• Tidak ada hasil yang ditemukan

UJI HEDONIK

2.1 Umbi Walur

2.2.2 Sifat Fungsional Pati

Amilosa bersifat sangat hidrofilik karena banyak mengandung gugus hidroksil, oleh karena itu molekul amilosa cenderung membentuk susunan paralel satu sama lain melalui ikatan hidrogen dan gaya van der walls. Oleh karena itu, amilosa mampu membentuk struktur kristal karena adanya interaksi molekuler yang kuat. Kristalisasi sering pula disebut sebagai retrogradasi, proses yang menyebabkan molekul pati menjadi tidak larut dalam air yang bersifat dapat balik karena terjadi pembentukan ikatan intermolekuler yang kuat (Klucinec et al.

1999).

2.2.2 Sifat Fungsional Pati

Sifat fungsional pati merupakan sifat-sifat pati yang turut menentukan mutu produk akhir. Sifat fungsional pati antara lain penyerapan air, penyerapan minyak, kemampuan pengembangan dan kelarutan, pembentukan gel dan pola gelatinisasi. Karakteristik fungsional pati untuk aplikasi bahan pangan sangat ditentukan oleh karakteristik kimianya

Suspensi pati ketika dipanaskan mengalami gelatinisasi. Gelatinisasi adalah peristiwa hilangnya sifat birefringence granula pati akibat penambahan air

secara berlebihan dan pemanasan pada waktu dan suhu tertentu, sehingga granula pati membengkak dan tidak dapat kembali pada kondisi semula. Mekanisme gelatinisasi dibedakan menjadi tiga fase (Fennema 2000), yaitu tahap awal, air secara perlahan-lahan dan secara bolak-balik masuk ke dalam granula, selanjutnya tahap kedua, yaitu suhu 60-85 °C granula akan mengembang dengan cepat dan polimer yang lebih pendek akan larut, sehingga pati akan kehilangan sifat birefringentnya. Pada tahap ketiga, jika suhu tetap naik, maka molekul-molekul pati akan berdifusi keluar granula.

Selama pemanasan dalam air, peregangan lamela granula berawal dari penyerapan molekul air di bagian amorf granula. Selanjutnya bagian ini akan menginduksi pengembangan bagian kristalin granula sehingga molekul amilopektin pada titik percabangan dapat terpisah. Bangun molekul dari amilopektin memungkinkan kemampuan untuk memerangkap air yang lebih besar daripada rantai linier yang membentuk heliks sehingga amilopektin mempunyai peran pada pengembangan granula pati yang lebh besar daripada amilosa (Jane et al. 1999). Pengembangan granula pati akan mencapai maksimal pada suhu gelatinisasi sehingga dapat meningkatkan viskositas secara drastis.

Pemanasan lebih lanjut di atas suhu akhir gelatinisasi akan menyebabkan dinding granula rusak sehingga isi granula terbebaskan ke medium dan menghasilkan pasta. Peningkatan kelarutan juga diikuti dengan peningkatan viskositas. Hal ini disebabkan air yang sebelumnya bebas bergerak di luar granula pati menjadi terperangkap dan tidak dapat bergerak bebas lagi setelah mengalami gelatinisasi.

Pasta pati dapat membentuk gel jika dilakukan pendinginan. Amilosa yang tercuci ke dalam medium dispersi akan membentuk jaringan tiga dimensi yang bersifat kontinyu. Sebaliknya, molekul amilopektin berperan untuk mempertahankan molekul air di dalam gel. Faktor yang mempengaruhi karakteristik suspensi pati dan gelnya adalah pH, suhu dan pengadukan yang diberikan serta keberadaan komponen lain seperti gula, protein lipid dan serat. Faktor konsentrasi pati menentukan jumlah air yang diperlukan untuk mengembangkan granula, pH dapat menurunkan viskositas akibat hidrolisis oleh

asam dan pengadukan dapat meningkatkan atau menurunkan viskositas tergantung dari rasio amilosa dan amilopektin.

