• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB V HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

5.1. Hasil Penelitian

5.1.5. Formulasi Kebijakan

Menurut Hogwood dan Gunn (1984) dalam Suseno (2004), dalam upaya mengidentifikasi suatu kebijakan, langkah awal yang harus dilakukan adalah menganalisis isi kebijakan ( content analysis ). Dalam content analysis yang dilakukan adalah mengidentifikasi atau mengelompokkan kebijakan tersebut dalam 4 (empat) tahapan yaitu (1) mengelompokkan kebijakan berdasarkan ruang lingkup dan periode penerbitan, (2) mengelompokkan kebijakan berdasarkan cakupan wilayah, (3) mengelompokkan kebijakan berdasarkan aspek pengelolaan dan (4) mengelompokkan berdasarkan paradigma pengelompokkan sebagaimana dinyatakan oleh Charles (2001) dalam Suseno (2004).

Kelompok kebijakan yang dianalisis dalam penelitian ini adalah kelompok kebijakan berdasarkan aspek pengelolaan yaitu meliputi kebijakan otonomi daerah, kehutanan dan lingkungan. Sementara itu kebijakan yang dianalisis berdasarkan hirarki atau jenjang kekuasaan hukum yang mengatur. Berdasarkan Ketetapan MPRS No: XX/MPRS/1966 tentang Memorandum Dewan Perwakilan Rakyat Gotong Royong (DPRGR) perihal Sumber Tertib Kebijakan Republik Indonesia dan Tata Urutan Perundang-undangan, urutan perundang-undangan adalah sebagai berikut :

a. Undang-Undang Dasar (UUD) 1945

b. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat (Tap MPR)

c. Undang-undang / Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (UU/Perpu) d. Peraturan Pemerintah (PP)

e. Keputusan Presiden (Keppres)

f. Peraturan – peraturan pelaksana lainnya, seperti Peraturan Menteri, Instruksi Menteri.

Selanjutnya rincian kebijakan yang dianalisis berdasarkan tahapan pada masing-masing bidang adalah sebagai berikut :

a. Bidang Kehutanan

Kebijakan bidang kehutanan meliputi :

(1) Undang-undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya

(2) Undang-undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1994 tentang Pengesahan United Nation Convention on Biological Diversity (Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa Mengenai Keanekaragaman Hayati)

(3) Undang – undang Republik Indonesia Nomor 41 tahun 1999 tentang Kehutanan

(4) Peraturan Pemerintah Presiden Republik Indonesia Nomor 28 Tahun 1985 tentang Perlindungan Hutan

(5) Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 18 Tahun 1994 tentang Pengusahaan Pariwisata Alam Di Zona Pemanfaatan Taman Nasional, Taman Hutan Raya Dan Taman Wisata Alam

(6) Peraturan Pemerintah Presiden Republik Indonesia Nomor 62 Tahun 1998 tentang Penyerahan Sebagian Urusan Pemerintah Di Bidang Kehutanan Kepada Daerah

(7) Peraturan Pemerintah Presiden Republik Indonesia Nomor 68 Tahun 1998 tentang Kawasan Suaka Alam Dan Kawasan Pelestarian Alam

(8) Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 34 Tahun 2002 tentang Tata Hutan Dan Penyusunan Rencana Pengelolaan hutan, Pemanfaatan Hutan Dan Penggunaan Kawasan Hutan

(9) Peraturan Pemerintah Pengganti Undang – undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan.

(10) Keputusan Menteri Kehutanan Dan Perkebunan Nomor 677/Kpts-II/1998 tentang Hutan Kemasyarakatan

(11) Keputusan Menteri Kehutanan Dan Perkebunan Nomor 865/Kpts-II/1998 tentang Penyempurnaan Keputusan Menteri Kehutanan Dan Perkebunan Nomor 677/Kpts-II/1998 tentang Hutan Kemasyarakatan

(12) Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 20/Kpts-II/2001 tentang Pola Umum Dan Standar Sreta Kriteria Rehabilitasi Hutan Dan Lahan

(13) Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 31/Kpts-II/2001 tentang Penyelenggaraan Hutan Kemasyarakatan

(14) Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 32/Kpts-II/2001 tentang Kriteria Dan Standar Pengukuhan Kawasan Hutan

(15) Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 52/Kpts-II/2001 tentang Pedoman Penyelenggaraan Pengelolaan Daerah Aliran Sungai

