BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Formulasi Sabun Cair
(Hambali et al., 2005).
6) Fragrance: merupakan bahan aditif yang paling penting pada produk
cleansing, agar dapat diterima oleh konsumen. Dalam penggunaannya
harus diperhatikan kelarutan dan kompatibilitasnya (tidak berpengaruh
pada viskositas dan stabilitas sediaan). Fragrance yang digunakan tidak
boleh menyebabkan perubahan stabilitas atau perubahan pada produk
akhir (Barelet al, 2001).
7) Pengatur keasaman: berfungsi untuk menyesuaikan pH sabun cair,
biasanya 4,5 – 7. Umumnya digunakan asam sitrat, asam laktat, atau asam
B. Surfaktan
Surfaktan (surface active agent) adalah suatu senyawa yang jika pada
konsentrasi rendah memiliki sifat untuk teradsopsi pada permukaan (surface)
ataupun antarmuka (interface) dari suatu sistem dan mampu menurunkan energi
bebas permukaan maupun energi bebas antarmuka. Istilah antarmuka
menggambarkan suatu batas di antara dua fase yang tidak saling campur,
sedangkan istilah permukaan juga menggambarkan sistem dua fase namun salah
satu fasenya adalah gas atau udara. Energi bebas antarmuka atau yang disebut
juga tegangan antarmuka adalah jumlah energi minimal yang dibutuhkan untuk
membuat sistem tetap dalam dua fase yang ridak bercampur, sehingga terbentuk
batas antarmuka di antara dua fase tersebut. Begitu juga untuk istilah tegangan
muka yang menggambarkan energi bebas antarmuka per unit area dari perbatasan
antara cairan dan udara di atasnya (Rosen, 2004).
Pemberian flavon pada tikus yang menunjukkan induksi konjugasi enzim
seperti glutathione-S-transferase dalam mendetoksifikasi karsinogenik
intermediet (Trela dan Carlson, 1987). Flavonoid berefek secara luas pada proses
biologis yang fundamental seperti gap junctional intercellular communication
(GJIC) (Chaumontet et al., 1994). Kemampuannya dalam meningkatkan GJIC
dapat bertanggung-jawab sebagai agen promosi antitumor (antitumor-promoting
C. Gliserin
Gambar 1. Struktur gliserin
Gliserin adalah cairan seperti sirup jernih dengan rasa manis. Dapat
bercampur dengan air dan etanol. Sebagai suatu pelarut, dapat disamakan dengan
etanol, tapi karena kekentalannya, zat terlarut dapat larut perlahan-lahan
didalamnya kecuali kalau dibuat kurang kental dengan pemanasan. Gliserin
bersifat sebagai bahan pengawet dan juga sebagai suatu pelarut pembantu dalam
hubungannya dengan air dan etanol (Ansel, 1989). Gliserin digunakan sebagai
emollientdan thickening agentdalam sediaan topikal dengan rentang konsentrasi
0,2-65,7% (Smolinske, 1992). Gliserin pada konsentrasi tinggi menimbulkan efek
iritasi pada kulit dan lebih disukai konsentrasi gliserin 10-20 % (Jellinek, 1970).
Pada sediaan sabun yang dibuat, gliserin berfungsi sebagai bahan
pengental. Bahan pengental adalah suatu bahan yang bila ditambahkan ke
campuran air dapat meningkatkan viskositas dan biasanya digunakan untuk
stabilisasi larutan, emulsi, dan suspensi. Gliserin merupakan thickening agent
yang paling banyak digunakan dalam industri kosmetik karena kestabilan harga
dan presentasenya relatif sedikit dari jumlah total penggunaan produk (Rieger,
2000). Selain itu gliserin dapat juga berfungsi sebagai pembentuk struktur
transparan dalam sabun cair (Ghaim dan Elizabeth, 1995).