Scoch dan Maywald (1968) mengelompokkan pati ke dalam empat tipe pola gelatinisasi berdasarkan kemampuan pengembangan granula pati dan ketahanannya terhadap panas serta pengadukan. Keempat jenis pola viskositas tersebut adalah tipe A, B, C dan D. Tipe A adalah jenis pati yang memiliki kemampuan pengembangan yang tinggi. Granula pati dari tipe ini mengembang dengan mudah ketika dipanaskan dalam air dan ikatan internalnya menjadi lemah sehingga menjadi tidak tahan terhadap pengadukan. Kurva viskositas tipe ini menghasilkan puncak viskositas yang tinggi diikuti dengan pengenceran secara cepat selama pemasakan. Jenis pati yang memiliki pola viskositas tipe ini adalah pati kentang, tapioka, dan sereal jenis wax.

Tipe B adalah pati yang mengalami pengembangan yang moderat. Karena granula pati tidak mengembang secara sempurna sehingga menyebabkannya menjadi tidak mudah pecah, maka pati jenis ini menunjukkan puncak viskositas yang lebih rendah dan mengalami sedikit pengenceran selama pemasakan. Contohnya adalah pati sereal. Tipe C merupakan jenis pati yang mengalami pembengkakan terbatas. Kurva viskositasnya tidak menunjukkan adanya puncak viskositas tapi memiliki viskositas yang sangat tinggi dan meningkat selama pemasakan berlangsung.

Pola viskositas tipe D merupakan pati yang memiliki pengembangan yang sangat terbatas. Biasanya, pati yang memiliki pola viskositas ini adalah pati yang mengandung amilosa sangat tinggi. Hal ini karena kekakuan ikatan internal akibat interaksi molekul-molekul linier sehingga menyebabkan granula pati tidak memberikan pembengkakan yang cukup untuk meningkatkan viskositas selama pemasakan.

2.3 Oksalat dalam Bahan Pangan

Asam oksalat adalah asam dikarboksilat yang hanya terdiri atas dua atom karbon pada masing-masing molekul (Gambar 4a). Asam oksalat dalam keadaan murni berupa senyawa kristal, larut dalam air (8% pada 10 °C) dan larut dalam alkohol. Asam oksalat membentuk garam netral dengan logam alkali (Na dan K),

yang larut dalam air (5-25%), sementara itu asam oksalat juga dapat berikatan dengan ion logam dan membentuk endapan tak larut, seperti kalsium oksalat (Gambar 4).

(a) (b)

Gambar 4 Struktur kimia asam oksalat (a); kalsium oksalat (b).

Oksalat banyak ditemukan di dalam tanaman. Lebih dari 215 keluarga tanaman mengakumulasi kristal ini di dalam jaringannya. Kandungan oksalat dalam tanaman sekitar 5-80% (b/b) dan 90% dari total oksalat tanaman berada dalam bentuk garam oksalat. Kristal kalsium oksalat dalam tumbuhan memiliki beberapa fungsi, diantaranya adalah sebagai pengatur kalsium dalam jaringan, melindungi dari hewan herbivora dan sebagai detoksifikasi logam (Nakata 2003).

Senyawa oksalat dalam tanaman biasanya berada dalam bentuk larut air dan tidak larut air. Oksalat larut air berada dalam bentuk asam oksalat, sodium oksalat dam kalium oksalat, sedangkan oksalat yang tidak larut air berada dalam bentuk garam kalsium oksalat, magnesium oksalat (terutama garam kalsium) (Noonan dan Savage 1999). Kalsium oksalat merupakan jenis garam yang terbentuk antara ion kalsium dan ion oksalat.

Secara umum terdapat lima jenis kalsium oksalat yang berada di dalam tanaman, yaitu berbentuk jarum (raphide), bentuk pensil (rectangular), bulat (druse), prisma dan parallelogram (rhomboid). Semua jenis kristal kalsium oksalat tersebut merupakan mineral yang relatif stabil dan sedikit larut dalam air (Webb 1999), tidak larut dalam keadaan netral atau alkali dan mudah dipecahkan oleh asam (Noonan dan Savage 1999).

