• Tidak ada hasil yang ditemukan

Abstrak

Cekaman kekeringan merupakan salah satu faktor pembatas utama dalam pertumbuhan, serapan hara dan hasil kelapa sawit terutama yang ditanam pada tanah PMK dan gambut. Salah satu alternatif untuk mengatasi masalah cekaman kekeringan pada tanaman kelapa sawit tersebut melalui pemakaian CMA. Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji mekanisme adaptasi tanaman kelapa sawit yang bersimbiosis dengan CMA terhadap cekaman kekeringan pada media tanah PMK dan gambut bekas hutan. Pengujian adaptasi ini terdiri dari dua percobaan, masing-masing percobaan untuk setiap jenis tanah menggunakan Rancangan Acak Lengkap Faktorial dengan dua faktor yaitu faktor pertama adalah inokulasi CMA (M0= tanpa CMA and M1 = inokulasi CMA) dan faktor kedua adalah taraf

cekaman kekeringan (100%, 75%, 50% and 25% air tersedia).

Pada kedua jenis tanah, inokulasi CMA meningkatkan daya adaptasi bibit kelapa sawit pada setiap tingkat cekaman kekeringan seperti ditunjukkan oleh tanggap pertumbuhan dan serapan hara. Mekanisme adaptasi bibit kelapa sawit tanpa CMA terhadap cekaman kekeringan adalah melalui mekanisme toleransi (pengaturan osmoregulasi dengan memproduksi senyawa-senyawa osmotikum glisina-betaina dan prolina daun, serta pengaturan turgor sel melalui akumulasi kadar ABA daun). Pada bibit kelapa sawit yang bersimbiosis dengan CMA, mekanisme adaptasi terhadap cekaman kekeringan adalah melalui mekanisme toleransi dan mekanisme penghindaran (perbaikan penyerapan hara (terutama P), peningkatan kemampuan penyerapan air melalui perbaikan sistem perakaran, dan pengurangan luas permukaan transpirasi). Tanggap pertumbuhan dan serapan hara bibit kelapa sawit yang diinokulasi CMA dan tanpa CMA pada media tanah gambut bekas hutan lebih tinggi dibandingkan pada media tanah PMK bekas hutan untuk setiap tingkat cekaman kekeringan.

Kata kunci : kelapa sawit, CMA, cekaman kekeringan, mekanisme adaptasi

Abstract

Drought stress is one of the main limiting factors in growth, nutrient uptake and yield of oil palm, particularly those which are planted in RYP and

58

peat soils. One of the alternatives to overcome this drought stress problem on many plants is through inoculation with AMF. This research was conducted to observe the adaptabilty of oil palm seedling inoculated with AMF on drought stress in two different soils i.e. RYP and peat of used forest soils. Each experiment on each soil type was arranged in a Factorial Completely Randomized Design with two factors. The first factor was AMF inoculation (M0= without

AMF and M1 = inoculation of AMF) and the second factor was drought stress

levels (available water 100%, 75%, 50% and 25%).

On both soil types, AMF inoculation improved the adaptability of oil palm seedling on every level of drought stress, as shown by the responses of growth and nutrient uptake. The adaptation of non-inoculated seedling on drought stress was solely by tolerance mechanism, either osmoregulation as shown by higher production level of osmoticum components or cell turgor regulation by leaf ABA accumulation. On the inoculated seedlings, however, there were synergism between those two tolerance mechanism and escape mechanism. Two important escape mechanism were intensifying root system and decreasing transpiration surface of seedlings. Responses of growth and nutrient uptake of oil palm seedlings inoculated with AMF and without AMF on the peat soil media, were higher as compared to those on RYP soil media for each level of drought stress.

