ANALISIS DAMPAK DAN FORMULASI KEBIJAKAN
MENGATASI ILLEGAL LOGGING DALAM MENCAPAI
SUSTAINABLE FOREST MANAGEMENT
( STUDI KASUS HUTAN JAWA BARAT )Disertasi
DJOKO WIJANTO
SURAT PERNYATAAN
Saya menyatakan dengan sebenar-benarnya bahwa segala pernyataan dalam disertasi saya yang berjudul “ ANALISIS DAMPAK DAN FORMULASI KEBIJAKAN
MENGATASI ILLEGAL LOGGING DALAM MENCAPAI SUSTAINABLE
FOREST MANAGEMENT (STUDI KASUS HUTAN JAWA BARAT) ” merupakan gagasan atau hasil penelitian saya sendiri, dengan pembimbingan Komisi Pembimbing, kecuali yang dengan jelas ditunjukkan rujukannya. Disertasi ini belum pernah diajukan untuk memperoleh gelar pada program sejenis di perguruan tinggi lain.
Semua sumber data dan informasi yang digunakan telah dinyatakan secara jelas dan dapat diperiksa kebenarannya.
Bogor, Agustus 2008
Djoko Wijanto Nrp. P.062034234
ABSTRACT
DJOKO WIJANTO, The impact analysis and policy formulation to overcoming illegal logging for Sustainable Forest Management ( A case study of West Java forest region). CECEP KUSMANA, as Chief, AKHMAD FAUZI SYAM and MUHADIONO, as Member of Counsellor Commission
Illegal logging is one of serious national problem and also become the international concern. Illegal logging in Indonesia causes a very seriously impacts to social, economics and also environment aspect. Furthermore, it effects to the sustainability forest management and also it to destroyed the forest functions as an ecosystem. Government have done many efforts to overcome the illegal logging, however it is still happened and even become more serious due to the limitation of government infrastructure.
This research in general aims to develop the policy formulation to overcome the illegal logging in order to maintain the sustainability forest management. The research is conducted in a highly area illegal logged in West Java Province such as teak forest area in KPH Ciamis and pine forest area in KPH Sukabumi. The economic, social and environmental losses is analyzed of the illegal logging is done by using Dinamic System Analysis (DSA). Meanwhile the analysis of illegal logging impacts to sustainability forest management is analyzed by using Contingent Valuation Method (CVM). And then the policy formulation to overcome the illegal logging is done by using Multi Criteria Analysis ( MCA).
The result shows that the economic losses in year 1999 due to illegal logging in two research areas reach up to Rp.18,179 billion. It is estimated, that the losses will increases in year 2018 up to Rp. 4,574,586 billion. Descriptive analysis of the social aspect shows that the dominant variables effects to Sustainable Forest Management (SFM) are important location variable related to culture, ecology, economic and religion identified clearly and manage under the forest administrator. From the economic aspects are variable mount the forest harvest which is lower than its significantly important. In term of environmental aspects are the written regulation and its implementation continous to control the erosion and to minimize forest destruction. From the policy aspect are the longterm and commitment is very important to maintain the sustainability forest management. Finally, decision rules analysis indicaties that policy making consider to improve the quality of forest management, enable the participation of people society and also its have to draw up the institution neededly the forest people.
RINGKASAN
Dampak illegal logging yang selama ini terus terjadi telah banyak menimbulkan kerugian baik bagi masyarakat maupun pemerintah dan kebijakan yang telah diterbitkan pemerintah belum dapat mengatasi secara tuntas. Berdasarkan hasil penelitian bahwa kerugian akibat illegal logging meliputi kerugian pada aspek sosial, ekonomi dan lingkungan.
Secara keseluruhan kerugian dari ketiga aspek diatas pada saat terjadinya illegal logging tahun 1999 (past value) di KPH Ciamis adalah sebesar Rp. 10.451.707.665,45 atau sebesar Rp.79.059.815,93 per hektar dan di KPH Sukabumi sebesar Rp.7.727.395.989,76 atau sebesar Rp.164.974.295,26 per hektar. Apabila terjadi pada tahun 2008 (present value), kerugian KPH Ciamis sebesar Rp.192.440.722.358,72 atau per hektar sebesar Rp.1.455.678.686,53 dan KPH Sukabumi sebesar Rp.158.815.382.657,42 atau sebesar Rp.3.390.593.139,57 per hektar. Apabila dibanding dengan Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Kabupaten Ciamis pada tahun 2008 sebesar Rp.20.096.270.514.711,30, kerugian illegal logging hanya sebesar 0.05 %, sedangkan untuk Kabupaten Sukabumi dengan Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) sebesar Rp.11.131.461.738.342,20, kerugian illegal logging hanya sebesar 0.07 %,
Sementara itu kerugian yang tidak dapat dinilai dengan satuan mata uang adalah menurunkan kepercayaan masyarakat pada umumnya dan masyarakat desa hutan pada khususnya kepada kredibilitas pemerintah terhadap penegakan hukum di Indonesia, penurunan penyediaan kayu legal yang berakibat meningkatnya harga kayu legal dan pada akhirnya menurunkan daya beli masyarakat dalam mengkonsumsi kayu legal, menurunnya tingkat pendidikan masyarakat disekitar hutan akibat dari menurunnya tingkat pendapatan, terjadinya degradasi tanah, penurunan cadangan air dan kegagalan pengelolaan hutan berkelanjutan.
berkelanjutan, dengan jumlah responden yang berpendapat “amat sangat setuju” sebanyak 56,7%, (3) petunjuk tertulis harus dibuat dan dilaksanakan untuk mengontrol erosi dan meminimalkan kerusakan hutan dengan jumlah responden yang berpendapat “amat sangat setuju” sebanyak 36,7% dan (4) komitmen jangka panjang untuk mengikuti prinsip pengelolaan hutan berkelanjutan dengan jumlah responden yang berpendapat “amat sangat setuju” sebesar 46,7 %.
Berdasarkan perhitungan formulasi kebijakan, diperoleh hasil bahwa Value interval kebijakan mengatasi illegal logging secara berurutan didominasi oleh skenario Pengelolaan hutan, kemudian Partisipasi masyarakat dan Kelembagaan. Artinya bahwa dalam menentukan kebijakan mengatasi illegal logging agar berorientasi dan difokuskan pada fungsi Pengelolaan hutan dengan sebaik-baiknya. Bentang nilai (Weights Value) kebijakan mengatasi illegal logging didominasi oleh aspek sosial, kemudian aspek lingkungan dan selanjutnya aspek ekonomi. Ini berarti bahwa dalam menetapkan kebijakan mengatasi illegal logging diutamakan pada aspek sosial. Pada akhirnya Decision Rules memperlihatkan bahwa Pengelolaan hutan merupakan alternatif yang paling kecil kerugiannya yaitu 0,396 bila dibanding dengan Partisipasi masyarakat 0,473 maupun Kelembagaan 0,802. Oleh karenya itu dalam menetapkan kebijakan mengatasi illegal logging urutan prioritas skenario adalah Pengelolaan hutan, kemudian Partisipasi masyarakat dan selanjutnya Kelembagaan.
upaya mempertahankan kondisi hutan berkelanjutan, peningkatan keamanan dan pencegahan terhadap pengerusakan hutan serta agar dapat memanfaatkan sebesar-besarnya produksi hasil hutan dan penetapan harga yang terjangkau oleh kebutuhan masyarakat. (2) Kebijakan Makro, kebijakan pengelolaan hutan agar dapat memberikan pemahaman pentingnya partisipasi masyarakat pada umumnya untuk ikut serta dalam proses pengelolaan hutan dan kemudian diikuti dengan sosialisasi kebijakan, mementingkan upaya konservasi, pemulihan sumberdaya hutan dan pencegahan pencemaran lingkungan dan agar dapat mengatur jumlah pohon yang ditebang, pungutan hasil hutan dan ijin penebangan.
Illegal logging yang terjadi dan menimbulkan pengaruh terhadap pengelolan hutan berkelanjutan agar secepatnya untuk diadakan evaluasi terhadap kebijakan yang ada secara komprehensif dari berbagai sektoral dan terus diadakan kordinasi antar instansi yang terkait secara terpadu. Untuk itu dalam upaya mempertahankan pengelolaan hutan berkelanjutan, agar selalu memperhatikan : (1) pentingnya pengelolaan hutan yang lebih profesional dengan memperhatikan bahwa pengelolaan hutan harus dilindungi dari pemanenan illegal, pemukiman penduduk dan kegiatan yang tidak sah. pengelolaan hutan juga harus memperhatikan bahwa tingkat pemanenan hutan tidak boleh melampaui pemanenan berkelanjutan dan kondisi ekosistem saat ini harus terus dilindungi agar tetap pada kondisi alami. (2) memperhatikan partisipasi masyarakat dengan jalan masyarakat disekitar pengelolaan hutan harus diberi kesempatan kerja, pelatihan dan pekerjaan lainnya dan (3) menciptakan kelembagaan yang lebih profesional dan produktif dalam mendukung upaya mempertahankan pengelolaan hutan berkelanjutan.
@ Hak Cipta milik Institut Pertanian Bogor, Tahun 2008 Hak Cipta dilindungi Undang-undang
1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumber
a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah
b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar bagi IPB
ANALISIS DAMPAK DAN FORMULASI KEBIJAKAN
MENGATASI ILLEGAL LOGGING DALAM MENCAPAI
SUSTAINABLE FOREST MANAGEMENT
( STUDI KASUS HUTAN JAWA BARAT )
Disertasi
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor Pada
Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan
Oleh :
DJOKO WIJANTO NRP. P 062034234
Judul Disertasi : Analisis dampak dan formulasi kebijakan mengatasi illegal logging dalam mencapai Sustainable Forest Management (studi kasus hutan Jawa Barat)
Nama : Djoko Wijanto
Nrp : P.062034234
Program Studi : Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan
Disetujui
Komisi Pembimbing
Prof. Dr. Ir. Cecep Kusmana, MS.