C. Gliserin
Gambar 1. Struktur gliserin
Gliserin adalah cairan seperti sirup jernih dengan rasa manis. Dapat
bercampur dengan air dan etanol. Sebagai suatu pelarut, dapat disamakan dengan
etanol, tapi karena kekentalannya, zat terlarut dapat larut perlahan-lahan
didalamnya kecuali kalau dibuat kurang kental dengan pemanasan. Gliserin
bersifat sebagai bahan pengawet dan juga sebagai suatu pelarut pembantu dalam
hubungannya dengan air dan etanol (Ansel, 1989). Gliserin digunakan sebagai
emollientdan thickening agentdalam sediaan topikal dengan rentang konsentrasi
0,2-65,7% (Smolinske, 1992). Gliserin pada konsentrasi tinggi menimbulkan efek
iritasi pada kulit dan lebih disukai konsentrasi gliserin 10-20 % (Jellinek, 1970).
Pada sediaan sabun yang dibuat, gliserin berfungsi sebagai bahan
pengental. Bahan pengental adalah suatu bahan yang bila ditambahkan ke
campuran air dapat meningkatkan viskositas dan biasanya digunakan untuk
stabilisasi larutan, emulsi, dan suspensi. Gliserin merupakan thickening agent
yang paling banyak digunakan dalam industri kosmetik karena kestabilan harga
dan presentasenya relatif sedikit dari jumlah total penggunaan produk (Rieger,
2000). Selain itu gliserin dapat juga berfungsi sebagai pembentuk struktur
transparan dalam sabun cair (Ghaim dan Elizabeth, 1995).
C. Gliserin
Gambar 1. Struktur gliserin
Gliserin adalah cairan seperti sirup jernih dengan rasa manis. Dapat
bercampur dengan air dan etanol. Sebagai suatu pelarut, dapat disamakan dengan
etanol, tapi karena kekentalannya, zat terlarut dapat larut perlahan-lahan
didalamnya kecuali kalau dibuat kurang kental dengan pemanasan. Gliserin
bersifat sebagai bahan pengawet dan juga sebagai suatu pelarut pembantu dalam
hubungannya dengan air dan etanol (Ansel, 1989). Gliserin digunakan sebagai
emollientdan thickening agent dalam sediaan topikal dengan rentang konsentrasi
0,2-65,7% (Smolinske, 1992). Gliserin pada konsentrasi tinggi menimbulkan efek
iritasi pada kulit dan lebih disukai konsentrasi gliserin 10-20 % (Jellinek, 1970).
Pada sediaan sabun yang dibuat, gliserin berfungsi sebagai bahan
pengental. Bahan pengental adalah suatu bahan yang bila ditambahkan ke
campuran air dapat meningkatkan viskositas dan biasanya digunakan untuk
stabilisasi larutan, emulsi, dan suspensi. Gliserin merupakan thickening agent
yang paling banyak digunakan dalam industri kosmetik karena kestabilan harga
dan presentasenya relatif sedikit dari jumlah total penggunaan produk (Rieger,
2000). Selain itu gliserin dapat juga berfungsi sebagai pembentuk struktur
D. Cocoamidopropyl betaine
Gambar 2. StrukturCocoamidopropyl betaine
Betaine adalah surfaktan dengan sifat pembusa, pembasah, dan
pengemulsi yang baik, khususnya dengan keberadaan surfaktan anionik (Barel et
al, 2001). Daya busanya relatif stabil baik pada soft water dan hard water, serta
kompatibel dengan surfaktan anionik, kationik, maupun nonionik (Rieger and
Rhein, 1997).
Dari penelitian Teglia and Secchi (1994) dikatakan bahwa betaine
memiliki efek antiiritan yang mirip dengan wheat protein ketika ditambahkan ke
larutan sodium lauril sulfat (SLS). Baik wheat protein maupun betaine dapat
melindungi kulit dari iritasi (Barelet al, 2001).
Surfaktan (surface active agent) adalah suatu senyawa yang pada
konsentrasi rendah memiliki sifat untuk teradsorpsi pada permukaan (surface)
ataupun antarmuka (interface) dari suatu sistem dan mampu menurunkan energi
bebas permukaan maupun energi bebas antarmuka (Rosen, 2004).