Key words : oil palm, AMF, drought stress, adaptation mechanism

Pendahuluan

Cekaman kekeringan merupakan penyebab utama penurunan produksi pada tanaman kelapa sawit. Menurut Hutomo et al. (1977), taksiran penurunan produksi selama 24 bulan setelah kekeringan pada perkebunan-perkebunan kelapa sawit di Indonesia berkisar antara 21-65 %. Tanggap paling awal dari tanaman yang mendapat cekaman kekeringan adalah terjadinya hambatan pembukaan stomata daun (Penny-Packer et al. 1990). Beberapa hasil penelitian menunjukkan bahwa cekaman kekeringan dapat menurunkan konduktansi stomata, fotosintesis dan pertumbuhan (Pattanagul & Madore 1999; Prevete et al. 2000; Delfine et al. 2001), sehingga pada akhirnya dapat menurunkan produksi.

Tanaman kelapa sawit yang ditanam pada tanah PMK dan gambut akan mudah mengalami kekeringan terutama pada musim kemarau. Selain disebabkan oleh perakarannya yang dangkal, juga tanah tersebut khususnya PMK mempunyai kemampuan menahan air yang rendah. Tanah PMK dan gambut bekas hutan yang

59

digunakan dalam penelitian ini memiliki kejenuhan basa yang rendah, derajat kemasaman yang tinggi dengan pH 4.89 (PMK) dan 3.90 (gambut), kandungan hara makro dan mikro yang rendah (PMK) dan sedang (gambut), serta unsur P sulit tersedia bagi tanaman.

Agar tetap dapat bertahan hidup dalam keadaan kekeringan, tanaman harus dapat mengatur status air dalam tubuhnya melalui pengaturan potensial osmotik. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa tanaman mampu beradaptasi terhadap cekaman kekeringan melalui pengaturan osmotik sel, yaitu melalui sintesis dan akumulasi senyawa organik serta dengan cara menjaga turgor sel. Beberapa senyawa yang berperan dalam penyesuaian osmotik sel antara lain gula osmotik (Pattanagul & Madore 1999; Kobashi et al., 2000; Wijana 2000), glisina-betaina (Makela et al. 1999; Wijana 2000) dan prolina (Pangaribuan 2001; Wijana 2000). Selain itu untuk mengatur turgor sel, tanaman menghasilkan ABA (Pastor et al. 1999; Kobashi et al. 2000; Wijana 2000) serta sudah diketahui bahwa ABA dapat memacu akumulasi prolina (Trotel-Aziz et al. 2000).

Salah satu alternatif yang mungkin dapat meningkatkan kemampuan adaptasi terhadap kekeringan pada tanaman kelapa sawit adalah dengan menggunakan mikroorganisme bermanfaat yaitu CMA.

CMA pada lahan kekeringan mampu meningkatkan penyerapan hara makro (terutama P) dan hara mikro melalui hifa eksternalnya, selain itu juga mampu memberikan ketahanan terhadap kekeringan (Setiadi 1989). Ketahanan timbul akibat meningkatnya kemampuan tanaman untuk menghindari pengaruh langsung dari kekeringan dengan jalan meningkatkan penyerapan air melalui sistem gabungan akar dan mikoriza. Dijelaskan lebih lanjut oleh Setiadi (1989), bahwa hifa cendawan ternyata masih mampu untuk menyerap air dari pori-pori tanah pada saat akar tanaman sudah kesulitan. Penyebaran hifa di dalam tanah juga sangat luas sehingga tanaman dapat mengambil air relatif lebih banyak.

Menurut Marschner & Dell (1994) hifa eksternal CMA dapat memperoleh P larut yang relatif lebih besar dibandingkan dengan akar karena daya jelajah hifa dapat mencapai 10 cm lebih dari permukaan akar, dan menurut Bolan (1991) ukuran diameter hifa sangat kecil (2-4 um) sehingga volume tanah yang dapat

60

diterobos menjadi lebih besar. Selain itu, adanya peningkatan serapan P oleh tanaman yang bermikoriza diduga karena adanya peningkatan aktivitas enzim fosfatase akar tanaman.

