• Tidak ada hasil yang ditemukan

Karakterisasi Sifat Fisikokimia Umbi Walur .1 Analisis Proksimat

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Karakterisasi Sifat Fisikokimia Umbi Walur .1 Analisis Proksimat

Penelitian mengenai umbi walur sangatlah terbatas. Hingga saat ini, belum banyak pengetahuan mengenai kandungan kimia yang terdapat pada umbi walur. Berdasarkan hasil analisis, diketahui bahwa umbi walur memiliki kandungan lemak, protein, abu dan karbohidrat berturut-turut sebesar 14.41; 6.42; 4.89; dan 74.28% bk. Hasil ini tidak terlalu berbeda dengan kandungan gizi yang terdapat pada umbi suweg menurut Das et al. (2009). Kandungan gizi tertinggi pada umbi walur adalah karbohidrat (Tabel 2). Meskipun kandungan karbohidrat pada umbi walur lebih rendah dibandingkan dengan umbi suweg dan singkong, namun hasil tersebut masih mengindikasikan bahwa seperti halnya umbi suweg dan singkong, umbi walur pun memiliki potensi untuk dimanfaatkan menjadi sumber bahan pangan alternatif.

Tabel 2 Perbandingan data proksimat umbi walur dan umbi Suweg

No. Komposisi kimia Walur Suweg Singkongc

1. Kadar air (% bb) 74.46 78.70 a 62.50 2. Kadar lemak (% bk) 14.41 0.47 a 0.80 3. Kadar protein (% bk) 6.42 5.63 a 3.20 4. Kadar abu (% bk) 4.89 7.51 a 0.3 5. Kadar karbohidrat (% bk) 74.28 86.38 a 92.53 6. Kadar pati (% bk) 65.72 39.36 b 75.00 a

Das et al. (2009); bRichana dan Titi (2004); cRukmana (1997)

Terdapat perbedaan yang cukup besar pada kadar lemak umbi walur dan umbi suweg. Umbi walur memiliki kandungan lemak sebesar 14.41% sedangkan umbi suweg sebesar 0.47% dan singkong adalah sebesar 0.8%. Perbedaan yang cukup besar ini kemungkinan disebabkan karena perbedaan karakteristik sumber botani dari masing-masing umbi. Tingginya kandungan lemak pada pati walur ini perlu dieksplorasi kembali sehingga dapat dimanfaatkan oleh masyarakat.

4.1.2 Ukuran Granula Pati Walur

Pati terdiri atas butiran-butiran kecil yang disebut sebagai granula. Gambar 9a menunjukkan sifat birefringence dari pati, yaitu sifat granula pati yang dapat merefleksikan cahaya terpolarisasi sehingga di bawah mikroskop polarisasi membentuk bidang berwarna biru dan kuning. French (1984) menyatakan bahwa warna biru dan kuning pada permukaan granula pati disebabkan oleh adanya perbedaan indeks refraktif dalam granula pati. Indeks refraktif tersebut dipengaruhi oleh struktur molekular amilosa dalam pati. Bentuk heliks dari amilosa dapat menyerap sebagian cahaya yang melewati granula pati (Zhou et al.

1998).

(a) (b)

Gambar 9 Bentuk granula pati umbi walur mikroskop polarisasi (a); Scanning Electron Microscop (SEM) (b).

Ukuran granula pati umbi walur adalah berkisar antara 10 hingga 22 μm, berbentuk oval dan bersudut banyak (polygonal) serta memiliki permukaan yang halus dan tidak membentuk celah (Gambar 9). Hasil ini sangat berbeda dengan umbi suweg yang memiliki granula pati dengan ukuran yang lebih kecil, yaitu sebesar 5 μm (Richana dan Titi 2004). Apabila dibandingkan dengan ukuran granula pati tepung terigu, yaitu sebesar 10-35 μm (Fennema 1996), maka granula pati umbi walur memiliki ukuran yang relatif lebih kecil.

Sebaran, bentuk dan ukuran granula setiap jenis pati adalah berbeda-beda tergantung dari molekul penyusunnya, yaitu amilosa dan amilopektin. Penampakan mikroskopik dari granula pati seperti bentuk, ukuran, keseragaman dan letak hilium berbeda-beda untuk setiap jenis tanaman penghasil pati. Dengan demikian sifat fisik tersebut dapat digunakan sebagai variabel dalam identifikasi pati.

4.1.3 Kadar Amilosa dan Kekuatan Gel

Tiap jenis pati memiliki sifat yang tidak sama tergantung dari panjang rantai karbon dan perbandingan antara molekul yang lurus (amilosa) serta yang bercabang (amilopektin). Kandungan amilosa pati walur adalah sebesar 22.42% (Tabel 3). Hasil ini menunjukkan bahwa pati walur termasuk ke dalam jenis pati normal. Menurut Hoover et al. (2010), jenis pati normal adalah jenis pati yang memiliki kandungan amilosa sebesar 15-30%.

