• Tidak ada hasil yang ditemukan

Peranan CMA dalam Adaptasi Bibit Kelapa Sawit terhadap Cekaman Kekeringan

Terbatasnya lahan-lahan subur merupakan salah satu kendala dalam pengembangan kelapa sawit di Indonesia, sehingga penanaman kelapa sawit lebih diarahkan pada lahan-lahan marjinal. Lahan-lahan tersebut mempunyai tingkat kesuburan yang rendah dan memiliki masalah dalam penyediaan air, akibatnya kelapa sawit akan mengalami cekaman kekeringan pada musim kemarau panjang.

Ketersediaan air merupakan faktor lingkungan utama yang mempengaruhi pertumbuhan dan hasil kelapa sawit. Adanya cekaman kekeringan berpengaruh negatif terhadap proses fisiologi tanaman. Fotosintesis berkurang akibat adanya penutupan stomata yang dapat mengurangi asimilasi karbon. Tanaman dapat bertahan hidup dalam keadaan cekaman kekeringan melalui berbagai strategi. Salah satu hal sangat penting dalam mentolerir dehidrasi sel adalah melalui pemeliharaan struktur dan fungsi sel pada potensial air yang rendah. Membran sel merupakan salah satu target pertama dari tanaman yang tercekam dan pemeliharaan integritas membran di bawah keadaan cekaman kekeringan merupakan strategi penting untuk toleransi kekeringan.

Cekaman kekeringan secara umum mengurangi penyerapan unsur hara oleh akar dan transpor dari akar ke tajuk disebabkan oleh kecepatan transpirasi yang terbatas serta transpor aktif dan permeabilitas membran yang terganggu, akibat berkurangnya kekuatan penyerapan akar dari tanaman tersebut (Kramer & Boyer 1995). Penurunan kadar air tanah menyebabkan penurunan kecepatan difusi unsur hara (khususnya P) dari matriks tanah ke permukaan penyerapan akar. Menurut Harman & Izuno (1993) tanggap pertama akibat cekaman kekeringan adalah hilangnya turgor, sehingga terjadi penutupan sebagian stomata, pengurangan perluasan sel, pengurangan evaporasi dari daun, berkurangnya penyerapan ion mineral dari tanah, pengurangan fotosintesis dan pada akhirnya penurunan pertumbuhan tanaman secara keseluruhan.

130

Salah satu alternatif untuk mengatasi cekaman kekeringan adalah menggunakan mikroorganisme bermanfaat yaitu CMA. CMA merupakan cendawan yang berkemampuan bersimbiosis dengan hampir 90% jenis tanaman, serta telah banyak dibuktikan mampu memperbaiki hara dan meningkatkan pertumbuhan tanaman. Selain itu, CMA juga dapat digunakan sebagai pelindung hayati, terlibat dalam siklus biogeokimia, mempertahankan keanekaragaman tumbuhan serta meningkatkan resistensi tanaman terhadap kekeringan.

Seperti halnya dengan tanaman lainnya, CMA juga berkemampuan bersimbiosis dengan tanaman kelapa sawit yang merupakan salah satu tanaman perkebunan. Pemanfaatan CMA pada komoditi tanaman kelapa sawit ini sangat potensial mengingat dalam budidayanya tanaman ini memerlukan fase pembibitan sebelum dipindahkan ke lapangan. Dengan adanya cekaman kekeringan, tanaman kelapa sawit mempunyai kecenderungan untuk lebih bergantung pada asosiasinya dengan CMA terutama pada masa pembibitan. Hal ini ada hubungannya dengan karakteristik kebanyakan akar tanaman ini memiliki akar yang relatif sedikit, pendek serta rambut akar yang jarang. Hal ini menunjukkan bahwa jumlah dan sebaran akar dalam tanah menentukan kemampuan tanaman untuk menjangkau sumber fosfat di dalam tanah (Baon 1999).

