• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pengaruh Proses Perendaman Terhadap Kandungan Total Oksalat .1 Pengaruh berbagai jenis pelarut terhadap kandungan total oksalat

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4.2 Pengaruh Proses Perendaman Terhadap Kandungan Total Oksalat .1 Pengaruh berbagai jenis pelarut terhadap kandungan total oksalat

Hampir semua jenis umbi yang termasuk ke dalam suku araceae mengandung oksalat yang dapat menyebabkan rasa gatal. Umbi walur segar memiliki kandungan total oksalat sebesar 3.6059 g/100 g sampel (Tabel 4).Hasil ini jauh lebih tinggi bila dibandingkan dengan kandungan oksalat dalam umbi talas (Colocasia esculenta L. schoot) yang memiliki kandungan total oksalat sebesar 0.6940 g/100 g sampel (Savage dan Martenson 2010). Tanaman

Colocasia esculenta merupakan jenis tanaman talas-talasan yang paling utama digunakan sebagai bahan makanan pokok terutama di daerah asia pasifik (Catterwood et al. 2007). Proses perebusan pada umbi talas, hanya mampu mengurangi kandungan oksalat total sebanyak 50% (Savage dan Martenson

2010). Jika proses ini diaplikasikan pada umbi walur, maka masih menyisakan total oksalat dalam jumlah yang masih tinggi, yaitu sekitar 2 g/100 g sampel.

Tabel 4 Pengaruh perlakuan perendaman irisan umbi walur dengan perlakuan pemanasan selama 3 jam dan perendaman pada berbagai jenis pelarut selama 5 menit terhadap total oksalat (ppm)

Perlakuan Total oksalat

(g/100 g) % Penurunan Pelarut Konsentrasi (N) Segar - 3.6059 - Air - 0.7471 79.28 HCl 0.2 0.6066 83.18 NaOH 0.2 0.9549 73.52 NaCl 1.7 0.7952 77.95

Konsumsi oksalat per hari yang diizinkan di Inggris adalah sebesar 70-150 mg (Noonan dan Savage 1999). Untuk pasien yang memiliki penyakit ginjal, American Dietetic Association’s Nutrition Care Manual

merekomendasikan agar mengkonsumsi oksalat kurang dari 40-50 mg per hari (Messey 2007). Dengan data tersebut, apabila diasumsikan konsumsi pati walur per hari adalah sebesar konsumsi tepung terigu, yaitu sebesar 47.8 g/hari, maka perlu dilakukan upaya selain proses perebusan untuk dapat mengurangi kandungan oksalat dalam umbi walur agar mencapai jumlah oksalat yang aman untuk dikonsumsi.

Dalam penelitian ini dilakukan proses pemanasan selama 3 jam dan diikuti oleh proses perendaman irisan umbi walur dalam berbagai jenis pelarut selama 5 menit yang selanjutnya diikuti dengan proses perendaman dalam larutan natrium bikarbonat 1% selama 5 menit. Pelarut yang digunakan dalam penelitian ini adalah air, NaCl 1.7 N, NaOH 0.2 N dan HCl 0.2 N. Proses pemanasan selama 3 jam dan konsentrasi pelarut tersebut dipilih berdasarkan hasil penelitian Mayasari (2010). Proses pemanasan selama 3 jam bertujuan untuk merusak kristal kalsium oksalat secara mekanis sehingga proses pelarutan kalsium oksalat menjadi lebih mudah (Mayasari 2010). Proses perendaman dalam natrium bikarbonat 1% dilakukan berdasarkan rekomendasi Kurdi (2002) yang bertujuan untuk mencegah terjadinya peningkatan kandungan oksalat. Menurut Chalmer et al. (1985), dapat terjadi pertumbuhan kristal oksalat akibat oksidasi asam askorbat di bawah pH 5.

