Wanprestasi dalam Perjanjian Pada Perusahaan Konstruksi Akibat Terjadinya Force Majeure A. Pengertian Wanprestasi………...…………...….46
B. Perjanjian Pada Perusahaan Konstruksi…...………49
C. Force Majeure dalam Perjanjian Konstruksi……...………...59
A. Uraian Singkat Mengenai PT Gapeksindo Hutama Kontrindo………...66 B. Terjadinya Force Majeure Terhadap Perjanjian Konstruksi pada PT
Gapeksindo Hutama Kontrindo ………..67 C. Pihak yang Menanggung Kerugian Apabila Terjadi Force Majeure dalam
Pelaksanaan Perjanjian Konstruksi………..77 D. Bentuk Pertanggungjawaban atas Terjadinya Force Majeure dalam
Pelaksanaan Perjanjian Konstruksi………... 88
BAB V : PENUTUP
A. Kesimpulan…...………96 B. Saran ……….98
DAFTAR PUSTAKA
ABSTRAK
ANALISIS YURIDIS TENTANG FORCE MAJEURE TERHADAP WANPRESTASI DALAM PERJANJIAN PADA PERUSAHAAN KONSTRUKSI ( STUDI KASUS PADA PT GAPEKSINDO HUTAMA
KONTRINDO ) Oleh:
Eldayani Sirait
100200130
Skripsi ini membahas mengenai analisis yuridis tentang force majeure terhadap wanprestasi dalam perjanjian pada perusahaan konstruksi, untuk mengetahui suatu kejadian yang disebut force majeure dalam pelaksanaan suatu perjanjian pada perusahaan konstruksi dalam hal ini adalah PT Gapeksindo Hutama Kontrindo, untuk mengetahui pihak mana yang akan bertanggung jawab apabila terjadi keadaan memaksa atau force majeure pada perusahaan konstruksi dan masyarakat secara umum maupun PT Gapeksindo Hutama Kontrindo secara khusus dan untuk mengetahui bentuk dari pertanggungjawaban dari pihak yang dibebani apabila terjadi force majeure tersebut.
Penelitian ini menggunakan penelitian yuridis normatif yaitu suatu bentuk penelitian yang menggambarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku dikaitkan dengan teori-teori hukum dan praktik pelaksanaan hukum positif, yang menyangkut dengan permasalahan yang diselidiki. Adapun teknik pengumpulan data yang penulis gunakan dalam penelitian ini adalah wawancara, study kepustakaan, pengamatan atau observasi langsung kelapangan. Semakin lajunya pertumbuhan ekonomi Negara tentu juga harus dibarengi dengan lajunya pembangunan dalam segala bidang termasuk bidang konstruksi. Perusahaan-perusahaan konstruksi juga semakin bertambah dan proyek yang diberikan oleh Pemerintah maupun swasta juga bertambah. Pembangunan dalam bidang konstruksi ini perlu dilakukan dalam memajukan kualitas Negara kita, misalnya saja membangun jembatan, jalan, listrik di daerah-daerah terpencil. Di sisi lain, pelaksanaan perjanjian yang dilakukan antara perusahaan konstruksi dengan pihak yang ingin memakai jasa mereka pasti memiliki kendala, salah satu kendala itu adalah terjadinya force majeure pada saat dilakukannya pelaksanaan pembangunan kontruksi. Peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang force majeure pada perusahaan konstruksi juga tidak begitu mendetail. Oleh sebab itu para pihak yang melakukan perjanjianlah yang diharapkan dapat mengatur sendiri secara detail mengenai force majeure tersebut.
ABSTRAK
ANALISIS YURIDIS TENTANG FORCE MAJEURE TERHADAP WANPRESTASI DALAM PERJANJIAN PADA PERUSAHAAN KONSTRUKSI ( STUDI KASUS PADA PT GAPEKSINDO HUTAMA
KONTRINDO ) Oleh:
Eldayani Sirait
100200130
Skripsi ini membahas mengenai analisis yuridis tentang force majeure terhadap wanprestasi dalam perjanjian pada perusahaan konstruksi, untuk mengetahui suatu kejadian yang disebut force majeure dalam pelaksanaan suatu perjanjian pada perusahaan konstruksi dalam hal ini adalah PT Gapeksindo Hutama Kontrindo, untuk mengetahui pihak mana yang akan bertanggung jawab apabila terjadi keadaan memaksa atau force majeure pada perusahaan konstruksi dan masyarakat secara umum maupun PT Gapeksindo Hutama Kontrindo secara khusus dan untuk mengetahui bentuk dari pertanggungjawaban dari pihak yang dibebani apabila terjadi force majeure tersebut.
Penelitian ini menggunakan penelitian yuridis normatif yaitu suatu bentuk penelitian yang menggambarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku dikaitkan dengan teori-teori hukum dan praktik pelaksanaan hukum positif, yang menyangkut dengan permasalahan yang diselidiki. Adapun teknik pengumpulan data yang penulis gunakan dalam penelitian ini adalah wawancara, study kepustakaan, pengamatan atau observasi langsung kelapangan. Semakin lajunya pertumbuhan ekonomi Negara tentu juga harus dibarengi dengan lajunya pembangunan dalam segala bidang termasuk bidang konstruksi. Perusahaan-perusahaan konstruksi juga semakin bertambah dan proyek yang diberikan oleh Pemerintah maupun swasta juga bertambah. Pembangunan dalam bidang konstruksi ini perlu dilakukan dalam memajukan kualitas Negara kita, misalnya saja membangun jembatan, jalan, listrik di daerah-daerah terpencil. Di sisi lain, pelaksanaan perjanjian yang dilakukan antara perusahaan konstruksi dengan pihak yang ingin memakai jasa mereka pasti memiliki kendala, salah satu kendala itu adalah terjadinya force majeure pada saat dilakukannya pelaksanaan pembangunan kontruksi. Peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang force majeure pada perusahaan konstruksi juga tidak begitu mendetail. Oleh sebab itu para pihak yang melakukan perjanjianlah yang diharapkan dapat mengatur sendiri secara detail mengenai force majeure tersebut.
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Negara Indonesia merupakan negara yang sedang berkembang sehingga
pelaksanaan pembangunan dalam segala bidang selalu ditingkatkan dari waktu ke
waktu. Pembangunan yang dilakukan, secara umum bertujuan untuk
meningkatkan kesejahteraan rakyat Indonesia. Oleh karena itu pembangunan yang
dilakukan oleh Pemerintah harus dilaksanakan secara merata sehingga seluruh
lapisan masyarakat Indonesia dapat merasakan dampak dari pembangunan itu
sendiri.
Pemerataan ini merupakan salah satu asas untuk menuju terciptanya keadilan sosial. Asas pemerataan ini dituangkan dalam berbagai langkah dan kegiatan, antara lain melalui “ delapan jalur pemerataan” yaitu:
1. Pemerataan pemenuhan kebutuhan pokok rakyat banyak, khususnya pangan sandang dan perumahan.
2. Pemerataan kesempatan memperoleh pendidikan dan pelayanan kesehatan. 3. Pemerataan kesempatan kerja.
4. Pemerataan pembagian pendapatan. 5. Pemerataan kesempatan berusaha.
6. Pemerataan berpartisipasi dalam pembangunan khususnya bagi generasi muda dan kaum wanita.
7. Pemerataan penyebaran pembangunan di seluruh wilayah Tanah Air. 8. Pemerataan kesempatan memperoleh keadilan.1
Pada jalur yang ketujuh yaitu pemerataan penyebaran pembangunan di
seluruh wilayah Tanah Air, salah satunya diterapkan melalui berbagai macam
pembangunan fisik di seluruh Indonesia baik itu membangun, memelihara,
memperbaiki gedung-gedung (perumahan rakyat, kantor-kantor Pemerintah dan
1
lain-lain), jalan-jalan, jembatan dan lain sebagainya agar kesejahteraan rakyat
makin meningkat dan merata. Pembangunan fisik yang dilakukan oleh Pemerintah
ini merupakan proyek-proyek yang sangat besar dan sulit apabila hanya dilakukan
oleh Pemerintah sendiri saja. Oleh karena itu dalam melaksanakan pembangunan
ini, pihak Pemerintah mengadakan kegiatan pemborongan/konstruksi agar lebih
memudahkan pelaksanaannya.
Kegiatan pemborongan/konstruksi ini tentu saja melibatkan pihak-pihak yang
terkait di dalamnya, yaitu pihak pemberi tugas (Pemerintah) dan pemborong
(kontraktor). Kontraktor ini bisa dari badan usaha yang tidak berbadan hukum
maupun badan usaha yang berbadan hukum baik dari swasta maupun Pemerintah.
Kontraktor ini tentunya agar berkualifikasi untuk melaksanakan tugas
pemborongan dari Pemerintah, maka membuat suatu perusahaan konstruksi yang
pada umumnya bergerak di bidang jasa konstruksi yang memperoleh izin dari
Menteri Pekerjaan Umum atau pejabat yang ditunjuk.2
Dalam hal kegiatan pemborongan/konstruksi ini maka antara pihak Pemerintah sebagai pemberi tugas dengan pihak pemborong (kontraktor) sebagai pelaksana tugas menimbulkan hubungan hukum. Hubungan hukum antara yang memborongkan dengan pemborong diatur sebagai berikut:
1. Apabila yang memborongkan maupun pemborong keduanya Pemerintah, maka hubungan hukumnya disebut hubungan kedinasan.
2. Apabila yang memborongkan pihak Pemerintah sedangkan pemborongnya pihak swasta, maka hubungan hukumnya disebut perjanjian pemborongan yang dapat berupa akta di bawah tangan, Surat Perintah Kerja, Surat Perjanjian Kerja.