Prof.Dr.Ir.Akhmad Fauzi Syam, MSc. Dr.Ir.Muhadiono, MSc.
Diketahui
Ketua Program Studi Dekan Sekolah Pascasarjana
Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan
Prof. Dr.Ir.Surjono H Sutjahjo, MS. Prof.Dr.Ir.Khairil Anwar Notodiputro,MS
KATA PENGANTAR
Alhamdulillah penulis panjatkan kehadirat Alloh Yang Maha Esa atas rachmad dan hidayahNya yang pada akhirnya penulis dapat menyelesaikan disertasi ini. Topik yang dipilih dalam disertasi ini adalah Analisis Dampak Dan Formulasi Kebijakan Mengatasi Illegal Logging Dalam Mencapai Sustainable Forest Management (Studi Kasus Hutan Jawa Barat).
Illegal logging yang sampai dengan hari ini masih terjadi, banyak mengakibatkan kerugian bagi kehidupan kita semua. Baik itu kerugian pada aspek sosial, ekonomi maupun lingkungan. Illegal logging tersebut terjadi disebabkan oleh beberapa hal antara lain meningkatnya pertumbuhan penduduk yang begitu cepat menyebabkan meningkatnya kebutuhan akan kayu, sehingga berdampak pada meningkatnya nilai ekonomi kayu terus menerus, sementara pemenuhan kebutuhan kayu belum dapat dicukupi, akibat semakin terbatasnya daya dukung hutan. Krisis ekonomi yang berkelanjutan, mengakibatkan perusahaan yang bergerak dibidang kehutanan mengalami kemerosotan usaha sehingga untuk mendapatkan kayu dengan harga murah dilakukan melalui pembelian kayu tidak syah yang bersal dari hasil illegal logging. Dilain pihak lemahnya penegakan hukum, karena tidak adanya concerted action yang dapat menyuburkan praktek korupsi, kolusi dan nepotisme.
Data menunjukkan bahwa tekanan masyarakat terhadap hutan cukup kuat dan berlebihan bahkan cenderun merusak, hal tersebut ditunjukkan adanya kegiatan illegal logging. Kebijakan pemerintah yang telah dilakukan belum mampu menghentikan illegal logging, karena cenderung menggunakan pendekatan keamanan tanpa memperhatikan kepentingan masyarakat desa hutan. Oleha karenanya penelitian ini dimaksudkan untuk menganalisis dan merancang formulasi kebijakan mengatasi illegal logging dalam mencapai sustainable forest management.
Dalam penulisan disertasi ini telah banyak berbagai pihak yang memberikan kontribusi baik secara langsung maupun tidak langsung dalam penyempurnaan dan penyelesaiannya, sehingga disertasi ini dapat penulis selesaikan dengan baik.
Ucapan terima kasih dan penghargaan penulis sampaikan kepada para pembimbing, yaitu : Prof.Dr.Ir.Cecep Kusmana, MS sebagai Ketua Komisi Pembimbing, Prof.Dr.Ir.Akhmad Fauzi Syam, MSc dan Dr.Ir.Muhadiono, MSc, masing-masing sebagai Anggota Pembimbing. Dapat penulis bayangkan betapa sulitnya penulisan disertasi ini apabila tidak ada pengarahan dan bimbingan dari para pembimbing. Terima kasih dan penghargaan penulis sampaikan untuk Prof.Dr.Ir. Dudung Darusman MSc dan Dr.Ir.Sumardjo sebagai penguji atas kritik dan saran perbaikannya, sehingga disertasi ini menjadi lebih sempurna. Selanjutnya juga penulis sampaikan terima kasih dan penghargaan bagi semua dosen yang telah mengajar penulis selama mengikuti perkuliahan di kelas S3-PSL.
Penulis menyampaikan terima kasih dan penghargaan kepada Pimpinan Institut Pertanian Bogor, yaitu Prof.Dr.Ir.Ahmad Ansori Mattjik, MSc (Rektor IPB), Dr.Ir. Khairil Anwar Notodiputro, MS. (Dekan Sekolah Pascasarjana), Dr.Ir.Surjono H Sutjahjo, MS. (Ketua Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan) atas kesempatan yang diberikan kepada penulis untuk melanjutkan studi S3. Ucapan terima kasih dan penghargaan juga penulis sampaikan kepada Prof.Dr.Ir.Syafrida Manuwoto, MSc (mantan Dekan Sekolah Pascasarjana).
Secara khusus, penulis mengucapkan terima kasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya kepada isteri yang tercinta (Sri Bhudi Hastuti), anak-anak yang tersayang (Nova Richardo, Mardya Cremona, Febry Laurino dan Maylana Nugrahany) atas kerelaan waktunya untuk selalu mendorong dan memotivasi penulis serta pengorbanan waktu untuk selalu setia ditinggal penulis dalam menyelesaikan kuliah. Tanpa dukungan isteri dan anak mustahil pendidikan ini tidak dapat diselesaikan.
Kepada semua pihak yang telah membantu dan mendukung penulis yang tidak dapat penulis sampaikan disini, penulis menyampaikan ucapan terima kasih dan penghargaan atas dukungan sehingga disertasi ini dapat penulis selesaikan. Akhirnya apabila terdapat kesalahan yang pernah dilakukan penulis baik secara langsung maupun tidak langsung, baik disengaja maupun tidak disengaja, penulis menyampaikan maaf yang sebesar-besarnya dan semoga Alloh swt selalu memberikan rachmad dan hidayahNya kepada kita semua. Amin.
Bogor, Agustus 2008
RIWAYAT HIDUP
Penulis lahir pada hari Kamis Legi tanggal 7 Maret 1957 di Surakarta, Jawa Tengah dari pasangan Sudarso (almarhum) dan Samining (almarhum). Penulis beristrikan Sri Bhudi Hastuti dan mempunyai empat orang anak, yaitu Nova Richardo, Mardya Cremona, Febry Laurino dan Maylana Nugrahany.
Penulis menyelesaikan pendidikan dasar sampai dengan menengah tingkat atas di Surakarta. Ayah penulis adalah seorang militer dan cacat tidak dapat berjalan akibat pertempuran pada masa perjuangan. Ayah penulis cacat sejak penulis berumur 10 bulan dan pensiun dipercepat. Dalam keadaan ekonomi yang miskin, penulis disamping sekolah siang hari, sore harinya membantu orang tua ikut mencari nafkah guna menambah penghasilan untuk biaya sekolah. Dengan ketabahan dan ketekunan penulis, akhirnya dapat menyelesaikan pendidikan menengah tingkat atas, yaitu Sekolah Menengah Ekonomi Atas (SMEA) Negeri II Surakarta pada tahun 1975. Setelah lulus SMEA, karena tidak mempunyai biaya, penulis mencari pekerjaan dan diterima sebagai pekerja harian lepas di Perum Perhutani Unit I Jawa Tengah di Semarang. Oleh karena dasar pendidikan penulis adalah ekonomi, penulis ditempatkan di bagian keuangan, meskipun sebenarnya Perum Perhutani bergerak dibidang kehutanan. Pada tahun yang sama (1975), karena keinginan penulis yang kuat untuk terus menambah ilmu, dengan upah yang masih kecil, penulis melanjutkan pendidikannya di Universitas Tujuh Belas Agustus 1945 (UNTAG) Semarang pada Fakultas Ekonomi jurusan Perusahaan (sekarang jurusan Manajemen), dengan biaya sendiri, sehingga setiap pagi sampai dengan siang bekerja, sorenya kuliah.
yaitu pada tahun 1993 penulis dipindahkan ke Cepu yaitu sebagai Kepala Tata Usaha pada Kesatuan Industri Pengolahan Kayu Jati. Hanya dalam waktu enam bulan, penulis dipromosikan kembali menjadi Kepala Seksi pada Satuan Pengawasan Intern Perum Perhutani Unit III Jawa Barat di Bandung. Pada tahun 1996, penulis dimutasikan ke Direksi Perum Perhutani di Jakarta sebagai Staf Khusus Akuntansi Keuangan pada Direktorat Keuangan. Setelah dua tahun, yaitu pada tahun 1998, penulis dimutasikan kembali ke Perum Perhutani Unit III Jawa Barat sebagai Kepala Seksi Anggaran dan Pembelanjaan pada Biro Keuangan. Kemudian setelah dua tahun di Bandung, yaitu pada tahun 2000, penulis dipromosikan lagi menjadi Kepala Sub Divisi Akuntansi Keuangan dan Verifikasi pada Direktorat Keuangan Direksi Perum Perhutai di Jakarta. Selanjutnya pada tahun 2003, dipromosikan kembali menjadi Kepala Biro Keuangan Perum Perhutani Unit III Jawa Barat. Pada tahun 2005, kembali penulis dipromosikan dan dipercaya menjadi Asisten Direktur Keuangan di Jakarta hingga sekarang.