E. Sifat Fisis
Sifat fisis sabun perlu dievaluasi untuk menjamin sabun cair transparan
yang dihasilkan sesuai dengan kebutuhan konsumen. Beberapa sifat fisis yang
1. Busa
Busa (foam) adalah suatu dispersi koloid di mana gas terdispersi dalam
fase kontinyu yang berupa cairan (Schramm, 2005). Karena adanya perbedaan
densitas yang signifikan antara gelembung gas dan medium, maka sistem akan
memisah menjadi dua lapisan dengan cepat di mana gelembung gas akan naik ke
atas. Ketika gelembung gas dimasukkan di bawah permukaan cairan, maka
gelembung itu akan langsung pecah saat ada aliran cairan (drainage) akibat gaya
gravitasi atau gaya tarik ke bawah. Maka dari itu suatu cairan murni tidak akan
berbusa kecuali diberi surfaktan (Tadros, 2005). Adanya surfaktan akan
mengurangi ketegangan antarmuka gas/cairan sehingga mempermudah dispersi
gas dalam cairan (Exerowa, 1998).
Mekanisme pembentukan busa dimulai ketika gelembung gas masuk ke
dalam larutan surfaktan. Kemudian surfaktan akan terabsorpsi pada antarmuka
gas/cairan dan terbentuk gelembung gas yang terbungkus oleh lapisan film atau
disebut busa. Busa ini akan cenderung naik ke permukaan karena berat jenis gas
lebih kecil daripada air. Namun pada permukaan cairan juga terdapat surfaktan
yang duduk pada lapisan batas air dan udara. Sehingga busa yang terbentuk tidak
bisa lepas keluar ke udara, melainkan tetap tertahan pada batas permukaan cairan.
Jika busa-busa di permukaan semakin banyak maka mereka akan saling mendekat,
sehingga akhirnya dapat kontak satu sama lain atau bahkan saling bergabung
Stabilitas busa merujuk kepada kemampuan busa untuk mempertahankan
parameter utamanya dalam keadaan konstan selama waktu tertentu. Parameter
tersebut meliputi ukuran gelembung, kandungan cairan, dan total volume busa.
“waktu hidup” busa (foam lifetime) merupakan ukuran paling sederhana untuk
menunjukkan stabilitas busa (Exerowa, 1998).
Pada penelitian, evaluasi ketahanan busa dilakukan dengan metode yang
diadaptasi dari prosedur pengukuran busa oleh Evren (2007) yang telah
dimodifikasi. Pengukuran tinggi busa Evren (2007) dilakukan dengan cara
sebanyak 0,5 g sampel sabun cair diencerkan dengan 50 ml (40oC) aquadest dan
diaduk denganmagnetic stirrer. Kemudian dituang ke gelas ukur, digojog selama
20 kali dengan kecepatan konstan, dan diamati volume busanya pada menit ke-0
dan ke-5. Pada saat penggojokan 20 kali dimodifikasi dengan menggunakan
vortexdengan kecepatan maksimal selama 2 menit. Modifikasi ini bertujuan untuk
menyamakan perlakuan dari penggojogan tabung pada tiap pengujian. Sehingga
diharapkan kecepatan konstan untuk penggojogan tabung yang menggunakan
vortexlebih baik dibandingan secara manual.
2. Viskositas
Viskositas adalah tahanan dari suatu cairan untuk mengalir. Viskositas (),
digambarkan dengan persamaan matematika :
Dari persamaan itu dapat diketahui bahwa peningkatan gaya geser (shear stress)
akan menaikkan kecepatan geser (shear rate). Namun hal ini hanya berlaku untuk
senyawa dengan tipe Newtonian seperti air, alkohol, gliserin, dan larutan sejati.
Sedangkan untuk sediaan seperti emulsi, suspensi, dispersi, dan larutan polimer
umumnya termasuk tipe non-Newtonian. Pada tipe non-Newtonian meliputi
plastis, pseudoplastis, dan dilatan (Liebermann, 1996).