CMA ditemukan di beberapa tipe ekosistem, di tanah pertanian CMA memainkan peranan yang sangat penting dalam hara tanaman. Hifa ekstraradikal menghubungkan korteks akar di sekeliling tanah yang menyerap unsur hara yang mobilitasnya rendah dalam tanah seperti P, Zn dan Cu yang tidak dapat diakses oleh tanaman (Bolan 1991). Hifa ekstraradikal sangat penting dalam konservasi tanah terutama dalam pembentukan agregat tanah yang stabil. Agregat tanah yang baik lebih resisten terhadap kekuatan erosi, mempunyai pertukaran gas yang lebih baik, filtrasi air, kapasitas penyimpanan air dan unsur hara serta menyediakan mikrositas yang heterogen yang cocok untuk penyebaran mikroba.

Keanekaragaman CMA di setiap ekosistem akan berbeda, tergantung perbedaan jenis tanah dan vegetasi yang ada di sekitarnya, cara pengolahan tanah, pemupukan, pemeliharaan tanaman serta organisme lain yang mungkin ada di lokasi tersebut. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa pada setiap ekosistem

131

hanya ditemukan dua genus CMA yaitu Glomus dan Acaulospora (Tabel 2-4). Demikian juga daya adaptasi dari setiap jenis CMA akan berbeda akibat perbedaan lingkungan dan juga faktor intrinsik CMA itu sendiri. Pada hasil penelitian ini, genus Glomus lebih mendominasi daripada genus Acaulospora

pada tanah PMK bekas kebun karet dan gambut bekas hutan, sedangkan di tanah PMK bekas hutan didominasi oleh genus Acaulospora. Hasil penelitian Allen & Cunningham (1983), Pond et al. (1984), Ragupathy & Mahadevan (1991) dan Purwanto (1999) juga menunjukkan bahwa jenis Glomus lebih beradaptasi dibandingkan genus yang lain terhadap kisaran keadaan lingkungan yang luas.

Penurunan jumlah CMA sangat ditentukan oleh keadaan lingkungan tanah yang bervariasi. Hasil penelitian Treseder & Allen (2002) mendapatkan bahwa jumlah Scutellospora lebih sedikit pada tanah yang mendapat pemupukan N daripada pemupukan P, sementara itu keberadaan Glomus lebih tinggi pada tanah yang subur daripada yang kekurangan N, serta Gigaspora dan Acaulospora tidak berbeda pada lingkungan yang berbeda. Menurut hasil penelitian Zhao et al. (2001), Acaulospora dan Glomus merupakan CMA dominan di tanah hutan hujan tropika di Xishuangbanna. Lain halnya menurut hasil penelitian Cordoba et al. (2001) Glomaceae dan Gigasporaceae merupakan CMA dominan di tanah pantai Joaquina di pulau Santa Catarina Brazil Selatan.

Menurut Kabir et al. (1997) sifat fisika dan kimia tanah sangat berpengaruh terhadap keberadaan CMA, seperti halnya tekstur tanah. Tekstur tanah dapat mempengaruhi keberadaan CMA di mana tanah yang bertekstur ringan umumnya memilki lebih banyak spora CMA daripada tanah yang bertekstur halus. Pada tanah liat (clay) sebagian besar volume pori-pori tanah umumnya lebih kecil daripada tanah lempung berpasir (sandy loam) dan pertukaran gas berkurang.

Setiap jenis CMA memiliki tingkat keefektivan yang bervariasi terhadap tanaman inangnya. Demikian juga dengan tanamannya memberikan tanggap yang berbeda terhadap keberadaan CMA. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa perbedaan keefektivan masing-masing tipe spora pada masing-masing jenis tanah (PMK bekas hutan, PMK bekas kebun karet dan gambut bekas hutan), disebabkan

132

adanya faktor intrinsik dari CMA itu sendiri yang mempunyai tingkat adaptasi yang berbeda selain perbedaan lingkungan. Inokulum CMA yang paling efektif di tanah PMK bekas hutan adalah inokulum campuran Glomus sp-3a, Acaulospora sp-3a, Acaulospora sp-5a; di tanah gambut bekas hutan adalah inokulum campuran Glomus sp-1c, Glomus sp-5c, dan Acaulospora sp-5c; dan di tanah PMK bekas kebun karet adalah inokulum tunggal Glomus sp-3b (Tabel 7-13).