2.4 Penurunan kadar Oksalat

Umbi yang termasuk ke dalam spesies Araceae terutama edible aroid

mengandung bahan aktif yang dapat menyebabkan gatal dan menyebabkan iritasi pada bibir, mulut serta kerongkongan. Penyebab rasa gatal pada rongga mulut dan

kulit tersebut disebabkan oleh senyawa yang terdapat pada permukaan kristal calsium oksalat jenis rafida. Kristal rafida ini hanya berfungsi sebagai pembawa sedangkan senyawa yang menyebabkan iritasi tersebut adalah jenis protein dengan bobot molekul 26 KDa (Paul et al. 1999).

Jenis oksalat lain yang terdapat dalam umbi araceae adalah oksalat larut air. oksalat larut air yang ada dalam bahan pangan tersebut jika masuk ke dalam tubuh manusia, maka dapat menghambat bioavailibilitas kalsium dalam tubuh karena akan membentuk kompleks yang tidak dapat dicerna. Kompleks ini akan mengendap di dalam ginjal dan membentuk batu ginjal (Noonan dan Savage 1999). Oleh sebab itu, kedua jenis oksalat, baik oksalat larut air maupun yang tidak larut air memberikan efek yang tidak baik bagi tubuh jika berada dalam konsentrasi yang cukup tinggi. Untuk perlu dilakukan proses penurunan kadar oksalat untuk dapat mengurangi efek negatif tersebut.

Beberapa cara dapat dilakukan untuk mengurangi kandungan oksalat dalam sampel. Sangketkit et al. (2001) melakukan proses penurunan kadar oksalat pada umbi yam New Zealand (Oxalis Tuberosa Mol.) dengan beberapa cara pemasakan konvensional, yaitu dengan perebusan, pengukusan dan pemanggangan. Hasilnya, terjadi penurunan kandungan total oksalat pada umbi yang direbus dan dikukus, namun terjadi kenaikan kandungan oksalat pada umbi yang dipanggang. Hasil yang sama juga terjadi pada proses penurunan kadar oksalat berbagai jenis varietas umbi talas oleh Catterwood et al. (2007). Hasilnya menunjukkan bahwa dengan proses perebusan, terjadi penurunan kandungan total oksalat dari 1714 ppm menjadi 506 ppm, sedangkan proses pemanggangan meningkatkan kandungan oksalat menjadi 2290 ppm.

Metode penurunan kadar oksalat juga tidak hanya dilakukan pada berbagai jenis umbi, Judprasong et al. (2006) juga melakukannya pada beberapa jenis gandum, kacang polong dan juga sayur-sayuran. Hasilnya hampir sama, dimana dengan proses perebusan, maka akan mengurangi kandungan total oksalat dalam sampel, sedangkan dengan proses pemanggangan akan meningkatkannya. Proses perebusan dapat mengurangi kandungan oksalat karena dengan proses perebusan, maka akan melarutkan berbagai jenis oksalat larut air ke dalam air perebusan tersebut.

Berbeda dengan proses perebusan, proses pemanggangan menyebabkan terjadinya peningkatan kandungan oksalat dalam sampel. Hingga saat ini, terdapat dua penjelasan ilmiah yang mungkin mengenai hal ini. Pertama, kulit permukaan umbi akan terkena dengan suhu tinggi selama proses pemanggangan yang akan menyebabkan terjadinya proses pemutusan prekursor oksalat yang ada pada kulit dan jaringan luar. Karena fungsi oksalat dalam tanaman adalah untuk melindungi dari pemangsa, maka kemungkinan besar jumlah oksalat di kulit luar lebih banyak dibandingkan di dalam. Selain itu, selama proses pemanggangan akan terjadi penguapan kandungan air dalam umbi sehingga kandungan oksalat dalam sampel akan terkonsentrasi (Sangketkit et al. 2001)

2.5 Cookies dan mie

Biskuit adalah sejenis makanan yang terbuat dari tepung terigu dengan penambahan bahan makanan lainnya, dengan proses pemanasan dan pencetakan (SNI 01-2973-1992). Biskuit terbagi menjadi biskuit keras, crackers, cookies, dan wafer. Cookies adalah sejenis biskuit dari adonan lunak, berlemak tinggi, renyah, dan bila dipatahkan penampang potongannya bertekstur kurang padat (Manley 2000).