Hasil penelitian Aboul-Nasr (1998) menunjukkan bahwa inokulasi CMA pada tanaman labu dapat meningkatkan toleransi tanaman terhadap kekeringan. Dari penelitian tersebut didapatkan bahwa tanaman labu yang diinokulasi Glomus intraradices memiliki pertumbuhan yang lebih baik daripada yang tidak diinokulasi. Tanaman yang bermikoriza secara nyata meningkatkan jumlah P dan K pada tajuk tanaman tersebut. Di bawah cekaman kekeringan, tanaman yang bermikoriza memiliki kandungan K tajuk serta N dan P akar yang lebih tinggi daripada tanaman yang tidak bermikoriza. Hasil yang sama diperoleh oleh Al- Karaki & AlRaddad (1997) pada gandum; Bryla & Duniway (1997) pada

Safflower dan gandum; Al-Karaki et al. (1998) pada tanaman gandum; Bethlenfalvay et al. (1998) pada kedelai; Al-Karaki & Clark (1999) pada tanaman barley; Syvertsen & Graham (1999) pada sour orange dan sweet oranges; Hapsoh (2003) pada kedelai; serta Hanum (2004) pada kedelai.

CMA dapat meningkatkan pertumbuhan vegetatif dan reproduktif tanaman, seperti hasil penelitian Aguilera-Gomez et al. (1999) yang mendapatkan bahwa CMA dapat meningkatkan jumlah daun, luas daun, bobot kering tajuk, akar dan buah Capsicum annuum serta pertumbuhan reproduktif meningkat 450 % pada tanaman yang bermikoriza.

CMA meningkatkan pertumbuhan tanaman dengan cara memperbaiki serapan unsur-unsur hara dan air. Tanaman yang diinokulasi CMA memiliki bobot kering tajuk dan akar yang lebih tinggi pada keadaan cekaman kekeringan daripada yang tidak ber-CMA. Selain itu tanaman yang ber-CMA lebih efisien dalam penggunaan air (Al-Karaki 1998). Hasil yang sama diperoleh oleh Al- Karaki dan Clark (1998).

Pemberian CMA pada keadaan kekeringan dapat mempengaruhi mekanisme adaptasi tanaman dalam memproduksi senyawa organik dan mengatur turgor sel serta dalam penyerapan P seperti pada tanaman labu (Aboul-Nasr, 1998), gandum (Al-Karaki & AlRaddad 1997; Al-Karaki 1998; Al-Karaki et al.

61

1998; Al-Karaki & Clark 1998; 1999), kakao (Sasli 1999), dan kedelai (Hapsoh 2003; Hanum 2004). Dengan demikian adanya CMA pada keadaan kekeringan membantu tanaman dalam meningkatkan pertumbuhannya (Bryla & Duniway 1997, 1998; Goicoechea et al. 1997; Subramanian & Charest 1998; Ruiz-Lozano

et al. 2000; Fidelibus et al. 2000).

Mekanisme peningkatan adaptasi terhadap cekaman kekeringan akibat adanya CMA, selain karena perbaikan penyerapan P, juga adanya kolonisasi mikoriza menunda dehidrasi jaringan dan memelihara turgor sel tanaman selama kekeringan dengan satu atau lebih mekanisme sebagai berikut (1) meningkatkan penyerapan air melalui peningkatan kerapatan akar (Kothari et al. 1990; Osonubi

et al.1992), daya hantar hidrolik akar internal (Cui & Nobel 1992), dan/atau transport air dari hifa ke akar (Faber et al. 1991; Ruiz-Lozano & Azcon 1995); (2) mengurangi kehilangan air dari tanaman melalui pengurangan luas daun (Henderson & Davies 1990; Osonubi et al.1992) atau peningkatan resistensi stomata (Allen & Allen 1986) serta (3) peningkatan penyesuaian osmotik daun (Auge et al.1986; Ruiz-Lozano et al. 1995) dan/atau akar (Auge & Stodola 1990). Mikoriza juga meningkatkan kelenturan dinding sel tanaman (Auge et al.1987), yang memelihara turgor sel selama kekeringan. Menurut Davies et al. (1992) perkembangan hifa ekstraradikal dan agregasi tanah sekeliling akar bermikoriza akan ditingkatkan oleh mikoriza yang mengkolonisasi tanaman terhadap kekeringan, dan perubahan ini memfasilitasi penyerapan air yang cukup.