DAFTAR ISI
Halaman
DAFTAR ISI ……….. xv
DAFTAR TABEL ………... xviii
DAFTAR GAMBAR ……….. xxii
DAFTAR LAMPIRAN ……… xxiv
BAB I PENDAHULUAN ………. 1
1.1 Latar Belakang Pemikiran …...……… 1
1.2 Tujuan Penelitian ……… 4
1.3 Rumusan Masalah ……… 5
1.4 Kerangka Pemikiran ……… 7
1.5 Ruang Lingkup Penelitian ………. 9
1.6 Kegunaan Penelitian ……… 9
BAB II TINJAUAN PUSTAKA ……….. 10
2.1 Siklus Hidrologi ……….. 10
2.2 Hutan ………..……….. 14
2.2.1. Pengertian Hutan ……… 14
2.2.2. Manfaat Hutan ……… 17
2.2.3. Pengurusan Hutan ……… 17
2.3 Iklim ……….. 18
2.3.1. Radiasi Matahari ………. 20
2.3.2. Temperatur .……… 22
2.3.3. Kelembaban ……… 23
2.3.4. Angin ……….. 25
2.4 Tanah ………..………. 27
2.5 Erosi Tanah ………...………... 29
2.5.1. Pengertian Erosi ……….. 29
2.5.2. Dampak Erosi ……….. 41
2.5.3. Erosi yang ditoleransi ……….. 42
2.7 Pengelolaan Hutan Berkelanjutan ……… 46
2.8 Kebijakan Publik ……….. 49
2.9 Sistem Pendukung Keputusan …..………... 51
2.10 Hasil Penelitian Terdahulu ……… 52
BAB II I KONDISI UMUM DAERAH PENELITIAN ……… 56
3.1 Kondisi Lingkungan Kawasan ………... 56
3.1.1 Letak dan Luas ………. 56
3.1.2 Topografi ……….. 63
3.1.3 Iklim ……….. 65
3.1.4 Tanah ………. 67
3.1.5 Vegetasi ………. 71
3.1.6 Erosi dan Sendimentasi ……… 72
3.1.7 Penggunaan Lahan ……… 73
3.2 Kondisi Sosial Ekonomi ……… 74
3.2.1 Jumlah Penduduk ..………. 75
3.2.2 Tingkat Pendidikan ……… 79
3.2.3 Pendapatan Masyarakat ………. 80
3.2.4 Mata Pencaharian………... 82
BAB IV METODOLOGI PENELITIAN ……….. 84
4.1 Lokasi dan Waktu Penelitian ………. .. 84
4.2 Variabel yang diamati dalam Penelitian ….……… 84
4.3 Bahan dan Alat Penelitian ……….. 87
4.4 Metodologi Analisis ………... 87
4.4.1 Metode Pengumpulan Data ……… 87
4.4.2 Metode analisis Data ……… 88
4.4.2.1 Dinamic System Analysis (DSA) ..……. 89
4.4.2.2 Contingent Valuation Method (CVM)…. 106
BAB V HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ………. 113
5.1. Hasil Penelitian ……… 113
5.1.1. Dampak Kerugian Pada Aspek Sosial ………. 113
5.1.2. Dampak Kerugian Pada Aspek Ekonomi ………… 116
5.1.3. Dampak Kerugian Pada Aspek Lingkungan ……… 120
5.1.4. Pengaruh Terhadap Pengelolaan Hutan Berkelanjutan 128
5.1.5. Formulasi Kebijakan ……… 140
5.2. Pembahasan ……… 156
5.2.1. Dampak Kerugian Pada Aspek Sosial ………. 156
5.2.2. Dampak Kerugian Pada Aspek Ekonomi ………… 158
5.2.3. Dampak Kerugian Pada Aspek Lingkungan ……… 159
5.2.4. Pengaruh Terhadap Pengelolaan Hutan Berkelanjutan 162
5.2.5. Formulasi Kebijakan ……… 167
5.2.6. Perumusan Skenario Kebijakan Mengatasi Illegal Logging ………. 169
BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN ………. 173
6.1. Kesimpulan ………... 173
6.2. Saran ……….. 177
DAFTAR PUSTAKA ……… 181
DAFTAR TABEL
Halaman 1 Tekanan masyarakat terhadap hutan di Pulau Jawa periode Tahun
2000 s/d 2004 ………..………... 3
2 Tekanan masyarakat terhadap hutan di Jawa Barat dan Banten periode Tahun 2000 s/d 2004 ………..……… .. 3
3 Suhu di dalam dan di luar hutan ……..……..……… 23
4 Kelembaban nisbi di dalam dan di luar hutan ………..………..……... 24
5 Nilai indek rataan aliran dalam tajuk (a) di hutan alam ………... 26
6 Kelas-kelas kecepatan angin menurut Beaufort ………..……… 26
7 Tekstur tanah ……… ……….. 27
8 Kecepatan, diameter, intensitas hujan dan daya pelepasan partikel tanah ……….. 33
9 Klasifikasi nilai K ………..………... 35
10 Nilai K (faktor erosidibilitas tanah) ………..……… 36
11 Curah hujan, panjang lereng dan kemiringan lereng ………..….. 38
12 Fase pertumbuhan tanaman ………..……… 39
13 Nilai factor C (pengelolaan tanaman) ……….…... 40
14 Nilai factor P untuk berbagai tindak konservasi tanah khusus ……… 41
15 Dampak erosi tanah ………. 42
16 Besarnya erosi yang dapat ditoleransi ………. 43
17 Prinsip, Kriteria dan Indikator SFM Lembaga Penilai ……… 48
18 Penyebaran kelas hutan KP Jati di wilayah KPH Ciamis pada awal jangka RPKH Tahun 2004-2013 ………..……….……… 58
19 Penyebaran kelas hutan KP Pinus di wilayah KPH Ciamis pada awal jangka RPKH 1996 – 2005 dan RPKH Revisi Jangka 2004-2013 …... 59
20 Klasifikasi kelerengan lapangan di wilayah KPH Ciamis .…………... 63
21 Luas hutan berdasarkan fungsinya di wilayah KPH Ciamis ……..…... 64
22 Klasifikasi kelerengan lapangan di wilayah KPH Sukabumi ……..…. 65
23 Luas hutan berdasarkan fungsinya di wilayah KPH Sukabumi …... 65
25 Rata-rata curah hujan dan hari hujan di wilayah KPH Sukabumi …. 67
26 Jenis-jenis tanah dan batuan induk di wilayah KPH Ciamis ..……... 68
27 Jenis-jenis tanah dan batuan induk di wilayah KPH Sukabumi .…… 70
28 Jenis vegetasi di wilayah KPH Ciamis ……….. 71
29 Penggunaan lahan di wilayah KPH Ciamis ………….………... 73
30 Penggunaan lahan di wilayah KPH Sukabumi …..……….………... 74
31 Kondisi kependudukan setiap kecamatan di wilayah KP jati KPH Ciamis ……… 75
32 Kondisi kependudukan setiap kecamatan di wilayah KP pinus KPH Ciamis ……… 76
33 Kondisi kependudukan setiap kecamatan di wilayah KPH Sukabumi 77
34 Tingkat pendidikan penduduk di wilayah KPH Ciamis ………..…… 79
35 Tingkat pendidikan penduduk di wilayah KPH Sukabumi ..……….. 80
36 Rata-rata pendapatan masyarakat di wilayah KPH Ciamis …………. 81
37 Rata-rata pendapatan masyarakat di wilayah KPH Sukabumi …….... 82
38 Jenis mata pencaharian penduduk di wilayah KPH Ciamis ……...…. 82
39 Jenis mata pencaharian penduduk di wilayah KPH Sukabumi ……... 83
40 Variabel yang diamati dalam penelitian ………. 84
41 Analisa kebutuhan stakeholder dalam analisis dampak kerugian akibat illegal logging ……….………….. 91
42 Analisis formulasi masalah dalam analisis dampak kerugian akibat illegal logging ………... 92
43 Faktor-faktor yang berpengaruh terhadap dampak kerugian akibat illegal logging ………….……….. 93
44 Matrik dampak kerugian akibat illegal logging ……….. 97
45 Variabel - variabel Aspek Sosial ……… 107
46 Variabel - variabel Aspek Ekonomi ……… 108
47 Variabel - variable Aspek Lingkungan ………. 109
48 Variabel - variable Aspek Kebijakan ……….. 110
49 KPH, nomor petak, luas hutan dan jenis tanaman lokasi penelitian ... 113
51 Jumlah kerugian illegal logging pada aspek sosial tahun pertama (1999) 115 52 Pendugaan kerugian illegal logging pada aspek sosial selama 20 tahun 115 53 Data perhitungan kerugian illegal logging pada aspek ekonomi …..…. 118 54 Jumlah kerugian illegal logging pada aspek ekonomi tahun pertama (1999) 119 55 Pendugaan kerugian illegal logging pada aspek ekonomi selama
20 tahun……….. 119
56 Data perhitungan kerugian illegal logging pada aspek lingkungan .…. 121 57 Jumlah kerugian illegal logging pada aspek lingkungan tahun pertama (1999) 122 58 Pendugaan kerugian illegal logging pada aspek lingkungan selama
20 tahun……….. 122
59 Suhu dan kelembaban hutan (rataan) sebelum (ada tegakan/pohon) dan
sesudah illega logging (tidak ada tegakan/pohon) di KPH Ciamis (KP Jati) … 125 60 Suhu dan kelembaban hutan (rataan) sebelum (ada tegakan/pohon) dan
sesudah illegal logging (tidak ada tegakan/pohon) di KPH Sukabumi
(KP Pinus) …... ... 126 61 Pendugaan total kerugian illegal logging KPH Ciamis dan KPH
Sukabumi selama 20 tahun ………. 127
62 Pendugaan total kerugian illegal logging per hektar KPH Ciamis dan
KPH Sukabumi selama 20 tahun ……… 128
63 Hasil kuesioner variabel yang berpengaruh terhadap pengelolaan hutan
berkelanjutan aspek sosial ... 131 64 Analisis korelasi antar variable pada aspek sosial ………. 132 65 Hasil kuesioner variabel yang berpengaruh terhadap pengelolaan hutan
berkelanjutan aspek ekonomi ... 133
66 Analisis korelasi antar variable pada aspek ekonomi………. 135