Bahan-bahan yang digunakan dalam pembuatan cookies terbagi dalam dua kelompok, yaitu bahan pengikat dan bahan pelembut. Bahan-bahan yang berfungsi sebagai pengikat adalah tepung, susu, dan putih telur. Sedangkan bahan-bahan yang berfungsi sebagai pelembut adalah gula, lemak, baking powder, dan kuning telur (Matz dan Matz, 1978).

Proses pembuatan cookies meliputi tiga tahap, yaitu pembuatan adonan, pencetakan, dan pemanggangan adonan. Pembuatan adonan diawali dengan proses pencampuran dan pengadukan bahan-bahan. Menurut Manley (2000), metode dasar pencampuran adonan adalah metode krim (creaming method) dan metode all in. Pada metode krim, bahan baku dicampur secara bertahap. Pertama adalah pencampuran lemak dan gula, kemudian ditambah pewarna dan perisa, kemudian susu dan bahan kimia aerasi berikut garam yang sebelumnya telah dilarutkan dalam air.

Penambahan tepung dilakukan pada bagian paling akhir. Metode ini baik untuk cookies karena menghasilkan adonan yang bersifat membatasi pengembangan gluten yang berlebihan (Matz dan Matz 1978). Sesuai dengan namanya, metode all in dilakukan dengan pencampuran seluruh bahan lalu diaduk sampai membentuk adonan. Adonan yang telah dicetak selanjutnya ditata dalam loyang yang telah diolesi dengan lemak lalu dipanggang dalam oven. Pengolesan lemak berfungsi untuk mencegah lengketnya cookies pada loyang setelah dipanggang. Adonan dipanggang dengan suhu ±176.7 ºC (350 ºF) selama ±10 menit. Suhu dan lama waktu pemanggangan mempengaruhi kadar air cookies. Matz dan Matz (1978) menerangkan bahwa semakin sedikit jumlah gula dan

lemak yang digunakan, suhu pemanggangan dapat dibuat lebih tinggi (177-204 ºC). Setelah dipanggang, cookies harus segera didinginkan untuk

mengurangi pengerasan akibat memadatnya gula dan lemak.

Mi kering didefinisikan sebagai produk makanan kering yang dibuat dari tepung terigu dengan penambahan bahan makanan lain dan bahan tambahan makanan yang diizinkan, berbentuk khas mi (SNI 01-2974-1996). Proses pengolahan mi kering sebenarnya hampir sama dengan mi instan. Pada mi kering terjadi proses pengeringan untuk mengurangi kadar air mi hingga 10-12 persen. Sedangkan proses pengolahan mi instan umumnya dengan digoreng dan dilengkapi oleh bahan tambahan seperti bumbu, cabe, kecap, minyak, dan sayuran kering sehingga mudah dihidangkan dengan segera Menurut Departemen Kesehatan RI (1992), dalam 100 gram mi kering terkandung 337 kkal energi, protein 7.9 g, lemak 11.8 g, karbohidrat 50.0 g, kalsium 49 mg, fosfor 47 mg, besi 2.8 mg, vitamin B1 0.01 mg, dan air 28.9 g.