Gambar 3. Kurva sifat alir Newtonian (Martin, 1983)
Pada tipe pseudoplastis, viskositas akan menurun dengan meningkatnya
kecepatan geser. Sifat ini disebut juga shear thinning (Martin, 1983). Sifat alir
pseudoplastis ini paling banyak ditunjukkan oleh dispersi hidrokoloid dalam air
seperti tragakan, alginat, metil selulosa, dan polivinilpirolidon. Dalam suatu
larutan, molekul-molekul dengan BM besar dan struktur panjang seperti itu akan
saling terpilin dan terperangkap bersama-sama dengan solven yang tidak
bergerak. Dengan adanya gaya geser maka molekul akan terbebas dan menyusun
diri secara searah untuk kemudian mengalir. Dengan kata lain molekul akan
memiliki lebih sedikit tahanan untuk mengalir dan air yang terjebak juga akan
Gambar 4. Kurva sifat alir pseudoplastis (Martin, 1983)
Selain itu sistem sediaan tersebut juga bisa menunjukkan fenomena
thixotropi. Yaitu pada saat didiamkan penampakan sistem berupa sediaan yang
kaku seperti gel. Namun saat diberi gaya geser struktur ini akan pecah sehingga
menjadi sistem yang lebih encer seperti larutan atau solution. Saat gaya geser
dihilangkan maka sistem akan mulai menyusun diri lagi ke bentuk semula. Namun
proses ini tidak instan (Martin, 1983). Waktu yang dibutuhkan untuk melakukan
gel-sol-gel recovery ini dapat bervariasi mulai dari hitungan menit sampai hari
tergantung dari sistemnya (Aulton, 1988).
F. Desain Faktorial
Desain faktorial adalah metode rasional untuk menyimpulkan dan
mengevaluasi secara obyektif respon dari besaran yang berpengaruh terhadap
kualitas produk (Bolton, 1997). Penelitian desain faktorial yang paling sederhana
adalah penelitian dengan 2 faktor dan 2 level (Armstrong, 1996). Desain faktorial
dua level berarti ada dua faktor (misal A dan B) yang masing masing faktor diuji
Faktor adalah variabel eksperimental yang dapat ditetapkan secara
independen atau bebas, sedangkan respon adalah nilai yang terukur sebagai hasil
dari percobaan. Percobaan skrinning dilakukan untuk mendeterminasi variabel
percobaam dan interaksinya yang memiliki efek yang signifikan pada hasil yang
terukur, yaitu respon-respon yang diamati (Lundstedtet al, 1998).
Desain faktorial digunakan sebagai langkah untuk menginvestigasi dalam
melihat efek atau interaksi dari faktor-faktor yang ada. Besarnya efek yang
disebabkan oleh salah satu faktor yang ditetapkan atau diganti akan berpengaruh
juga terhadap faktor yang lain. Langkah dari desain faktorial dimulai dengan
usaha untuk menetapkan faktor mana yang dianggap penting dan faktor mana
yang tidak, yaitu dengan cara mengevaluasi variabel sebagai faktor secara
stimultan, lalu menetapkan hubungan-hubungan yang penting diantara faktor
tersebut (Amstrong, 1996).
Notasi yang digunakan pada desain faktorial biasa digunakan pada level
tinggi dan digambarkan dengan nilai “a” untuk faktor A dan B sama-sama pada
level tinggi akan digambarkan dengan “ab”. Percobaan di mana semua faktor
berada pada level rendah dinotasikan dengan nilai (1), dan selanjutnya akan
dilihat interaksi diantara faktor-faktor tersebut (Amstrong, 1996).
Dengan desain faktorial dapat didesain suatu percobaan untuk mengetahui
faktor yang berpengaruh secara signifikan terhadap suatu respon (Bolton, 1997).