67 Hasil kuesioner variabel yang berpengaruh terhadap pengelolaan hutan
berkelanjutan aspek lingkungan ... 137 68 Analisis korelasi antar variable pada aspek lingkungan .………. 138 69 Hasil kuesioner variabel yang berpengaruh terhadap pengelolaan hutan
70 Analisis korelasi antar variable pada aspek kebijakan ………. 140 71 Pengelompokan kebijakan pengelolaan hutan berdasarkan ruang lingkup
dan periode kebijakan……… 145
72 Pengelompokan kebijakan pengelolaan hutan berdasarkan cakupan
wilayah dan aspek pengelolaan ………. 149
73 Pengelompokan kebijakan pengelolaan hutan berdasarkan aspek penge-
lolaan dan periode kebijakan ……… 149
74 Bentang Nilai (Value Intervals) aspek social, ekonomi dan lingkungan .. 152
75 Matrik Analisis Dominasi (Dominance Analysis)……….. 155
DAFTAR GAMBAR
Halaman
1 Kerangka pemikiran penelitian ………..…..……… 6
2 Grafik terjadinya illegal logging …………..………. 8
3 Siklis hidrologi ………..……… 12
4 World circulation of fresh water each year ………..………. 13
5 Skema persamaan USLE ………..………. 32
6 Nomograf erodibilitas tanah (K) ………... 35
7 Nomograf faktor LS ……….………. 37
8 Diagram Sustainable Forest Management………..……… 47
9 The cause of illegal logging ……….……… 53
10 Material balance model for illegal logging ……….. 55
11 Peta wilayah KPH Ciamis ……… 86
12 Peta wilayah KPH Sukabumi ……… 86
13 Sistematika metode analisis yang digunakan dalam penelitian ………. 89
14 Diagram lingkar sebab akibat pada penelitian ………... 94
15 Diagram input – output (black box) kebijakan mengatasi illegal logging 96
16 Alur perhitungan kerugian sosial ……….………. 105
17 Alur perhitungan kerugian ekonomi ……….………. 105
18 Alur perhitungan kerugian lingkungan ……….………. 106
19 Pengaruh illegal logging terhadap SFM ……….………... 110
20 Kerangka hubungan antara tahapan kebijakan, analisis kebijakan
dan rekomendasi alternatif kebijakan ………..……… 112
22 Kerugian illegal logging aspek ekonomi KPH Ciamis dan KPH
Sukabumi ……… 119
23 Kerugian illegal logging aspek lingkungan KPH Ciamis dan KPH
Sukabumi ……… 120
24 Suhu hutan sebelum (tidak ada tegakan/pohon), sesudah (ada tegakan/ pohon) dan setelah tumbuh vegetasi KPH Ciamis ... 124
25 Kelembaban hutan sebelum (tidak ada tegakan/pohon), sesudah (ada
tegakan/pohon) dan setelah tumbuh vegetasi KPH Ciamis ………..…. 124
26 Suhu hutan sebelum(tidak ada tegakan/pohon), sesudah (ada tegakan/ pohon) dan setelah tumbuh vegetasi KPH Sukabumi... 125
27 Kelembaban hutan sebelum(tidak ada tegakan/pohon), sesudah (ada
tegakan/pohon) dan setelah tumbuh vegetasi KPH Sukabumi …… ... 126
28 Total kerugian illegal logging KPH Ciamis dan Sukabumi ………….. 127
29 Kerugian illegal logging per hektar hutan KPH Ciamis dan KPH
Sukabumi ………... 128
30 Jumlah responden pada aspek sosial ………. 131
31 Jumlah responden pada aspek ekonomi ...………. 133
32 Jumlah responden pada aspek lingkungan ....………. 136
33 Jumlah responden pada aspek kebijakan ...………. 139
34 Pohon Nilai (Value Tree) kebijakan mengatasi illegal logging ……… 150
35 Bentang Nilai (Value Intervals) kebijakan mengatasi illegal logging .. 151
36 Bobot (Weight) kebijakan mengatasi illegal logging ……… .. 152
37 Bobot (Weight) aspek sosial ……….. 152
38 Bobot (Weight) aspek lingkungan……….. 153
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
1. Hasil perhitungan kerugian akibat illegal logging pada aspek Sosial ……. 187
2. Jumlah kerugian Sosial akibat illegal logging KPH Ciamis ……… 190
3. Jumlah kerugian Sosial akibat illegal logging KPH Sukabumi ……… 191
4. Hasil perhitungan kerugian akibat illegal logging pada aspek
Ekonomi ………. 192
5. Jumlah kerugian Ekonomi akibat illegal logging KPH Ciamis .……… 197
6. Jumlah kerugian Ekonomi akibat illegal logging KPH Sukabumi ………… 198
7. Hasil perhitungan kerugian akibat illegal logging pada aspek
Lingkungan ………. 199
8. Jumlah kerugian Lingkungan akibat illegal logging KPH Ciamis ………… 205
9. Jumlah kerugian Lingkungan akibat illegal logging KPH Sukabumi ……… 206
10.Total dan rataan per hektar kerugian akibat illegal logging KPH Ciamis ….. 207
11.Total dan rataan per hektar kerugian akibat illegal logging KPH Sukabumi.. 208
12.Hasil Perhitungan pengaruh illegal logging terhadap Sustainable
Forest Management (SFM) pada aspek sosial …..………. 209
13.Hasil Perhitungan pengaruh illegal logging terhadap Sustainable
Forest Management (SFM) pada aspek ekonomi ……….………. 211
14.Hasil Perhitungan pengaruh illegal logging terhadap Sustainable
Forest Management (SFM) pada aspek lingkungan ….………. 215
15.Hasil Perhitungan pengaruh illegal logging terhadap Sustainable
Forest Management (SFM) pada aspek kebijakan ………. 218
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Pemikiran
Sebagai sumberdaya alam, hutan merupakan ciptaan Tuhan yang tiada nilainya dan sangat bermanfaat bagi hidup dan kehidupan manusia serta bagi organisme lainnya. Selain bermanfaat bagi hidup dan kehidupan, hutan juga mempunyai fungsi pokok yaitu fungsi sosial, ekonomi dan lingkungan.
Fungsisosial dan ekonomi menempatkan hutan sebagai bagian dari upaya untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat dengan jalan memanfaatkan hutan dengan sebaik-baiknya. Pemanfaatan hutan dengan menggunakan kaidah-kaidah dan norma-norma yang berlaku menjadikan hutan akan lebih lestari dan akan bermanfaat bagi kepentingan generasi yang akan datang. Fungsi lingkungan yang antara lain sebagai fungsi hidro – orologi menempatkan hutan sebagai tonggak dan penopang pengaturan tata air dan perlindungan tanah, yang pada prinsipnya merupakan bagian yang terpenting dan tidak dapat dipisahkan bagi kehidupan. Fungsi ekologi yang lain yaitu fungsi estetika menempatkan hutan sebagai pelindung alam dan lingkungan dan menjadikan hutan sebagai paru-paru dunia. Hutan juga merupakan asset multiguna yang tidak saja menghasilkan produk hutan seperti kayu, arang, pulp dan lain-lain, namun juga memiliki nilai lain (non-use), seperti pelindung panas, pemecah angin dan penyelamat tanah terhadap bahaya erosi (Fauzi, 2004)T
Namun demikian dalam era globalisasi sekarang ini, kecenderungan masyarakat untuk memanfaatkan hutan, lebih dititikberatkan pada kepentingan ekonomi saja dengan mengabaikan fungsi sosial maupun fungsi lingkungan. Pemanfaatan hutan yang cenderung lebih dititikberatkan pada kepentingan ekonomi telah banyak memberikan dampak yang negatif bagi fungsi hutan itu sendiri maupun bagi kehidupan.
fungsi hutan ini adalah banyak terjadi banjir, tanah longsor, turunnya mutu tanah, perambahan hutan yang berakibat semakin menyempitnya areal hutan, berkurangnya pendapatan masyarakat di sekitar hutan, dan dampak penting lainnya adalah berkurangnya kemampuan biosfer menyerap CO2 yang berakibat
pada penambahan tinggi suhu di permukaan bumi. Saling ketergantungan antara hutan dengan masyarakat telah ditunjukkan dengan adanya kontribusi dan manfaat hutan kepada masyarakat. Sementara kontribusi masyarakat terhadap hutan sebenarnya adalah adanya upaya masyarakat untuk ikut serta dalam memelihara dan menjaga agar hutan selalu berkelanjutan. Namun demikian pada kenyataannya kontribusi masyarakat terhadap hutan justru sebaliknya. Hal ini nampak pada adanya tekanan dan perlakuan masyarakat terhadap hutan sangat berlebihan dan bahkan cenderung merusak (destruktif). Salah satu bentuk tekanan tersebut adalah adanya kegiatan penebangan liar atau illegal logging.