3. Apabila yang memborongkan maupun pemborong keduanya pihak swasta, maka hubungan hukumnya disebut perjanjian pemborongan yang
2
dapat berupa akta di bawah tangan, Surat Perintah Kerja, Surat Perjanjian Pemborongan.3
Dalam angka 2 dan angka 3 dimana hubungan hukum yang timbul antara
pemborong dengan yang memborongkan adalah perjanjian
pemborongan/konstruksi. Dalam Pasal 1601 b Kitab Undang-undang Hukum
Perdata (BW), pemborongan pekerjaan adalah perjanjian, dengan mana pihak
yang satu, si pemborong, mengikatkan diri untuk menyelenggarakan suatu
pekerjaan bagi pihak lain, pihak yang memborongkan, dengan menerima suatu
harga yang ditentukan. Oleh karena pemborongan pekerjaan ini termasuk juga
sebagai perjanjian maka hukum dan asas-asas perjanjian juga dapat dijadikan
acuan dalam pemborongan pekerjaan ini.
Sedangkan dalam Undang-undang Nomor 18 Tahun 1999 tentang Jasa
Konstruksi menyebutkan bahwa perjanjian kerja pemborongan/kontrak kerja
konstruksi adalah keseluruhan dokumen yang mengatur hubungan hukum antara
pengguna jasa dan penyedia jasa dalam penyelenggaraan pekerjaan konstruksi.
Belakangan kata pekerjaan pemborongan ini berubah menjadi pekerjaan
konstruksi yang memiliki pengertian yang sama dan pihak yang memborongkan
berubah menjadi pengguna jasa, pihak pemborong berubah menjadi penyedia jasa.
Apapun pengertian maupun istilah yang digunakan dalam perjanjian
pemborongan/konstruksi ini, yang terpenting adalah isi dari perjanjian itu sendiri.
3
Dalam Pasal 22 Ayat (2) Undang-undang Nomor 18 Tahun 1999 tentang Jasa
Konstruksi menyebutkan bahwa kontrak kerja konstruksi sekurang-kurangnya
harus mencakup uraian mengenai :
1. Para pihak, yang memuat secara jelas identitas para pihak;
2. Rumusan pekerjaan, yang memuat uraian yang jelas dan rinci tentang lingkup kerja, nilai pekerjaan, dan batasan waktu pelaksanaan;
3. Masa pertanggungan dan/atau pemeliharaan yang menjadi tanggung jawab penyedia jasa;
4. Tenaga ahli yang memuat tentang jumlah, klasifikasi dan kualifikasi tenaga ahli untuk melaksanakan pekerjaan konstruksi;
5. Hak dan kewajiban, yang memuat hak pengguna jasa untuk memperoleh hasil dari pekerjaan konstruksi serta kewajibannya untuk memenuhi ketentuan yang diperjanjikan serta hak penyedia jasa untuk memperoleh informasi dan imbalan jasa serta kewajibannya melaksanakan pekerjaan konstruksi;
6. Cara pembayaran, yang memuat ketentuan tentang kewajiban pengguna jasa dalam melakukan pembayaran hasil pekerjaan konstruksi;
7. Cidera janji, yang memuat ketentuan tentang tanggung jawab dalam hal salah satu pihak tidak melaksanakan kewajiban sebagaimana diperjanjikan;
8. Penyelesaian perselisihan, yang memuat ketentuan tentang tata cara penyelesaian perselisihan akibat ketidaksepakatan;
9. Pemutusan kontrak kerja konstruksi, yang memuat ketentuan tentang pemutusan kontrak kerja konstruksi yang timbul akibat tidak dapat dipenuhinya kewajiban salah satu pihak;
10. Keadaan memaksa (Force Majeure), yang memuat tentang kejadian yang timbul di luar kemauan dan kemampuan para pihak, yang menimbulkan kerugian bagi salah satu pihak;
11. Kegagalan bangunan, yang memuat ketentuan tentang kewajiban penyedia jasa dan/atau pengguna jasa atas kegagalan bangunan;
12. Perlindungan pekerja, yang memuat ketentuan tentang kewajiban para pihak dalam pelaksanaan keselamatan dan kesehatan kerja serta jaminan sosial;
13. Aspek lingkungan, yang memuat kewajiban para pihak dalam pemenuhan ketentuan tentang lingkungan.4
Dalam angka 10 tentang muatan suatu kontrak kerja konstruksi disebutkan
mengenai keadaan memaksa yaitu kejadian yang timbul di luar kemauan dan
kemampuan para pihak, yang mengakibatkan kerugian bagi salah satu pihak.
4
Keadaan memaksa yang disebut juga dengan Force Majeure ini tidak secara
umum diatur dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata (BW), KUH Perdata
hanya mencantumkan beberapa pasal tentang Force Majeure yaitu Pasal
1244,1245,1545 dan1553.
Pasal 1244 berbunyi bahwa :
“Debitur harus dihukum untuk mengganti biaya, kerugian dan bunga,bila dia tidak dapat membuktikan bahwa tidak dilaksanakannya suatu perikatan itu atau tepat waktu dalam melaksanakan perikatan itu disebabkan oleh suatu hal yang tidak terduga, yang tidak dapat dipertanggungjawabkan kepadanya,walaupun tidak ada itikad buruk kepadanya.”
Pasal 1245 berbunyi bahwa :
“Tidak ada pergantian biaya, kerugian dan bunga, bila dalam keadaan memaksa atau karena hal yang terjadi secara kebetulan, debitur terhalang untuk memberikan atau berbuat yang diwajibkan, atau melaksanakan suatu perbuatan yang terlarang baginya.”5
Dari rumusan-rumusan dalam pasal tersebut di atas maka dapat dilihat bentuk-bentuk Force Majeure menurut KUH Perdata, yaitu sebagai berikut :
1. Force Majeure karena sebab-sebab yang tidak terduga 2. Force Majeure karena keadaan memaksa
3. Force Majeure karena perbuatan tersebut dilarang6
Sedangkan bentuk pertanggungjawaban dari kedua belah pihak apabila terjadi
Force Majeure di dalam KUH Perdata dikatakan bahwa jika terjadi hal-hal yang
tidak terduga (pembuktiannya dipihak debitur) ataupun keadaan memaksa yang
menyebabkan terjadinya kegagalan dalam melaksanakan kontrak maka kepada
debitur tidaklah dapat dimintakan pertanggungjawabannya.
Penjelasan di atas tersebut berkaitan dengan kontrak/perjanjian umum, namun
apakah berlaku juga dalam perjanjian pada Perusahaan Konstruksi yaitu perjanjian
5
Munir Fuady, Hukum Kontrak (Dari Sudut Pandang Bisnis), (Bandung : Citra Aditya Bakti, 2001), hal.114
6
pemborongan/konstruksi. Apabila terjadi wanprestasi yang diakibatkan oleh
Force Majeure ini maka siapa yang layak atau sepatutnya dimintakan
pertanggungjawaban, dimana klasifikasi untuk suatu keadaan yang dikatakan
Force Majeure dalam kontrak kerja konstruksi/pemborongan apakah sama dengan
yang diklasifikasikan oleh KUH Perdata.
Hal ini penting untuk diketahui jawabannya agar pelaksanaan pembangunan
yang dilakukan oleh Negara untuk menciptakan kemakmuran rakyat secara
keseluruhan tidak terhambat dengan adanya masalah-masalah tersebut di atas.
Kemudian juga selain agar pembangunan tidak terhambat, masalah-masalah
tersebut di atas juga perlu dianalisis agar kedua belah pihak yang melakukan
perjanjian/kontrak kerja konstruksi baik pengguna jasa ( Pemerintah maupun
swasta) dan penyedia jasa tidak mengalami kerugian materiil dan immateriil serta
tidak terjadi konflik/ kesalahpahaman antara mereka.
Masalah-masalah di ataslah yang menjadi latar belakang mengapa diadakan
penelitian serta menuangkannya ke dalam bahan kajian skripsi ini, dimana skripsi
ini berjudul: “Analisis Yuridis tentang Force Majeur terhadap Wanprestasi dalam
Perjanjian Pada Perusahaan Konstruksi pada PT Gapeksindo Hutama Kontrindo”
yang tentunya akan dibahas dan dianalisis pada skripsi ini dengan harapan dapat
memberikan jawaban atas permasalahan yang timbul sehubungan dengan Force
B.Perumusan Masalah
Berdasarkan uraian dari latar belakang di atas maka adapun pokok-pokok
permasalahan yang diangkat untuk dikaji dalam skripsi ini adalah mengenai
analisis yuridis tentang Force Majeure terhadap wanprestasi dalam perjanjian
pada perusahaan konstruksi yang diantaranya menyangkut beberapa hal yaitu:
1. Bagaimana terjadinya Force Majeure terhadap perjanjian kerja
konstruksi pada PT Gapeksindo Hutama Kontrindo ?