(COO)2Ca + 2 NaOH (COONa)2 + Ca(OH)2

(COO)2Ca + 2 NaCl (COONa)2 + CaCl2

(COO)2Ca + 2 HCl (COOH)2 + CaCl2

Semua jenis pelarut yang digunakan dapat menurunkan kandungan oksalat dalam umbi walur dengan persen penurunan tertinggi yaitu sebesar 83.18% oleh pelarut HCl 0.2 N dan persen penurunan terendah sebesar 73.52% oleh pelarut NaOH 0.2 N. Persen penurunan oksalat pada umbi walur yang direndam dengan menggunakan air dan NaCl berturut-turut sebesar 79.28 dan 77.95% (Tabel 4). Hasil analisis ragam dengan selang kepercayaan 95% menunjukkan bahwa proses penurunan kandungan oksalat berpengaruh nyata terhadap total oksalat yang dihasilkan (Lampiran 2a).

Oksalat larut air dapat dengan mudah dilarutkan di dalam air. Sedangkan menurut Noonan dan Savage (1999), oksalat tidak larut air, hanya dapat dilarutkan oleh asam dan tidak larut oleh garam dan basa. Berdasarkan data pada Tabel 4 tersebut, diketahui bahwa pelarut basa memiliki persen penurunan sebesar 73.52%. Nilai ini masih berada di bawah persen penurunan oksalat dengan pelarut air, yaitu sebesar 79.28%. Hal ini mengindikasikan bahwa NaOH tidak dapat melarutkan kalsium oksalat dan kurang efektif dalam melarutkan oksalat larut air. Hasil ini sesuai dengan yang dilaporkan oleh Noonan dan Savage (1999) bahwa pelarut basa tidak dapat melarutkan kalsium oksalat.

Apabila dilihat dari mekanisme reaksi yang mungkin terjadi antara NaOH dan kalsium oksalat (Gambar 10), maka NaOH dan kalsium oksalat akan membentuk garam Na2C2O4 yang larut dalam air dan juga membentuk endapan kalsium hidroksida yang bersifat larut dalam air sebanyak 2g/L (Cotton dan Wilkinson 1989). Namun, hal tersebut tidak dapat terjadi karena proses perendaman umbi walur dalam pelarut NaOH dilakukan tanpa adanya panas, sedangkan senyawa kalsium hidroksida membutuhkan banyak panas dalam proses pembentukannya. Seperti pembentukan kalsium hidroksida dari oksidanya (CaO) dan air yang prosesnya membutuhkan banyak panas (Arsyad MN 2001).

a) b) c)

Gambar 10 Reaksi kimia antara kalsium oksalat dengan pelarut NaOH (a); NaCl (b); HCl (c).

Berdasarkan uji lanjut Duncan diketahui bahwa pelarut air dan NaCl menunjukan total oksalat yang tidak berbeda nyata (Lampiran 2b). Hasil ini mengindikasikan bahwa pelarut netral kurang efektif dalam melarutkan kalsium oksalat. Apabila dilihat dari mekanisme reaksi yang mungkin terjadi antara kalsium oksalat dan NaCl (Gambar 10), maka akan terjadi suatu reaksi penggaraman menghasilkan CaCl2 dan Na2C2O4. Berdasarkan mekanisme reaksi tersebut, seharusnya proses perendaman umbi walur dengan pelarut NaCl akan menghasilkan total oksalat yang lebih rendah. Namun hal tersebut tidak terjadi pada penelitian ini. Hal ini kemungkinan karena garam natrium oksalat yang dihasilkan dari reaksi tersebut belum seluruhnya terlarut dalam air dan hilang pada proses pencucian. Garam natrium oksalat memiliki nilai kelarutan dalam air yang relatif lebih rendah dibandingkan dengan asam oksalat, yaitu sebesar 37 g/L pada suhu 20 °C (Cotton dan Wilkinson 1989) sehingga lebih sulit untuk dilarutkan di dalam air pada suhu ruang.