Rancangan percobaan desain faktorial dengan dua faktor dan dua level yang akan
Tabel I. Rancangan percobaan desain faktorial dua level Percobaan Faktor A (jumlah gliserin) Faktor B (jumlahbetaine) Interaksi 1 - - + a + - -b - + -ab + + + Keterangan :
Jumlah gliserin - = level rendah + = level tinggi Jumlahbetaine - = level rendah
+ = level tinggi
Formula 1 = faktor A pada level rendah, faktor B pada level rendah Formula a = faktor A pada level tinggi, faktor B pada level rendah Formula b = faktor A pada level rendah, faktor B pada level tinggi Formula ab = faktor A pada level tinggi, faktor B pada level tinggi
Rumus yang digunakan dalam desain faktorial :
Y = b0+ b1(XA) + b2(XB) + b12(XA)(XB)...(1) Dengan :
Y = respon hasil atau sifat yang diamati, yaitu viskositas dan ketahanan busa sabun cair
XA, XB = level faktor A, level faktor B
b0,b1,b2,b12 = koefisien, dapat dihitung dari hasil percobaan
Dari persamaan (1) dan data yang diperoleh dapat dibuat contour plot
suatu respon tertentu yang sangat berguna dalam memilih komposisi campuran
faktor, maupun efek interaksinya dapat diperoleh dengan menghitung selisih
antara rata-rata respon pada level tinggi dan rata-rata respon pada level rendah.
Konsep perhitungan efek menurut Bolton (1997) sebagai berikut:
Efek faktor A =
Efek faktor B =
Efek interaksi =
Keuntungan utama desain faktorial adalah bahwa metode ini
memungkinkan untuk mengidentifikasi efek masing-masing faktor, maupun efek
interaksi antar faktor (Muth, 1999).
G. Landasan Teori
Untuk memperoleh sediaan sabun cair yang baik, maka salah satu hal yang
perlu diperhatikan adalah viskositas dan ketahanan busanya. Karena kedua hal
tersebut selain mempengaruhi efektivitas pembersihan kulit juga menentukan
persepsi dan penerimaan konsumen.
Umumnya untuk memperoleh busa yang melimpah, digunakan kombinasi
surfaktan. Dengan adanya surfaktan, maka tegangan antarmuka gas/cairan akan
berkurang sehingga mempermudah dispersi gas dalam cairan. Surfaktan yang
biasa digunakan pada sabun cair adalahbetaine. Daya busanya relatif stabil, serta
kompatibel dengan surfaktan anionik, kationik, maupun nonionik.
Namun terkadang campuran surfaktan saja tidak cukup memberikan busa
yang stabil, karena busa sebenarnya bersifat tidak stabil secara termodinamik dan
koalesen dan penipisan (thinning) pada lapisan film akibat kecepatan aliran cairan
(drainage) serta pecahnya lapisan film (film rupture) pada busa itu sendiri. Salah
satu cara untuk mencegahthinningpada busa adalah meningkatkan viskositas dari
sediaan. Tujuannya agar kecepatan drainage menurun sehingga tidak terjadi film
rupture. Karena itu digunakan gliserin yang merupakan thickening agent yang
yang sudah biasa digunakan untuk meningkatkan viskositas (Tandros, 2005).
Desain faktorial dipilih sebagai rancangan percobaan karena mampu
menetapkan faktor mana yang dianggap penting dan faktor mana yang tidak, yaitu
dengan cara mengevaluasi variabel sebagai faktor secara simultan, lalu
menetapkan hubungan-hubungan yang penting diantara faktor tersebut. Desain
faktorial dengan dua faktor dan dua level yaitubetainedan gliserin diuji pada dua
level yang berbeda (tinggi dan rendah) agar dapat diperoleh faktor yang
memberikan pengaruh signifikan terhadap viskositas dan ketahanan busa sabun
cair, apakah berasal dari salah satu faktor atau berasal dari interaksinya.
H. Hipotesis
Ada pengaruh yang signifikan pada variasi betain dan gliserin terhadap
20
BAB III
METODE PENELITIAN
A. Jenis dan Rancangan Penelitian
Jenis penelitian yang dilakukan termasuk jenis penelitian eksperimental.
Rancangan yang digunakan dalam penelitian ini adalah rancangan desain faktorial
dua faktor dan dua level.