Mie dalam bentuk kering mempunyai padatan minimal 87%, artinya kandungan airnya harus di bawah 13%. Mie kering yang baik memiliki penampakan putih, tidak pecah dan hancur selama pemasakan, memiliki permukaan yang lembut dan tidak ditumbuhi mikroba. Mie kering dihasilkan dengan cara mengeringkan mie mentah di dalam oven pada suhu ± 60 °C. Dengan demikian, mie kering memiliki umur simpan yang lebih lama dibandingkan dengan mie basah. Umur simpan ini akan dipengaruhi oleh kadar air dan cara penyimpanannya.

2.6 Substitusi pati pada pembuatan cookies dan mie

Tepung terigu kini merupakan bahan makanan pokok penting kedua di Indonesia, setelah beras. dimana kebutuhannya terus meningkat dari tahun ke tahun. Saat ini konsumsi terigu penduduk Indonesia mencapai 17 kg/kapita/tahun. Pada saat ini seluruh kebutuhan tepung terigu dalam negeri dipenuhi dari impor dalam bentuk biji gandum yang kemudian diproses menjadi tepung terigu oleh industri penepungan. Ketergantungan yang sangat tinggi pada terigu impor ini akan mengganggu kemandirian pangan nasional.

Ketergantungan masyarakat Indonesia terhadap tepung terigu ini perlu dikurangi agar tidak mengganggu stabilitas ketahanan dan kemandirian pangan nasional. Salah satu upaya yang dapat dilakukan untuk mengatasi masalah ini adalah melalui diversifikasi pangan pokok berbasis bahan pangan lokal. Seperti sudah diketahui bahwa Indonesia memiliki komoditas pangan sumber karbohidrat yang sangat beragam, baik yang tergolong serealia seperti jagung, sorgum, hanjeli dan hermada, serta aneka umbi seperti ubikayu, ubijalar, talas, gadung, gembili, suweg, iles-iles, kentang, garut dan ganyong (Widowati 2009).

Komoditas yang sedang dikembangkan untuk dapat menggantikan terigu adalah tepung jagung. Sampai saat ini tepung dan pati jagung sudah digunakan untuk mensubstitusi tepung terigu dalam pembuatan mie. Budiyah (2004) melakukan pembuatan mi jagung instan dengan memanfaatkan pati jagung dan protein jagung (Corn Gluten Meal). Mi jagung memiliki beberapa keunggulan dibandingkan produk pangan lainnya. Menurut Juniawati (2003), mi jagung instan mengandung nilai gizi yang baik yaitu sekitar 360 kalori/kemasan atau lebih tinggi dibandingkan dengan nilai gizi pada nasi (178 kalori),. Namun, nilai gizi ini masih lebih rendah bila dibandingkan dengan mi terigu instan (471 kalori). Tingginya nilai gizi yang terdapat pada mi jagung instan menunjukkan bahwa produk tersebut dapat dijadikan sebagai bahan pangan alternatif pilihan pengganti nasi.

Huang dan Lai (2010) juga telah membuat mie yang berasal dari substitusi tepung terigu dengan pati beras dan pati jagung. Hasilnya menunjukkan bahwa karakteristik pati mempengaruhi karakteristik mie mentah maupun mi hasil pemasakan. Sifat reologi mie mentah sangat dipengaruhi oleh ukuran granula pati

dimana granula pati yang kecil, seperti pati beras, membutuhkan air dalam jumlah yang banyak dalam proses pembuatan adonana. Karakteristik pemasakan dari mie tersebut dipengaruhi oleh kandungan amilosa dan straktur halus amilopektin, yang menyebabkan perbedaan di dalam penyerapan air dan waktu optimum pemasakan.

Selain diaplikasikan pada pembuatan mie, pati juga banyak diaplikasikan pada pembuatan cookies. Kue kering merupakan salah satu jenis makanan ringan yang diminati masyarakat. Konsumsi rata-rata kue kering di kota besar dan pedesaan di Indonesia adalah 0.40 kg/kapita/tahun.Salah satu pati yang sudah diaplikasikan dalam pembuatan cookies adalah pati garut. Pati garut merupakan pati yang diperoleh dari tanaman Maranta arundinacea L.Cookies pati garut yang dihasilkan memiliki nilai indeks glikemik yang lebih rendah dibandingkan dengan

cookies tepung terigu (Gustiar 2009).