2. Pihak manakah yang menanggung kerugian apabila terjadi Force
Majeure dalam pelaksanaan perjanjian konstruksi ?
3. Bagaimana bentuk pertanggungjawaban atas terjadinya Force Majeure
dalam pelaksanaan perjanjian konstruksi ?
C.Tujuan Penulisan
Adapun yang menjadi tujuan dalam penulisan skripsi ini adalah sebagai
berikut :
1. Untuk mengetahui serta memahami terjadinya suatu peristiwa dikatakan
sebagai Force Majeure dalam suatu perjanjian/kontrak kerja pada PT
Gapeksindo Hutama Kontrindo.
2. Untuk mengetahui pihak mana yang menanggung kerugian apabila
terjadi suatu peristiwa Force Majeure ini dalam kontrak kerja konstruksi
tersebut.
3. Untuk mengetahui dan memahami bentuk pertanggungjawaban atas
D.Manfaat Penulisan
Sebuah karya tulis diharapkan dapat memberikan suatu manfaat, demikian
juga skripsi ini diharapkan dapat memberikan suatu manfaat. Adapun manfaat
penelitian dalam penulisan skripsi ini adalah sebagai berikut:
1. Secara teoritis, penelitian ini diharapkan menjadi bahan untuk
pengembangan wawasan hukum dan kajian lebih lanjut bagi yang ingin
mengetahui dan memperdalam tentang Force Majeure,
perjanjian/kontrak kerja konstruksi, perusahaan konstruksi, pihak yang
bertanggungjawab jika terjadi Force Majeure serta bentuk
pertanggungjawabannya khususnya pada PT Gapeksindo Hutama
Kontrindo
2. Secara praktis, penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan
pemikiran yuridis mengenai perkembangan hukum yang menambah
pemahaman dan wawasan ilmiah baik secara umum maupun secara
khusus berkenaan dengan masalah wanprestasi akibat terjadinya Force
Majeure dalam perjanjian pemborongan pada perusahaan konstruksi PT
Gapeksindo Hutama Kontrindo.
Diharapkan juga pemikiran-pemikiran yang tertuang dalam skripsi ini dapat
membantu peminat hukum serta yang berkenaan dengannya pada khususnya dan
masyarakat pada umumnya baik sebagai bahan bacaan maupun bahan referensi
dalam menjawab permasalahan yang bersangkutan dengan Force Majeure dalam
Adapun penulisan skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan, namun besar
harapan agar skripsi ini dapat berguna dalam kehidupan sehari-hari khususnya
dalam praktik pemborongan. Jadi masyarakat dapat juga menjadikan skripsi ini
sebagai bahan bacaan untuk lebih memahami secara mendalam khususnya yang
berkaitan dengan perjanjian kerja konstruksi/pemborongan.
E.Metode Penelitian
Penelitian merupakan terjemahan dari bahasa Inggris yaitu research, yaitu
yang berasal dari kata re (kembali) dan to search (mencari). Pada dasarnya yang
dicari itu adalah “pengetahuan yang benar” untuk menjawab pertanyaan atau
ketidaktahuan tertentu dengan menggunakan logika berfikir yang ditempuh
melalui penalaran deduktif dan sistematis dalam penguraiannya.7
Metode penelitian digunakan dalam setiap penelitian ilmiah. Penelitian ilmiah
itu sendiri ialah suatu proses penalaran yang mengikuti suatu alur berpikir yang
logis dan dengan menggabungkan metode yang juga ilmiah karena penelitian
ilmiah selalu menuntut pengujian dan pembuktian. Metode penelitian yang
digunakan dalam penelitian ini adalah metode yuridis normatif.
Metode yuridis normatif tersebut disebut juga dengan penelitian doktrinal (doctrinal research) yaitu suatu penelitian yang memusatkan pada analisis hukum baik hukum yang tertulis dalam buku (law in books) maupun hukum yang diputuskan oleh Hakim melalui putusan pengadilan (law in decide by the judge
7
through the judicial process).8 Adapun metode yang digunakan dalam penelitian ini terdiri dari :
1. Sifat/Jenis Penelitian
Sifat/jenis penelitian yang dipergunakan dalam menyelesaikan skripsi
yang berjudul: “Analisis Yuridis tentang Force Majeure terhadap
Wanprestasi dalam Perjanjian pada Perusahaan Konstruksi pada PT
Gapeksindo Hutama Kontrindo” ini adalah bersifat deskriptif analisis
mengarah kepada penelitian yuridis normatif, yaitu suatu penelitian yang
dilakukan atau ditujukan hanya pada peraturan yang tertulis atau bahan
hukum yang lain (library research) dan penelitian lapangan (field
research) sebagai alat pengumpul datanya.
2. Sumber Data
Materi dalam skripsi ini diambil dari data sekunder. Adapun data
sekunder yang dimaksud adalah :
a. Bahan Hukum Primer
Bahan hukum primer merupakan suatu bahan hukum yang
mempunyai sifat authoritative yang berarti memiliki otoritas.
Bahan hukum dalam skripsi ini terdiri dari peraturan
perundang-undangan seperti Kitab Undang-undang Hukum
Perdata (BW), Undang-undang Nomor 18 Tahun 1999 tentang
Jasa Konstruksi, Undang-undang Nomor 28 Tahun 2000
8
tentang Usaha dan Peran Masyarakat Jasa Konstruksi,
Undang-undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas.
b. Bahan Hukum Sekunder
Bahan hukum sekunder adalah semua dokumen yang
merupakan informasi atau hasil kajian tentang perjanjian pada
perusahaan jasa konstruksi, seperti seminar-seminar,
makalah-makalah, koran-koran, karya tulis ilmiah, dan dari beberapa
sumber-sumber dari website ataupun jurnal yang mengulas
tentang perjanjian pada perusahaan konstruksi dan lain-lain
yang ada kaitannya dengan skripsi ini sebagai bahan acuan
dalam pembahasan skripsi ini.
c. Bahan Hukum Tersier
Bahan hukum tersier pada dasarnya mencakup pertama,
bahan-bahan yang memberikan petunjuk terhadap bahan-bahan hukum
primer dan bahan hukum sekunder yang telah dikenal dengan
nama bahan acuan bidang hukum atau bahan rujukan bidang
hukum. Contohnya adalah misalnya abstrak
perundang-undangan, bibliografi hukum, direktori pengadilan,
ensiklopedia hukum, indeks majalah hukum, kamus hukum
dan seterusnya. Dan kedua bahan-bahan primer, sekunder dan
penunjang (tersier) di luar bidang hukum, misalnya yang
berasal dari bidang sosiologi, ekonomi, ilmu politik, filsafat
dipergunakan untuk melengkapi ataupun menunjang data
penelitian.
3. Alat Pengumpulan Data
Alat pengumpulan data yang digunakan di dalam penelitian ini adalah
studi dokumen dan bahan pustaka. Bahan pustaka yang dimaksud terdiri
dari bahan hukum primer yaitu peraturan perundang-undangan,
dokumen-dokumen dan teori yang berkaitan dengan penelitian ini serta
bukti empiris tidak mendalam dengan melakukan wawancara.
4. Analisis Data
Pengelolaan, analisis dan konstruksi data penelitian hukum yuridis
normatif dapat dilakukan dengan cara melakukan tinjauan terhadap
kaidah hukum dan kemudian konstruksi dilakukan dengan cara
memasukkan pasal-pasal ke dalam kategori-kategori atas pengertian
dasar dari sistem hukum tersebut. Data yang berasal dari studi
kepustakaan kemudian ditinjau berdasarkan metode kualitatif dengan
melakukan :
a. Menemukan konsep-konsep yang terkandung dalam
bahan-bahan hukum (konseptualisasi) yang dilakukan dengan cara
melakukan interpretasi terhadap bahan hukum tersebut.
b. Mengelompokkan konsep-konsep atau peraturan-peraturan
Force Majeure terhadap Wanprestasi dalam Perjanjian pada
Perusahaan Konstruksi.
c. Menemukan hubungan antara berbagai peraturan atau kategori
dan kemudian diolah.
d. Menjelaskan dan menguraikan hubungan antara berbagai
kategori atau peraturan perundang-undangan kemudian
ditinjau secara deskriptif dan kualitatif sehingga
mengungkapkan hasil yang diharapkan serta kesimpulan atas
permasalahan.
F. Keaslian Penulisan
Skripsi ini berjudul “Analisis Yuridis tentang Force Majeure terhadap
Wanprestasi dalam Perjanjian pada Perusahaan Konstruksi pada PT Gapeksindo
Hutama Kontrindo”. Skripsi ini merupakan skripsi yang belum pernah dibahas
oleh pihak manapun dan belum pernah dipublikasikan di media manapun.
Penulisan skripsi ini dimulai dengan mengumpulkan bahan-bahan pustaka yang
berkaitan dengan perjanjian, wanprestasi serta kontrak kerja konstruksi.