(16) Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 70/Kpts-II/2001 tentang Penetapan Kawasan Hutan, Perubahan Status Dan Fungsi Kawasan Hutan

b. Bidang Otonomi Daerah

Kebijakan bidang Otonomi Daerah meliputi :

(1) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 1992 tentang Penataan Ruang

(2) Undang - Undang Republik Indonesai Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah

(3) Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 69 Tahun 1996 tentang Pelaksanaan Hak Dan Kewajiban Serta Bentuk Dan Tata Cara Peran Serta Masyarakat Dalam Penataan Ruang

(4) Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 25 Tahun 2000 tentang Daerah Otonomi

(5) Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 45 Tahun 2000 tentang Penyelenggaraan Otonomi Daerah Dengan Titik Berat Pada Daerah Tingkat II (6) Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 52 Tahun 2000 tentang

Penyelenggaraan Tugas Pembantuan

(7) Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 39 Tahun 2001 tentang Penyelenggaraan Dekonsentrasi

(8) Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 76 Tahun 2001 tentang Pedoman Umum Peraturan Mengenai Desa

(9) Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 2001 tentang Pelaksanaan Pengakuan Kewenangan Kabupaten / Kota

(10) Keputusan Menteri Pemukiman Dan Prasarana Wilayah Nomor 327/Kpts/M/2002 tentang Penetapan Enam Pedoman Bidang Penataan Ruang

c. Bidang Lingkungan Hidup

Kebijakan bidang Lingkungan Hidup meliputi :

(1) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup

(2) Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 54 Tahun 2000 tentang Lembaga Penyedia Jasa Pelayanan Penyelesaian Sengketa Lingkungan Hidup Diluar Pengadilan

Sementara itu kebijakan internasional yang dianalisis dalam penelitian ini adalah : (1) Agenda 21 bagian pertama yaitu Dimensi Sosial dan Ekonomi (Social

Economic Dimension) dan bagian kedua yaitu Konservasi dan Pengelolaan Sumber Daya Alam untuk Pembangunan (Conservation and Management of Resource for Development)

(2) International Tropical Timber Agreement (ITTA, ITTO) (3) Convention on Biological Diversity (CBD)

a. Pengelompokkan kebijakan berdasarkan ruang lingkup dan periode kebijakan

Kebijakan pengelolaan kehutanan sebagaimana telah diatur dalam peraturan- peraturan tersebut diatas, dikelompokkan berdasarkan ruang lingkup, yaitu pengelolaan kehutanan, kelembagaan dan partisipasi masyarakat, dan periode penerbitan yaitu periode sentralisasi dan desentralisasi.

Berdasarkan hasil penelitian, pengelompokkan berdasarkan ruang lingkup dan periode penerbitan disajikan pada Tabel 70.

Tabel 70 Pengelompokan kebijakan pengelolaan hutan berdasarkan ruang lingkup dan periode kebijakan

Periode Kebijakan

No. Ruang Lingkup Sentralisasi

(> 1999) Desentralisasi (> 1999) 1 Pengelolaan Kehutanan 10 15 2 Kelembagaan 9 6 3 Partisipasi Masyarakat 6 6

Dari Tabel 70 diatas nampak bahwa pada periode kebijakan desentralisasi, ruang lingkup pengelolaan kehutanan lebih banyak aturannya (15) dari pada periode kebijakan sentralisasi (10). Sedangkan pada ruang lingkup kelembagaan, periode kebijakan sentralisasi lebih banyak aturannya (9) dibanding dengan periode desentralisasi (6). Sementara itu untuk ruang lingkup partisipasi masyarakat, periode kebijakan sentralisasi dan desentralisasi sama banyaknya (6).

b. Pengelompokkan kebijakan berdasarkan cakupan wilayah dan aspek pengelolaan

Pengelompokkan kebijakan berdasarkan cakupan wilayah dan aspek pengelolaan dibagi menjadi 3 (tiga ) wilayah yaitu :

(1) Kebijakan Daerah

Kebijakan daerah yang mengatur pengelolaan hutan pada daerah penelitian, tidak diatur dalam Peraturan Daerah, akan tetapi diatur dalam peraturan khusus tentang pengelolaan hutan yaitu Peraturan Pemerintah Nomor 30 Tahun 2003 tentang Perusahaan Umum Kehutanan Negara (Perum Perhutani).