Peranan CMA terhadap pertumbuhan tanaman diakibatkan adanya peningkatan penyerapan hara dengan semakin besarnya luas permukaan serapan atau kemampuan memobilisasi sumber hara yang tidak mudah tersedia. Peranan CMA yang sangat besar terhadap pertumbuhan tanaman perkebunan terutama disebabkan oleh meningkatnya penyerapan P. khususnya dari sumber-sumber yang sulit larut. Menurut Baon (1999) jika jelajah akar dibatasi, maka sampai 80% P yang berada dalam tanaman diperoleh melalui aktivitas hifa eksternal yang menjangkau jarak lebih dari 10 cm dari permukaan akar. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa CMA mampu meningkatkan serapan P sehingga meningkatkan pertumbuhan bibit kelapa sawit dibandingkan dengan perlakuan tanpa pemberian CMA baik pada media tanah PMK maupun gambut bekas hutan.

Tingginya serapan P sebagai tanggap dari CMA diduga sebagai strategi tanaman untuk mengurangi pengaruh negatif dari cekaman kekeringan. Serapan P yang tinggi pada hasil penelitian ini disebabkan meningkatnya kadar P dan juga bobot kering bibit tersebut (Gambar 8, 15, 39, 45). Banyak penelitian yang melaporkan bahwa adanya peningkatan pertumbuhan tanaman bermikoriza merupakan akibat kemampuan CMA dalam membantu penyerapan P ( Heijne et al. 1996; Clark 1997; Syvertsen & Graham 1999; Liu et al. 2000). P adalah salah satu unsur hara esensial yang diperlukan dalam jumlah relatif banyak oleh tanaman tetapi ketersediaannya terutama pada tanah-tanah masam menjadi terbatas, sehingga menjadi salah satu masalah pembatas utama dalam peningkatan produktivitas tanaman.

Menurut Stahl et al. (1998), simbiosis dengan mikoriza memberikan beberapa keuntungan di antaranya mengubah kecepatan penyerapan air, konduktivitas hidrolik, potensial air daun dan batang, resistensi stomata dan

133

kecepatan transpirasi. Selanjutnya dijelaskan bahwa mekanisme mikoriza membantu penyerapan air (1) merupakan tanggap sekunder akibat perbaikan hara, terutama penyerapan P yang dibantu oleh mikoriza di mana perbaikan hara P mengakibatkan infeksi mikoriza berpengaruh langsung pada resistensi membran terhadap aliran air dan faktor pembatas untuk menyerap air, (2) hifa eksternal meningkatkan daerah permukaan total dari sistem perakaran tanaman serta meningkatkan volume eksploitasi tanah untuk air yang membuat air tersedia lebih banyak untuk tanaman, (3) hifa menetrasi korteks akar sampai endodermis sehingga memudahkan air bergerak melalui akar, dan (4) mikoriza mengubah tingkat hormon akar dan tajuk yang berpengaruh pada penyerapan air oleh tanaman.

Berdasarkan hasil penelitian ini didapatkan bahwa pertumbuhan dan serapan hara bibit kelapa sawit yang ditanam di media tanah PMK dan gambut bekas hutan menunjukkan penurunan dengan bertambah beratnya cekaman kekeringan baik pada bibit tanpa CMA maupun yang diinokulasi CMA (Tabel 18). Bibit yang bersimbiosis dengan CMA ternyata lebih mampu mengatasi cekaman kekeringan dibandingkan bibit tanpa CMA untuk setiap tingkat cekaman kekeringan. Selanjutnya diperoleh bahwa pada kandungan air tersedia yang lebih rendah, bibit yang bersimbiosis dengan CMA mampu mencapai pertumbuhan dan serapan hara yang sama dengan bibit tanpa CMA pada keadaan cukup air (Tabel 19).