Berdasarkan Buku Statistik Perum Perhutani tahun 2002 sampai dengan tahun 2006, tekanan masyarakat terhadap hutan di Pulau Jawa menunjukkan bahwa, meskipun mengalami penurunan dari tahun ke tahun, pencurian kayu masih cukup tinggi, yaitu pada tahun 2002 sebanyak 1.539.334 pohon menjadi sebesar 126.024 pohon pada tahun 2006. Demikian juga untuk bibrikan atau perambahan hutan, yang pada tahun 2002 seluas 9.328 ha, pada tahun 2006 hanya mencapai seluas 1.200 ha. Sementara itu untuk babat liar tanaman pada tahun 2003 juga menunjukkan realisasi yang paling besar yaitu mencapai 1.138.531 pohon dan menurun menjadi 202.581 pohon pada tahun 2006. Tingginya angka realisasi pada tahun 2002 tersebut disebabkan adanya krisis multi dimensi yang berkelanjutan, sehingga mengakibatkan tekanan ekonomi terhadap masyarakat di sekitar hutan cukup berat.
Tabel 1. Tekanan masyarakat terhadap hutan di Pulau Jawa periode tahun 2002 s/d 2006
No Uraian Sat. 2002 2003 2004 2005 2006
1 Pencurian Pohon Phn 1.539.334 501.797 325.242 519.844 126.024
2 Bibrikan Hutan Ha 9.328 2.117 1.023 1.619 1.200
3 Babat liar tanaman Phn 390.745 1.138.531 110.473 91.363 202.581
4 Penggembalaan Ha 952 705 347 397 290
Sumber : Buku Statistik Perum Perhutani tahun 2002-2006
Sementara itu tekanan masyarakat terhadap hutan khususnya di Jawa Barat juga menunjukkan realisasi yang cukup besar. Pencurian pohon pada tahun 2002 mencapai 39.411 pohon dan pada tahun 2006 menurun hanya mencapai 8.261 pohon. Bibrikan hutan yang paling besar adalah pada tahun 2002 yaitu mencapai 8.648 ha. Sedangkan babat liar tananam yang paling tinggi pada tahun 2004 yaitu mencapai 16.279 pohon. Kondisi yang seperti inilah yang perlu mendapatkan perhatian pemerintah dan masyarakat bersama, agar tekanan terhadap hutan sebagai penopang kehidupan, dapat dikurangi dan bahkan sebaliknya justru akan memberikan keseimbangan antara apa yang diberikan oleh hutan kepada masyarakat dengan apa yang diberikan masyarakat kepada hutan. Tekanan masyarakat terhadap hutan di Jawa Barat ditunjukkan pada Tabel 2 berikut :
Tabel 2. Tekanan masyarakat terhadap hutan di Jawa Barat periode tahun 2002 s/d 2006
No Uraian Sat. 2002 2003 2004 2005 2006
1 Pencurian Pohon Phn 39.411 30.721 10.694 8.796 8.201
2 Bibrikan Hutan Ha 8.648 666 667 1,324 491
3 Babat liar tanaman Phn - 4.103 16.279 2.296 15.004
4 Penggembalaan Ha 65 101 116 124 50
Sumber : Buku Statistik Perum Perhutani Unit III Jawa Barat dan Banten Tahun 2002-2006
Kegiatan illegal – logging dilakukan oleh pihak yang tidak bertanggung jawab dan terjadi karena beberapa hal yang kesemuanya saling terkait. Penyebab tersebut adalah :
1. Pertumbuhan penduduk yang begitu cepat menyebabkan meningkatnya
2. Adanya krisis ekonomi berkelanjutan mengakibatkan tingginya harga barang konsumsi, sementara masyarakat di sekitar hutan yang sudah miskin tidak lagi mampu mencukupi kebutuhan hidupnya, sehingga salah satu cara yang paling mudah adalah memanfaatkan hutan untuk kepentingan diri sendiri dengan jalan memanfaatkan hutan dengan tanpa memperhatikan kaidah pemanfaatan hutan, khususnya kayu, dengan cara yang tidak benar.
3. Krisis ekonomi yang berkelanjutan yang menyebabkan terjadinya krisis multi dimensi mengakibatkan perusahaan yang bergerak di sektor kehutanan, khususnya industri kayu, banyak mengalami kemunduran usaha, karena tingginya harga barang produksi, sehingga untuk mendapatkan bahan baku kayu dengan harga murah dilakukan pembelian kayu tidak syah yang berasal dari hasil praktek illegal logging.
4. Lemahnya penegakan hukum, karena tidak ada concerted action yang dapat menyuburkan praktek korupsi, kolusi dan nepotisme. Disamping itu kurang dana atau lack of budget dalam upaya mendukung kemampuan politik dan kurangnya tekanan publik. Pada tataran masyarakat, kondisi moral, sosial dan budaya masyarakat, serta aparat cenderung tidak kondusif terhadap kelestarian hutan dan di lain pihak masih banyak industri pengolahan kayu membeli dan mengolah kayu hasil illegal logging.
1.2. Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah untuk membangun suatu formulasi kebijakan yang dapat mengatasi praktek illegal logging dalam rangka mencapai pengelolaan hutan berkelanjutan ( Sustainable Forest Management – SFM ). Untuk mencapai tujuan dimaksud, diperlukan beberapa kajian sebagai berikut : a. Menghitung dampak kerugian akibat illegal logging, baik dari aspek sosial,
ekonomi maupun lingkungan.
b. Identifikasi faktor atau elemen yang berpengaruh dan selanjutnya menetapkan faktor dominan terhadap terjadinya praktek illegal logging.
d. Menganalisis implikasi kebijakan mengatasi kegiatan illegal logging.
e. Merancang formulasi kebijakan yang dapat dengan tepat mengatasi kegiatan illegal logging.
f. Membuat rekomendasi untuk menetapkan kebijakan dalam mempertahankan pengelolaan hutan berkelanjutan ( Sustainable Forest Management – SFM ).
1.3. Rumusan Masalah
Permasalahan yang sering timbul dalam pengelolaan hutan berkelanjutan ( Sustainable Forest Management – SFM ) adalah kebijakan dan regulasi dari pemerintah baik yang bersifat sektoral maupun multi-sektoral belum mampu mengatasi semakin berkembangnya kegiatan illegal logging. Hal tersebut terjadi karena beberapa hal antara lain :
1. Terjadinya kesalahan dan kekurangseragaman persepsi pemerintah daerah terhadap Undang-undang Otonomi Daerah utamanya dibidang kehutanan, sehingga penanganan dan pengelolaan hutan berjalan sendiri-sendiri dan bahkan ada kecenderungan masing-masing daerah untuk memikirkan kepentingan daerahnya, tanpa memperhatikan kepentingan nasional.
2. Meskipun pemberdayaan Masyarakat Desa Hutan (MDH) terus dilakukan oleh pemerintah, namun upaya untuk meningkatkan kesejahteraan dan taraf hidup masyarakat desa hutan belum dapat dicapai, sehingga masyarakat desa hutan cenderung untuk memanfaatkan hutan di sekitarnya, dalam upaya memenuhi kebutuhan hidupnya, dan bahkan dalam memanfaatkan hutan tanpa menggunakan kaidah-kaidah yang benar.
3. Pengelolaan hutan oleh masyarakat yang tidak menggunakan kaidah-kaidah yang benar, mengakibatkan terganggunya ekosistem hutan dan pada akhirnya akan memperburuk kondisi hutan dan menjadikan hutan tidak berkelanjutan. 4. Peningkatan kebutuhan kayu yang tidak diimbangi dengan kecukupan luasan
5. Kegiatan illegal logging yang semakin berkembang akibat meningkatnya nilai
ekonomi kayu yang tidak diimbangi dengan penegakan hukum (law
enforcement) yang tegas dan tanpa kecuali, mengakibatkan aktor-aktor yang berperan aktif semakin leluasa untuk terus melakukan kegiatannya. Kondisi ini digambarkan pada Gambar 1.
Volume against age curve
Gambar 1. Grafik terjadinya illegal logging Illegal logging
Loging
Non Illegal
Government Loss Value
of timber
Law of Enforcement
Selanjutnya permasalahan yang terjadi dengan adanya illegal logging adalah : 1. Timbulnya kerugian baik dari aspek sosial, ekonomi maupun lingkungan yang secara sistematis dapat mengganggu kelangsungan hidup dan kehidupan masyarakat dan pemerintah.
2. Terjadinya pengaruh terhadap pengelolaan hutan berkelanjutan, sehingga dikhawatirkan keberlanjutan fungsi hutan akan semakin terganggu dan akibatnya akan berpengaruh juga terhadap kelangsungan hidup dan kehidupan masyarakat dan pemerintah.
3. Kebijakan-kebijakan pemerintah pusat maupun daerah, baik dibidang otonomi daerah, kehutanan maupun lingkungan hidup masih belum mampu secara sistematis mengatasi terjadinya illegal logging.
Memperhatikan dampak yang mengganggu kehidupan masyarakat, baik sosial, ekonomi maupun lingkungan, diperlukan suatu formulasi kebijakan yang dapat mengatasi praktek illegal logging. Dalam upaya menanggulangi kegiatan illegal logging, secara internasional telah mendapat dukungan Presiden Amerika George W. Bush dalam Global Climate Change pada tanggal 14 Februari 2002 yang menyatakan “ …I’ve also ordered the Secretary of State to develop a new initiative to help developing countries stop illegal logging, a practice that destroys biodiversity and releases millions of tons of greenhouse gases into the atmosphere.”
1.4. Kerangka Pemikiran
pemerintah yang dengan cepat dan tepat dapat mengatasi illegal - logging. Kebijakan dari hasil penelitian ini diharapkan dapat mengendalikan praktek illegal – logging dan dapat menstimulasi suatu pengelolaan hutan berkelanjutan dimasa mendatang. Secara garis besar kerangka pemikiran dalam penelitian ini dapat dilihat pada Gambar 2.