Pelarut lain yang digunakan adalah HCl. Berdasarkan Gambar 11 diketahui bahwa pelarut HCl menghasilkan total oksalat yang lebih rendah dibandingkan dengan pelarut air. Hasil ini mengindikasikan bahwa pelarut HCl dapat melarutkan kalsium oksalat. Reaksi antara asam klorida dan kalsium oksalat akan membentuk asam oksalat yang larut dalam air dan endapan kalsium klorida. Asam oksalat yang dihasilkan dari reaksi antara HCl dan kalsium oksalat memiliki nilai kelarutan sebesar 90 g/L pada suhu 20 °C (Cotton dan Wilkinson 1989) yang lebih tinggi dibandingkan dengan kelarutan garam sodium oksalat. Hal ini diduga yang menyebabkan perendaman dalam pelarut HCl menghasilkan total oksalat dengan persen penurunan yang paling tinggi dibandingkan dengan pelarut lainnya.

Gambar 11 Pengaruh pemanasan selama 3 jam dan perendaman dalam beberapa jenis pelarut terhadap kandungan total oksalat (g/100 g sampel). Keterangan : Standar deviasi dengan n=2.

Umbi hasil pemanasan selama 3 jam dan rendaman HCl 0.2 N selama 5 menit menghasilkan persen penurunan yang paling tinggi dengan sisa oksalat sebesar 0.6066 g/100 g (Tabel 4). Dengan mengacu pada data konsumsi terigu per hari, yaitu sebanyak 47.8 g (Data BPS), maka jumlah oksalat yang dikonsumsi per hari adalah sebesar 289.96 mg. Nilai ini masih berada jauh di atas konsentrasi yang direkomendasikan, baik untuk orang normal maupun yang memiliki penyakit ginjal. Untuk itu, perlu dilakukan reoptimasi lama perendaman irisan umbi walur dengan HCl 0.2 N agar diperoleh nilai total oksalat yang lebih rendah. Proses optimasi pelarut dilakukan dengan terlebih dahulu dipanaskan selama 3 jam sebelum selanjutnya direndam dalam beberapa jenis pelarut selama 5 menit. Apabila proses ini diaplikasikan dalam skala besar, maka proses pemanasan selama 3 jam tersebut akan menyebabkan biaya produksi menjadi sangat tinggi. Sehingga pada proses optimasi lama perendaman dengan menggunakan pelarut terbaik, yaitu HCl 0.2 N dilakukan tanpa adanya proses pemanasan terlebih dahulu. Selain itu, proses optimasi pelarut dilakukan terhadap umbi yang diiris hingga ketebalan 2 mm. Namun pada saat optimasi lama perendaman, umbi walur tidak diiris melainkan diparut untuk lebih mengoptimalkan kerja pelarut HCl dalam menurunkan kandungan oksalat dalam umbi walur.

4.2.3 Pengaruh lama perendaman terhadap kandungan oksalat umbi walur Proses optimasi lama perendaman dalam larutan HCl 0.2 N dilakukan tanpa melewati proses pemanasan selama 3 jam terlebih dahulu. Sampel umbi walur yang telah diparut lalu direndam dalam larutan HCl 0.2 N selama 2 jam. Setiap 30 menit, diambil sebagian sampel umbi walur untuk selanjutnya dicuci dan direndam dalam natrium bikarbonat selama 5 menit lalu dianalisis kadar oksalatnya.

Hasil analisis ragam dengan selang kepercayaan 95%, menunjukkan bahwa lama perendaman berpengaruh nyata terhadap total oksalat pada sampel (Lampiran 2c). Semakin lama proses perendaman dengan HCl 0.2 N menunjukkan nilai total oksalat yang semakin kecil dan perendaman selama 90 menit menghasilkan total oksalat yang paling rendah (Gambar 11). Namun, uji lanjut Duncan menunjukkan bahwa lama perendaman lebih dari 30 menit tidak menunjukkan nilai total oksalat yang berbeda nyata. Oleh sebab itu, dipilihlah perendaman HCl 0.2 N selama 30 menit sebagai proses terbaik dalam menurunkan kandungan oksalat pada umbi walur.