Pada tahun 2006, Saguilan et al. Melakukan penelitian mengenai sustitusi pati resisten dari pati pisang dalam pembuatan cookies. Hasilnya menunjukkan bahwa cookies dari pati pisang memiliki tingkat kesukaan yang sama dengan

cookies tepung terigu. Hasil ini mengindikasikan bahwa pati pisang berpotensi untuk dijadikan sebagai ingredient dalam pembuatan produk roti yang mengandung karbohidrat dengan daya cerna yang rendah.

Pati ganyong juga telah dimanfaatkan untuk menggantikan terigu dalam pembuatan cookies. Pati ganyong, dapat digunakan sebagai bahan dasar pembuatan cookies hingga 100% dengan jumlah pemakaian tiga kali lebih rendah dibandingkan dengan tepung terigu untuk hasil yang sama (Hidayat 2008).

3. BAHAN DAN METODE

3.1 Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan dari bulan Agustus 2010 hingga Februari 2011. Penelitian ini dilakukan di Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Pascapanen Pertanian Bogor, laboratorium SEAFAST Center dan laboratorium kimia PPSHB Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan, Fakultas Teknologi Pertanian, IPB.

3.2 Bahan dan Alat

Bahan-bahan yang digunakan adalah umbi walur yang diperoleh dari Saradan, Madiun Jawa Timur, HCl teknis, NaCl teknis, NaOH teknis, soda kue, bahan pembuatan mie dan cookies (terigu berprotein tinggi dan bahan tambahan pangannya), serta bahan-bahan kimia untuk analisa.

Alat-alat yang digunakan pada penelitian ini adalah alat slicer (pengiris), alat pemarut, pengering tray drier, alat pengepres dan ayakan, Rapid Visco Analyzer (RVA), Texture Analyzer Brookfield Engineering© TC3, chromameter,

HPLC, Mikroskop polarisasi, SEM, oven pemanggang, mixer dan peralatan gelas untuk analisa.

3.3 Metodologi

Penelitian ini dibagi menjadi empat tahapan (Gambar 5), yaitu (1) tahap karakterisasi sifat fisikokimia umbi walur, (2) tahap penurunan kadar umbi walur; (3) tahap produksi dan karakterisasi sifat fisikokimia dan fungsional pati walur; (4) tahap aplikasi pati walur untuk pembuatan cookies dan mie.

3.3.1 Tahap Karakterisasi Sifat Fisikokimia Umbi Walur

Karakterisasi umbi walur dilakukan untuk mengetahui karakteristik umbi walur yang digunakan dalam penelitian ini. Analisis yang dilakukan pada tahapan ini adalah analisis proksimat yang meliputi analisis kadar air, kadar abu, kadar protein, kadar lemak dan kadar karbohidrat, analisis total pati, analisis kandungan amilosa, analisis mikrostruktur, meliputi analisis Scanning electron Microscop

Umbi Walur

Karakterisasi sifat fisikokimia

Reduksi oksalat

Penentuan kadar oksalat

Analisis proksimat, kadar amilosa, daya cerna pati Rendemen, warna, densitas kamba

Kelarutan, swelling power, kekuatan gel Pasting properties (RVA)

Karakterisasi Analisa tekstur Analisis sensori Analisis Proksimat Karakterisasi Analisis pemasakan Analisa tekstur Analisis sensori Analisis Proksimat Analisis Proksimat Kadar oksalat Analisis mikrostruktur

Produksi pati walur

Aplikasi pati walur

Pembuatan mie Pembuatan cookies

Karakterisasi sifat fisikokimia

Gambar 5 Diagram alir yang meliputi empat tahapan penelitian.