Gambar 2. Kerangka Pemikiran Penelitian Kebijakan Pemerintah
Hutan
Fungsi Sosial
Fungsi Ekonomi
Fungsi Lingkungan
Hutan Berkelanjutan
Krisis Multi Dimensi Illegal
Logging
Formulasi Kebija-kan Mengatasi Illegal Logging Dampak Kerugian Sosial, Ekonomi dan
Lingkungan
Pengelolaan Hutan Berkelanjutan Otonomi Daerah
Kehutanan Lingkungan Hidup
Nilai ekonomi kayu, kebutuhan dan penyediaan kayu, penegakan hukum
1.5. Ruang Lingkup Penelitian
Ruang lingkup penelitian dibatasi pada beberapa hal sebagai berikut :
b. Pembuatan analisis kebutuhan, dimana pelaku sistem terkait yang dapat mengatasi masalah terjadinya illegal logging meliputi : (a) masyarakat, (b) Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), (c) pemerintah, (d) swasta, dan (e) perguruan tinggi.
c. Hutan dalam penelitian ini adalah hutan jati dan pinus.
1.6.. Kegunaan Penelitian
Hasil penelitian diharapkan memberi manfaat sebagai berikut : 1. Ilmu Pengetahuan
a. Memberikan hasil perhitungan secara ilmiah mengenai kerugian akibat illegal logging dari aspek sosial, ekonomi dan lingkungan.
b. Memberikan kontribusi pemikiran secara ilmiah dalam rangka
pengelolaan hutan berkelanjutan ( Sustainable Forest Management – SFM ).
2. Stakeholder
Hasil penelitian ini sebagai alat informasi bagi stakeholder tentang besarnya dampak illegal logging dari aspek sosial, ekonomi dan lingkungan, sehingga dapat diciptakan kesadaran bagi seluruh stakeholder akan pentingnya kondisi hutan yang berkelanjutan.
3. Pemerintah
a. Memberikan alternatif formulasi kebijakan dalam rangka mengatasi illegal logging dan upaya menciptakan pengelolaan hutan berkelanjutan ( Sustainable Forest Management – SFM )
b. Diperoleh gambaran tentang besarnya dampak kerugian material dan non material akibat illegal logging dari aspek sosial, ekonomi dan lingkungan.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Siklus Hidrologi
Menurut Federal Council for Science and Technology USA dalam Harto (1993), hidrologi merupakan ilmu yang mempelajari seluk beluk air, kejadian dan
distribusinya, sifat alami dan sifat kimianya serta reaksinya terhadap kebutuhan
manusia. Sedangkan menurut Asdak (2002), hidrologi adalah ilmu yang
mempelajari air dalam segala bentuknya (cairan, gas, padat) pada, dalam dan
diatas permukaan tanah. Termasuk didalamnya adalah penyebaran daur dan
perilakunya, sifat-sifat fisika dan kimianya, serta hubungannya dengan
unsur-unsur hidup dalam air itu sendiri. Hidrologi di Indonesia baru dikenal sekitar
tahun enampuluhan dan pada tahun tujuh puluhan berkembang cukup pesat, hal
tersebut ditandai dengan adanya pertemuan-pertemuan ilmiah yang sering
diadakan baik dalam bentuk seminar, lokakarya maupun diskusi-diskusi baik yang
diselenggarakan oleh perguruan tinggi maupun oleh instansi pemerintah. Kondisi
hidrologi di Indonesia (dan dimana pun) adalah khas, sehingga tidak semua cara
dan semua konsep dapat digunakan untuk memecahkan masalah hidrologi di
Indonesia (Harto, 1993). Selanjutnya menurut Asdak (2002) dalam menelaah
permasalahan hidrologi khususnya daerah tangkapan air ( catchment hydrology ) seharusnya lebih ditekankan pada tinjauan menyeluruh komponen-komponen
daur hidrologi, pengaruh antar komponen serta kaitannya dengan komponen lain
di luar bidang hidrologi. Dalam upaya memecahkan masalah hidrologi diperlukan
analisis hidrologi yang lebih matematis dalam perhitungan-perhitungannya,
utamanya statistika yang bersifat probabilistik, misalnya analisis frekuensi banjir,
curah hujan atau analisis regresi dan korelasi antara tinggi muka air dengan debit
aliran (stage discharge rating curve) atau kurva hubungan antara debit aliran dengan muatan sedimen (sediment disharge rating curve).
Dalam upaya memecahkan masalah hidrologi seharusnya dimengerti
terlebih dahulu tentang proses siklus air dimuka bumi ini, yang biasa disebut
air yang secara terus menerus berlanjut dalam kehidupan dialam jagat raya ini.
Proses tersebut berawal dari sinar matahari sebagai sumber tenaga bagi alam.
Dengan sinar tersebut seluruh permukaan bumi menjadi panas dan timbul
penguapan, baik dari permukaan tanah, permukaan pohon-pohonan maupun
permukaan air (water body). Penguapan yang terjadi dari permukaan air biasa disebut sebagai evaporasi, sedangkan penguapan yang terjadi dari permukaan pohon-pohonan dikenal sebagai transpirasi. Akibat dari penguapan tersebut, terbentuklah awan, dan apabila keadaan klimatologik memungkinkan, awan
tersebut terbawa oleh angin kedarat dan terbentuklah awan pembawa hujan (rain cloud). Apabila rain cloud tersebut berat butir-butir air hujannya lebih besar dari gaya tekan udara, maka terjadilah hujan. Air hujan yang turun, akan sampai
dipermukaan tanah dan ada yang sebagian tertahan oleh pohon-pohonan. Jika
kapasitas dedaunan sudah penuh, air akan turun melalui cabang pohon dan
menetes kebawah (Brown and Barker, 1970 ; Regerson and Byrnes, 1968 ;
Helvey, 1967 dalam Supirin, 2002). Jumlah air yang tertahan oleh hujan lebat
berkisar antara 8 sampai 45% dari total hujan ( Dunne and Leopold, 1978 dalam
Suripin 2002). Dan pada hutan kayu campuran, besarnya intersepsi rata-rata
sebesar 20% (Trimble and Wietzman, 1954 dalam Supirin, 2001). Air yang jatuh
dipermukaan tanah terpisah menjadi dua bagian, yaitu aliran limpasan (overland flow) yang mengalir dipermukaan dan limpasan (run-off) dan selanjutnya merupakan aliran sungai yang menuju ke laut. Sementara itu aliran limpasan
sebelum mencapai ke sungai, tertahan dipermukaan tanah dalam tampungan
cekungan (depression storage), dan sebagian lagi masuk dalam tanah melalui proses infiltration. Sebagian dari air ini diteruskan sebagai air perkolasi yang mencapai akuifer (ground water storage) dan sebagian dari air ini juga mengalir kesungai yang selanjutnya kelaut lagi. Kemudian air sungai atau air laut mendapat
sinar matahari terjadi penguapan atau evaporasi dan begitu seterusnya.
Gambar 3 Siklus hidrologi ( Warshall, 1980 dalam Arsyad, 1989)
Seperti diketahui dari siklis hidrologi diatas, bahwa ketika hujan dan air
jatuh dipermukaan tanah, terpisah menjadi aliran limpasan (overland flow) yang mengalir dipermukaan dan limpasan (run-off) yang merupakan aliran sungai dan menuju kelaut. Air permukaan meliputi air sungai (rivers), saluran (streams), sumber (springs), danau dan waduk. Menurut Supirin (2002), jumlah air permukaan diperkirakan hanya 0,35 juta km3 atau hanya satu persen dari air
tawar yang ada dibumi. Air permukaan berasal dari aliran langsung air hujan,
lelehan salju dan aliran yang berasal dari air tanah. Aliran permukaan akan terjadi
apabila intensitas hujan lebih tinggi dari pada laju infiltrasi. Selanjutnya apabila
laju infiltrasi telah terpenuhi, air mengalir menuju cekungan-cekungan
dipermukaan tanah. Kemudian apabila cekungan-cekungan telah penuh terisi,
aliran permukaan mulai terjadi. Faktor-faktor yang dapat mempengaruhi aliran
permukaan dikelompokkan menjadi dua yaitu pertama yang berkaitan dengan
iklim, utamanya curah hujan dan kedua karakteristik daerah aliran sungai (DAS).
Sedangkan karakteristis DAS yang dapat mempengaruhi besar kecilnya aliran
permukaan adalah : (1) luas dan bentuk DAS, (2) topografi dan (3) tata guna
Lebih lanjut ketika air masuk dalam tanah melalui infiltrasi sebagian dari
air ini diteruskan sebagai air perkolasi yang mencapai akuifer (ground water storage) dan sebagian dari air ini juga mengalir kesungai dan laut. Air yang mencapai akuifer tertahan dan menjadi gudang air atau menjadi air tanah. Air
tanah ini menjadi sumber air tawar yang paling besar di planet bumi ini. Dari hasil
penelitian diperkirakan air tanah ini merupakan 30 % dari total air tawar dibumi
atau 10,5 juta km3. Menurut Arakeri dan Donahue (1984) jumlah air yang ada
didunia ini diperkirakan sebanyak 1,5 milyar km3. Kira-kira 95% nya adalah air
laut asin (salt water), 5% nya adalah air segar (fresh water). Setiap tahun air hujan (precipitation) dan penguapan air (evaporation) dalam jumlah yang sama, yaitu 380.000 km3 (Arakeri dan Donahue, 1984). Hal tersebut tampak pada Gambar 4.