Peraturan yang mengatur pengelolaan hutan didaerah penelitian diatur sendiri oleh Direksi Perum Perhutani, namun demikian secara umum atas pengelolan hutan tetap mengacu pada Undang-undang dan atau Peraturan Pemerintah yang berlaku.

(2) Kebijakan Nasional

Kebijakan nasional yang mengatur pengelolaan hutan secara umum diatur dalam Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, Undang- undang Nomor 5 Tahun 1994 tentang Konvensi Perserikatan Bangsa-bangsa mengenai Keanekaragaman Hayati, Undang-undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber daya Alam Hayati dan Ekosistemnya, Peraturan Pemerintah Nomor 34 Tahun 2002 tentang Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan, Pemanfaatan Hutan dan Penggunaan Kawasan Hutan dan Peraturan Pemerintah Nomor 62 Tahun 1998 tentang Penyerahan

Sebagian Urusan Pemerintahan di Bidang Kehutanan Kepada Daerah. Dalam Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999 pengelolaan hutan diatur dalam Bab III Pengurusan Hutan pasal 10. Disamping kebijakan umum yang diatur dengan Undang-undang dan Peraturan Pemerintah, pengelolaan hutan secara umum juga diatur dalam bentuk Keputusan Menteri yaitu Keputusan Menteri Kehutanan dan Perkebunan Nomor : 677 /Kpts-II/1998 tentang Hutan Kemasyarakatan. Selanjutnya kebijakan yang berfungsi sebagai kebijakan pelaksanaan diatur dalam Keputusan Menteri, yaitu Keputusan Menteri Kehutanan Nomor : 20/ Kpts-II/2001 tentang Pola Umum dan Standar serta Kriteria Rehabilitasi Hutan dan Lahan, Keputusan Menteri Kehutanan Nomor :31/Kpts-II/2001 tentang Penyelenggaraan Hutan Kemasyarakatan, Keputusan Menteri Kehutanan Nomor : 32/ Kpts-II/2001 tentang Kriteria dan Standar Pengukuhan Kawasan Hutan, Keputusan Menteri Kehutanan Nomor : 52/ Kpts- II/2001 tentang Pedoman Penyelenggaraan Pengelolaan Daerah Aliran Sungai dan Keputusan Menteri Kehutanan Nomor :70/ Kpts-II/2001 tentang Penetapan kawasan Hutan, Perubahan Status dan Fungsi Kawasan Hutan.

(3) Kebijakan Internasional

Kebijakan internasional yang dianalisis dalam rangka pengelolaan hutan meliputi tiga kebijakan yaitu : (1) agenda 21 bagian pertama, yaitu Dimensi Sosial dan Ekonomi (Social Economic Dimension) dan bagian kedua yaitu Konservasi dan Pengelolaan Sumber Daya Alam untuk Pembangunan (Conservation and Management of Resource for Development, (2) International Tropical Timber Agreement (ITTA, ITTO) dan (3) Convention on Biological Diversity (CBD)

(a) Agenda 21

Bagian pertama, yaitu Dimensi Sosial dan Ekonomi (Social Economic Dimension)

Pada bagian ini beberapa hal yang dibahas adalah masalah pembangunan yang berorientasi pada segi kemanusiaan, kemiskinan, kesehatan, pola konsumsi serta

beberapa isu kunci misalnya perdagangan dan keterpaduan pengambilan keputusan dalam rangka mendukung pembangunan berkelanjutan. Pada bagian ini diatur tentang kesepakatan-kesepakatan yang meliputi topik-topik sebagai berikut :

a. International Cooperation to Accelerate Sustainable Development in developing Countries and Related Domestic Policies.

b. Combating Poverty

c. Changing Consumption Pattern

d. Demography Dynamic and Sustainability e. Protecting and Promoting Human Health

f. Promoting Sustainable Human Settlement Development

g. Integrating Environment and Development in Decision Making

Bagian kedua yaitu Konservasi dan Pengelolaan Sumber Daya Alam untuk Pembangunan (Conservation and Management of Resource for Development Pada bagian ini yang dibahas adalah merupakan bagian yang terbesar yaitu masalah pengelolaan Sumber daya Alam (SDA), ekosistem dan isu lainnya yang memerlukan kajian lebih lanjut dalam upaya mencapai pembangunan berkelanjutan. Bagian ini antara lain mengatur kesepakatan topik – topik :

a. Protecting of the Atmosphere

b. Integrated Approach to the Planning and Management of the Land Resources

c. Combating Deforestation

d. Conservation of Biological Diversity

(b) International Tropical Timber Agreement (ITTA, ITTO)