Sampai sejauh ini, pemanfaatan CMA dalam keadaan kekeringan pada bibit kelapa sawit dalam mengatur mekanisme adaptasi belum dilaporkan. Dengan pemberian CMA pada bibit kelapa sawit, diharapkan CMA tersebut mampu meningkatkan daya adaptasi bibit terhadap cekaman kekeringan, sehingga jika ditanam di lapangan bibit akan mampu beradaptasi terhadap lingkungan yang beragam.

Penelitian ini bertujuan mengkaji peranan CMA pada keadaan kekeringan terhadap pertumbuhan dan serapan hara bibit kelapa sawit yang ditanam pada media tanah PMK dan gambut bekas hutan serta untuk mengkaji

62

mekanisme adaptasi bibit kelapa sawit dalam mengatasi cekaman kekeringan pada keadaan dengan dan tanpa inokulasi CMA pada kedua jenis tanah tersebut.

Bahan dan Metode

Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian dilaksanakan di rumah kaca dan Laboratorium Bioteknologi Fakultas Pertanian Universitas Jambi, Laboratorium Research Group on Crop Improvement (RGCI) IPB, dan Laboratorium Balai Besar Litbang Pasca Panen Pertanian Bogor. Waktu penelitian dari bulan Mei 2004 sampai dengan April 2005.

Rancangan Percobaan

Penelitian ini terdiri dari dua percobaan yang masing-masing merupakan percobaan faktorial dua faktor menggunakan Rancangan Acak Lengkap tiga ulangan yaitu :

1. Faktor pertama, mikoriza terdiri dari dua taraf : M0 : tanpa inokulasi CMA

M1 : dengan inokulasi CMA

2. Faktor kedua, Cekaman Kekeringan (Pemberian Air) terdiri atas empat taraf : C1 : 100% air tersedia

C2 : 75% air tersedia

C3 : 50% air tersedia

C4 : 25% air tersedia

Dengan demikian, secara keseluruhan diperoleh delapan kombinasi perlakuan. Setiap kombinasi perlakuan diulang tiga kali, sehingga terdapat 24 satuan percobaan, yang masing-masing terdiri atas delapan tanaman. Dengan demikian jumlah tanaman seluruhnya adalah 192 tanaman.

Model linier aditif dari rancangan yang digunakan sebagai berikut : Yijk = ì + ái + âj + (áâ)ij + åijk

Di mana :

63

j : 1, 2, 3, 4 k : 1, 2, 3

Yijk : tanggap pengamatan pada unit percobaan yang mendapat perla-

kuan mikoriza ke-i dan perlakuan cekaman kekeringan pada taraf ke-j

ì : rataan umum

ái : pengaruh perlakuan mikoriza ke-i

âj : pengaruh perlakuan cekaman kekeringan ke-j

(áâ)ij : pengaruh interaksi pelakuan mikoriza ke-i dan cekaman

kekeringan ke-j

åijkl : pengaruh galat dan pelakuan mikoriza ke-i dan cekaman

kekeringan ke-j dengan ulangan ke-k

Pelaksanaan

Persiapan media tanam.

Media tanam berupa tanah yang berasal dari tanah PMK bekas hutan dan gambut bekas hutan terlebih dahulu dikeringanginkan dan diayak dengan ayakan berukuran 10 mesh kemudian disterilisasi dengan tujuan mematikan semua organisme yang terkandung dalam contoh tanah, sehingga hanya isolat CMA yang diinokulasi yang berkembang dan tanggap yang terjadi benar-benar akibat isolat yang diberikan. Sterilisasi dilakukan dengan cara pengukusan (pemanasan). Sebelumnya contoh tanah dianalisis terlebih dahulu.