Tabel 3 Perbandingan data karakteristik umbi walur dan tepung terigu

No. Komposisi kimia Walur Tepung terigu

1. Kadar amilosa (% bk) 22.42 28.00a

2. Kekuatan gel (N/m2) 1543.48 493.06 aFennema (1996)

Kandungan amilosa pati walur ini lebih rendah apabila dibandingkan dengan kandungan amilosa pada terigu yaitu sebesar 28% (Fennema 1996). Namun, bila dibandingkan dengan umbi suweg, kandungan amilosa pada pati walur ini relatif lebih tinggi. Menurut Richana dan Titi (2004), pati suweg memiliki kandungan amilosa sebesar 18.3%. Meskipun walur dan suweg merupakan dua jenis umbi yang berasal dari spesies yang sama, namun memiliki kandungan amilosa yang berbeda. Perbedaan kandungan amilosa pada berbagai jenis pati dapat dipengaruhi oleh perbedaan sumber botani, kondisi iklim, jenis tanah selama pertumbuhan dan waktu pemanenan (Noda et al. 2008).

Molekul amilosa pada pati mempengaruhi sifat fungsionalnya, yaitu pada saat pembentukan gel pati. Pati setelah dipanaskan lalu didinginkan akan membentuk gel yang kuat. Gel pati merupakan sistem padat–cair yang memiliki jaringan yang saling berhubungan dimana fase cair terjebak di dalam fase

padatan. Molekul amilosa bebas dapat membentuk ikatan hidrogen tidak hanya dengan molekul amilosa lainnya tetapi juga dengan rantai cabang amilopektin dari granula yang mengembang sehingga menjadi bagian jaringan padat yang saling berhubungan. Keberadaan amilosa dalam fase ini menyebabkan gel menjadi kuat (Collado dan Corke 1999).

Kekuatan gel dari pati walur dan tepung terigu dalam penelitian ini dinyatakan dalam bentuk modulus elastis. Modulus elastis merupakan kecenderungan suatu benda untuk berubah bentuk ketika diberikan suatu gaya dan dinyatakan sebagai perbandingan antara gaya yang diberikan terhadap perubahan bentuk bidang semula. Dalam hal ini, modulus elastis menyatakan gaya yang dibutuhkan oleh suatu jenis gel untuk berubah bentuk sebesar 2 mm dari bidang semula. Semakin kuat gel yang dihasilkan maka gaya yang dibutuhkan untuk menekan gel sebesar 2 mm menjadi semakin besar yang ditunjukkan dengan nilai modulus elastis yang semakin besar.

Pati walur memiliki nilai modulus elastis yang lebih besar bila dibandingkan dengan tepung terigu, yaitu berturut-turut sebesar 1543.48 dan 493.06 N/m2 (Tabel 3). Hasil ini mengindikasikan bahwa pati walur memiliki kekuatan gel yang lebih tinggi dibandingkan dengan tepung terigu. Karena pati walur memiliki nilai kekuatan gel yang cukup tinggi, maka pati walur juga dapat dimanfaatkan sebagai gelling agent bagi produk pangan.

Tingginya nilai kekuatan gel pada suatu jenis pati dipengaruhi oleh kandungan amilosa pada pati. Semakin tinggi kandungan amilosa, maka kekuatan gelnya akan semakin tinggi. Sebelumnya telah diketahui bahwa kandungan amilosa pada tepung terigu lebih besar dibandingkan dengan pati walur. Oleh sebab itu, seharusnya tepung terigu memiliki kekuatan gel yang lebih tinggi dibandingkan dengan pati walur. Namun hasil analisis menunjukkan hasil yang sebaliknya. Hal ini kemungkinan disebabkan karena selain dipengaruhi oleh kandungan amilosa dalam sampel, kekuatan gel juga dipengaruhi oleh komponen ester monofosfat pada pati.

Pati walur memiliki kandungan fosforus yang cukup tinggi, yaitu sebesar 1.08% (Tabel 7). Fosforus dalam pati dapat membentuk ester monofosfat yang berikatan dengan amilopektin. Proses pembentukan ester monofosfat dilakukan

dengan bantuan enzin α-Glukan Dekinase (GWD) dan merupakan bagian dari jalur biosintesis pati. Fosforus hanya akan menempel pada molekul amilopektin yang memiliki rantai samping yang panjang. Amilopektin rantai panjang yang mengandung gugus ester monofosfat ini, akan memiliki sifat seperti amilosa yang akan mempengaruhi kemampuan pembentukan gel suatu jenis pati (Blennow 2004).

Jenis pati lain yang juga memiliki kandungan fosforus yang tinggi adalah pati kentang. Hasil penelitian Noda et al. (2006) menunjukkan bahwa pati dari delapan jenis kultivar kentang memiliki nilai modulus elastis berkisar antara 8000-15000 N/m2 dengan nilai terendah dimiliki oleh jenis pati kentang yang memiliki kandungan fosfat monoester yang paling rendah. Hasil ini mengindikasikan bahwa kandungan fosforus pada pati dapat meningkatkan kekuatan gel. Semakin tinggi kandungan fosfat monoester pada pati maka nilai modulus elastisnya menjadi semakin tinggi. Nilai modulus elastis pati walur lebih rendah bila dibandingkan dengan pati kentang. Hasil ini menunjukkan bahwa kandungan fosfat monoester pati walur lebih kecil dibandingkan dengan pati kentang, meskipun diketahui bahwa pati walur memiliki kandungan fosforus yang lebih tinggi.

4.2 Pengaruh Proses Perendaman Terhadap Kandungan Total Oksalat