Peningkatan serapan hara (terutama P) pada bibit yang bersimbiosis dengan CMA disebabkan CMA juga dapat menyerap P organik (Po) dan

mengubahnya menjadi P anorganik (Pi) yang dapat diserap tanaman dengan

adanya bantuan enzim fosfatase asam yang juga dihasilkan oleh CMA dan juga sel-sel tanaman tersebut. Enzim fosfatase asam berfungsi memacu proses mineralisasi P organik. Menurut Bolan (1991), pada keadaan kahat P, CMA mampu memanfaatkan sumber P yang tidak tersedia melalui peningkatan laju solubilisasi Pi yang tidak larut dan hidrolisis Po menjadi Pi larut yang dapat diserap tanaman, sehingga ion-ion fosfat dalam larutan tanah meningkat. Gunawan (1993) menjelaskan bahwa enzim fosfatase asam yang dihasilkan oleh

134

hifa CMA yang sedang aktif tumbuh dan peningkatan aktivitas fosfatase pada permukaan akar sebagai hasil infeksi CMA menyebabkan P inorganik (Pi) dibebaskan dari fosfat organik (Po) pada daerah dekat permukaan sel sehingga dapat diserap melalui mekanisme serapan hara.

Selain meningkatkan penyerapan P, CMA juga membantu tanaman dalam penyerapan N, K, Cu dan Zn pada saat tanaman tercekam kekeringan (Ruiz-Lozano & Azcon 1995). Pada penelitian ini selain terjadi peningkatan serapan P, serapan K pada bibit yang bersimbisosis CMA juga meningkat lebih tinggi dibandingkan bibit tanpa CMA untuk setiap tingkat cekaman kekeringan (Gambar 19 dan 46). Kalium merupakan unsur monovalen esensial bagi tanaman. Peranan utama K dalam tanaman adalah sebagai kofaktor berbagai enzim, pergerakan stomata dan menjaga elektronitas. K juga berfungsi penting dalam pembentukan hidrat arang dan translokasi gula. K yang tersedia cukup dalam tanah dapat menjamin ketegaran tanaman, menghilangkan pengaruh buruk nitrogen, dan mengurangi pengaruh kematangan yang dipercepat oleh fosfor (Soepardi 1983).

Pada media tanah PMK bekas hutan, bibit yang bersimbiosis dengan CMA, pada keadaan cukup air ternyata mampu meningkatkan bobot kering bibit sebesar 21.93 % dan pada keadaan tercekam kekeringan (25% air tersedia) sebesar 108.27 % (Tabel 18). Jadi, adanya cekaman kekeringan, menyebabkan peningkatan bobot kering bibit sebesar 86.34%. Selanjutnya diperoleh bahwa pada keadaan cukup air, terjadi peningkatan serapan P sebesar 66.67% dan pada keadaan tercekam kekeringan sebesar 100%, jadi akibat adanya cekaman kekeringan tersebut terjadi peningkatan serapan P sebesar 33.33%. Dalam hal ini berarti, peranan CMA pada keadaan cukup air, meningkatkan ketersediaan dan serapan hara yang lebih tinggi (ditunjukkan dengan serapan P) dibandingkan peningkatan bobot kering bibit. Sebaliknya pada keadaan tercekam kekeringan, CMA lebih berperan dalam meningkatkan bobot kering bibit dibandingkan peningkatan ketersediaan dan serapan hara. Peranan CMA lebih tinggi pada keadaan tercekam kekeringan dibandingkan tanpa cekaman kekeringan.

135

Pada tanah gambut bekas hutan, pada keadaan cukup air, adanya CMA yang bersimbiosis dengan bibit kelapa sawit menyebabkan peningkatan bobot kering bibit sebesar 54.87 % dan pada keadaan tercekam kekeringan (25% air tersedia) sebesar 62.06 %. Jadi adanya cekaman kekeringan, menyebabkan peningkatan bobot kering sebesar 7.19% (Tabel 18). Selanjutnya diperoleh bahwa pada keadaan cukup air, terjadi peningkatan serapan P sebesar 84.62% dan pada keadaan tercekam kekeringan sebesar 300%, yang berarti adanya cekaman kekeringan menyebabkan peningkatan serapan P sebesar 215.38%. Pada tanah gambut bekas hutan, peranan CMA lebih meningkatan ketersediaan dan serapan P dibandingkan peningkatan bobot kering bibit baik pada keadaan cukup air maupun tercekam kekeringan.