380.000 km3 Precipitation
96.000 km3 Precipitation 284.000 km3 Precipitation
380.000 km3 Evaporation
60.000 km3 Evaporation 320.000 km3 Evaporation
OCEANS LAND
Gambar 4 Worldcirculation of fresh water each year (Arakeri and Donahue, 1984)
Air tanah yang diambil sebagai sumber air bersih mempunyai
keuntungan bila dibanding dengan air permukaan. Keuntungan tersebut antara
lain : (1) lebih dekat, sehingga lebih murah, (2) debitnya relatif stabil, (3) lebih
Pada dasarnya air yang kita jumpai dialam ini jarang yang dalam keadaan
murni. Meskipun air hujan, pada awalnya murni, tetapi sebenarnya telah
mengalami reaksi dengan gas-gas didalam bumi ini. Kualitas air merupakan
keadaan dan sifat fisik, kimia dan biologis suatu perairan yang dibandingkan
dengan persyaratan untuk keperluan rumah tangga, air minum, pertanian,
perikanan atau industri. Sedangkan Supirin (2002) menyatakan bahwa kualitas air
merupakan tingkat kesesuaian air terhadap penggunaan tertentu dalam memenuhi
kebutuhan hidup manusia, mulai dari air untuk memenuhi kebutuhan langsung
yaitu air minum, mandi dan cuci, air irigasi atau pertanian, peternakan, perikanan,
rekreasi dan transpotasi. Sifat fisik yang dapat mempengaruhi kualitas air meliputi
: (1) bahan padat keseluruhan yaitu baik yang terapung maupun yang terlarut, (2)
kekeruhan, (3) warna, (4) bau dan rasa, dan (5) suhu air. Sifat kimia dari air
meliputi (1) pH, (2) alkalinitas dan (3) kesadahan (hardness). Sedangkan sifat biologinya adalah bahwa air tanah lebih bersih dibanding dengan air permukaan
yang banyak mengandung berbagai macam organisme hidup. Kualitas air bersih
pada dasarnya dapat ditentukan dengan cara mengukur keberadaan maupun
ketidakberadaan bakteri yang dikandungnya.
2.2. Hutan
2.2.1. Pengertian Hutan
Hutan dalam bahasa Inggris disebut forest artinya rimba atau wana (Khoiry et al dalam Sukardi 2005). Dalam Ensiklopedia Indonesia (Shadily et al) hutan mempunyai 4 (empat) arti yaitu : (1) sebuah nasyarakat tumbuhan yang
tumbuh rapat bersama; terutama terdiri atas pohon-pohon dan vegetasi berkayu
lainnya, (2) sebuah ekosistem dengan ciri-ciri : pada penutup berupa pohon-pohon
yang rapat dan luas, (3) sebuah areal yang dikelola untuk produksi kayu dan hasil
hutan lainnya atau dipelihara bagi tujuan keuntungan tidak langsung; misalnya
untuk perlindungan daerah aliran sungai atau rekreasi dan (4) suatu wilayah yang
dinyatakan sebagai hutan melalui suatu undang-undang. Dalam pengertian
masyarakat umum, hutan merupakan sekumpulan pohon-pohon yang besar yang
terkesan angker. Atau tempat bersarangnya para perampok atau penyamun dan
penjahat lainnya, sehingga masyarakat terkesan takut untuk masuk dalam hutan.
Sementara itu Dangler (Salim, 2003) berpendapat bahwa hutan adalah sejumlah
pepohonan yang tumbuh pada lapangan yang cukup luas, sehingga suhu,
kelembaban, cahaya, angin dan sebagainya tidak lagi menentukan lingkungannya,
akan tetapi dipengaruhi oleh tumbuh-tumbuhan / pepohonan baru asalkan tumbuh
pada tempat yang cukup luas dan tumbuhannya cukup rapat (horizontal dan vertical). Dangler menitik beratkan pada unsur lingkungan yang meliputi pohon, suhu, kelembaban, cahaya dan angin. Lebih lanjut Odum (1997) mengemukakan
bahwa hutan sebagai suatu ekosistem, bukan hanya terdiri dari komunitas
tumbuhan dan hewan saja, akan tetapi meliputi juga keseluruhan interaksinya
dengan faktor tempat tumbuh dan lingkungannya.
Menurut Undang-undang Republik Indonesia Nomor 41 tahun 1999
tentang Kehutanan, pasal 1 ayat 2 menyebutkan bahwa hutan adalah suatu
kesatuan ekosistem berupa hamparan lahan berisi sumber daya alam hayati yang
didominasi pepohonan dalam persekutuan alam lingkungannya, yang satu dengan
lainnya tidak dapat dipisahkan. Unsur yang penting menurut Undang-undang ini
adalah adanya dominasi pepohonan dan persekutuan alam lingkungan. Dari
beberapa pengertian hutan diatas dapat disimpulkan bahwa terdapat tiga unsur
yang penting dalam pengertian hutan, yaitu (1) areal yang ditumbuhi pepohonan,
(2) merupakan sumber daya alam dan (3) persekutuan alam lingkungan yang satu
dengan lainnya tidak dapat dipisahkan.
Dalam perkembangannya, mengingat hutan merupakan sumberdaya alam
yang dapat dimanfaatkan dan merupakan persekutuan alam lingkungan, hutan
dibagi menjadi beberapa jenis. Sesuai dengan Undang-undang Nomor 41 tahun
1999, hutan dibagi menjadi 2 (dua) jenis, yaitu berdasarkan (1) statusnya, dan (2)
fungsinya. Berdasarkan statusnya hutan dibagi menjadi :
a. Hutan Negara yaitu hutan hutan yang berada pada tanah yang tidak dibebani
hak atas tanah.
Berdasarkan fungsinya hutan dibagi menjadi :
a. Hutan konservasi yaitu hutan dengan ciri khas tertentu, yang mempunyai
fungsi pokok pengawetan keanekaragaman tumbuhan dan satwa serta
ekosistemnya. Berdasarkan pasal (7) hutan konservasi dibagi menjadi :
(1) Kawasan hutan suaka alam, yaitu hutan dengan ciri khas tertentu, yang
mempunyai fungsi pokok sebagai kawasan pengawetan
keanekara-gaman tumbuhan dan satwa serta ekosistemnya, yang juga berfungsi
sebagai wilayah sistem penyangga kehidupan.
(2) Kawasan hutan pelestarian alam, yaitu hutan dengan ciri khas tertentu,
yang mempunyai fungsi pokok perlindungan sistem penyangga
kehidupan, pengawetan keanekaragaman jenis tumbuhan dan satwa
serta pemanfaatan secara lestari sumberdaya alam hayati dan
ekosistemnya
(3) Taman Buru yaitu kawasan hutan yang ditetapkan sebagai tempat
wisata berburu
b. Hutan Lindung yaitu kawasan hutan yang mempunyai fungsi pokok sebagai
perlindungan sistem penyangga kehidupan untuk mengatur tata air, mencegah
banjir, mengendalikan erosi, mencegah intrusi air laut dan memelihara
kesuburan tanah.
c. Hutan Produksi yaitu kawasan hutan yang mempunyai fungsi pokok
memproduksi hasil hutan
Salah satu unsur yang penting dalam pengertian hutan menurut Undang-undang
Nomor 41 tahun 1999 adalah adanya penetapan pemerintah. Hal ini mempunyai
konsekuensi bahwa kedudukan hutan secara yuridis menjadi penting karena (1)
agar setiap orang atau badan tidak dapat seenaknya atau sewenang-wenang untuk
membabat atau menebang hutan dan (2) mewajibkan kepada pemerintah untuk
mengelola hutan dengan sebaik-baiknya agar dapat berfungsi dan bermanfaat bagi
2.2.2. Manfaat Hutan
Sebagai bagian dari sumber daya alam, hutan telah memberikan manfaat
bagi hidup dan kehidupan alam disekitarnya. Menurut Ngandung dalam Salim
(2003) ada tiga manfaat hutan yaitu (1) manfaat secara langsung, (2) manfaat
tidak langsung dan (3) manfaat lainnya. Sementara itu menurut Salim (2003)
klasifikasi manfaat hutan hanya dibagi dua yaitu (1) manfaat langsung dan (2)
manfaat tidak langsung.
a. Manfaat langsung memberikan pengertian bahwa hutan dapat dimanfaatkan
secara langsung oleh masyarakat. Manfaat langsung dimaksud adalah bahwa
masyarakat memanfaatkan hasil hutan secara langsung, misalnya mengambil
kayu sebagai hasil utama hutan.
b. Manfaat tidak langsung yaitu mafaat yang secara tidak langsung dapat
dinikmati oleh masyarakat. Manfaat secara tidak langsung antara lain dapat
mengatur tata air, mencegah erosi, untuk areal wisata, menyerap
karbondioksida, meningkatkan devisa negara dan lainnya.
2.2.3. Pengurusan Hutan
Pengurusan berarti memberikan suatu perhatian kepada sesuatu dalam
upaya memelihara agar lebih dapat dimanfaatkan secara maksimal. Pengurusan
hutan sebagaimana dimaksud dalam pasal 4 ayat (2) Undang-undang Republik
Indonesia Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan adalah bertujuan untuk
memperoleh manfaat yang sebesar-besarnya serta serba guna dan lestari untuk
kemakmuran rakyat. Selanjutnya dalam Undang-undang Republik Indonesia
Nomor 41 Tahun 1999 tersebut pengurusan yang dimaksud adalah meliputi
kegiatan penyelenggaraan : (1) perencanaan hutan (2) pengelolaan hutan (3)
penelitian dan pengembangan, pendidikan dan latihan, serta penyuluhan
kehutanan dan (4) pengawasan. Perencanaan kehutanan merupakan pedoman dan
arah yang menjamin tercapainya tujuan penyelenggaraan kehutanan. Sesuai
dengan pasal 12 Undang-undang Republik Indonesia Nomor 41 Tahun 1999,
perencanaan kehutanan meliputi : (1) inventarisasi hutan (2) pengukuhan
pengelolaan hutan dan (5) penyusunan rencana kehutanan. Kemudian pengelolaan
hutan sebagaimana dimaksud dalam pasal 10 ayat (2) Undang-undang Republik
Indonesia Nomor 41 Tahun 1999 meliputi (1) tata hutan dan penyusunan rencana
pengelolaan hutan (2) pemanfaatan hutan dan penggunaan kawasan hutan (3)
rehabilitasi dan reklamasi hutan dan (4) perlindungan dan konservasi alam.