Kesepakatan ini dibentuk pada tanggal 1 Januari 1997 dan seluruh anggota bersepakat untuk berusaha melestarikan hutan tropis, khususnya melalui ITTO’s Target 2000. Para anggota menyepakati dan mendeklarasikan bahwa semua kayu dari hutan tropis yang diperdagangkan di pasar internasional

harus berasal dari hutan yang dikelola secara berkelanjutan. Sehubungan dengan target dimaksud, ITTO mengeluarkan dokumen tentang kriteria pengelolaan hutan berkelanjutan.

(c) Convention on Biological Diversity (CBD)

Konvensi ini menyepakati bersama dengan fokus bahasan pada program keragaman biologi hutan (Forests Biological Diversity, FBD). Konvensi ini juga mendukung aplikasi pendekatan ekosistem dan catatan penting dari isu taksonomi, ekologi dan sosial ekonomi dalam rangka merestorasi ekosistem dan sumberdaya hutan. Disamping itu konvensi ini juga membuat referensi untuk mendukung aksi proposal IPF (Intergovernment Panel on Forest) dan IFF (Intergovernment Forum on Forest), utamanya perihal valuasi atas hasil dan jasa hutan dan keserasian dengan kearifan lokal (tradional forest-related knowledge).

Pengelompokan kebijakan berdasarkan cakupan wilayah dan aspek pengelolaan dibagi kedalam 3 (tiga) aspek yaitu daerah, nasional dan internasional. Berdasarkan hasil penelitian, pengelompokkan dimaksud adalah sebagaimana pada Tabel 71.

Tabel 71 Pengelompokan kebijakan pengelolaan hutan berdasarkan cakupan wilayah dan aspek pengelolaan

Aspek Pengelolaan No. Cakupan Wilayah

Sosial Ekonomi Lingkungan

1 Daerah 50% 30% 20%

2 Nasional 30% 45% 25%

3 Internasional 20% 15% 65%

Tabel 71 tersebut menunjukkan bahwa kebijakan pada cakupan wilayah daerah menunjukkan bahwa pada aspek sosial lebih banyak pengaturannya bila dibanding dengan aspek lainnya. Selanjutnya cakupan wilayah nasional lebih banyak pengaturannya pada aspek ekonomi. Sedangkan pada cakupan wilayah internasional lebih banyak mengatur pada aspek lingkungan.

c. Pengelompokan kebijakan berdasarkan aspek pengelolaan dan periode kebijakan

Pengelompokkan kebijakan berdasarkan aspek pengelolaan dibagi dalam tiga aspek, yaitu aspek sosial, aspek ekonomi dan aspek lingkungan. Sedangkan pengelompokkan periode kebijakan dibagi menjadi Sentralisasi (sebelum tahun 1999) dan Desentralisasi (sesudah tahun 1999).

Berdasarkan hasil penelitian, pengelompokan kebijakan berdasarkan aspek pengelolaan dan periode kebijakan disajikan pada Tabel 72.

Tabel 72 Pengelompokan kebijakan pengelolaan hutan berdasarkan aspek pengelolaan dan periode kebijakan