Dari hasil penelusuran perpustakaan Fakultas Ilmu Hukum Universitas
Sumatera Utara dan media elektronik, belum pernah dilakukan pembahasan
skripsi yang berjudul di atas dan ini adalah murni hasil penelitian dan pemikiran
dalam rangka melengkapi tugas memenuhi persyaratan guna memperoleh gelar
Mengenai keberadaan kutipan pendapat dalam skripsi ini adalah hal yang
tidak perlu diperdebatkan karena sebuah kutipan merupakan hal yang lumrah dan
wajar karena diajukan demi kesempurnaan penulisan skripsi ini sehingga
bukanlah termasuk ke dalam suatu tindakan plagiat.
G.Sistematika Penulisan
Dalam usaha untuk menguraikan dan mendeskripsikan isi dan sajian dalam
skripsi yang berjudul: “Analisis Yuridis tentang Force Majeure terhadap
Wanprestasi dalam Perjanjian pada Perusahaan Konstruksi pada PT Gapeksindo
Hutama Kontrindo” ini secara teratur, maka penulisan skripsi ini dibagi ke dalam
susunan yang terdiri atas lima bab dan beberapa sub bab tersendiri:
BAB I : PENDAHULUAN
Di dalam bab pertama yang berisi pendahuluan ini, dipaparkan
pengantar untuk dapat memberikan penjelasan singkat dan pengertian
tentang ruang lingkup dan jangkauan dari pada pembahasan skripsi ini.
Meliputi latar belakang, perumusan masalah, tujuan penulisan, manfaat
penulisan, metode penulisan, keaslian penulisan dan sistematika
penulisannya.
BAB II : TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN DAN
Di dalam bab kedua dari skripsi ini berisi tinjauan umum tentang
perjanjian dan perseroan terbatas dimana membahas tentang pengertian
umum perjanjian, syarat sahnya suatu perjanjian, bentuk-bentuk umum
perjanjian, pengertian perseroan terbatas secara umum, dasar hukum
terbentuknya perseroan terbatas, pembagian wewenang dan tanggung
jawab dalam perseroan terbatas dan pembahasan secara umum tentang
perusahaan jasa bidang konstruksi.
BAB III : TINJAUAN UMUM MENGENAI WANPRESTASI DALAM
PERJANJIAN PADA PERUSAHAAN KONSTRUKSI
AKIBAT TERJADINYA FORCE MAJEURE
Di dalam bab ketiga skripsi ini berisi tinjauan umum mengenai
wanprestasi dalam perjanjian pada perusahaan konstruksi akibat
terjadinya Force Majeure, dimana sub pembahasan dari bab ketiga ini
yaitu pengertian wanprestasi, perjanjian pada perusahaan konstruksi, dan
Force Majeure dalam perjanjian konstruksi.
BAB IV : ANALISIS YURIDIS TENTANG FORCE MAJEURE
TERHADAP WANPRESTASI DALAM PERJANJIAN PADA
PT GAPEKSINDO HUTAMA KONTRINDO
Di dalam bab keempat ini berisi tentang uraian singkat mengenai
PT Gapeksindo Hutama Kontrindo, terjadinya Force Majeure terhadap
perjanjian konstruksi pada PT Gapeksindo Hutama Kontrindo yang
pada perusahaan tersebut, pihak yang menanggung kerugian apabila
terjadi Force Majeure dalam pelaksanaan perjanjian konstruksi dan
bentuk pertanggungjawaban atas terjadinya Force Majeure dalam
pelaksanaan perjanjian konstruksi.
BAB V : PENUTUP
Pada bab kelima atau bab terakhir dari skripsi ini berisi mengenai
beberapa intisari kesimpulan berdasarkan hasil pembahasan setiap bab
dalam permasalahan tersebut. Bab ini juga akan memaparkan beberapa
BAB II
TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN DAN PERSEROAN TERBATAS
A.Pengertian Umum Perjanjian
Istilah “Perjanjian” dalam “Hukum Perjanjian” merupakan kesepadanan dari
istilah “Overeenkomst” dalam bahasa Belanda atau “Agreement” dalam bahasa
Inggris.9
Menurut Pasal 1313 KUH Perdata (BW) yang merupakan rumusan konvensional tentang perjanjian, perjanjian adalah perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih. Jika kita perhatikan dengan seksama, rumusan yang diberikan Pasal 1313 KUH Perdata (BW) tersebut ternyata menegaskan kembali bahwa perjanjian mengakibatkan seseorang mengikatkan dirinya terhadap orang lain. Ini berarti dari suatu perjanjian lahirlah suatu kewajiban atau prestasi dari satu atau lebih orang (pihak) kepada satu atau lebih orang (pihak) lainnya, yang berhak atas prestasi tersebut. Rumusan tersebut memberikan konsekuensi hukum bahwa dalam suatu perjanjian akan selalu ada dua pihak, dimana satu pihak adalah pihak yang wajib berprestasi (debitor) dan pihak lainnya adalah pihak yang berhak atas prestasi tersebut (kreditor). Masing-masing pihak dapat terdiri dari satu orang atau lebih orang, bahkan dengan berkembangnya ilmu hukum, pihak tersebut dapat juga terdiri dari satu atau lebih badan hukum.10
Dalam pengertian yang terdapat pada Pasal 1313 KUH Perdata ini, kita dapat
merumuskan unsur-unsur dari suatu perjanjian yaitu:
1. Suatu perbuatan, dimana perbuatan yang dimaksud merupakan “prestasi”
yang diatur dalam Pasal 1234 KUH Perdata (BW) yaitu memberikan
sesuatu, berbuat sesuatu, dan tidak berbuat sesuatu. Sehingga perjanjian
merupakan suatu perbuatan untuk memberikan sesuatu atau berbuat
sesuatu ataupun tidak berbuat sesuatu.
9
Munir Fuady, Op. Cit., hal 2 10
2. Satu orang atau lebih, dimana pengertian satu orang atau lebih ini
merupakan subjek hukum. Secara singkat subjek hukum adalah
pendukung hak dan kewajiban yang menimbulkan wewenang hukum.
Subjek hukum terdiri dari manusia dan badan hukum, dimana manusia
yang dapat melakukan perjanjian adalah yang merupakan orang yang
cakap hukum dalam artian diperbolehkan oleh undang-undang untuk
melakukan tindakan hukum dan tidak dalam keadaan pengampuan
sedangkan badan hukum merupakan subjek hukum yang bukan manusia
yang mempunyai wewenang dan cakap bertindak dalam hukum melalui
wakil-wakilnya atau pengurusnya. Badan hukum tidak disamakan dengan
manusia karena badan hukum tidak dapat melakukan apa yang dilakukan
manusia seperti mempunyai anak. Badan hukum dapat dibagi menjadi
dua yaitu :
a. Badan hukum Publik misalnya : negara, negara bagian dan
kotapraja
b. Badan hukum Privat misalnya : PT, koperasi, dan yayasan
3. Mengikatkan dirinya, yang dimaksud dengan mengikatkan diri adalah
orang yang secara sadar dan tanpa ada paksaan ataupun tipu muslihat
sepakat untuk melakukan perjanjian terhadap orang lain. Pengikatan diri
inilah yang menimbulkan suatu hak dan kewajiban dalam suatu
perjanjian tersebut.
4. Terhadap orang lain atau lebih, dalam melakukan suatu perjanjian
yang dilakukan tidak boleh terhadap dirinya sendiri melainkan ada pihak
lain yang diajaknya untuk melakukan suatu perjanjian.
Suatu perjanjian dianggap ada pada saat adanya kesepakatan kehendak.
Mengenai kapan suatu kesepakatan kehendak terjadi sehingga saat itu pula
perjanjian dianggap telah mulai berlaku, dalam ilmu hukum perjanjian dikenal
beberapa teori, yaitu :
1. Teori penawaran dan penerimaan (offer and acceptance theory)
Yang merupakan teori dasar dari adanya kesepakatan kehendak adalah teori “penawaran dan penerimaan” (offer and acceptance). Yang dimaksudkan adalah bahwa pada prinsipnya suatu kesepakatan kehendak baru terjadi setelah adanya penawaran (offer) dari salah satu pihak dan diikuti dengan penerimaan tawaran (acceptance) oleh pihak lain dalam kontrak tersebut. Teori ini diakui secara umum di setiap sistem hukum, sungguhpun pengembangan dari teori ini banyak dilakukan di negara-negara yang menganut sistem hukum Commom Law.
2. Teori kehendak (wils theorie)
Teori yang bersifat subjektif ini terbilang teori yang sangat tua. Teori kehendak tersebut berusaha untuk menjelaskan jika ada kontroversi antara apa yang dikehendaki dengan apa yang dinyatakan dalam kontrak, maka yang berlaku adalah apa yang dikehendaki, sementara apa yang dinyatakan tersebut dianggap tidak berlaku.
3. Teori pernyataan (verklarings theorie)
Teori pernyataan ini bersifat objektif dan berdiri berseberangan dengan teori kehendak seperti yang baru saja dijelaskan. Menurut teori pernyataan ini, apabila ada kontroversi antara apa yang dikehendaki dengan apa yang dinyatakan, maka apa yang dinyatakan tersebutlah yang berlaku. Karena masyarakat menghendaki bahwa apa yang dinyatakan itu dapat dipegang.