2.3. Iklim
Iklim adalah keadaan cuaca pada suatu tempat tertentu dalam kurun waktu
yang cukup panjang dan bersifat tetap. Sedangkan cuaca adalah keadaan pada
waktu dan tempat tertentu yang sifatnya tidak tetap atau berubah-rubah.
Sementara itu iklim menurut Idris (1996) adalah sintesis hasil pengamatan cuaca
untuk memperoleh deskripsi secara statistik mengenai keadaan atmosfir pada
daerah yang sangat luas. Selanjutnya Kartasapoetra (2004) mengatakan bahwa
iklim adalah rata-rata keadaan cuaca dalam jangka waktu yang cukup lama,
minimal 30 tahun, yang sifatnya tetap, dan cuaca adalah keadaan atau kelakuan
atmosfir pada waktu tertentu yang sifatnya berubah-rubah dari waktu ke waktu.
Iklim juga berarti suatu keadaan cuaca rata-rata dalam waktu beberapa puluh
tahun, iklim tidak hanya menggambarkan cuaca rata-rata tetapi juga pengaruhnya
yang terjadi, dapat diperkirakan dengan dasar pengamatan paling sedikit 25 tahun
(Saryono, 2002).
Koppen dalam Kartasapoetra (2004) membagi iklim menjadi 5 (lima )
macam, yaitu :
1. Iklim Tipe A : Tropical rainy climates (iklim hujan tropis) AF : Tropical rainy forest climate
Am : Monsoon climate An : Savana climate
2. Iklim Tipe B : Dry climates (iklim kering) Bs : Steppe climate
3. Iklim Tipe C : Temperate rainy climate (iklim hujan cukup panas) Cw : Warm with dry winter
Cf : Warm moist in all season Cs : Snow forest with dry winter
4. Iklim Tipe D : Cold snow forest climate (iklim hujan salju) Df : Snow forest moist in all season
Dw : Snow forest with dry winter 5. Iklim Tipe E : Polar climates (iklim kutub)
Et : Tundra
Ef : Perpectual snow and ice
Sedangkan Schmidt-Fergusson membagi iklim menjadi :
1. A : sangat basah 0,000 ≤ Q < 0,143
2. B : basah 0,143 ≤ Q < 0,333
3. C : agak basah 0,333 ≤ Q < 0,600
4. D : sedang 0,600 ≤ Q < 1,000
5. E : agak kering 1,000 ≤ Q < 1,670
6. F : kering 1,670 ≤ Q < 3,000
7. G : sangat kering 3,000 ≤ Q < 7,000
8. H : luar biasa kering 7,000 ≤ Q < -
Dimana :
Jumlah rataan curah hujan bulan kering
Q = --- X 100% (1) Jumlah rataan curah hujan bulan basah
Iklim merupakan kebiasaan alam yang digerakkan oleh gabungan beberapa unsur
yaitu radiasi matahari, temperature, kelembaban, awan, spesifikasi, evaporasi,
tekanan udara dan angin (Kartasapoetra, 2004). Disamping unsur-unsur yang
dimiliki iklim, pada tempat – tempat tertentu akan terjadi perbedaan iklim yang
disebabkan oleh faktor iklim atau pengendali iklim, yaitu (1) ketinggian tempat,
2.3.1. Radiasi matahari
Matahari merupakan sumber energi bagi hidup dan kehidupan dibumi ini.
Dengan matahari, hidup dan kehidupan akan berlangsung terus menerus dan
berkembang sesuai dengan perkembangan jaman. Energi matahari disamping
sebagai penggerak hidup dan kehidupan, sekaligus merupakan penyebab utama
dari perubahan atau pergerakan dalam atmosfir bumi. Oleh karena itu energi
matahari dianggap juga sebagai pengendali dari iklim dan cuaca. Matahari
memancarkan sinarnya ke bumi pada umumnya dengan gelombang pendek.
Jumlah flux (aliran) radiasi matahari yang diterima atmosfer yang tegak lurus pada suatu bidang seluas 1 (satu) M2 dalam satu menit (Kartasapoetra, 2004).
Stefan Boltzman dalam Kartasapoetra (2004) merumuskan sebuah hukum flux
radiasi matahari adalah sebagai berikut :
F =
δ
T
4(2)
Dimana :
F = flux radiasi (ly min -1)
δ
= tetapan Stefan Boltzman T = temperature dalam oKRumus diatas menunjukkan bahwa semakin besar suhu semakin besar pula radiasi
yang dikeluarkan. Jumlah radiasi yang diterima oleh bumi tergantung pada : (1)
jarak bumi dari matahari, (2) intensitas radiasi matahari, (3) lamanya penyinaran
matahari dan (4) atmosfer. Dalam perjalanannya, sinar matahari sampai kebumi
akan selalu mandapatkan hambatan, sehingga energi yang dipancarkan juga akan
mengalami pengurangan. Pengurangi ini disebabkan oleh (Kartasapoetra, 2004) :
a. Absorbsi, yaitu penyerapan energi sinar matahari yang dilakukan oleh uap air,
O2, O3 dan CO2.
b. Refleksi, yaitu pemantulan energi sinar matahari oleh partikel yang
berdiameter lebih besar dari gelombang cahaya, misalnya awan
Prosentase radiasi matahari adalah sebagai berikut :
a. Radiasi yang hilang di atmosfer diakibatkat oleh :
(1) Direfleksi oleh awan 23 %
(2) Di scattering oleh aerosol dan uap air 9%
(3) Direfleksi oleh permukaan bumi 2%
b. Radiasi yang diterima bumi dan udara disekitarnya diakibatkan :
(1) Absorbsi langsung oleh bumi 24%
(2) Diradiasikan dari langit 23%
(3) Diobsorbsi oleh H2O, O2, O3 dan CO2 19%
Radiasi yang diterima dipermukaan bumi berbeda antara satu tempat dan
tempat lainnya. Perbedaan ini tergantung pada benda-benda yang berada diatas
permukaan bumi. Permukaan yang tidak ada sama sekali tumbuhannya akan lebih
besar penyerapannya bila dibanding dengan permukaan yang banyak ditumbuhi
oleh tanaman. Lingkungan radiasi didalam sebuah hutan berbeda dengan daerah
tidak berhutan, karena permukaan yang mengabsorbsi didalam hutan umumnya
berada diatas tanah dengan jarak yang terlihat nyata (Idris, 1996). Untuk menduga
kerapatan limpahan radiasi matahari yang jatuh pada sebuah lereng, Blantran de
Rozari dalam Idris (1996), mengemukakan suatu rumus pendekatan sebagai
berikut :
IDl = IDN [ cos l cos Z + sin l sin Z cos (a- ă)] (3)
Dimana :
IDl = kerapatan limpahan pada lereng dengan sudut l (kal/m2/menit)
IDN = kerapatan limpahan pada bidang tegak lurus sinar langsung
(kal/m2/menit)
l = sudut kemiringan lereng (...0)
z = sudut zenith yang tergantung lintang tempat dan waktu surya serta
kemiringan sumbu bumi terhadap arah sinar pancaran (deklinasi surya)
a = sudut asymtut surya yang tergantung lintang setempat, deklinasi surya
dan waktu; dihitung negatif kearah timur dari selatan dan positif ke
arah barat dari selatan (...0)
ă = sudut asymtut bidang vertikal (dinding) = arah hadap dinding, dihitung negatif kearah timur dari selatan dan positif kearah barat dari selatan
(...0)
2.3.2. Temperatur
Temperatur atau suhu adalah ukuran panas atau dingin pada suatu saat dan
tempat tertentu yang diukur berdasarkan alat pengukur temperatur atau suhu.
Suhu dapat terjadi pada beberapa tempat, misalnya suhu udara, suhu tanah atau
suhu air laut dan sebagainya. Pada masing-masing tempat tersebut mempunyai
derajat suhu yang berbeda. Satuan atau ukuran derajat suhu yang digunakan
dalam kehidupan sehari-hari adalah derajat Celsius (0C), sedang dinegara-negara
Eropah lainnya menggunakan derajat Fahrenheit (0F). Menurut Kartasapoetra
(1994) faktor – faktor yang mempengaruhi suhu dipermukaan bumi adalah :
1. Jumlah radiasi yang diterima per tahun, per hari dan per musim
2. Pengaruh daratan dan lautan
3. Pengaruh ketinggian tempat
4. Pengaruh angin secara tidak langsung
5. Pengaruh panas laten, yaitu panas yang disimpan dalam atmosfer
6. Penutup tanah
7. Tipe tanah
8. Pengaruh sudut datang sinar matahari
Faktor-faktor tersebut akan sangat berpengaruh terhadap tinggi rendahnya suhu,
sehingga suhu dapat terjadi maksimum dan minimum. Suhu maksimum yaitu
suhu yang paling tinggi dimana tanaman masih dapat tumbuh, sedangkan suhu
minimum yaitu suhu yang paling rendah dimana tanaman masih dapat hidup.