Persiapan kecambah.

Kecambah kelapa sawit varietas D x P (Tenera) yang digunakan adalah kecambah yang baru muncul radikelnya maksimum 0.5 cm. Kecambah tersebut ditanam dengan hati-hati dalam polibag yang berukuran 40 cm x 45 cm yang sudah disiapkan sebelumnya, setiap polybag satu kecambah.

64

Pemberian isolat CMA.

Isolat CMA yang diberikan merupakan isolat CMA yang terbaik pada tanah PMK bekas hutan (isolat campuran inokulum CMA tipe Glomus sp-3a, Acaulospora sp-3adan Acaulospora sp-5a) dan tanah gambut bekas hutan (isolat campuran inokulum CMA Glomus sp-1c, Glomus sp-5c dan Acaulospora sp-5c) serta diberikan pada saat penanaman kecambah dengan cara membuat lubang di tengah-tengah polybag sedalam kira-kira 3 cm, kemudian pada masing-masing ujung lubang tanam diletakkan 1 kecambah. Selanjutnya dimasukkan inokulum CMA yang mengandung sebanyak 60 spora per polybag pada akar bibit tersebut, kemudian lubang tanam ditutup dengan tanah.

Perlakuan cekaman kekeringan.

Perlakuan cekaman kekeringan mulai dilakukan pada saat bibit berumur 2,5 bulan. Sebelum perlakuan cekaman kekeringan, penyiraman dilakukan setiap hari. Penentuan pemberian air untuk setiap perlakuan dilakukan berdasarkan air tersedia. Air tersedia dalam tanah ditentukan dengan mencari selisih antara kadar air kapasitas lapang dan titik layu permanen. Untuk mencari kadar air pada kapasitas lapang dilakukan dengan mengukur penurunan bobot tanah (metode gravimetri). Contoh tanah dimasukkan dalam suatu bejana yang diberi saluran pipa kecil pada bagian dasarnya dan diberi air secara hati-hati hingga merata. Setelah dibiarkan 24 jam, contoh tanah diambil secara komposit sebanyak 10 gram dan dikeringovenkan pada suhu 105o C selama 24 jam. Sedangkan penetapan kadar air titik layu pemanen didasarkan pada kadar air tanah pada saat keadaan tanaman tidak mampu tumbuh normal kembali setelah media tanam disiram air secara berlebih. Perhitungan kadar air kapasitas lapang dan titik layu pemanen adalah dengan menggunakan rumus berikut :

BB - BK

Kapasitas lapang = --- X 100 % BK

Di mana : BB = bobot tanah basah BK = bobot tanah kering oven

65

Untuk menentukan tingkat kadar air dari masing-masing perlakuan adalah sebagai berikut :

1. 100 % air tersedia, kadar airnya adalah :

(100/100 x kadar air tersedia) + KA titik layu permanen 2. 75 % air tersedia, kadar airnya adalah :

(75/100 x kadar air tersedia) + KA titik layu permanen 3. 50 % air tersedia, kadar airnya adalah :

(50/100 x kadar air tersedia) + KA titik layu permanent 4. 25 % air tersedia, kadar airnya adalah :

(25/100 x kadar air tersedia) + KA titik layu permanen

Penyesuaian kadar air tanah untuk masing-masing perlakuan dilakukan setiap hari, dengan menimbang bobot basah tanah dan tanaman yang ada dalam polybag. Koreksi terhadap pertambahan bobot tanaman, dilakukan dengan mencabut tanaman dan menimbang bobot tanaman sesuai kombinasi perlakuan setiap 4 minggu sekali dengan menggunakan contoh tidak tetap yang disediakan khusus untuk koreksi bobot basah tanaman.

Pemeliharaan.