Periode Kebijakan

No Aspek Pengelolaan Kehutanan

Sentralisasi Desentralisasi

I SOSIAL

1 Partisipasi Masyarakat Desa Hutan (MDH) 3 3

2 Sosialisasi Kebijakan dan Perundangan-undangan 2 2

3 Perlindungan kepentingan MDH 6 4

4 Identifikasi stakeholder 2 3

5 Pendidikan, pelatihan dan penyuluhan 1 1

II EKONOMI

1 Jumlah penebangan pohon yang di ijinkan 2 4

2 Industri kayu 2 3

3 Pungutan hasil hutan 2 3

4 Luas areal tebangan 3 5

5 Ijin penebangan 2 4

6 Perencanaan pengelolaan hutan 1 1

7 Tata niaga kayu 3 2

III LINGKUNGAN

1 Konservasi 3 4

2 Pemulihan Sumberdaya Hutan 2 4

3 Pencegahan pencemaran lingkungan 2 3

4 Kelembagaan 1 1

5 Sanksi terhadap pelanggaran 2 3

d. Perumusan Skenario Kebijakan Mengatasi Illegal Logging

Untuk menentukan skenario dalam menetapkan kebijakan mengatasi illegal logging, dilakukan analisis multi kriteria (multi criteria analysis), seperti apa yang telah dijelaskan dalam bagian metodologi. Dengan menggunakan data primer dari hasil wawancara para pihak (stakeholder) dan data sekender, perumusan skenario kebijakan mengatasi illegal logging dimulai dengan pembuatan pohon nilai (tree value) dan sebagai akar pohon nilai adalah kebijakan mengatasi illegal logging. Dengan mempertimbangkan banyaknya kebijakan yang telah diterbitkan oleh pemerintah, maka atribut dalam menetapkan kebijakan mengatasi illegal logging diklasifikasikan kedalam tiga hal utama (alternative) yaitu Pengelolaan Hutan, Kelembagaan dan Partisipasi Masyarakat.

Pada skenario kelembagaan, dalam menetapkan kebijakan mengatasi illegal logging dijadikan sebagai basis, sedangkan skenario pengelolaan hutan dan partisipasi masyarakat dijadikan sebagai driven scenario. Oleh karenanya pada aspek lingkungan dan aspek sosial diberikan bobot yang lebih tinggi. Selanjutnya dalam analisis aspek ekonomi, faktor jumlah pohon ditebang, industri kayu, pungutan hasil hutan, luas areal tebangan, ijin penebangan, perencanaan pengelolaan hutan dan tata niaga kayu perlu dipertimbangkan, sedangkan untuk aspek sosial, faktor partisipasi masyarakat desa hutan, sosialisasi kebijakan, perlindungan kepentingan masyarakat desa hutan, identifikasi stakeholder dan pendidikan, pelatihan dan penyuluhan menjadi faktor pembobot yang harus dipertimbangkan disamping aspek lingkungan yang meliputi faktor konservasi, pemulihan sumber daya hutan, pencegahan pencemaran lingkungan, kelembagaan, sanksi terhadap pelanggaran dan pengendalian dan pengawasan.

Gambar 34 Pohon nilai (value tree) kebijakan mengatasi illegal logging

Berdasarkan pohon nilai (value tree) diatas, dilakukan tahap pertama yaitu pemecahan model dengan melihat bentang nilai (value intervals) dari ketiga skenario diatas (pengelolaan hutan, kelembagaan dan partisipasi masyarakat). Bentang nilai (value intervals) merupakan kisaran nilai kemungkinan dari atribut dalam pencapaian tujuan. Berdasarkan hasil perhitungan diperoleh bahwa kebijakan mengatasi illegal logging mengarah pada pengelolaan hutan yang mempunyai bentang nilai (value intervals) sebesar 0.349 – 0.916. Kemudian partisipasi masyarakat dengan bentang nilai (value intervals) sebesar 0.439 – 0.756 dan kelembagaan dengan bentang nilai (value intervals) sebesar 0.11 – 0.406. Hal ini dapat dilihat pada Gambar 35.

Value Intervals: Kebijakan Mengatasi Illegal Logging Value 0.9 0.8 0.7 0.6 0.5 0.4 0.3 0.2 0.1 0 Al te rn a ti v e s Kelembagaan Pengelolaan Hutan Partisipasi Masyarakat 0.11 ... 0.406 0.349 ... 0.916 0.439 ... 0.756

Gambar 35 Bentang Nilai (Value Intervals) Kebijakan Mengatasi Illegal logging

Selanjutnya berdasarkan perhitungan, bentang nilai (value intervals) pada ketiga aspek yaitu sosial, ekonomi dan lingkungan secara keseluruhan aspek didominasi oleh kebijakan pengelolan hutan, yaitu masing-masing pada aspek sosial (0.146 – 0.773), aspek ekonomi (0.527 – 1,000) dan aspek lingkungan (0.469 – 1,000). Kemudian partisipasi masyarakat, yaitu aspek sosial (0.595 – 0.675), aspek ekonomi (0.393 – 0.757) dan aspek lingkungan (0.306 – 0.846). Selanjutnya kelembagaan, aspek sosial (0.163 – 0.643), aspek ekonomi (0.00 – 0.321) dan aspek lingkungan (0.154 – 0,174). Hal ini dapat dilihat pada Tabel 73.