4. Teori pengiriman (verzendings theorie)
Menurut teori pengiriman ini, suatu kata sepakat terbentuk pada saat dikirimnya surat jawaban oleh pihak yang kepadanya telah ditawarkan suatu kontrak, karena sejak saat pengiriman tersebut, si pengirim telah kehilangan kekuasaan atas surat yang dikirimnya itu.
Menurut teori ini, suatu penerimaan tawaran dari suatu kontrak, sehingga kontrak dianggap mulai terjadi, adalah pada saat jawaban yang berisikan penerimaan tersebut dimasukkan dalam kotak pos (mail box). Pemikiran di belakang teori ini adalah bahwa kontrak efektif setelah pihak yang ditawari kontrak tersebut sudah menerimanya dan sudah terlepas dari kekuasaannya, yakni ketika dia membalas surat penawaran dan memasukkannya ke dalam kotak surat. Bahwa kemudian apakah pihak lawannya terlambat menerima bahkan tidak menerima sama sekali surat jawaban tersebut menjadi tidak relevan. Karena itu, teori kotak pos ini mirip dengan teori pengiriman (verzendings theorie) seperti yang telah disebutkan di atas.
6. Teori pengetahuan (vernemings theorie)
Yang dimaksud dengan “pengetahuan” dalam teori ini adalah pengetahuan dari pihak yang menawarkan. Jadi menurut teori ini, suatu kata sepakat dianggap telah terbentuk pada saat orang yang menawarkan tersebut mengetahui bahwa penawarannya itu telah disetujui oleh pihak lainnya. Jadi pengiriman jawaban saja oleh para pihak yang melakukan tawaran masih belum mengetahui diterimanya tawaran tesebut.
7. Teori penerimaan (ontvangs theorie)
Menurut teori penerimaan ini, suatu kata sepakat dianggap telah terjadi pada saat balasan dari tawaran tersebut telah diterima oleh pihak yang melakukan tawaran tersebut. Dengan demikian, teori ini sangat konservatif, karena sebelum diterimanya jawaban atas tawaran tesebut, kata sepakat dianggap belum terjadi, sehingga persyaratan untuk sahnya suatu kontrak belum terpenuhi.
8. Teori kepercayaan (vetrouwens theorie)
Teori kepercayaan ini (vetrouwens theorie) ini mengajarkan bahwa suatu kata sepakat dianggap terjadi manakala ada pernyataan yang secara objektif dapat dipercaya.
9. Teori ucapan (uitings theorie)
Menurut teori “ucapan” ini, bahwa suatu kesepakatan kehendak terjadi manakala pihak yang menerima penawaran telah menyiapkan surat jawaban yang menyatakan bahwa dia telah menerima tawaran tersebut.
10. Teori dugaan (veronderstellings theorie)
secara patut dapat menduga bahwa pihak lainnya (pihak yang menawarkan) telah mengetahui isi surat itu.11
Dari kesepuluh teori tersebut di atas, yang sesuai menurut penulis adalah teori
penawaran dan penerimaan (offer and acceptance theory). Hal ini dikarenakan
makna kesepakatan yang “adil” dan “praktis” adalah pada saat seseorang
menawarkan sesuatu kepada orang lain kemudian orang lain tersebut
menerimanya. Kemudian juga teori kehendak inilah yang dengan jelas
menunjukkan terjadinya suatu perjanjian yang memang melibatkan kedua belah
pihak, artinya penerima tawaran secara langsung tahu bahwa ia diberi suatu
tawaran dan pemberi tawaran secara langsung tahu bahwa penerima tawaran
menerima tawarannya. Sedangkan beberapa teori tersebut di atas, ada yang
menggunakan media-media tertentu untuk mengetahui bahwa penerima tawaran
menerima tawaran sehingga mengakibatkan suatu ketidakpastian akan terjadinya
suatu perjanjian karena media-media tersebut bisa saja musnah atau hilang atau
tidak tersampaikan kepada siapa media tersebut ditujukan. Ada juga beberapa
teori lain yang tersebut di atas menganut sifat yang subjektif sehingga juga sulit
untuk menentukan lahirnya suatu perjanjian karena kesepakatan itu seketika
terjadi hanya berdasarkan persepsi dari sebelah pihak saja.
Dalam perjanjian,dikenal banyak asas yang menjadi landasan untuk membuat
suatu perjanjian yang ideal. Beberapa asas yang penting untuk diterapkan dalam
perjanjian yaitu :
11
1. Asas Konsensual
Asas konsensual sering diartikan bahwa dibutuhkan kesepakatan untuk
lahirnya suatu perjanjian. Pengertian ini tidak tepat karena maksud asas
konsensualisme ini adalah bahwa lahirnya perjanjian adalah pada saat
terjadinya kesepakatan. Dengan demikian, apabila tercapai kesepakatan
antara para pihak, lahirlah kontrak, walaupun kontrak itu belum
dilaksanakan pada saat itu. Hal ini berarti bahwa dengan tercapainya
kesepakatan oleh para pihak melahirkan hak dan kewajiban bagi mereka
atau biasa juga disebut bahwa kontrak tersebut sudah obligatoir, yakni
melahirkan kewajiban bagi para pihak untuk memenuhi kontrak
tersebut.12
2. Asas Kebebasan Berkontrak
Salah satu asas dalam hukum perjanjian adalah asas kebebasan
berkontrak (freedom of contract). Artinya para pihak bebas membuat
kontrak dan mengatur isi kontrak itu sepanjang tidak bertentangan
dengan kesusilaan dan undang-undang yang berlaku serta memenuhi
syarat sebagai suatu kontrak.
3. Asas Pacta Sunt Servanda
Setiap orang yang membuat perjanjian, dia terikat untuk memenuhi perjanjian tersebut karena perjanjian tersebut mengandung janji-janji yang harus dipenuhi dan janji tersebut mengikat para pihak sebagaimana mengikatnya undang-undang. Hal ini dapat dilihat pada Pasal 1338 KUH Perdata Ayat (1) yang menentukan bahwa semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya.13
12
Ahmadi Miru, Hukum Kontrak & Perancangan Kontrak, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2011), hal.3.
13
4. Asas Itikad Baik
Di Jerman, Mahkamah Agung mempertimbangkan bahwa apabila ditetapkan syarat-syarat umum mengenai perjanjian, kebebasan berkontrak dianggap ada sejauh kebebasan ini mengenai isi perjanjian menurut ukurannya sendiri, yaitu berdasarkan itikad baik dengan kewajiban untuk memperhatikan kepentingan-kepentingan pihak lawan dalam perjanjian pada awal penyusunan syarat-syarat perjanjian itu. Apabila satu pihak hanya mengajukan kepentingan-kepentingan sendiri,ia menyalahgunakan kebebasan dalam membuat perjanjian. Keputusan tersebut menunjukkan bahwa itikad baik menguasai para pihak pada periode pra perjanjian, yaitu dengan memerhatikan kepentingan-kepentingan yang wajar dari pihak lain. Walaupun itikad baik para pihak dalam perjanjian sangat ditekankan pada tahap pra perjanjian, secara umum itikad baik harus selalu ada pada setiap tahap perjanjian sehingga kepentingan pihak yang satu selalu dapat diperhatikan oleh pihak lainnya.14
5. Asas Kepastian Hukum
Dalam membuat suatu perjanjian yang dilakukan oleh seseorang tidak selamanya memiliki kekuatan hukum. Ada juga perjanjian yang tidak memiliki kekuatan hukum (natuurlijke verbintenis) dimana maksudnya adalah tidak memiliki akibat hukum (rechtsgevolg) yang mengikat. Misalnya perjanjian keagamaan, moral, sopan santun dan sebagainya. Kemudian juga ada perjanjian yang memiliki kekuatan hukum yang tidak sempurna dimana ketidaksempurnaan daya hukumnya terletak pada sanksi memaksanya, yaitu atas keengganan debitur memenuhi kewajiban prestasi, kreditur tidak diberi kemampuan oleh hukum untuk memaksakan pemenuhan prestasi. Contoh perjanjian yang memiliki kekuatan hukum tidak sempurna seperti terdapat dalam Pasal 1788 KUH Perdata mengenai hutang yang timbul dari hasil perjudian dan taruhan. Melihat karakter natuurlijke verbintenis ini, timbul suatu pendapat yang menganggap hakekatnya berada di luar perjanjian perdata yang lazim, sebab lazimnya suatu perjanjian perdata pada umumnya melekat di dalamnya “hak memaksa” yang diberikan kepada kreditur apabila debitur tidak memenuhi perjanjiaan yang dilakukannya.
Dan yang terakhir adalah suatu perjanjian yang sebenarnya secara hukum perdata yaitu perjanjian yang sempurna daya kekuatan hukumnya (volledige rechtswerking). Dalam perjanjian ini pemenuhan dapat dipaksakan kepada debitur jika dia ingkar secara sukarela melaksanakan kewajiban prestasi. Untuk itu kreditur diberi hak oleh hukum
14
menjatuhkan sanksi melalui tuntutan eksekusi pelaksanaan dan eksekusi riel, ganti rugi (schade vergoeding).15
Asas-asas inilah yang menjadi landasan kuat untuk membuat suatu perjanjian
yang sah dan sesuai dengan hukum perjanjian dimana asas ini akan selalu ada dan
mungkin semakin berkembang demi menciptakan kepastian hukum. Memang
masih banyak asas-asas lain dalam perjanjian seperti asas bersifat obligatoir, asas
berlakunya suatu perjanjian dan lain sebagainya. Namun empat asas di ataslah
yang akan dan harus tersirat dalam suatu perjanjian yang sah.