3.3.2 Tahap Penurunan Kandungan Total Oksalat

Tahapan ini bertujuan untuk mengurangi kandungan oksalat dalam umbi walur yang menyebabkan iritasi pada bibir jika dikonsumsi. Proses penurunan kandungan oksalat dilakukan dengan dua tahapan penelitian, yaitu tahap optimasi pelarut dan tahapan optimasi lama perendaman. Pada tahap optimasi pelarut, sampel umbi walur yang telah dikupas dan diiris dengan ketebalan 2 mm lalu direndam dalam air dan dipanaskan selama 3 jam. Setelah 3 jam air perendaman dibuang dan dicuci dengan air. Setelah itu, irisan umbi lalu direndam dalam pelarut selama 5 menit. Pelarut yang dipilih adalah air, HCl 0.2 N, NaOH 0.2 N dan NaCl 1.7 N. Setelah itu, larutan dibuang dan direndam kembali dalam larutan

Tahap pertama

Tahap kedua

Tahap Ketiga

natrium bikarbonat 1% lalu diikuti dengan pencucian. Perbandingan antara umbi walur dan pelarut adalah 10 kg umbi walur dengan 10 L pelarut. Kandungan oksalat yang terkandung pada irisan umbi walur tersebut dianalisis dengan menggunakan metode Savage et al. (2000).

Setelah diperoleh pelarut yang paling optimal dalam menutunkan kandungan oksalat pada irisan umbi walur, lalu dilakukan proses perendaman yang paling optimal untuk menghasilkan nilai total oksalat yang paling rendah. Umbi walur yang telah diparut lalu direndam dalam pelarut terbaik selama 3 jam. Setiap 30 menit sekali diambil sebagian umbi walurnya untuk selanjutnya dicuci dan direndam dalam pelarut natrium bikarbonat 1% selama 5 menit lalu dicuci dengan air dan dianalisis kandungan oksalatnya dengan menggunakan metode Savage et al. (2000). Lama perendaman yang dipilih adalah yang menghasilkan total oksalat yang paing rendah.

Oksalat dalam umbi walur diturunkan kandungan oksalatnya dengan menggunakan metode kimia, yaitu dengan perendaman dalam larutan asam (pH<3), basa (pH>9) dan larutan garam selama 5 menit. Umbi walur yang telah dibersihkan dari kulit luarnya lalu dipotong hingga memiliki ukuran 2 mm. Larutan yang digunakan dalam tahapan ini adalah air, HCl 0.2 N, NaOH 0.2 N dan NaCl 1.7 Nlalu diikuti dengan perendaman dalam larutan natrium bikarbonat 1% selama 5 menit. Konsentrasi dan waktu yang dipilih merupakan hasil optimasi penurunan kadar oksalat pada talas Banten yang dilakukan oleh Mayasari (2010). Kandungan oksalat yang terkandung dalam umbi hasil perendaman tersebut dianalisis dengan metode kualitatif secara mikroskopis (polarisasi) dan metode kuantitatif dengan High Performance Liquid Chromatography (HPLC) (Savage et al. 2000).

Setelah diketahui kandungan oksalat pada masing-masing umbi hasil perendaman, selanjutnya dilakukan proses reoptimasi lama perendaman. Umbi walur direndam dengan menggunakan larutan terpilih selama tiga jam dan setiap 30 menit sampel tersebut diambil untuk dianalisis kandungan total oksalatnya. Waktu terbaik diambil pada saat kandungan oksalat dalam umbi berada dalam konsentrasi terendah.

3.3.3 Tahap Produksi dan Karakterisasi Pati Walur 3.3.3.1 Produksi tepung pati walur

Tahapan ini bertujuan untuk memproduksi pati walur dari umbi yang telah mengalami proses penurunan kadar oksalat. Bubur umbi walur yang sudah mengalami penurunan kandungan oksalatnya selanjutnya ditambahkan air dengan perbandingan 10 kg pati dalam 10 liter air. Larutan bubur umbi walur tersebut dimasukkan ke dalam kain saring dan dibungkus kemudian ditekan dengan menggunakan alat pressure untuk mengeluarkan pati hingga ampas bubur umbi