Tabel 73 Bentang Nilai (ValueIntervals) Aspek Sosial, Ekonomi dan Lingkungan

No. Alternatif Aspek Sosial Aspek Ekonomi Aspek Lingkungan

1 2 3 Pengelolaan Hutan Kelembagaan Partisipasi Masyarakat 0.146-0.773 0.163-0.643 0.595-0.675 0.527-1.000 0.000-0.321 0.393-0.757 0.469-1.000 0.154-0.174 0.306-0.846

Tahap analisis berikutnya adalah menentukan model dengan melihat bobot (weight)

hasil perhitungan model setelah indikator – indikator kualitatif dan kuantitatif dimasukkan kedalam model. Dari hasil perhitungan diperoleh data bahwa bobot tertinggi dalam menetapkan kebijakan mengatasi illegal logging adalah pada aspek sosial yaitu sebesar 0.370 – 0.417, kemudian diikuti aspek lingkungan sebesar 0.308 – 0.360 dan pada aspek ekonomi sebesar 0.240 – 0.308. Hal tersebut dapat dilihat pada Gambar 36.

Weights: Kebijakan Mengatasi Illegal Logging Values 0.4 0.35 0.3 0.25 0.2 0.15 0.1 0.05 0 S u b a tt ri b u te s Aspek Ekonomi Aspek Lingkungan Aspek Sosial 0.24 ... 0.308 0.308 ... 0.36 0.37 ... 0.417

Gambar 36 Bobot (Weights) Kebijakan Mengatasi Illegal Logging

Oleh karena aspek sosial memperoleh nilai bobot (weight) tertinggi dan menjadi driver dalam menetapkan kebijakan mengatasi illegal logging, maka analisis berikutnya adalah memperhatikan subattribute dari aspek sosial. Dari hasil perhitungan diperoleh data bahwa partisipasi masyarakat desa hutan merupakan indikator utama yang mendapatkan nilai bobot paling tinggi yaitu 0.227 – 0.273. selanjutnya diikuti sosialisasi kebijakan (0.186 – 0.231), perlindungan kepentingan masyarakat desa hutan (0.146 – 0.220), identifikasi stakeholder (0.163 – 0.205) dan pendidikan, pelatihan dan penyuluhan (0.163 – 0.205). Hal tersebut dapat dilihat pada Gambar 37.

Weights: Aspek Sosial

Values 0.25 0.2 0.15 0.1 0.05 0 S u b a tt ri b u tes Perlindungan Kepentingan MDH Identifikasi Stakeholder

Pendidikan, Pelatihan dan Penyuluhan Sosialisasi Kebijakan Partisipasi MDH 0.146 ... 0.22 0.163 ... 0.205 0.163 ... 0.205 0.186 ... 0.231 0.227 ... 0.263

Gambar 37 Bobot (Weights) Aspek Sosial

Sesuai dengan hasil perhitungan nilai bobot kebijakan mengatasi illegal logging secara keseluruhan, menunjukkan bahwa aspek lingkungan merupakan aspek yang harus diperhatikan setelah aspek sosial. Oleh karenanya analisis berikutnya adalah memperhatikan subattribute dari aspek lingkungan. Hasil perhitungan menyebutkan

bahwa subattribute konservasi merupakan indikator yang paling tinggi nilai bobotnya yaitu 0.192 – 0.217. Kemudian diikuti pemulihan sumber daya hutan (0.157 – 0.191), pencegahan pencemaran lingkungan (0.157 – 0.191), pengendalian dan pengawasan (0.140 – 0.187), kelembagaan (0.154 – 0.174) dan sanksi terhadap pelanggaran (0.1000 – 0.145). Hal tersebut dapat dilihat pada Gambar 38.