Pemeliharaan yang dilakukan meliputi penyiangan dan pemupukan. (1) Penyiangan. Penyiangan dilakukan secara manual dengan cara mencabut rumput-rumput yang tumbuh, sekaligus menggemburkan tanah. Interval penyiangan tergantung pada pertumbuhan gulma yang tumbuh pada polybag.

(2) Pemupukan. Pupuk yang diberikan berupa pupuk urea, rock phosphate, KCl dan kisserite dengan dosis seperti tercantum pada Lampiran 2 dan 3. Pemupukan dilakukan dengan cara membuat alur di bagian pinggir polybag dan pupuk dibenamkan secara merata pada alur tersebut sesuai dosis anjuran dari Pusat Penelitian Kelapa Sawit Medan untuk tanah PMK dan rekomendasi dari PT Era Sakti Parastama untuk tanah gambut.

66

Pengamatan.

Pengamatan pertama (peubah tinggi bibit, jumlah daun dan diameter batang) untuk mengetahui titik awal keadaan tanaman dilakukan tepat sebelum perlakuan cekaman kekeringan yaitu pada saat bibit berumur 2.5 bulan, dan untuk pengamatan selanjutnya dilakukan dengan interval waktu 2 minggu sampai bibit berumur 9 bulan.

Peubah yang diamati sebagai berikut :

1. Tinggi bibit (cm). Tinggi bibit diukur dari batas leher akar sampai ke ujung daun tertinggi. Untuk mempermudah pengukuran ditanam ajir bambu sebagai standar pengukuran. Pengukuran dilakukan dengan mistar .

2. Jumlah daun (helai). Jumlah daun dihitung dengan cara menghitung semua daun yang telah membuka sempurna dan masih segar. Selain itu juga dihitung jumlah daun yang pecah lidi.

3. Luas daun (cm2). Pengukuran dilakukan dengan menggunakan pengukur luas daun (Leaf Area Meter) dan dilakuan pada akhir penelitian.

4. Diameter batang. Diukur dengan menggunakan jangka sorong pada ketinggian 2 cm dari pangkal batang.

5. Bobot kering tajuk (g). Tanaman dipotong hingga batas leher akar, kemudian dikeringkan dalam oven selama 72 jam dengan suhu 80 oC, kemudian ditimbang bobot kering tajuknya. Pengukuran dilakukan pada akhir penelitian.

6. Bobot kering akar (g). Akar dikeringkan dalam oven selama 72 jam dengan suhu 80 oC, lalu ditimbang. Pengukuran dilakukan pada akhir penelitian. 7. Efisiensi penggunaan air (EPA), dihitung dengan rumus :

Bobot kering tanaman (g) EPA = --- Jumlah air yang digunakan (l)

Jumlah air yang digunakan tanaman dihitung setiap hari mulai dari awal sampai akhir penelitian, dengan cara mengukur jumlah air yang disiramkan pada setiap tanaman setiap hari.

67

8. Persentase akar terinfeksi CMA. Teknik pelaksanaan dilakukan sama dengan sebelumnya. Penghitungan dilakukan pada akhir penelitian.

9. Analisis aktivitas enzim fosfatase asam. Analisis aktivitas enzim fosfatase asam di akar dan tanah dilakukan sesuai prosedur yang mengacu pada Dodd et al. (1987) dan Ezawa dan Yoshida (1994) dengan beberapa modifikasi. Prosedur lengkap disajikan dalam Lampiran 4. Analisis dilakukan pada akhir penelitian.

10. Kadar dan serapan P. Kadar P diperoleh dengan cara menganalisis contoh kering (105 oC) bagian atas tanaman dengan menggunakan metode dekstruksi basah seperti tercantum pada Lampiran 8. Serapan P diperoleh dari hasil kali antara kadar P dan bobot kering bagian atas tanaman. Analisis ini dilakukan pada akhir penelitian.