B. Variabel Penelitian dan Definisi Operasional 1. Variabel Penelitian
a. Variabel bebasdalam penelitian ini adalah komposisigliserin danbetaine, dengan level rendah sebesar 30 gram dan level tinggi sebesar 38 gram.
b. Variabel tergantung dalam penelitian ini adalah sifat fisis sabun cair yang meliputi viskositas dan ketahanan busa.
c. Variabel pengacau terkendalidalam penelitian ini adalah alat percobaan, komposisi bahan sabun cair yang digunakan selain gliserin dan betaine,
kecepatan putar stirrer, dan lama waktu pencampuran.
d. Variabel pengacau tak terkendalidalam penelitian ini adalah perubahan suhu ruangan dan kelembaban udara tempat menyimpan yang
mempengaruhi kestabilan sifat fisik sabun cair dan jumlah gas (udara)
2. Definisi Operasional
a. Sabun cair adalah sediaan setengah cair yang tersusun atas surfaktan,
pengental, air, serta bahan aditif lain dan dibuat sesuai prosedur
pembuatan sabun cair pada penelitian ini.
b. Gliserin merupakanthickening agent yang dapat meningkatkan viskositas
dan biasanya digunakan untuk stabilisasi larutan, emulsi, dan suspensi.
Gliserin dapat juga berfungsi sebagai pembentuk struktur transparan dalam
sabun cair.
c. Betaine adalah surfaktan dengan sifat pembusa, pembasah, dan
pengemulsi yang baik, khususnya dengan keberadaan surfaktan anionik.
Daya busanya relatif stabil, serta kompatibel dengan surfaktan anionik,
kationik, maupun nonionik
d. Viskositas adalah tahanan sabun cair untuk mengalir yang diukur dengan
menggunakanviscotesterdan dinyatakan dalam satuan d.Pas.
e. Ketahanan busa adalah kemampuan busa untuk bertahan atau tidak hilang
selama 5 menit setelah divortex. Nilainya didapat dari selisih tinggi busa
pada menit ke-0 setelah di vortex dengan tinggi busa pada menit ke-5
setelah divortex dan dinyatakan dalam satuan cm.
f. Desain faktorial adalah metode rasional untuk menyimpulkan dan
mengevaluasi secara obyektif efek dari faktor yang berpengaruh terhadap
kualitas produk.
g. Faktor adalah rancangan variabel yang dapat ditetapkan secara
h. Level adalah tingkatan komposisi dari rancangan desain faktorial yang
terdiri atas level tinggi dan level rendah. Notasi (+) untuk mewakili level
tinggi dan notasi (–) untuk mewakili level rendah.
i. Respon adalah nilai yang terukur yang didapat dari hasil percobaan
menggunakan metode desain faktorial.
j. Efek merupakan perubahan respon yang disebabkan variasi level dan
faktor. Dalam penelitian ini efek yang berpengaruh secara signifikan
adalah efek yang ingin dicapai.
C. Alat
Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah seperangkat alat
glassware PYREX-Germany, cawan porselen, neraca Mettler-Toledo GB3002,
neraca analitik Mettler-Toledo AB204, hot plate Cenco, stirrer magnetic,
thermometer, pH meter Merck, vortex Laboratorium Farmasi USD, viscotester
seri VT 04 RHION-Japan, tabung reaksi berskala dan bertutup FORTUNA
W.- Germany.