Weights: Aspek Lingkungan

Values 0.2 0.15 0.1 0.05 0 Su b a tt ri b u te s

Sanksi Terhadap Pelanggaran Pengendalian dan Pengaw asan Kelembagaan Pemulihan Sumberdaya Hutan Pencegahan Pencemaran Lingkungan Konservasi 0.1 ... 0.146 0.14 ... 0.187 0.154 ... 0.174 0.157 ... 0.191 0.157 ... 0.191 0.192 ... 0.217

Gambar 38 Bobot (Weights) Aspek Lingkungan

Selanjutnya selain kedua aspek diatas, maka aspek ekonomi juga mendapatkan perhatian, karena aspek ini memberikan juga kontribusi yang cukup signifikan. Dari hasil perhitungan diperoleh bahwa indikator jumlah pohon yang ditebang memperoleh nilai bobot yang paling tinggi yaitu 0.163 – 0.192. Selanjutnya diikuti pungutan hasil hutan (0.133 - 0.178), industri kayu (0.118 – 0.167), luas areal hutan (0.118 – 0.167), ijin penebangan (0.118 – 0.167), perencanaan pengelolaan hutan (0.116 – 0.151) dan tata niaga kayu (0.099 – 0.132). Hal tersebut dapat dilihat pada Gambar 39.

Weights: Aspek Ekonomi Values 0.15 0.1 0.05 0 S u b a tt ri bu te s

Tata Niaga Kayu Perencanaan Pengelolaan Hutan Industri Kayu

Luas Areal Tebangan Ijin Penebangan Pungutan Hasil Hutan Jumlah Pohon Ditebang

0.099 ... 0.132 0.116 ... 0.151 0.118 ... 0.167 0.118 ... 0.167 0.118 ... 0.167 0.133 ... 0.178 0.163 ... 0.192

Gambar 39 Bobot (Weights) Aspek Ekonomi

Tahap selanjutnya adalah melakukan analisis dominasi (Dominance Analysis). Hal ini dilakukan karena masih terdapat bentang nilai (value intervals) yang overlap antara indikator satu dengan yang lainnya. Pada matrik dominance bahwa dot merah pada matrik menunjukkan bahwa alternative pada baris didominasi oleh alternatif pada kolom. Sedangkan dot hijau menunjukan bahwa alternative pada kolom didominasi oleh alternatif pada baris. Dari hasil perhitungan diperoleh bahwa partisipasi masyarakat mendominasi terhadap kelembagaan. Matrik Analisis Dominasi (Dominance Analysis) dapat dilihat sebagaimana pada Tabel 74.

Tabel 74 Matrik Analisis Dominasi (Dominance Analysis) Alternatif Pengelolaan Hutan Kelembagaan Partisipasi Masyarakat Pengelolaan Hutan X Kelembagaan X ◙ Partisipasi Masyarakat ◙ X

Pada akhir tahap pemodelan skenario ini adalah melakukan analisis penetapan keputusan (decision rules analysis) yang akan menentukan alternatif yang paling baik. Decision rules disajikan dalam bentuk indikator maximax, minimax, central value, minimax regret dan possible loss. Maximax mengidentifikasikan sebagai keputusan optimis dimana diasumsikan bahwa semua kemungkinan nilai berada pada batas atau dekat dengan batas tertinggi dari value interval. Sedangkan Minimax merupakan keputusan pesimis yang mengasumsikan bahwa jika skenario terburuk terjadi, maka

alternatif yang dipilih adalah alternatif yang mempunyai nilai batas bawah yang tertinggi. Selanjutnya Central Value memilih alternative dengan nilai tengah yang paling besar. Sementara itu Minimax Regret merupakan penolakan alternative yang mempunyai nilai batas bawah yang tinggi. Sedangkan Possible Loss merupakan nilai kemungkinan kerugian yang diperoleh dari pemilihan alternative. Dari hasil perhitungan menunjukkan bahwa pengelolaan hutan (0.396) merupakan alternative yang paling kecil tingkat kemungkinan kerugiannya. Kemudian diikuti oleh partisipasi masyarakat (0.473) dan selanjutnya kelembagaan (0.802). Matrik analisis penetapan keputusan (decision rulesanalysis) dapat dilihat pada Tabel 75.

Tabel 75 Matrik Analisis Penetapan Keputusan (decision rulesanalysis) Alternatif Maximax Minimax Central

Value Minimax Regret Possible loss Pengelolaan Hutan v v v v 0.396 Kelembagaan 0.802 Partisipasi Masyarakat 0.473

Tabel 75 diatas menunjukkan bahwa kerugian yang paling kecil dalam menetapkan pengambilan keputusan adalah Pengelolaan Hutan, yaitu dengan possible loss sebesar 0.396.

Dokumen terkait