11. Kadar dan serapan K. Kadar K diperoleh dengan cara menganalisis contoh kering (105 oC) bagian atas tanaman dengan menggunakan metode dekstruksi basah seperti tercantum pada Lampiran 9. Serapan K diperoleh dari hasil kali antara kadar K dan bobot kering bagian atas tanaman. Analisis ini dilakukan pada akhir penelitian.

12. Analisis prolina. Kandungan prolina ditentukan secara kolorimetri menggunakan metode Bates et al. (1973). Prosedur lengkap disajikan dalam Lampiran 5. Analisis prolina ini dilakukan pada awal (sebelum cekaman) dan akhir penelitian.

13. Analisis ABA. Ekstrasi ABA mengikuti prosedur yang dilakukan Yokota et al. (1994). Prosedur lengkap disajikan dalam Lampiran 6. Pengukuran dilakukan pada akhir penelitian.

14. Analisis glisina-betaina. Kadar glisina-betaina dianalisis berdasarkan metode Grieve dan Grattan (1983) dengan sedikit perubahan. Prosedur lengkap disajikan dalam Lampiran 7. Pengukuran dilakukan pada akhir penelitian.

Analisis Data.

Analisis data dilakukan dengan sidik ragam dan dilanjutkan dengan uji ortogonal polinomial dan regresi.

68

Hasil dan Pembahasan

Hasil Penelitian

a. Adaptasi bibit kelapa sawit yang bersimbiosis dengan CMA terhadap cekaman kekeringan pada media tanah PMK bekas hutan

Berdasarkan uji ortogonal polinomial didapatkan persamaan regresi dan grafik dari setiap peubah yang diamati seperti tercantum pada Tabel 14 dan Gambar 5-26.

Gambar 5-26 memperlihatkan bahwa morfologi dan fisiologi bibit kelapa sawit semakin menurun dengan semakin bertambah beratnya cekaman kekeringan untuk semua peubah morfologi dan fisiologi yang diamati baik pada bibit yang diinokulasi CMA maupun tidak, kecuali untuk peubah glisina-betaina daun, prolina daun, ABA daun dan infeksi akar. Peubah glisina-betaina daun, prolina daun, ABA daun dan infeksi akar semakin meningkat dengan semakin bertambah beratnya cekaman kekeringan. Bibit yang diinokulasi CMA memberikan nilai peubah morfologi dan fisiologi yang lebih tinggi dibandingkan bibit tanpa CMA untuk setiap tingkat cekaman kekeringan, seperti ditunjukkan oleh semua peubah yang diukur.

Perubahan tanggap morfologi dan fisiologi bibit kelapa sawit yang diinokulasi CMA cenderung lebih cepat dibandingkan dengan bibit tanpa CMA.

Pada keadaan tercekam, bibit yang diinokulasi CMA memperlihatkan tanggap morfologi dan fisiologi yang lebih baik. Hal ini disebabkan adanya peran CMA dalam membantu bibit mengatasi cekaman kekeringan yang terjadi. Peran CMA tersebut mulai terlihat sejak awal terjadi cekaman kekeringan untuk semua peubah yang diamati kecuali peubah bobot kering tajuk. Peubah bobot kering tajuk dari bibit yang ditanam di tanah PMK bekas hutan, CMA mulai berperan pada tingkat cekaman kekeringan C2 (75% air tersedia).

Pada tingkat cekaman kekeringan C4 (25% air tersedia), CMA tidak

mampu berperan lagi dalam mengatasi cekaman kekeringan seperti terlihat pada peubah bobot kering tajuk, luas daun, EPA, kadar K dan serapan K, kadar P dan serapan P, serta enzim fosfatase asam di akar dan di tanah. Bahkan pada peubah

69

Tabel 14. Persamaan regresi pengaruh taraf cekaman kekeringan terhadap semua peubah yang diamati pada media tanah PMK bekas hutan

Persamaam regresi Peubah

M0 (Tanpa CMA) M1 (dengan CMA)