B. Syarat Sahnya Suatu Perjanjian
Suatu perjanjian dapat dinyatakan sah apabila memenuhi unsur-unsur dalam
Pasal 1320 KUH Perdata. Pasal 1320 KUH Perdata merupakan instrumen pokok
untuk menguji keabsahan perjanjian yang dibuat oleh para pihak. Dalam Pasal
1320 BW tersebut terdapat empat syarat yang harus dipenuhi untuk sahnya suatu
kontrak, yaitu:
1. Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya; 2. Kecakapan untuk membuat perikatan; 3. Suatu hal tertentu;
4. Suatu sebab yang halal atau diperbolehkan.16 Keempat hal itu dikemukakan sebagai berikut.
1. Sepakat mereka yang mengikatkan diri
Syarat yang pertama sahnya kontrak adalah adanya kesepakatan atau konsensus pada para pihak. Kesepakatan ini diatur dalam Pasal 1320 Ayat (1) KUH Perdata. Yang dimaksud dengan kesepakatan adalah persesuaian pernyataan kehendak antara satu orang atau lebih dengan pihak lainnya. Yang sesuai itu adalah pernyataannya, karena kehendak
15
M.Yahya Harahap. Segi-segi Hukum Perjanjian. (Bandung: Alumni, 1986). Hal.9 16
itu tidak dapat dilihat/diketahui orang lain. Ada lima cara terjadinya persesuaian pernyataan kehendak, yaitu dengan:
a. Bahasa yang sempurna dan tertulis b. Bahasa yang sempurna secara lisan
c. Bahasa yang tidak sempurna asal dapat diterima oleh pihak lawan. Karena dalam kenyataannya seringkali seseorang menyampaikan dengan bahasa yang tidak sempurna tetapi dimengerti oleh pihak lawannya
d. Bahasa isyarat asal dapat diterima oleh pihak lawannya
e. Diam atau membisu, tetapi asal dipahami atau diterima pihak lawan
Pada dasarnya, cara yang paling banyak dilakukan oleh para pihak, yaitu dengan bahasa yang sempurna secara lisan dan secara tertulis. Tujuan pembuatan perjanjian secara tertulis adalah agar memberikan kepastian hukum bagi para pihak dan sebagai alat bukti yang sempurna, dikala timbul sengketa dikemudian hari.
2. Kecakapan untuk membuat perikatan
Kecakapan untuk membuat perikatan adalah kecakapan atau kemampuan untuk melakukan perbuatan hukum. Perbuatan hukum adalah perbuatan yang akan menimbulkan akibat hukum. Orang-orang yang akan mengadakan perjanjian haruslah orang-orang yang cakap dan mempunyai wewenang untuk melakukan perbuatan hukum, sebagaimana yang ditentukan oleh undang-undang. Orang yang cakap dan berwenang untuk melakukan perbuatan hukum adalah orang yang sudah dewasa. Ukuran kedewasaan adalah telah berumur 21 tahun dan atau sudah kawin. Orang yang tidak berwenang untuk melakukan perbuatan hukum :
a. Anak dibawah umur
b. Orang yang ditaruh dalam pengampuan
c. Istri (Pasal 1330 KUH Perdata). Akan tetapi dalam perkembangannya istri dapat melakukan perbuatan hukum, sebagaimana yang diatur dalam Pasal 31 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 jo Surat Edaran Mahkamah Agung atau SEMA Nomor 3 Tahun 1963 yang mencabut Pasal 108 dan 110 KUH Perdata tentang wewenang seorang isteri untuk melakukan perbuatan hukum dan untuk menghadap di muka pengadilan tanpa izin atau bantuan suaminya. Sehingga setelah dikeluarkannya peraturan-peraturan tersebut maka seorang wanita yang sudah menikah dapat melakukan suatu perjanjian dengan orang lain.
3. Suatu hal tertentu
a. Memberikan sesuatu b. Berbuat sesuatu c. Tidak berbuat sesuatu
Misalnya, jual beli rumah. Yang menjadi prestasi/pokok perjanjian adalah menyerahkan hak milik atas rumah dan menyerahkan uang harga dari pembelian rumah itu. Contoh lainnya, dalam perjanjian kerja maka yang menjadi pokok perjanjian adalah melakukan pekerjaan dan membayar upah. Prestasi itu harus dapat ditentukan, dibolehkan, dimungkinkan, dan dapat dinilai dengan uang. Dapat ditentukan artinya di dalam mengadakan perjanjian, isi perjanjian harus dipastikan dalam arti dapat ditentukan secara cukup. Misalnya, A membeli lemari pada B dengan harga Rp500.000,00. Ini berarti bahwa objeknya itu adalah lemari, bukan benda lainnya.
4. Suatu sebab yang halal atau diperbolehkan
Dalam Pasal 1320 KUH Perdata tidak dijelaskan pengertian sebab yang halal. Di dalam Pasal 1337 KUH Perdata hanya disebutkan kausa yang halal. Suatu sebab adalah terlarang apabila bertentangan dengan undang-undang, kesusilaan, dan ketertiban umum. Hoge Raad sejak tahun 1927 mengartikan oorzaak sebagai suatu yang menjadi tujuan para pihak. Contohnya A menjual sepeda motor kepada B. Akan tetapi sepeda yang dijual oleh A itu adalah barang hasil curian. Jual beli seperti itu tidak mencapai tujuan dari pihak B. Karena B menginginkan barang yang dibelinya itu barang yang sah.17
Syarat yang pertama dan kedua disebut syarat subjektif, karena menyangkut pihak-pihak yang mengadakan perjanjian. Sedangkan syarat ketiga dan keempat disebut syarat objektif, karena menyangkut objek perjanjian. Apabila syarat pertama dan kedua tidak dipenuhi maka perjanjian itu dapat dibatalkan. Artinya, bahwa salah satu pihak dapat mengajukan kepada pengadilan untuk membatalkan perjanjian yang disepakatinya. Tetapi apabila para pihak tidak keberatan maka perjanjian itu tetap dianggap sah. Apabila syarat ketiga dan keempat tidak terpenuhi maka perjanjian itu batal demi hukum. Artinya, bahwa dari semula perjanjian itu dianggap tidak ada.18
NBW ( Nu Burgerlijk Wetboek) atau KUH Perdata baru di Belanda sendiri
terkait dengan syarat sahnya kontrak telah mengadakan pembaharuan,
sebagaimana terdapat dalam Buku III tentang Hukum Harta Kekayaan Pada
Umumnya (vermogensrecht in Het Algemeen) dan buku VI Tentang Bagian
17
Salim H.S., Hukum Kontrak Teori & Teknik Penyusunan Kontrak, (Jakarta: Sinar Grafika,2003),hal.33-34
18
Umum Hukum Perikatan (algemeen Gedeelte van Het Verbintenissenrecht).
Syarat sahnya kontrak menurut NBW tersebar dalam berbagai pasal dengan
substansi pokok, yaitu:
1. Kesepakatan;
2. Kemampuan bertindak;
3. Perjanjian yang dilarang ( gabungan Syarat “hal tertentu” dan syarat
“kausa yang dilarang”).19
Baik syarat sah yang diatur dalam KUH Perdata (BW) maupun NBW secara
garis besar memiliki makna dan penerapan yang sama dalam peraturan hukumnya.
Semua harus tetap harus dipenuhi agar suatu perjanjian yang dibuat memenuhi
syarat sehingga apabila terjadi suatu konflik di belakang hari maka perjanjian
yang berbentuk tertulis tersebut dapat menjadi suatu alat yang cukup kuat untuk
dijadikan barang bukti yang sah sehingga pihak yang wanprestasi kelak tidak bisa
memungkiri dan menyangkal apa yang telah diperjanjikan.
C.Bentuk-bentuk Umum Perjanjian
Di dalam KUH Perdata, tidak disebutkan secara sistematis tentang bentuk
perjanjian. Namun bila kita menganalisis berbagai ketentuan yang tertera dalam
KUH Perdata BW maka kontrak itu dapat secara umum dibagi menjadi dua yaitu
perjanjian tertulis dan perjanjian tidak tertulis.
Perjanjian tidak tertulis atau lisan adalah perjanjian yang dibuat oleh para
pihak cukup dengan lisan ataupun hanya berdasarkan kesepakatan dari para
19
pihaknya saja. Dengan adanya konsensus maka perjanjian telah terjadi. Termasuk
ke dalam ini adalah perjanjian konsensual dan riil. Perbedaan ini diilhami dari
Hukum Romawi. Dalam Hukum Romawi, tidak hanya memerlukan adanya kata
sepakat melainkan juga harus diucapkan dengan kata-kata yang suci dan juga
harus didasarkan atas penyerahan nyata dari suatu benda. Perjanjian konsensual
adalah suatu perjanjian yang ada apabila ada kesepakatan para pihak sedangkan
perjanjian riil adalah suatu perjanjian yang dibuat dan dilaksanakan secara nyata
atau riil.