Perbedaan jenis tanah mempengaruhi pertumbuhan dan serapan hara suatu tanaman. Pada tanah gambut bekas hutan, ternyata pertumbuhan dan serapan hara bibit kelapa sawit yang bersimbiosis dengan CMA maupun tanpa CMA lebih tinggi dibandingkan bibit yang ditanam pada tanah PMK bekas hutan (Tabel 18). Pada keadaan tercekam kekeringan, tanah gambut memiliki struktur, aerasi dan porositas yang lebih baik, sehingga pertumbuhan dan serapan hara bibit juga lebih tinggi dibandingkan tanah PMK. Selain itu, pada keadaan tercekam kekeringan tersebut, hifa CMA di tanah gambut bekas hutan lebih mampu untuk menyerap unsur hara dan air ke pori-pori yang lebih kecil. Sementara di tanah PMK bekas hutan, hifa CMA sudah tidak mampu lebih jauh lagi untuk menjelajah ke pori-pori yang lebih kecil disebabkan struktur, aerasi dan porositas tanah yang kurang baik. Hal tersebut juga disebabkan kadar air pada kapasitas lapang dan titik layu permanen di tanah gambut lebih tinggi dibandingkan tanah PMK.

Ketersediaan air dianggap faktor pembatas dalam memproduksi suatu tanaman, dan produksi yang tinggi tergantung pada suplai air yang cukup. Strategi tanaman yang sering digunakan untuk mengurangi pengaruh defisit air adalah dengan cara mengakumulasi solut (osmotic adjustment) di dalam sel untuk memelihara status air tanaman, khususnya turgor. Hare et al. (1998) menyatakan bahwa cekaman lingkungan merupakan faktor pembatas utama produktivitas tanaman. Cekaman abiotik yang menyebabkan berkurangnya air sel (cekaman

136

kekeringan, salinitas tanah tinggi, dan suhu yang ekstrim) merupakan penyebab kehilangan hasil pertanian yang terbesar. Untuk mengatasi cekaman lingkungan tersebut, beberapa tanaman mengakumulasi osmolit organik yang umum disebut senyawa polyhydroxylic (sakarida dan polyhydric alcoholic) dan zwitterionic alkylamines (asam amino dan senyawa ammonium).

Peningkatan toleransi osmotik pada beberapa tanaman terjadi akibat akumulasi prolina yang dihubungkan dengan peningkatan nisbah tajuk/akar relatif. Pada keadaan cekaman osmotik, kecepatan yang rendah dari produksi biomas secara keseluruhan sering dihubungkan dengan peningkatan alokasi energi pada akar. Pada potensial air yang rendah, pertumbuhan organ bagian atas menurun daripada akar walaupun pemeliharaan turgor penuh dalam daun, batang dan akar. Keuntungan memprioritaskan alokasi dari keterbatasan fotosintat pada akar adalah untuk memaksimumkan penyerapan air. Meningkatnya sintesis osmolit pada tanaman berpengaruh terhadap gradien tekanan turgor antara source

daun dan akar sehingga karbohidrat lebih banyak dikirim ke akar (Hare et al

1998).

Penyesuaian osmotik merupakan salah satu mekanisme toleransi tanaman terhadap cekaman kekeringan yang berperan memelihara turgor sel yang diperlukan untuk perluasan sel, memelihara konduktansi stomata untuk pertukaran gas dan melindungi alat-alat fotosintesis dari hambatan cahaya, serta meningkatkan pemanjangan sel atau perluasan sel sehingga tanaman dapat tetap bertahan hidup pada keadaan tercekam. Mikoriza dapat memperbaiki osmoregulasi di dalam jaringan sel dengan cara peningkatan konsentrasi solut dalam jaringan daun (Auge et al. 1986; Auge & Stodola 1990) atau elastisitas jaringan (Auge et al. 1987).