Berdasarkan data tersebut diketahui bahwa tanpa adanya proses pemanasan, oksalat dalam umbi walur pun dapat tereduksi dengan baik. Hal ini karena pada perendaman dengan HCl 0.2 N yang berperan penting adalah partikel H+ dan Cl- yang terdapat di dalam larutan yang akan bereaksi dengan kalsium oksalat sehingga menghasilkan komponen oksalat yang larut air.

Proses perendaman irisan umbi walur di dalam pelarut HCl 0.2 N selama 30 menit menunjukkan penurunan kandungan total oksalat yang sangat tinggi bila dibandingkan dengan perendaman lebih dari 30 menit (Gambar 12). Hal ini diduga karena pada proses perendaman dalam waktu 30 menit pertama, partikel H+ dan Cl- yang terdapat di dalam larutan berada dalam jumlah yang cukup tinggi sehingga semakin mudah pula proses pengikatan kalsium oksalat yang terjadi. Semakin lama proses perendaman, maka H+ dan Cl- yang terdapat di dalam larutan semakin berkurang dan menurunkan kemampuannya untuk berikatan dengan kalsium oksalat.

Kalsium oksalat bersifat tidak larut dalam air dan larut dalam pelarut asam (Noonan dan Savage 1999). Namun, karena konsentrasi HCl yang digunakan

cukup rendah, yaitu sebesar 0.2 N, maka proses pelarutan yang terjadi menjadi cukup lambat. Konsentrasi menyatakan banyaknya solut dalam sejumlah larutan (Harjadi 1989), dan solut dalam hal ini adalah HCl. Oleh sebab itu, semakin tinggi konsentrasi HCl maka semakin banyak partikel H+ dan Cl- yang terdapat di dalam larutan sehingga semakin mudah pula proses pengikatan kalsium oksalat yang terjadi. Namun, dalam penelitian ini pelarut HCl 0.2 N sudah cukup mampu untuk menurunkan kandungan total oksalat pada sampel hingga mencapai nilai yang aman untuk dikonsumsi.

Gambar 12 Pengaruh lama perendaman parutan umbi walur dalam pelarut HCl 0.2 N terhadap kandungan total oksalat (g/ 100 g). Ket: Standar deviasi dengan n= 3

Proses perendaman dengan menggunakan larutan HCl 0.2 N selama 30 menit menyisakan total oksalat sebesar 0.2535 g/100 g sampel (Gambar 12). Dengan jumlah tersebut, maka jumlah total oksalat yang dikonsumsi per hari adalah sebesar 121 mg. Nilai ini masih berada pada selang konsentrasi yang diizinkan untuk manusia normal, namun masih berada di atas jumlah oksalat per hari yang direkomendasikan untuk orang yang memiliki penyakit batu ginjal. Gambar 13 menunjukkan hasil mikroskop polarisasi kristal oksalat pada ekstrak umbi walur segar dan ekstrak umbi walur hasil perendaman dengan larutan HCl 0.2 N selama 30 menit serta natrium bikarbonat 1% selama 5 menit. Berdasarkan Gambar 12 tersebut dapat terlihat adanya penurunan jumlah dan

kerapatan kristal kalsium oksalat dari ekstrak umbi walur segar (Gambar 12a) dengan ekstrak umbi walur hasil perendaman dengan larutan HCl 0.2 N selama 30 menit dan natrium bikarbonat 1% selama 5 menit (Gambar 12b). Nugroho (1998) menyatakan bahwa terdapat korelasi antara tingkat iritasi dengan kerapatan kristal rafida pada umbi anggota suku araceae yang dapat dimakan. Berdasarkan hal tersebut, maka kemungkinan besar akan terjadi pengurangan tingkat iritasi dari umbi yang telah direndam dengan menggunakan HCl 0.2 N selama 30 menit.

(a) (b)

Gambar 13 Kristal oksalat hasil mikroskop polarisasi ekstrak umbi walur segar (a); ekstrak umbi walur hasil perendaman dengan pelarut HCl 0.2 N selama 30 menit (b).

4.3 Produksi dan Karakterisasi Pati Walur