Perjanjian tertulis merupakan kontrak yang dibuat oleh para pihak dalam
bentuk tulisan. Hal ini dapat kita lihat dalam perjanjian hibah yang harus
dilakukan dengan Akta Notaris ( Pasal 1682 KUH Perdata). Perjanjian ini dibagi
menjadi dua macam yaitu dalam bentuk akta di bawah tangan dan Akta Notaris.
Akta di bawah tangan adalah akta yang cukup dibuat dan ditanda tangani oleh
para pihak. Sedangkan akta autentik adalah akta yang dibuat di hadapan notaris
ataupun notaris itu yang membuat perjanjian itu. Kemudian ada juga bentuk
perjanjian standar dimana perjanjian ini biasanya sudah mempunyai klausul yang
tertuang dalam formulir artinya sudah ditentukan terlebih dahulu isinya oleh salah
satu pihak, misalnya perjanjian antara nasabah dengan bank yang sudah
mempunyai bentuk perjanjian baku.
Para ahli dibidang perjanjian tidak mempunyai kesatuan tentang pembagian
perjanjian. Ada ahli yang mengkaji perjanjian tersebut berdasarkan hukumnya,
namanya, aspek kewajibannya, maupun aspek larangannya.
1. Perjanjian yang bersumber dari hukum keluarga, seperti halnya perkawinan;
2. Perjanjian yang bersumber dari kebendaan, yaitu yang berhubungan dengan peralihan hukum benda, misalnya peralihan hak milik;
3. Perjanjian obligatoir, yaitu perjanjian yang menimbulkan kewajiban; 4. Perjanjian yang bersumber dari hukum acara, yang disebut dengan
bewijsovereenkomst;
5. Perjanjian yang bersumber dari hukum publik, yang disebut dengan publieckrechtelijk overeenkomst.20
Di dalam Pasal 1319 KUH Perdata menyebutkan dua macam perjanjian
berdasarkan namanya, yaitu perjanjian nominaat (bernama) dan perjanjian
innominaat (tidak bernama). Yang dimaksud dengan perjanjian bernama adalah
perjanjian yang pengaturannya terdapat di dalam KUH Perdata (BW), yaitu
perjanjian jual-beli, pinjam-pakai, tukar-menukar, sewa-menyewa, persekutuan
perdata, hibah, penitipan barang, pinjam-meminjam, penanggung utang,
pemberian kuasa, perdamaian, dan lain sebagainya. Sedangkan perjanjian tidak
bernama adalah perjanjian yang tidak tertera pengaturannya dalam KUH Perdata
dimana perjanjian ini muncul seiring dengan berkembangnya masyarakat, yaitu
leasing, beli-sewa, franchise, joint venture, production sharing, kontrak karya,
keagenan dan lain sebagainya.
Vollmar mengemukakan bahwa ada perjanjian campuran yaitu perjanjian yang merupakan penggabungan dari perjanjian bernama dan perjanjian tidak bernama. Misalnya kontrak campuran, pengusaha sewa rumah penginapan (hotel) menyewakan kamar-kamar (sewa menyewa), tetapi juga menyediakan makanan (jual beli), dan menyediakan pelayanan (perjanjian untuk melakukan jasa-jasa). Perjanjian campuran ini disebut juga dengan contractus sui generis, yaitu ketentuan-ketentuan yang mengenai perjanjian khusus paling banter dapat diterapkan secara analogi (Arrest HR 10 Desember 1936) atau orang menerapkan teori absorpsi (absorptietheorie), artinya diterapkanlah peraturan perundang-undangan dari perjanjian, dalam peristiwa yang terjadi merupakan peristiwa yang paling menonjol (HR,12 April 1935), sedangkan pada tahun 1947 Hoge Raad
20
menyatakan diri (HR, 21 Februari1947) secara tegas sebagai penganut teori kombinasi.21
Kemudian perjanjian juga dapat dilihat dari hak dan kewajiban para pihak,
yaitu perjanjian timbal balik. Perjanjian timbal balik adalah perjanjian yang
dilakukan para pihak yang menimbulkan hak dan kewajiban-kewajiban pokok
seperti pada jual-beli dan sewa-menyewa. Perjanjian timbal balik ini terbagi
menjadi dua yaitu :
1. Perjanjian timbal balik tidak sempurna , dimana menimbulkan kewajiban
pokok bagi satu pihak, sedangkan lainnya wajib melakukan sesuatu. Di
sini tampak ada prestasi-prestasi yang seimbang satu sama lain.
Misalnya, si penerima pesan senantiasa berkewajiban untuk
melaksanakan pesan yang dikenakan di atas pundaknya oleh orang
pemberi pesan. Apabila si penerima pesan dalam melaksanakan
kewajiban-kewajibannya tersebut telah mengeluarkan biaya-biaya atau
olehnya telah diperjanjikan upah, maka pemberi pesan harus
menggantinya.
2. Perjanjian sepihak merupakan perjanjian yang selalu menimbulkan
kewajiban-kewajiban hanya pada satu pihak. Tipe perjanjian ini adalah
perjanjian pinjam-mengganti.
Selain tersebut di atas, ada juga perjanjian berdasarkan larangannya.
Perjanjian berdasarkan larangannya adalah perjanjian dari aspek tidak
diperkenankannya para pihak untuk membuat perjanjian yang bertentangan
21
dengan undang-undang, kesusilaan dan ketertiban umum disebabkan perjanjian itu
mengandung praktik monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat. Di dalam
Undang-undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan
Persaingan Usaha Tidak Sehat, perjanjian yang dilarang dibagi menjadi tiga belas
jenis, yaitu:
1. Perjanjian oligopoli, yaitu perjanjian yang dibuat antara pelaku usaha dengan pelaku usaha lainnya untuk secara bersama melakukan penguasaan produk dan atau pemasaran barang atau jasa. Perjanjian ini dapat mengakibatkan perjanjian monopoli dan atau persaingan tidak sehat.
2. Perjanjian penetapan harga, yaitu perjanjian yang dibuat antara pelaku usaha dengan pelaku usaha pesaingnya untuk menetapkan harga atas suatu barang dan atau jasa yang harus dibayar oleh konsumen atau pelanggan pada pasar yang bersangkutan sama. Pengecualian dari ketentuan ini adalah suatu perjanjian yang dibuat usaha patungan dan perjanjian yang didasarkan pada undang-undang yang berlaku.
3. Perjanjian dengan harga yang berbeda, yaitu perjanjian yang dibuat antara pelaku-pelaku usaha yang mengakibatkan pembeli yang satu harus membayar dengan harga berbeda dari harga yang harus dibayar oleh pembeli untuk barang dan atau jasa yang berbeda.
4. Perjanjian dengan harga di bawah pasar, yaitu perjanjian yang dibuat antara pelaku usaha dengan pelaku usaha pesaingnya untuk menetapkan harga yang berbeda di bawah harga pasar, perjanjian ini dapat mengakibatkan terjadinya persaingan usaha tidak sehat.
5. Perjanjian yang memuat persyaratan, yaitu perjanjian yang dibuat antara pelaku usaha dengan pelaku usaha lainnya yang memuat persyaratan bahwa penerimaan barang dan atau jasa tidak akan menjual atau memasok kembali barang dan atau jasa yang diterimanya. Tindakan itu dilakukan dengan harga yang lebih rendah dari pada harga yang diperjanjikan sehingga dapat mengakibatkan persaingan yang tidak sehat.
Perjanjian ini dapat mengakibatkan terjadinya praktik monopoli dan atau persaingan tidak sehat.
7. Perjanjian pemboikotan, yaitu perjanjian yang dilarang, yang dibuat pelaku usaha dengan pelaku usaha pesaingnya untuk menghalangi pelaku usaha lain untuk melakukan usaha yang sama,baik untuk tujuan pasar dalam negeri maupun luar negeri.
8. Perjanjian kartel, yaitu perjanjian yang dibuat antara pelaku usaha dengan pelaku usaha pesaingnya, yang bermaksud untuk memengaruhi harga dengan mengatur produksi dan atau pemasaran suatu barang dan atau jasa, yang dapat mengakibatkan terjadinya praktik monopoli dan atau persaingan usaha yang tidak sehat.
9. Perjanjian trust, yaitu perjanjian yang dibuat antara pelaku usaha dengan pelaku usaha lainnya untuk melakukan kerjasama dengan membentuk gabungan perusahaan atau perseroan yang lebih besar, dengan tetap menjaga dan mempertahankan kelangsungan hidup masing-masing anggota perseroannya. Perjanjian ini bertujuan untuk mengontrol produksi dan atau pemasaran atas barang dan jasa sehingga dapat mengakibatkan terjadinya praktik monopoli atau persaingan tidak sehat.
10. Perjanjian oligopsoni, yaitu perjanjian yang dibuat antara pelaku usaha dengan pelaku usaha lainnya yang bertujuan untuk secara bersama-sama menguasai pembelian atau penerimaan pasokan agar dapat mengendalikan harga atas barang dan atau jasa dalam pasar yang bersangkutan. Perjanjian ini dapat mengakibatkan terjadinya praktik monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat.