Hasil penelitian menunjukkan bahwa adaptasi bibit kelapa sawit yang bersimbiosis dengan CMA terhadap cekaman kekeringan selain dilakukan dengan mekanisme penghindaran (perbaikan penyerapan P (Gambar 24 dan 47), peningkatan kemampuan penyerapan air melalui perbaikan sistem perakaran (10 dan 37), dan pengurangan luas permukaan transpirasi (Gambar 14, 16, 36, 41) serta pengaturan penutupan stomata melalui akumulasi kadar ABA (Gambar 25

137

dan 53), juga dilakukan melalui mekanisme toleransi dengan pengaturan larutan osmotik pada jaringan tanaman (osmotic adjustment) yang ditunjukkan dengan meningkatnya kadar glisina-betaina (Gambar 22 dan 50) dan prolina daun (Gambar 24 dan 52) baik pada tanah PMK maupun gambut bekas hutan, serta pengaturan penutupan stomata melalui akumulasi kadar ABA (Gambar 25 dan 53). Sementara itu, bibit tanpa CMA, beradaptasi terhadap cekaman kekeringan terutama melalui mekanisme toleransi.

Glisina-betaina merupakan salah satu dari beberapa solut kompatibel yang mempunyai fungsi sebagai osmoprotektan, dan diketahui melindungi protein dan aktivitas enzim di bawah keadaan cekaman kekeringan dan menstabilkan membran selama freezing. Glisina-betaina menginduksi toleransi terhadap

freezing sebagai tanggap terhadap aklimatisasi, ABA dan cekaman kekeringan pada tanaman Arabidopsis thaliana (Xing & Rajashekar 2001).

Berbeda dengan prolina, glisina-betaina tidak terdegradasi secara cepat pada saat cekaman. Sintesis glisina-betaina dalam stroma kloroplas dihasilkan melalui dua langkah oksidasi dari cholin melalui intermediate betain aldehid yang tidak stabil.

Setelah adanya perlakuan cekaman kekeringan, akumulasi prolina daun bibit bermikoriza lebih tinggi dibandingkan bibit yang tidak bermikoriza pada setiap tingkat cekaman kekeringan baik pada tanah PMK maupun gambut bekas hutan. Peningkatan kadar prolina daun pada bibit kelapa sawit yang mengalami cekaman kekeringan ini diduga berkaitan dengan meningkatnya prekursor biosintesis prolina yaitu Ä-prolina-5-karboksilat (P5C) oleh aktivitas enzim Ä- pirolin-5-karboksilat sintetase (P5CS) (Hare et al. 1998). Peningkatan prolina daun pada bibit kelapa sawit baik yang bersimbiosis dengan CMA maupun tanpa CMA pada keadaan cekaman kekeringan menunjukkan bahwa hal itu merupakan suatu mekanisme toleransi bibit tersebut.

Sumber metabolik dari akumulasi prolina pada potensial air yang rendah adalah adanya peningkatan sintesis protein. Sintesis protein ada dua jalur yaitu yang menggunakan bahan prekursor glutamat dan ornitin. Sintesis protein dari glutamat merupakan sumber terbesar akumulasi prolina di bawah keadaan

138

cekaman kekeringan atau cekaman garam. Ornitin dapat juga digunakan sebagai prekursor prolina melalui aktivitas ornitin ä-aminotransferase. Sintesis melalui prekursor ornitin hanya sebagian kecil saja pada keadaan cekaman kekeringan. Akumulasi ABA diperlukan untuk meningkatkan deposisi prolina pada cekaman kekeringan, yang mana ABA memegang peranan dalam regulasi transpor prolina pada ujung akar (Verslues & Sharp 1999).

Prolina bebas merupakan salah satu perlindungan biofisik, yang dapat mengatasi cekaman, yang ditransfer menjadi prolina oleh enzim ‘- pyrroline-5- carboxylate (P5C) syntetase dan P5C reductase yang merupakan mekanisme perlindungan di mana pada beberapa spesies dapat memperbaiki potensial redox sellular pada keadaan cekaman biotik maupun abiotik. Hal itu dapat membantu meniadakan kerusakan fotoinhibitor di bawah keadaan yang merugikan (Hare et al. 1998).