Morfologi Tinggi bibit

Diameter batang Jumlah daun

Jumlah daun pecah lidi Luas daun

Bobot kering akar Bobot kering tajuk Bobot kering bibit Nisbah tajuk akar

Fisiologi

Enzim fosfatase asam di akar Enzim fosfatase asam di tanah Kadar K

Kadar P Serapan K Serapan P

Kadar glisina-betaina daun Kadar prolina daun Kadar ABA daun EPA Infeksi akar y = 0.5117x + 21.667 R2=0.78 y =-0.0086x2 + 1.5477x - 23.725 R2=0.92 y = 0.0827x + 2.1667 R2=0.91 y = 0.024x - 0.8333 R2=0.62 y = 30.691x – 489.82 R2=0.91 y = 0.079x - 0.9485 R2=0.78 y = 0.4579x - 7.8518 R2=0.96 y = 0.5369x - 8.8003 R2=0.96 y = 0.0002x2 - 0.0276x + 4.8192 R2 =0.05 y = 2.9167x + 161.14 R2=0.78 y = 0.1698x + 11.107 R2=0.90 y = 0.0269x + 3.8292 R2=0.75 y = 0.0032x + 0.243 R2=0.81 y = 0.0296x - 0.61 R2=0.96 y = 0.0026x - 0.0605 R2=0.96 y = -0.0009x2 + 0.1215x + 20.673 R2=0.01 y = -0.0815x + 14.536 R2=0.81 y = -0.4688x + 57.298 R2=0.99 y = -0.0003x2 + 0.0524x - 0.8597 R2 =0.92 - y = 0.6011x + 23.1 R2=0.79 y = -0.0108x2 + 1.8783x - 26.625 R2=0.94 y = 0.0253x + 7.8333 R2=0.55 y = 0.028x - 0.5 R2=0.52 y = 34.584x – 350.57 R2=0.92 y = 0.1105x - 0.5323 R2=0.77 y = 0.478x – 4.1875 R2=0.87 y =-0.0031x2 + 0.9773x - 14.441 R2=0.88 y = 0.0001x2 - 0.0107x + 5.5115 R2=0.01 y = -0.0711x2 + 12.662x - 51.683 R2=0.92 y = 0.0044x2 - 0.1141x + 15.803 R2=0.96 y = 0.0464x + 3.3324 R2=0.91 y = 0.0061x + 0.1981 R2=0.88 y = 0.0419x - 0.8448 R2=0.92 y = 0.0043x - 0.0978 R2=0.92 y = 0.0007x2 - 0.1434x + 32.629 R2=0.08 y = -0.1208x + 27.255 R2=0.62 y = 0.0039x2 - 0.9738x + 75.342 R2=0.99 y = 0.0006x2 - 0.0273x + 0.9573 R2=0.92 y = 0.0013x2 - 0.3213x + 103 R2=0.66

70

EPA dan enzim fosfatase asam di tanah, CMA sudah tidak dapat berperan lagi mulai tingkat cekaman kekeringan C3 (50% air tersedia).

Tanggap tinggi, luas daun, bobot kering tajuk, dan bobot kering bibit kelapa sawit yang diinokulasi CMA terhadap cekaman kekeringan menunjukkan bahwa semakin bertambah berat cekaman kekeringan, semakin kecil perbedaannya dengan bibit tanpa CMA. Hal ini menunjukkan bahwa peran CMA makin berkurang dengan semakin meningkatnya cekaman kekeringan (Gambar 5- 8). y = 0.5117x + 21.667 R2 = 0.7771 y = 0.6011x + 23.1 R2 = 0.7929 0.0 20.0 40.0 60.0 80.0 100.0 120.0 0 25 50 75 100

Persentase air tersedia

T ingg i b ib it (c m ) M0 M1 Linear (M0) Linear (M1)

Gambar 5. Tanggap tinggi bibit kelapa sawit umur 9 bulan terhadap perlakuan mikoriza dan cekaman kekeringan di media tanah PMK bekas hutan