11. Perjanjian integrasi vertikal,yaitu perjanjian yang dibuat antara pelaku usaha dengan pelaku usaha lain, yang bertujuan untuk menguasai sejumlah produk yang termasuk dalam rangkaian produksi barang dan atau jasa tertentu, setiap rangkaian produksi itu merupakan hasil pengolahan atau proses lanjutan, baik dalam satu rangkaian langsung maupun yang tidak langsung yang dapat mengakibatkan terjadinya persaingan usaha tidak sehat dan atau merugikan masyarakat.
13. Perjanjian dengan pihak luar negeri, yaitu perjanjian yang di buat antara pelaku usaha dengan pihak lainnya di luar negeri yang memuat ketentuan yang dapat mengakibatkan terjadinya praktik monopoli dan atau persaingan tidak sehat.22
Dari berbagai jenis perjanjian yang dipaparkan di atas maka jenis perjanjian
yang paling asasi adalah pembagian berdasarkan namanya, yaitu kontrak
nominaat dan innominaat. Dari perjanjian bernama dan tidak bernama inilah maka
lahir perjanjian dari segi bentuk, sumber hukum, maupun aspek larangannya,
misalnya saja perjanjian bernama jual beli maka lahirlah perjanjian obligatoir.
D.Pengertian Perseroan Terbatas Secara Umum
Perseroan Terbatas (PT) merupakan persekutuan yang berbentuk badan
hukum. Badan hukum dalam Bahasa Belanda disebut dengan rechtpersoon.
Badan hukum adalah himpunan dari orang sebagai perkumpulan, baik
perkumpulan itu diadakan atau diakui oleh Pejabat Umum, maupun perkumpulan
itu diterima sebagai diperolehkan atau telah didirikan untuk maksud tertentu yang
tidak bertentangan dengan undang-undang dan kesusilaan yang baik ( Pasal 1653
KUH Perdata). Badan hukum dilihat dari segi kewenangannya maka terbagi
menjadi dua yaitu kewenangan atas harta kekayaan dan kewenangan untuk
mempunyai hak dan mempunyai kewajiban.
Dari pengertian lain, badan hukum juga dapat didefenisikan kumpulan
orang-orang yang mempunyai tujuan tertentu yang ingin dicapai dari pembentukan
badan hukum, memiliki harta kekayaan, kewajiban dan hak serta terorganisir. Dari
pengertian tersebut di atas maka kita dapat menguraikan unsur-unsur yang harus
dimiliki suatu badan hukum, yaitu:
22
1. Mempunyai tujuan tertentu
2. Mempunyai harta kekayaan
3. Mempunyai hak dan kewajiban
4. Mempunyai organisasi.
Sedangkan Perseroan Terbatas sendiri, di dalam Kitab Undang-undang Hukum Dagang (WvK) tidak diberikan defenisi yang jelas. Namun dalam Pasal 36, 40, 42, 45 KUHD akan didapati unsur-unsur dari suatu Perseroan Terbatas, yaitu:
1. Adanya kekayaan yang terpisah dari kekayaan pribadi masing-masing pesero ( pemegang saham ), dengan tujuan untuk membentuk sejumlah dana sebagai jaminan bagi semua perikatan perseroan;
2. Adanya pesero yang tanggung jawabnya terbatas pada jumlah nominal saham yang dimilikinya. Sedangkan mereka semua dalam Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) merupakan kekuatan tertinggi dalam organisasi perseroan, yang berwenang mengangkat dan memberhentikan Direksi dan Komisaris, berhak menetapkan garis-garis kebijaksanaan menjalankan perusahaan, menetapkan hal-hal yang belum ditetapkan dalam Anggaran Dasar;
3. Adanya pengurus (Direksi) dan Komisaris yang merupakan satu kesatuan pengurus dan pengawas terhadap perseroan dan tanggung jawabnya terbatas pada tugasnya, yang harus sesuai dengan Anggaran Dasar dan atau keputusan RUPS (Rapat Umum Pemegang Saham).23
Walaupun tidak terdapat pengertian secara langsung dari Perseroan Terbatas
namun unsur-unsur yang terdapat dalam Kitab Undang-undang Hukum Dagang
(WvK) tersebut sudah cukup dapat untuk membedakan Perseroan Terbatas dengan
badan usaha yang lainnya seperti CV, Firma, Koperasi dan yang lainnya.
Perbedaan yang sangat mencolok dari Perseroan Terbatas dibandingkan dengan
23
badan usaha yang belum berbadan hukum adalah bahwa harta kekayaan Perseroan
Terbatas terpisah dari harta pribadi pemegang sahamnya. Sebenarnya unsur-unsur
yang terdapat dalam KUHD ini sudah cukup untuk menggambarkan suatu badan
usaha yang berbentuk Perseroan Terbatas.
Menurut Pasal 1 Angka (1) Undang-undang Nomor 40 Tahun 2007 yang
dimaksud dengan Perseroan Terbatas adalah badan hukum yang merupakan
persekutuan modal, didirikan berdasarkan perjanjian, melakukan kegiatan usaha
dengan modal dasar yang seluruhnya terbagi dalam saham dan memenuhi
persyaratan yang ditetapkan dalam undang-undang PT serta peraturan
pelaksananya.
Perseroan Terbatas di dalam bahasa Belanda disebut dengan Naamloze
Venootschap atau disingkat NV. Pada umumnya PT dibentuk dengan tujuan untuk
menjalankan suatu perusahaan dengan modal perseroan tertentu yang terbagi atas
saham-saham. Ditinjau dari cara menghimpun modal perseroan, maka Perseroan
Terbatas dapat dibedakan menjadi:
1. PT Terbuka
PT Terbuka adalah suatu PT dimana masyarakat luas dapat ikut serta
menanamkan modalnya dengan cara membeli saham yang ditawarkan
oleh PT Terbuka melalui bursa dalam rangka memupuk modal untuk
investasi PT atau dewasa ini disebut “PT yang go-public”. Biasanya PT
Terbuka ini memiliki singkatan Tbk pada akhir nama PT, misalnya PT
2. PT Tertutup
Perseroan Terbatas Tertutup adalah Perseroan Terbatas yang didirikan
dengan tidak menjual sahamnya kepada masyarakat luas, yang berarti
tidak setiap orang dapat ikut menanamkan modalnya. Biasanya Perseroan
Terbatas tertutup ini dimiliki oleh pemegang-pemegang saham yang
memiliki ikatan keluarga maupun kerabat.
3. PT Perseorangan
Perseroan Terbatas Perseorangan berarti bahwa saham-saham dalam
Perseroan Terbatas tersebut dikuasai oleh seorang pemegang saham. Hal
ini dapat terjadi setelah melalui proses pendirian Perseroan Terbatas itu
sendiri. Pada waktu pendirian Perseroan Terbatas, terdapat lebih dari
seorang pemegang saham, yang kemudian beralih menjadi berada pada
seorang pemegang saham karena pemegang saham itu ingin menjual
sahamnya. Hal ini sebenarnya tidak boleh berlangsung terus menerus,
pemilik Perseroan Terbatas harus segera mencari investor untuk membeli
saham Perseroan Terbatas tersebut sehingga pemegang saham tidak
hanya satu orang saja.
E.Dasar Hukum Terbentuknya Perseroan Terbatas
Perseroan Terbatas diatur pertama sekali dalam Kitab Undang-undang
Hukum Dagang (WvK) yang aslinya berasal dari Belanda yang dianut oleh
Indonesia sejak tahun 1948 yang merupakan konsekuensi dari penerapan asas
kurang lebih lima puluh tahun, pada tanggal 7 Maret 1995 Indonesia memiliki
undang-undang nasional sendiri yang mengatur mengenai badan hukum Perseroan
Terbatas, yaitu Undang-undang Nomor 1 Tahun 1995. Dalam Undang-undang
Perseroan Terbatas Nomor 1 Tahun 1995 ini, pembuat undang-undang dengan
tegas menyatakan bahwa Pasal 36-56 KUHD yang mengatur mengenai Perseroan
Terbatas dan perubahannya dinilai sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan
ekonomi dan dunia usaha baik nasional maupun internasional.
Selain itu juga, Undang-undang Nomor 1 Tahun 1995 ini juga merupakan
bentuk unifikasi atas dua ketentuan yang mengatur bentuk usaha berbadan hukum
yaitu, KUHD sendiri dan Ordonansi Maskapai Andil Indonesia (Ordonnantie op
de Indonesische Maatschapij op Aandeleen). Setelah dua belas tahun berlaku,
pada 16 Agustus 2007, Pemerintah mengundangkan Undang-undang Perseroan
Terbatas yang baru, yaitu Undang-undang Nomor 40 Tahun 2007. Setidaknya
terdapat empat alasan pokok diundangkannya Undang-undang Nomor 40 Tahun
2007 ini, yaitu:
1. Perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi dan informasi
2. Tuntutan masyarakat akan pelayanan yang cepat, berkepastian hukum serta pengembangan dunia usaha yang sesuai dengan prinsip pengelolaan korporasi yang baik
3. Memperjelas dan mempertegas ketentuan yang menyangkut organ perseroan, yang termasuk di dalamnya tugas dan tanggung jawab