Pada penelitian ini kandungan ABA daun semakin meningkat dengan semakin bertambah beratnya cekaman kekeringan, baik pada bibit yang diinokulasi CMA maupun tidak. Bibit yang bersimbiosis dengan CMA memiliki kandungan ABA yang lebih tinggi. ABA memegang peranan penting dalam mengontrol konduktansi stomata pada keadaan cekaman kekeringan (Bacon et al. 1998; Bahrun et al. 2002) serta merupakan sinyal langsung adanya cekaman kekeringan khususnya pada sel tetangga (Popova et al. 2000)

Mekanisme adaptasi terhadap cekaman kekeringan merupakan suatu sistem sinyal transduksi yang responsif dan dikoordinasi. Dengan adanya mekanisme adaptasi dari bibit kelapa sawit melalui mekanisme penghindaran dan toleransi terhadap cekaman kekeringan, baik yang ditanam pada tanah PMK maupun gambut bekas hutan diharapkan pertumbuhan bibit yang baik tersebut akan lebih mampu tumbuh dan berkembang di lapangan pada keadaan yang beragam, terutama terhadap cekaman kekeringan pada musim kemarau panjang.

Keragaan Bibit yang Bersimbiosis dengan CMA di Lapangan

Bibit kelapa sawit yang bersimbiosis dengan CMA terbukti mampu tumbuh dan berkembang lebih baik dibandingkan bibit tanpa CMA. Demikian

139

juga bibit tersebut memiliki daya adaptasi yang lebih tinggi daripada bibit tanpa CMA. Penampilan bibit sangat menentukan keragaannya di kemudian hari saat berproduksi. Bibit yang unggul memiliki korelasi yang baik dengan produksi yang akan datang. Dengan kemampuan CMA meningkatkan pertumbuhan dan perkembangan bibit kelapa sawit tersebut maka pertumbuhannya di lapang juga akan lebih baik dibandingkan bibit tanpa CMA. Selanjutnya CMA yang diinokulasikan pada bibit kelapa sawit tersebut, peranannya akan berlanjut terus selama tanaman hidup di lapangan.

Bibit yang bersimbiosis dengan CMA juga memiliki EPA yang lebih tinggi. Berdasarkan hasil penelitian ini, pada kandungan air tersedia yang lebih rendah, bibit yang bersimbiosis dengan CMA mampu tumbuh dan berkembang sama dengan bibit tanpa CMA pada keadaan cukup air (Tabel 19). Hal tersebut menunjukkan bahwa bibit yang bersimbiosis dengan CMA memiliki daya adaptasi yang lebih tinggi pada keadaan cekaman kekeringan. Pertumbuhan yang sama dengan bibit tanpa CMA pada keadaan cukup air (100% air tersedia), mampu dicapai oleh bibit yang bersimbiosis dengan CMA pada 81.57% air tersedia (tanah PMK bekas hutan) dan 59.38% air tersedia (tanah gambut bekas hutan). Demikian juga dengan serapan P yang sama dengan bibit tanpa CMA pada 100% air tersedia, mampu dicapai oleh bibit ber-CMA pada 71.58% air tersedia (tanah PMK bekas hutan) dan 63.83% air tersedia (tanah gambut bekas hutan). Dalam hal ini berarti, pada keadaan cekaman kekeringan bibit yang bersimbiosis dengan CMA mampu tumbuh dan berkembang lebih baik. Kemampuan tersebut akan sangat berarti jika bibit sudah dipindahkan ke lapangan. Di lapangan, bibit tersebut akan mampu mengatasi keadaan lingkungan yang beragam terutama adanya cekaman kekeringan pada musim kemarau panjang.

Kelapa sawit akan tumbuh dan berkembang serta berproduksi dengan baik jika ditanam pada keadaan lahan yang sesuai untuk pertumbuhannya. Keadaan lahan yang kurang sesuai atau tidak sesuai untuk pertumbuhan kelapa sawit menyebabkan tanaman tersebut tidak akan mampu tumbuh dan berkembang dengan baik sehingga akan menurunkan produksi bahkan tidak berproduksi sama

140

sekali. Adanya CMA yang bersimbiosis dengan kelapa sawit, akan membantu