D. Bahan
Bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian adalah gliserin kualitas
farmasetis (Brataco), sodium lauryl sulfate kualitas farmasetis (Brataco), sodium
chloride kualitas farmasetis (Brataco), cocoamidopropyl betaine kualitas
farmasetis (Brataco), asam sitrat (Laboratorium Farmasi USD), minyak mawar
E. Tata Cara Penelitian 1. Desain Formula
A Sodium lauryl sulfate 40,0 gram
B Sodium chloride 12,0 gram
C Cocoamidopropyl betaine 33,0 gram Gliserin 33,0 gram Asam sitrat 25%b/v q.s pH 5,0 – 6,0
Fragrance 3 mL
Aqua demineralisata ad 400,00
Penambahan bahan dilakukan pada gliserin dan betaine. Masing-masing
untuk level rendah sebesar 30 gram dan level tingginya sebesar 38 gram. Jumlah
gliserin dan betaineyang digunakan baik untuk level rendah maupun level tinggi
dapat dilihat pada tabel berikut:
Tabel II. Desain penelitian
Formula Betaine(g) Gliserin (g)
1 30 30
a 38 30
b 30 38
Tabel III. Formula sabun cair transparant
Komposisi (gram)
Formula (gram)
1 a b ab
Aqua demineralisata 290 290 290 290
Sodium laureth sulfate 40 40 40 40
Sodium Chloride 12 12 12 12
Cocamidopropyl Betaine 30 38 30 38
Gliserin 30 30 38 38
fragrance 3 mL 3 mL 3 mL 3 mL
Asam sitrat q.s q.s q.s q.s
Desain formula sabun cair ini dibuat dalam bobot 400 gram untuk
menyesuaikan kondisi pada pengukuran viskositas. Pada pengukuran viskositas
diperlukan 250 gram sediaan, sehingga peneliti membuat formulasi sediaan
sebanyak 400 gram untuk mengantisipasi terjadinya kekurangan sediaan selama
pengukuran parameter sifat fisis sabun cair.
2. Pembuatan Sabun Cair
Bagian A: Setengah bagian aqua demineralisata dimasukkan ke dalam
beaker glassdan dipanaskan hingga suhu 50oC. Kemudian ditambahkan dengan
sodium lauryl sulfate sebanyak 40 gram sambil diaduk menggunakan stirrer
magneticdengan kecepatan 500 rpm hingga larut.
Bagian B: 12 gram sodium chloride dilarutkan ke dalam sebagian aqua
demineralisata. Kemudian larutan sodium chloride dimasukkan ke dalam bagian
Bagian C: Secara berurutan, betaine dan gliserin ditambahkan ke dalam
campuran bagian A dan B. Kemudian diaduk sampai homogen dan ditambahkan
asam sitrat 25%b/v secukupnya sampai sediaan sabun cair mendekati pH 5,0-6,0.
Lalu tambahkanfragrancesebanyak 3 mL dan diaduk lagi sampai homogen.
3. Pengujian Viskositas dan Ketahanan Busa a. Uji Viskositas
Sabun cair dimasukkan perlahan-lahan ke dalam beaker portable
viscotester hingga batas fluid mark pada rotor yang digunakan (untuk sabun
cair pada formula ini digunakan rotor no.2). Lalu didiamkan terlebih dahulu
selama 5 menit untuk memastikan kondisi sabun cair yang stabil. Kemudian
viscotester dinyalakan dan viskositas sabun cair dilihat dengan mengamati
gerakan jarum penunjuk viskositas (Instruction Manual Viscotester
VT-03E/VT-04E). Pengujian ini dilakukan pada 48 jam, 7 hari, 14 hari, 21 hari, 30
hari setelah pembuatan sabun cair.
b. Uji Ketahanan Busa
Uji ketahanan busa dilakukan dengan cara sabun cair ditimbang
sebesar 0,5 gram dan dilarutkan dalam 50 ml aquadest. Sebanyak 10 ml
larutan campuran dimasukkan perlahan-lahan lewat dinding ke dalam tabung
reaksi berskala ukuran 25 ml. Kemudian bagian atas tabung reaksi ditutup dan
di vortex dengan kecepatan maksimal selama 2 menit. Tinggi busa yang
didapat pada menit ke-0 dan menit ke-5 dicatat. Selisih tinggi busa dihitung
sebagai nilai ketahanan busa. Pengujian ini dilakukan pada 48 jam, 7 hari, 14
F. Analisis Hasil
Data kuantitatif yang diperoleh adalah data uji viskositas dan ketahanan
busa pada sediaan sabun cair. Dengan metode desain faktorial dapat dihitung
besarnya efek gliserin, betaine, dan interaksinya sehingga dapat diketahui faktor
yang signifikan terhadap sabun cair yang dibuat. Viskositas dan ketahanan busa